Archive for Juni, 2019

7 Juni 2019

Hadis Abu Hurairah yang Hilang

oleh alifbraja

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

 

حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ ، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ

 

Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dua bejana ilmu. untuk satu bejana sudah saya sampaikan kepada kalian. Untuk bejana yang kedua, andai saya sampaikan kepada kalian maka kepalaku akan dipenggal. (HR. Bukhari 120)

 

Dalam riwayat lain, orang-orang mengkritik Abu Hurairah,

 

أَكْثَرْتَ أَكْثَرْتَ

 

“Kamu terlalu banyak menyampaikan hadis.”

 

Lalu Abu Hurairah mengatakan,

 

فَلَوْ حَدَّثْتُكُمْ بِكُلِّ مَا سَمِعْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَرَمَيْتُمُونِي بِالْقَشْعِ ، وَلَمَا نَاظَرْتُمُونِي

 

Andai aku sampaikan semua yang pernah aku dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu kalian  akan melempariku dan kalian tidak akan mendebatku. (HR. Ahmad 10959 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

 

Hadis Apa Yang Disembunyikan Abu Hurairah?

 

Hadis yang disembunyikan Abu Hurairah bukanlah hadis yang berkaitan tentang hukum. Tapi hadis yang berkaitan dengan fitnah dan kejadian di masa mendatang. Yang informasi ini sama sekali tidak mempengaruhi agama seseorang. Dalam arti, ketika orang itu tahu, tidak akan menambah ketaqwaannya kepada Allah. bahkan bisa jadi, jika masyarakat awam itu tahu, justru akan menimbulkan kekacauan di tengah mereka.

 

Seperti, besok akan terjadi pemberontakan, pembunuhan, si A membnuh si B, ada fitnah di Karbala, fitnah peperangan, dst.

 

Berita-berita fitnah ini, ketika hanya diketahui oleh orang yang berilmu maka akan berada di posisi aman. Namun jika dipegang orang bodoh, akan bisa membahayakan. Karena itulah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu merahasiakannya sampai beliau meninggal. Karena jika beliau sampaikan, bisa jadi beliau akan dibunuh.

Al-Qurthubi mengatakan,

 

قال علماؤنا : وهذا الذي لم يبثه أبو هريرة وخاف على نفسه فيه الفتنة أو القتل إنما هو مما يتعلق بأمر الفتن ، والنص على أعيان المرتدين ، والمنافقين ، ونحو هذا مما لا يتعلق بالبينات والهدى ، والله تعالى أعلم

 

Para guru kami mengatakan, “Ilmu yang tidak disebarkan Abu Hurairah dan beliau khawatir akan terkena fitnah dengannya atau bahkan dibunuh, adalah pengetahuan tentang masalah fitnah yang akan terjadi. Atau keterangan  tentang orang-orang yang murtad, nama-nama orang munafik. Dan ilmu semacam ini tidak ada kaitannya dengan keterangan agama dan petunjuk taqwa. Allahu a’lam.” (al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, 2/186).

 

Keterangan semisal juga disampaikan al-Hafidz Ibnu Hajar,

 

حمل العلماء الوعاء الذي لم يبثه على الأحاديث التي فيها تبيين أسامي أمراء السوء وأحوالهم وزمنهم ، وقد كان أبو هريرة يكني عن بعضهم ولا يصرح به خوفا على نفسه منهم

 

Para ulama memahami bahwa hadis-hadis yang tidak disebarkan Abu Hurairah, adalah hadis yang menyebutkan tentang nama-nama pemimpin yang jelek, keadaan mereka dan kondisi zaman ketika pemimpin itu berkuasa. Abu Hurairah terkadang menyebutkan sebagiannya secara isyarat dan tidak beliau tegaskan, karena beliau khawatir akan menimbulkan kekacauan di masyarakat dan ancaman masyarkat kepadanya.

 

Lalu al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan pendapat yang lain,

 

وقال غيره : يحتمل أن يكون أراد مع الصنف المذكور ما يتعلق بأشراط الساعة وتغير الأحوال والملاحم في آخر الزمان ، فينكر ذلك من لم يألفه ، ويعترض عليه من لا شعور له به

 

Ulama lain mengatakan, kemungnkinan, yang dimaksud dengan ilmu yang disembunyikan adalah informasi terkait tanda-tanda kiamat. Terjadi perubahan besar dan kekacauan di akhir zaman. Sehingga jika disampaikan akan diinkari orang yang tidak bisa menerimannya, dan ditolak oleh orang yang tidak menyadarinya. (Fathul Bari, 1/216)

.Bukankah ini Menyembunyikan Ilmu?

 

Menyembunyikan ilmu dalam arti menyembunyikan kebenaran adalah sesuatu yang tercela. Bahkan ini karakter Yahudi. Allah berfirman menceritakan karakter Yahudi,

 

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

 

“Orang-orang yang menyembunyikan keterangan dan petunjuk yang Kami turunkan, setelah kami jelaskan kepada umat manusia dalam al-Kitab, mereka itulah orang yang dilaknat Allah dan dilaknat semua yang melaknat.” (QS. al-Baqarah: 159)

 

Namun yang dimaksud menyemnunyikan ilmu di sini adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah iman dan hukum, yang jika orang itu tidak tahu, dia akan terjerumus ke dalam kesesatan atau dia akan melanggar syariat.

 

Sementara menyembunyikan ilmu dan informasi agama yang tidak ada hubungannya dengan ketaqwaan, orang tidak tahu sekalipun, tidakan akan membat dia jadi sesat atau melanggar syariat, maka menyembunyikan ilmu semacam ini tidak tercela.

 

Sebagaimana yang dialami Hudzaifah bin al-Yaman. Beliaulah satu-satunya sahabat yang mengetahui daftar oranng munafik di Madinah. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, hanya Hudzaifah satu-satunya sahabat yang tahu daftar orang munafik di Madinah. Namun sampai Hudzaifah meninggal, beliau tidak membocorkan pengetahuan itu kepada orang lain. Karena itulah Hudzaifah digelari, ‘Shohibu sirrn Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

 

Ketika ad-Dzahabi menjelaskan tentang sikap Abu Hurairah ini, beliau mengatakan,

 

هذا دال على جواز كتمان بعض الأحاديث التي تحرك فتنة في الأصول أو الفروع ، أو المدح والذم ، أما حديث يتعلق بحل أو حرام فلا يحل كتمانه بوجه ، فإنه من البينات والهدى

 

Sikap Abu Hurairah ini dalil bolehnya menyembunyikan hadis yang bisa menimbulkan fitnah di masyarakat, baik terkait prinsip atau masalah cabang, isinya pujian atau celaan. Adapun hadis yang terkait masalah halal-haram, jelas tidak boleh disembunyikan sama sekali. Karena ini bagian dari ilmu dan kebenaran. (Siyar A’lam Nubala, 2/597)

.Pengakuan Orang Sufi

 

Orag sufi mengklaim bahwa hadisnya Abu Hurairah adalah hadis tentang wihdatul wujud atau ilmu bathin yang hanya diwariskan kepada wali-wali sufi. Mereka tidak pernah belajar hadis, tapi ngaku punya hadisnya Abu Hurairah melalui ilmu bathin. Kata para ulama, alasan ini dalam rangka menghiasi kebodohan sufi terhadap ilmu agama, agar mereka terlihat berilmu.

 

Benarlah apa yang disampaikan Imam as-Syafii,

 

أسس التصوف على الكسل

 

Ajaran-ajaran sufi dibangun di atas prinsip malas. (Hilyatul Auliya, 9/137)

 

Dalam islam tidak ada pembagian ilmu bathin dan ilmu dzahir. Karena semua ilmu yang berkaitan dengan iman dan taqwa seseorang, wajib untuk disampaikan.

 

Al-Hafidz Ibnu Hajar menukil keterangan Ibnul Munayir,

 

قال ابن المنير : جعل الباطنية هذا الحديث ذريعة إلى تصحيح باطلهم ، حيث اعتقدوا أن للشريعة ظاهرا وباطنا ، وذلك الباطن إنما حاصلة الانحلال من الدين

 

Ibnul Munayir mengatakan, kelompok sufi bathiniyah menjadikan hadis Abu Hurairah ini sebagai alasan untuk membenarkan kesesatan mereka, di mana mereka meyakini bahwa syariat dibagi dua: lahir dan batin. Dan ilmu yang bathin itu, terpisah dari agama. (Fathul Bari, 1/216).

 

Keterangan lain disampaikan Syaikh Rasyid Ridha,

 

فجهلة المتصوفة يزعمون أن ما عندهم من علم الحقيقة هو من قبيل ما في الوعاء الآخر من وعاءي أبي هريرة ، وبعضهم يظن أن لشيوخهم سندا في تلقي علم الباطن ، ينتهي إلى بعض الصحابة أو أئمة آل البيت عليهم الرضوان . والذي عليه المحققون أن أبا هريرة يعني بما كتم من الحديث أحاديث الفتن

 

Orang bodoh di kalangan sufi menganggap bahwa ilmu batin yang mereka miliki itu bersumber dari bejana Abu Hurairah yang tidak beliau sampaikan. Sebagian mereka bahkan meyakini bahwa imamnya (tokoh sufi) memiliki sanad dalam menerima ilmu batin yang sampai kepada sebagian sahabat dan imam ahlul bait radhiyallahu ‘anhum.

 

Padahal yang dijelaskan para ulama ahli tahqiq, bahwa hadis yang disembunyikan Abu Hurairah adalah hadis-hadis tentang fitnah. (Tafsir al-Manar, 6/390).

.Ketika ad-Dzahabi menjelaskan tentang sikap Abu Hurairah ini, beliau mengatakan,

“Sikap Abu Hurairah ini dalil bolehnya menyembunyikan hadis yang bisa menimbulkan fitnah di masyarakat, baik terkait prinsip atau masalah cabang, isinya pujian atau celaan. Adapun hadis yang terkait masalah halal-haram, jelas tidak boleh disembunyikan sama sekali. Karena ini bagian dari ilmu dan kebenaran. (Siyar Alam Nubala, 2/597).”

 

6 Juni 2019

Tanda-tanda Waliyullah Menurut Ibnu Athaillah

oleh alifbraja

Setiap rasul mengandung sifat kerasulan, kenabian, dan kewalian. Hanya saja setelah Nabi Muhammad SAW, sifat kenabian dan kerasulan tertutup. Pintu terbuka hingga kini adalah kewalian. Sifat kewalian ini yang masih melekat pada beberapa orang di tengah-tengah kita.

 

Kalau para nabi dan rasul bersifat makshum (terjaga dari maksiat), maka para wali Allah bersifat mahfuzh (selalu dalam bimbingan Allah baik dalam taat maupun dalam khilaf).

 

Syekh Ibnu Athaillah mengatakan bahwa Allah menyatakan sebagian wali-Nya dan menyembunyikan sebagian lain di tengah masyarakat. Tetapi semua wali-Nya menjadi tanda bagi masyarakat atas kehadiran-Nya.

 

قال رضي الله عنه سبحان من لم يجعل الدليل على أوليائه إلا من حيث الدليل عليه ولم يوصل إليهم إلا من أراد أن يوصله إليه

 

Artinya, “Mahasuci Allah yang tidak menjadikan tanda bagi para wali-Nya selain tanda yang menunjukkan ada-Nya. Mahasuci Allah yang tidak ‘mempertemukan’ kepada para wali selain orang yang dikehendaki sampai kepada-Nya.”

 

Lalu bagaimana kita dapat mengerti kehadiran wali Allah? Ini yang sulit. Pasalnya, para wali juga manusia biasa seperti hamba Allah lainnya. Hal ini tercantum pada keterangan Syekh Ibnu Abbad berikut ini.

 

وسمعته يقول يعنى شيخه أبا العباس رضي الله عنه يقول معرفة الولي أصعب من معرفة الله فإن الله معروف بكماله وجماله وحتى ومتى تعرف مخلوقا مثلك يأكل كما تأكل ويشرب كما تشرب وقال فيه وإذا أراد الله أن يعرفك بولي من أوليائه طوى عنك وجود بشريته وأشهدك وجود خصوصيته اهـ

 

Artinya, “Aku (Syekh Ibnu Athaillah) mendengarnya (maksudnya adalah gurunya), Syekh Abul Abbas Al-Mursi berkata, ‘Mengenal wali lebih sulit dari mengenal Allah. Allah dapat dikenali dengan kesempurnaan dan keindahan-Nya. tetapi kapan kau bisa mengenali tanda wali, makhluk sepertimu. Ia makan sebagaimana kamu makan, ia minum sebagaimana kamu minum.’ Ibnu Athaillah berkata di Latha’iful Minan, ‘Kalau Allah menghendakimu kenal dengan salah satu walinya, Allah melipat unsur manusiawinya di matamu dan Allah memperlihatkanmu keistimewaannya,’” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz II, halaman 2).

 

Meskipun demikian, secara umum para wali dapat teridentifikasi. Minimal mereka mengandung tiga sifat berikut ini sebagaimana keterangan Syekh Zarruq.

 

ثم الولي يعرف بثلاث: إيثار الحق، والإعراض عن الخلق، والتزام السنة بالصدق

 

Artinya, “Tetapi waliyullah itu dapat dikenali dengan tiga tanda: mengutamakan Allah, (hatinya) berpaling dari makhluk-Nya, dan berpegang pada syariat Nabi Muhammad SAW dengan benar,” (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 133).

 

Meskipun Syekh Zarruq menyebutkan demikian, kita tetap sulit menunjuk hidung siapa wali Allah di tengah kita. Mereka beribadah sebagaimana kita. Mereka juga kadang berbuat khilaf seperti kita. Mereka berpakaian seperti kita. Mereka juga entah apa profesi kesehariannya. Hanya bedanya, mereka terjaga dari penyakit batin dan mereka menjaga adab kepada Allah saat berbuat taat maupun saat berbuat maksiat karena kuasa-Nya atas bimbingan-Nya.

 

Mereka sama sekali tak terduga. Karena sulitnya menentukan mereka, kita hanya bisa berlaku husnuzzhan (berbaik sangka) kepada setiap orang. Semoga dengan menghormati para kekasih Tuhan itu, kita dapat kelimpahan rahmat-Nya. Amiiin, ya Rabbal alamin. Wallahu a‘lam.

Wali adalah hamba-hamba yang dicintai oleh Allah Swt. Mereka diangkat menjadi wali bukan karena ibadah mereka ditujukan untuk itu, akan tetapi karena ketaatan dan keiklasannya dalam beribadah. Mereka melakukan ibadah semata-mata karena kesadaran sebagai hamba Allah. Maka mereka mengerti maqomat ubudiyah, dan mengerti ilmu ke-Tuhanan.

 

 

 

Dengan semakin meningkatnya mereka mengenal Allah maka mereka semakin sadar akan kehambaan mereka. Mereka adalah teladan bagi kita semuanya. Sifat-sifat mereka disebutkan oleh Allah dalam Al Quran (Yunus: 62-63):

 

 

 

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ

 

 

 

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, iaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”

Ketahuilah bahwa Aulia (para Wali Allah), tidak punya rasa takut kecuali terhadap Allah ta’alaa, karena tidak sekedar kadar keimanannya, dan tidak pula setengah-setengah keimanan dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tadhoru-nya, ibadahnya, syukurnya, roja’nya itulah yang menjadikan mereka sempurna dalam kehambaannya. Yang kedua mereka tidak mempunyai rasa takut selain pada Allah Swt, karena mereka itu adalah الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ , orang-orang yang beriman.Tidak sedikitpun mengambil atsar (merasa ada yang bisa member efek psoitif danalam mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan) dari sesuatu selain Allah. Beliau-beliau bisa membedakan mana dorongan nafsunya, mana dorongan imannya. Beliau-beliau tidak tertipu dengan nafsunya sendiri, apalagi oleh Syaithan,

 

Beliau-beliau sangat menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan disuatu subuh turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain. Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.

Nah para wali-wali Allah Swt tidak mungkin seperti itu. Para beliau paham mana dorongan nafsu dan mana dorongan kasih sayang atau niatan taat kepada Allah. Nafsu itu menurut imam Qusyairi ibara anak kecil, waktu masih kecil kencing sembarangan tetap lucu dan menggemaskan, membuat kita tertawa tetapi ketika makin tumbuh besar usia 6 tahun kencing sembarangan kan membuat ibunya marah.

Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka selalu ingat pada Allah Swt. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih. Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.

 

Nah para wali Allah itu sendalnya saja tidak pernah maksiat apalagi kakinya, kalau kita kaki kita terperosok kejurang maksiat apalagi sendalnya. Itu pengandaian saja bagaimana beliau-beliau bisa menahan diri dari menuruti nafsu.

Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah Swt, hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah bila lalai lupa sama Allah sekejap saja saja belia-beliau wajib taubat. Mata dan mulut itu yang pertam kali busuk saat orang meninggal dunia.

 

Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.

 

Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.

 

Pada masa Sahabat Abu Bakar belum bisa ditemukan, dan amanat Rasulullah Saw itu baru bisa disampaikan pada masa Sahabat Umar menjadi Khalifah, beliau sendiri dan Sayidina Ali yang menyampaikan salam dan titipan Rasulullah Saw itu. Karena dalamnya ma’rifatnya Uwais Al Qarni beliau mengenal siapa saja yang datang menghapirinya; katanya: Asalam Alaik Umar bin Khatab amirul mukminin, asalam alaika Amirul Mukminin Arabi’ Ali bin Abi Thalib. Itu Karena dalamnya ma’rifatnya beliau padahal belum pernah saling bertemu. Karena taatnya pada orang tua Uwais kenal dengan Allah. Karena taatnya pada orang tua Uwais diangkat menjadi wali, bahkan sayid at tabiin. Karena taat dan hormatnya Uwais sampai mendapatkan gamisnya (pakaian) dari Rasulullah Saw Padahal tidak pernah bertemu Beliau SAW

 

Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta’alaa. Guru yang menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam.

6 Juni 2019

Ayat yang Membuat Rasulullah Menangis

oleh alifbraja

Dikisahkan oleh Ibnu Mas’ud, seorang sahabat yang memiliki keakraban khusus dengan manusia pilihan itu.

 

Lelaki bernama Abdullah bin Mas’ud itu juga dikenal sebagai satu dari empat sahabat Nabi Saw. yang memiliki kecakapan dalam membaca Al-Quran. Tiga lainnya adalah Salim Maula Abi Huzaifah, Ubay bin Ka’ab, dan Muaz bin Jabal.

 

Suatu ketika dikisahkan, Rasulullah Saw. pernah meminta Ibnu Mas’ud membacakan ayat-ayat Al-Quran. Permintaan ini tentu saja membuat Ibnu Mas’ud heran, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah (layak) saya membacakan Al-Quran untukmu sementara ia diturunkan kepadamu?”

 

“Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku,” sahut Baginda Nabi Saw.

 

Mendengar itu, Ibnu Mas’ud pun membacakan Surat An-Nisa. Namun, Rasulullah Saw. tiba-tiba meminta Ibnu Mas’ud berhenti ketika sampai pada ayat:

 

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا

 

“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang yang durhaka nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu),” (QS. An-Nisa’: 41).

 

Rasulullah Saw. berkata, “Cukup.”

 

Seketika Ibnu Mas’ud menghentikan bacaannya, lalu ia menoleh ke wajah Rasulullah Saw. Dan betapa terkejutnya Ibnu Mas’ud saat melihat wajah Rasulullah Saw. basah dengan cucuran air mata.

 

,…,…,……………,………..,………………..,………..

 

Kisah saat Rasulullah menangis di malam hari yang membuat Siti Aisyah menjadi bingung.

======

Siti Aisyah pernah bercerita bahwa di tengah malam, Rasulullah SAW pernah bangun. Dia menemuinya dan mengatakan: “Hai Aisyah, izinkanlah saya beribadah kepada Tuhanku.”

Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, aku senang engkau dekat denganku. Tetapi aku juga lebih senang jika engkau beribadah kepada Tuhanmu.”

Lalu Rasulullah SAW mengambil gharibah (wadah air), satu-satunya perkakas rumah tangga di rumahnya untuk berwudhu dan menunaikan ibadah salat.

Siti Aisyah bercerita, segera saja setelah Rasulullah SAW mengangkat tangannya takbiratul ihram, ketika dia memasuki surat yang dibacanya, Rasulullah menangis terisak-isak.

Usai sholat, ketika Bilal memberitahukan bahwa sesaat lagi akan masuk waktu subuh, Rasulullah SAW masih terisak-isak menangis.

 

Bilal bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa engkau menangis padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu baik yang terdahulu maupun yang kemudian?” Waku itu Rasululah SAW menjawab, “Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Pada malam ini turun satu ayat suci Alquran. Celakalah orang yang membaca ayat Alquran ini, tetapi tidak merenungkan maknanya.”

Kemudian Rasulullah membacakan ayat: “Sesungguhnya dalam penciptaan angit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS 3:190).

Nabi SAW mengajarkan kepada kita bagaimana cara melakukan salat malam.

Pertama, ketika salat malam, sholatlah dua rakaat, karena Rasululah SAW paling sering melakukan sholat malam dua rakaat-dua rakaat (matsna-matsna).

Sesudah empat kali dua rakaat (berarti delapan rakaat), anda lakukan sholat dua rakaat lagi yang disebut dengan salat syafa’.

Pada rakaat pertama, dan baca Surah Al-Fatihah dengan Al-Kafirun, dan pada rakaat yang kedua, Anda baca Surah Al-Fatihah dengan Al-Ikhlash.

Kemudian tunaikanlah salat witir satu rakaat.

Bacalah Surah Al-Fatihah, Al-Falaq dan Surah An-Nas. Kemudian bacalah istighfar sebanyak tujuh puluh kali (astaghfi rullaha rabbi wa atubu ilaih). Aku memohon ampun kepada Allah Tuhanku dan kembali kepada-Nya.

Usai istighfar, sebelum rukuk bacalah doa: “Hadza maqamul ‘aidzi bika minannar” (Ya Allah, inilah saya yang berlindung kepada-Mu dari api neraka) sebanyak tujuh kali.

Setelah itu mohonkanlah ampunan bagi kaum mukminin dan mukminat. Sebut nama mereka satu per satu. Paling sedikit empat puluh orang. Ucapkanlah rabbighfirli .. wa, .. dan seterusnya. Kemudian kita berdoa apa saja.

Lalu kita rukuk, iktidal, sujud, tasyahud dan seterusnya.

Rasulullah SAW hanya memperpanjang sholatnya pada saat beliau menunaikan ibadah salat malam.

Pada sholat fardhu, beliau tidak melazimkan sholat yang panjang.

Dalam sebuah hadist qudsy disebutkan ada empat tanda orang-orang yang diterima salatnya.

Pertama, dia datang untuk melaksanakan salat dengan merendahkan diri kepada-Nya. Kedua, tidak sombong dengan makhluk-Ku yang lain. Ketiga, tidak mengulangi lagi maksiatya kepadaAllah SWT. Keempat, menyayangi orang-orang miskin.

Artinya, kalau seeorang menemukan empat tanda-tanda di atas, insya Allah dia akan menemukan ke nikmatan salat dalam bentuk yang lan.

Dia merasakan manfaat di dalam kehidupannya. Ada kenikmatan tertentu yang dia peroleh dari ibadah salatnya. Bukan hanya kenikmatan menangis, tetapi juga kenikmatan yang lain.

(Sumber : Renungan-renungan Sufistik oleh Jalaluddin Rakhmat)