Posts tagged ‘Sufi’

18 September 2012

Hakekat Nabi Muhammad

oleh alifbraja

Tentang Hakekat Nabi Muhammad (Haqiqat al-Muhammadiyyah)

Ibn Arabi, menjelaskan bahwa semua Nabi as., semenjak Nabi Adam as., sampai Nabi Isa ibn Maryam as., semuanya mengambil al-Nubuwwah (ke-Nabian) dari tempat cahaya Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sekalipun wujud jasmaninya di akhir. Sebab pada Hakekatnya Khatm al-Nabiyyin telah wujud. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. :
كُنْتُ نَبِيًا وَآدَمَ بَيْنَ المَاءِ وَالطِِّيْنِ.
“Aku telah menjadi Nabi Ketika Adam as., masih berada antara air dan tanah”.

Dalan memahami sabda Nabi saw., ini, Ibn Arabi menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw., telah diangkat jadi Nabi sebelum lahirnya jasad Beliau di dunia ini, dan Beliau mengetahui ke-Nabiannya, dengan demikian secara Hakekat bahwa Nabi Muhammad saw., sejak di Alam arwah telah berfungsi sebagai Rasul kepada ummat manusia sejak awal manusia melalui para nabi dan Rasul-rasul Allah.
Tentang Maqam Nabi Muhammad tersebut, dalam Surat Saba ayat 84 Allah Berfirman :
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا وَّلكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لاَيَعْلَمُوْنَ.
Artinya : “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pembawa peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kenabian para nabi dan kerasulan para rasul merupakan pelaku yang dipilih Allah untuk menjalankan roda kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. Sebab secara fisik Nabi Muhammad Saw., lahir diakhir. Oleh karena itu, secara syari’at, Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi ketika turunnya Lima Ayat dari surat al-‘Alaq di Gua Hira yakni pada hari Senin 17 Ramadhan atau tanggal 6 Agustus tahun 600 M., ketika itu Beliau berumur 40 tahun Komariyah 6 Bulan 8 Hari kemudian 3 tahun kemudian diangkat menjadi Rasul terakhir melalui turunnya Surat al-Mudatstsir sedangkan selain Khatm al-Nabiyyin, mereka tidak diangkat menjadi Nabi, dan tidak tahu pada ke-Nabiannya kecuali pada waktu ia diutus setelah Wujud dengan unsur Badaniyahnya dan sesudah sempurna syarat-syarat ke-Nabiannya.

Menurut Syekh Ahmad al-Tijani pada dasarnya ruh Sayyidina Muhammad adalah awal segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan melalui perantara ruh inilah terjadi seluruh Alam.

Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad saw., telah wujud sebelum makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan sumber semua Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Nur Nabi Muhammad saw., menurut Syekh Ahmad al-Tijani adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyah.

Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun dalam martabat al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. Pengetahuan orang shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini berbeda-beda sesuai dengan maqamnya masing-masing. Dalam hal ini Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :

…طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية ادراكهم قلبه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية اداكهم عقله صلى الله عليه وسلم وطائفة وهم الاعلون بلغوا الغاية القصوى فى الادراك فادركوا مقام روحه صلى الله عليه وسلم.
“Diantara wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, ada juga yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada tingkat akalnya (al-Aql), dan maqam yang tertinggi adalah wali yang bisa sampai mengetahui tingkat ruhnya; tingkat ini merupakan tingkat penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”

Rumusan mengenai Nur Muhammad {haqiqat al-Muhammadiyyah} ditegaskan melalui dua shalawat yang dikembangkan dalam wirid thariqat tijaniyah yakni shalawat fatih dan shalawat Jauharat al-Kamal :

a. Tentang Shalawat Fatih
Diantara rukun wirid wadzifah adalah membaca shalawat fatih sebanyak 50 kali. Berikut teks bacaan shalawat fatih :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ ‍ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ.
Artinya : “Yaa Allah limpahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad saw., dia yang telah membukakan sesuatu yang terkunci (tertutup), dia yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang terdahulu, dia yang membela agama Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan dia yang memberi petunjuk kepada jalan agama-Mu. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad saw”.
Syarah kandungan shalawat Fatih…, walaupun shalawatnya diakui dari Nabi Muhammad saw; mencerminkan pemikiran faham tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh tasawuf Filsafat terhadap pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani.
Makna al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :
1) Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud di alam.
2) Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah bagi para makhluk di alam.
3) Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah :
1) Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
2) Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
3) tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.

Pemikiran-pemikiran (faham) tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya tentang makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatim li ma Sabaq. Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa al-Fatih li ma Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad merupakan pembuka segala ketertutupan al-Maujud yang ada di alam. Alam pada mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujbaniyat al-Buthun). Wujud Muhammad menjadi “sebab” atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”. Karena wujud Muhammad alam keluar dari “tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) di alam nyata (lahir). Jika tanpa wujud Muhammad, Alah tidak akan mencipta segala sesuatu yang wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”.

Syekh Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh Muhammad {nur Muhammad}.
Nur Muhammad telah diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw., ketika tiu Jabir bin Abdullah bertanya kepada Nabi Muhammad saw., tentang apkah yang paling awal diciptakan oleh Allah Swt., Nabi menjawab :
ياجابر ان الله اتعالى خلق قبل الاشياء نور نبيك
“Wahai Jabir, sesungguhnya Allah swt., sebelum menciptakan sesuatu terlebih dahulu menciptakan nabimu {nur Muhammad}.”
Selain istilah nur Muhammad digunakan juga istilah lain sebagai penegas keberadaannya, yaitu ruh Muhhamad, nur, al-‘Aqju awwal dan al-Haba.

Dari ruh Muhammad ini kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. ruh alam berasal dari ruh Muhammad, ruh berarti kaifiyah. Melalui kaifiyah ini terwujudlah materi kehidupan. al-Haqiqat al-Muhammadiyyah adalah awal dari segala yang maujud yang diciptakan Allah dari ¬hadarah al-Ghaib (eksistensi keGhaiban). Di sisi Allah, tidak ada sesuatu yang maujud yang diciptakan dari makhluk Allah sebelum al-Haqiqat al-Muhammadiyyah ini tidak diketahui oleh siapapun dan apa pun. Di samping sebagai pembuka, Nabi Muhammad juga sekaligus sebagai penutup kenabian dan risalah. Oleh karena itu, tidak ada lagi risalah bagi orang sesudah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga sebagai penutup bentuk-bentuk panampakan sifat-sifat Ilahiyyah (al-Tajaliyyah al-Ilahiyyah), yang menampakan sifa-sifat Tuhan di alam nyata ini.
Kandungan shalawat fatih mengenai pemikiran Syekh Ahmad Al-Tijani tentang al-Haqiqat Muhammadiyyah lebih tampak lagi dalam shalawat jauharat al-kamal.
b. Tentang Shalawat Jauharat al-Kamal
Berikut teks Shalawat Jauharat al-Kamal :
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ وَالْيَقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِ بِمَرْكَزِالْفُهُوْمِ وَالْمَعَانِى وَنُوْرِاْلاَكْوَانِ الْمُتَكَوَّنَةِ اْلأدَمِيِّ صَاحِبِ اْلحَقِّ اْلرَّبَّانِى اْلبَرْقِ اْلأَسْطَعِ بِمُزُوَنِ اْلأَرْبَاحِ اْلمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ اْلبُحُوْرِ وَاْلأَوَانِى وَنُوْرِكَ اللاَّمِعِ الَّذِيْ مَلأْتَ بِه كَوْنَكَ اْلحَائِطَ بِأَمْكِنَةِ اْلمَكاَنِى اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَيْنِ اْلحَقِّ الَّتِى تَتَجَلّى مِنْهَا عُرُوْشُ اْلحَقَائِقِ عَيْنِ اْلمَعَارْفِ اْلأَقْوَمِ صِرَاطِكَ التَّآمِّ اْلاَسْقَمِ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى طَلْعَةِ اْلحَقِّ بِاالْحَقِّ اْلكَنْزِ اْلأَعْظَمِ إِفَاضَتِكَ مِنْكَ اِلَيْكَ إِحَاطَةِ النُّوْرِ اْلمُطَلْسَمِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ صَلاَةًتُعَرِّفُنَا بِهَا إِيَّاهُ
Artinya : “Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamatan-Mu kepada Nabi Muhammad. Ia adalah haqiqat rahmat sifat-sifat Tuhan, ia bagaikan mutiara yang yang mengetahui semua nama-nama (asma) dan sifat-sifat Allah, ia yang menjadi pusat pengetahuan yang mencakup seluruh pengetahuan yang diberikan kepada makhluk, ia yang menjadi penerang (cahaya) segala sesuatu yang ada termasuk manusia, ia yang membawa (mempunyai) agama Allah, ia adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyyah (Hakekat Muhammad, Nur Muhammad) yang bagaikan kilat bahkan lebih dari kilat yang dibuktikan dengan mengalirnya rahmat Tuhan kepada setiap orang yang menghadap-Nya., seperti halnya para nabi dan para wali, ia yang menjadi cahaya Tuhan yang menerangi seluruh makhluk di setiap tempat. Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamatan-Mu kepada Nabi Muhammad yang menjadi ‘ain al-Haqq (wujud keadilan, pemilik kebenaran)., telah tampak dari padanya seluruh

Hakekat keadilan yang seperti ‘arsy (gudang) sebagi sumber seluruh ilmu, yaitu ilmu agama Allah yang adil, sempurna dan istiqamah. Ya Allah ! limpahkanlah rahmat dan keselamtan-Mu kepada Nabi Muhammad yang merupakan mazhar (manifestasi) dan tajalli (penampakan lahir)-Mu, ia yang menjadi gudang (tempat penyimpanan) ilmu dan rahmat-Mu Yang Maha Besar, ia tempat datangnya kasih-Mu, ia yang meliputi seluruh cahaya yang tersimpan. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya dan kepada keluarganya, yang dengan sebab rahmat tersebut kami bisa mengetahui haqiqat (Hakekat) sesungguhnya Nabi Muhammad”.

Bacaan Shalawat Jauharat al-Kamal ini, tampaknya lebih menjelaskan atau menafsirkan kalimat yang terdapat dalam shalawat fatih yakni kalimat اَلْفَاتِحِ لِمَاأُغْلِقَ””. Misalnya, shalawat tersebut mengungkapkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw., sebagai Hakekat rahmat dari sifat-sifat Tuhan, yang merupakan pusat pengetahuan. Kemudian dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah yang memiliki sifat Tuhan, yang mengalir dan menyinari keseluruh alam. Selanjutnya dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai wujud yang paling sempurna.

Ungkapan sifat-sifat Nabi Muhammad di atas, menunjukan bahwa Syekh Ahmad Al-Tijani merumuskan maqam Nabi Muhammad sebagai mana telah dikemukakan sufi-sufi terdahulu, terutama dalam mensifati pemahaman mereka terhadap haqiqat (Hakekat) Muhammad, tidak dapat dibantah bahwa ia sependapat, bahkan ia menjelaskan konsep dasar tersebut.

Hal ini, menunjukan bahwa dari aspek pemikiran, Syekh Ahmad al-Tijani menganut tasawuf falsafi sedangkan konsep-konsep dasar tasawufnya : nur Muhammad, Ruh Muhammad, al-Haqiqat al-Muhammadiyyah. Dengan demikian, bahwa corak (paham) tasawuf yang digunakan oleh Syekh Ahmad al-Tijani adalah corak (paham) tasawuf yang dikembangkan oleh ‘Abd al-Karim al-Jili dengan konsep dasar al-Insan al-Kamil, yang berasal dari Ibn Arabi dengan konsep Haqiqat al-Muhammadiyah.. Terlepas apakah Syekh Ahmad al-Tijani terpengaruh oleh pemikiran filosofis Abd. Karim al-Jili yang berasal dari Ibn. ‘Arabi atau tidak, corak pemikiran tasawuf demikian dikembangkan oleh dua sufi tersebut. Sekali lagi, hemat penulis, pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani “mengawinkan”, menyatukan kembali dua corak {faham} tasawuf yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi yang telah “bercerai” sejak abad ketiga Hijri sehingga masing-masing mempunyai metodologi tersendiri.

Inilah yang dimaksud bahwa Thariqat Tijani merupakan thariqat yang terakhir dan seluruh thariqat akan mausk kedalam lingkup ajarannya, dalam arti seluruh amalan sufi {wali} dan seluruh corak pemikiran para sufi terakomodir dalan ajaran thariqat yang dikembangkannya, hal ini bisa dimengerti karena cahaya maqam wali khatm merupakan sumber seluruh cahaya kewalian. Sebagai perbandingan seluruh syari’at para nabi terakomodir kedalam syari’at Nabi Muhammad Saw., karena syari’at para nabi bersumber dari cahaya Khatm an-Nabiyyin.
Disinilah keunggulan Syekh Ahmad Al-Tijani, dan hal ini, lebih mengukuhkan keabsahan dirinya tentang kepemilikannya terhadap maqam wali khatm.

29 Juli 2012

Ajaran Tasawuf: Mahabbah, Syauq, Wushul, Qona’ah

oleh alifbraja

* Ajaran Tasawuf:  Mahabbah: kecenderungan kepada Allah secara paripurna, mengutamakan urusan-Nya atas diri sendiri, jiwa dan hartanya, sepakat kepada-Nya lahir dan batin, dengan menyadari kekurangan diri sendiri (Syaikh alMuhasibiy). Rabi’ah berkata: “Orang yang mahabbah kepada Allah itu tidak habis rintihan kepada-Nya sampai ia dipanggil ke sisiNya.

* Ajaran Tasawuf  Syauq: yaitu kerinduan hati untuk selalu terhubung dengan Allah dan senang bertemu dan berdekatan denganNya ( Abu Abdullah bin Khafif ). Sebagian Ulama’ berkata: ” Orang-orang yang Syauq merasakan manisnya kematian setelah dialami, sebab terbuka tabir yang memisahkan antara dirinya dengan Allah.

* Ajaran Tasawuf Unsu : tertariknya jiwa kepada yang dicintai ( Allah ) untuk selalu berada di dekatNya. ( Abu Sa’id al Karraz). Syeh Malik bin Dinar mengatakan, “Barangsiapa tidak unsu dengan muhadatsah kepada Allah, maka sedikitlah ilmunya, buta hatinya dan sia-sia umurnya.

* Ajaran Tasawuf Qurbun : dekat hatinya seseorang dengan Allah Ta’ala, sehingga dalam melakukan segala hal merasa selalu dilihat olehNya. Syeh Abu Muhammad Sahl mengatakan, “Tingkat paling rendah dalam tingkatan Qurb adalah rasa malu melakukan maksiat”

* Ajaran Tasawuf Haya’: Rasa malu dan rendah diri, demi mengagungkan Allah (Syaikh Syihabuddin), Syaikh dzun Nun alMisri mengatakan, “Mahabbah membikin orang berucap, Haya’ membikin diam, dan Khauf membikin gentar”.

* Sakar: Gejolak mabuknya hati sewaktu disebut Allah (Syaikh Abu Abdullah)

* Ajaran Tasawuf Wushul: terbukanya tabir hati dan menyaksikannya pada hal-hal yang diluar alam ini (alam dhohir) (Syaikh Abu Husein anNuriy)

* Ajaran Tasawuf Qona’ah: menerima cukup dengan yang ada tanpa keinginan berusaha memperoleh yang belum ada (Syaikh Abu Abdullah).

29 Juli 2012

Makna Puasa secara Sufistik

oleh alifbraja

 

Makna Puasa secara Sufistik

Bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya, mengenai hakikat ibadah, terutama Makna Puasa ?

Pertama-tama, ibadah apapun bagi kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini
adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta,  menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.
Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.

Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, bahkan bersatu dengan-Nya.

Dalam pandangan kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu mulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.

Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.

Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsubirahi  saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi!

Berarti harus bertakhalli?
Ya! Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”

Yaitu harus menempuh proses tahalli! Jadi puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur’an, yakni tadarrus dan tadabbur, i’tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong orang yang kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.

Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur’an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. Atau adalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik.

 

23 Juli 2012

Tasawuf Adalah Dzikir

oleh alifbraja

Istilah tasawuf sering kali disalahpahami sebagian orang.Mereka memahami tasawuf hanya sebatas duduk sepanjang hari beribadah di masjid. Dulu, para ahli sufi adalah pedagang di siang hari dan zuhud di kala malam,’’ ungkap tokoh sufi terkemuka asal Lebanon, Maulana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani.(Bersambung ke hal. 7) Disadur dari Islam Digest, Harian Umum Republika. 26 Juni 2011

Menurut tokoh penyebar tasawuf di Benua Amerika itu, tasawuf tidak berangkat dari titik hampa. Dasar tasawuf, kata alumnus Universitas Al-Azhar, Damaskus,Suriah, itu, disebutkan dua kali dalam Al Qur’an, yakni surah al-Kahfi ayat 28 dan surah al-Jin ayat 16.

Isi amar (perintah) itu menyebutkan agar belajar dari para ahli ibadah yang menghabiskan waktu mereka di malam hari untuk ta’abbuddan mengaryakan hidup mereka di kala siang guna bekerja mencari nafkah,’’ ujar Syekh Kabbani kepada wartawan Republika, Nashih Nasrullah.

Murid dari Syekh Abdullah ad-Daghestani dan Syekh Muhammad Nazim al-Haqqani itu menegaskan bahwa tasawuf adalah zikir. Sedangkan, zuhud bisa dimaknai dengan menahan diri dari segala bentuk akhlak yang tercela. Menurutnya, tak sedikit orang yang memahami zuhud dengan meninggalkan dunia lalu menyendiri (uzlah) di tempat sepi.

Berikut petikan wawancara dengan lulusan American University Beirut, Lebanon, di bidang Kimia dan alumnus Fakultas Kedokteran University of Louvain, Belgia, itu tentang makna tasawuf yang sebenarnya:

Apa hakikat tasawuf dan aktualisasinya dalam konteks kehidupan modern?

Kehidupan modern semestinya mengikuti alur agama, bukan sebaliknya. Dan, Islam adalah tujuan utama. Sekalipun pada dasarnya saya tidak menyebut dinamika kehidupan saat ini dengan istilah modern. Tak lain karena kehidupan dari awal penciptaan Adam AS sampai hari kiamat nanti sejatinya tidak berbeda,masih kehidupan yang sama.

Kehidupan yang ada ialah fase peralihan antara dunia dan akhirat. Di fase inilah, kita wajib menaati apa yang diperintahkan oleh Allah. Melaksanakan kelima rukun Islam dan meyakini keenam rukun iman. Tak ketinggalan di aspek ihsan, seyogyanya kita jalani langkah-langkah menyucikan jiwa ( tazkiyat an-nafs) dari segala bentuk sifat tercela. Inilah pada dasarnya makna dan inti tasawuf. Hakikat tasawuf bukanlah hal yang baru. Tidak ada yang berubah dari tasawuf sejak masa Rasulullah hingga periode sekarang.

Lantas, apa dasar kemurnian (ashalat) tasawuf dalam ko- ridor yang Syekh sebutkan?

Tasawuf tidak berangkat dari titik hampa. Dasar tasawuf disebutkan dua kali dalam Al Qur’an. Pertama, saat Allah memerintah Rasulullah untuk memperhatikan para ahlu shufah dalam surah al-Kahfi ayat 28, yang berbunyi:

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya”.

Sedang ayat yang kedua terdapat pada surah al-Jin ayat 16:

“Dan bahwasanya, jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).

Perintah ini ditujukan secara umum, baik untuk Rasulullah maupun umatnya.” Isi amar (perintah) itu menyebutkan agar belajar dari para ahli ibadah yang menghabiskan waktu mereka di malam hari untuk ta’abbuddan mengaryakan hidup mereka di kala siang guna bekerja mencari nafkah. Tidak sebagaimana yang disalahpahami sebagian orang. Mereka memahami tasawuf sebatas duduk sepanjang hari beribadah di masjid. Dulu, para ahli sufi adalah pedagang di siang hari dan para zuhud di kala malam.

Tasawuf adalah zikir. Hal ihwal zikir banyak disebutkan dalam Al Qur’an. Tidak ada yang baru. Tak seorang pun laik berasumsi tasawuf ialah perkara baru. Apabila mereka benar-benar mengerti Al Qur’an dan Hadis ditambah dengan penguasaan pendapat para imam, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Hanbali,terkait tasawuf, maka asumsiasumsi miring tentang tasawuf tak akan pernah muncul.

Lalu, mengapa banyak penggunaan simbol-simbol dalam tasawuf?

Kita tidak pernah bersinggungan dengan simbol dan istilah-istilah itu. Tanyakan kepada mereka yang melontarkan. Prinsip kita selaras dengan syariah. Tiap hal yang keluar dari syariah, kita tolak, baik dalam tarekat Naqsyabandiyah maupun mayoritas tarekat yang pernah ada. Perkara yang sesuai syarat sebagaimana berlaku di empat mazhab, maka kita sambut. Jangan berbicara dengan saya tentang wihdat al-wujud Ibnu Arabi ataupun teori-teori teosofi lainnya. Kita tidak terima!

Dalam bertasawuf dituntut keberadaan mursyid, menurut Syekh?

Siapa yang bilang ada tuntutan itu. Keberadaan mursyid bukan syarat utama bertasawuf. Sangat mungkin Anda bertasawuf dengan menyucikan dan memperbaiki akhlak Anda tanpa bimbingan syekh. Kecuali, jika kondisi memang mendorong Anda untuk mengikuti seorang syekh, seperti khawatir tergelincir, dalam keadaan seperti ini sebaiknya Anda mengikuti dan bertaklid kepada syekh, baik dalam amalan maupun wirid-wirid.

Jika tidak, tempalah diri Anda sendiri dengan akhlak-akhlak yang mulia. Tetapi, coba Anda renungkan hikmah di balik Allah mengutus Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah. Mengapa harus melalui Jibril? Apakah Allah tidak mampu, sampai mesti menempatkan Jibril sebagai perantara? Bukankah Allah pernah secara langsung berbicara kepada Musa AS?

Ada satu pelajaran yang hendak Allah sampaikan, jika ingin konsisten dan berkomitmen,laksanakan ajaran agama dan ikutilah sosok yang dapat dijadikan sebagai pembimbing. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dalam soal wahyu ataupun tatkala hijrah ke Madinah. Beliau meminta Abu Bakar as-Shiddiq untuk mengarahkan jalan. Terlebih dengan masalah penempaan spiritual. Dalam kondisi tertentu sangat memerlukan pembimbing karena dinamikanya sulit dan berliku. Alangkah lebih baik dan berhati-hati jika Anda berguru kepada seorang syekh. Tugas syekh adalah membimbing dan mengarahkan.Tidak lebih dan tidak kurang.

Bagaimana Syekh memaknai zuhud dalam konteks kekinian?

Zuhud saat ini bisa kita maknai dengan menahan diri dari segala bentuk akhlak yang tercela. Zuhud dari segala apa yang dilarang oleh Allah. Berzuhudlah dalam hal itu. Zuhud yang hakiki ialah zuhud dengan pengertian ini. Jangan ikuti perbuatan-perbuatan mungkar. Lakukan amalan-amalan terpuji dan perbuatan yang diperintahkan.

Tak sedikit orang yang memahami zuhud adalah meninggalkan dunia lalu menyendiri (uzlah) di tempat sepi. Zuhud yang utama justru adalah berinteraksi dengan sesama manusia sembari terus berzikir kepada Allah. Zuhud seperti ini jauh lebih bermanfaat bagi Anda dan mereka. Pemahaman zuhud yang menafikan kehidupan dunia adalah distorsi yang berusaha dimasukkan di luar pegiat tasawuf. Padahal pada intinya, zuhud adalah meninggalkan larangan dan menjalani perintah.

Perbincangan terhenti sejenak.Seorang pengikut tarekat Naqsyabandiyah dari Sukabumi, Jawa Barat, bertandang ke Syekh. Tujuan kedatangannya untuk meminta sanad tarekat yang ia tekuni. Tanpa berpikir panjang, Syekh pun lantas memberikan sanad dan izin untuk menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah di wilayahnya. Belum lama tamu tersebut beranjak, sepasang calon suami istri yang berencana melangsungkan pernikahan pada bulan haji mendatang meminta nasihat kepada Syekh. Syekh lalu memberi petuah bijak tentang kunci keluarga sakinah. “Jangan bertengkar,” ujarnya. Pertengkaran hanya akan membuahkan kebencian. Dalam keluarga kedua pasangan adalah mitra, tempat saling berbagi.

Berbagai masalah diselesaikan dengan arif, tanpa mengedepankan ego dan emosi masing-masing. “Terapkan agama dalam keluarga,” imbuh Syekh.

Suasana hikmat itu berganti ceria dan kebahagian. Sosok alim Syekh menyimpan sisi manusiawi yang humoris. Sutradara dan artis kawakan, Dedy Mizwar, menyusul kemudian untuk menghadap dan berbincang dengan Syekh. Syekh melontarkan humor ringan, tapi memberikan wawasan dan pengetahuan. Syekh menguraikan asal kata Mizwar menurut etimologi bahasa Arab, berikut kata-kata yang hampir berdekatan dengan kata Mizwar. Mizwar berarti orang yang suka berkunjung atau bepergian. Sedang miswak adalah orang yang suka bersiwak. Adapun Mizwar bermakna orang yang suka kawin. “Manakah nama Anda,” seloroh Syekh yang diikuti tawa para tamu.

Gerakan tasawuf konon hingga sekarang menjadi daya pendorong perubahan, menurut Syekh?

Anda perlu ingat, tasawuf bukan gerakan. Tetapi, tasawuf adalah aktualisasi agama. Selama tidak ada pelaksanaan ihsan dan penempaan akhlak, maka bukan berarti tasawuf. Ihsan yang dimaksud sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis, yakni menyembah Allah seolah-olah kita melihat-Nya. Jika tidak,bersikaplah seakan Allah melihat tiap gerakan kita. Sekali lagi, tasawuf bukan gerakan, melainkan bagian yang tak terlepas dari agama. Alasan inilah yang mendasari Syekh Al-Azhar, Kairo, Mesir, Prof Ahmed El Thayyib, untuk membentuk Asosiasi Muslim Sufi pertama di dunia.

Asosiasi itu mengumpulkan para sufi di bawah satu komando untuk menunjukkan nilai-nilai tasawuf di tengah-tengah konspirasi kubu yang kontra terhadap tasawuf. Kini posisi tasawuf semakin jelas. Tasawuf kembali seperti posisi semula dalam agama.

Maqam tasawuf paling dasar adalah tobat, bagaimana kriteria tobat yang diterima?

Tobat selalu diterima oleh Allah. Jangan mengira tobat hamba akan ditolak. Selama Anda niat sepenuh hati untuk bertobat atas perbuatan dosa atau khilaf yang Anda lakukan, Allah akan ampuni segenap dosa. Sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Az-Zumar [39]: 53).

Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Teruslah berusaha dan mintalah selalu pengampunan. Para sahabat tiap kali berbuat salah pergi ke Rasulullah dan beristighfar di hadapannya. Kisah ini tertuang apik dalam Al Qur’an. Rasulullah pun memintakan ampun kepada Allah bagi mereka. Kini, para ulama juga menilai memintakan ampun terhadap Rasulullah juga menjadi syarat penting diterimanya tobat.

Apa petuah Syekh untuk umat Islam di Indonesia?

Bersatulah! Taati Allah, Rasul, dan para ulil amri. Perhatikan dan cermati kemelut perpolitikan serta perang saudara yang kini berkecamuk di Dunia Arab,sesama umat Islam saling bunuh. Jangan tiru mereka. Selesaikan segala persoalan dengan arif dan bijaksana. Terlebih sekarang, fitnah kian marak di tengahtengah hidup manusia.

Fitnah yang ada kini tidak memandang usia, tempat, ataupun kondisi. Ini pertanda dekatnya hari akhir. Jangan keluar rumah tanpa keperluan mendesak. Untuk stabilitas ekonomi Indonesia, saya sarankan agar berinvestasi emas. Akan datang masa tatkala mata uang tak lagi bernilai. Kita tidak ingin Indonesia menjadi Zimbabwe berikutnya.Mata uang di sana tak berharga. Nominal triliunan nilainya tak sebanding, uang mereka jatuh. Investasilah pada emas. Insya Allah bangsa Indonesia akan selamat.

23 Juli 2012

Hubungan Syari’at dan Tasawuf

oleh alifbraja

Hubungan Syari’at dan Tasawuf

 
Nur Islam telah menyuluhi hidup al insan dan telah mengeluarkannya daripada kongkongan kegelapan kepada sinaran yang terang. Allah telah pun menyempurnakan Islam seperti dalam firmanNya yang bermaksud: “Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan aku telah cukupkan kepadamu nikmatku, dan aku telah diredhai Islam ini menjadi agamamu”(Al-Maidah:3)
 
Rasulullah telah diutuskan bersama-sama dengannya satu “pakej” yang lengkap. Allah telah menyebutkan di dalam surah Al-Ahzab, ayat 21, bahawa Muhammad itu adalah uswatun hasanahyakni contoh ikutan yang terbaik. Perutusan syariatnya yang dibawa dan tasawuf di jiwanya membentuk satu ikatan yang tidak mungkin dapat dirungkaikan.
 
Malangnya senario hari ini menyaksikan, kedapatan ramai manusia yang berusaha berlumba-lumba dalam mendalami ilmu fikah, tetapi dalam masa yang sama telah melupakan tasawwuf islamiy dan begitulah juga yang sebaliknya. Perbuatan ini pada pandangan penulis, adalah ibarat membaling najis ke langit, akhirnya terpalit pada wajah sendiri. Impaknya amat dasyat sekali kerana ia telah menjerumus ke arah pemahaman yang tempang lagi serong kepada penuntut ilmu tersebut.
 
Ini mengingatkan penulis kepada kata-kata Imam Malik r.a seperti yang dicatat di dalam buku Ali al-Adawi dari keterangan Imam Abil Hasan,ulama fikh, vol 2, m/s: 195;
 
“Barangsiapa mempelajari tasawuf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran”
 
Malah lebih berbahaya lagi jika dia menyebarkan risalah mengenai kefahamannya itu kepada masyarakat. Tambahan pula jika orang mendengar risalah itu tidak mempunyai asas yang kukuh, maka akan mudahlah ia terjerumus bersama-sama ke dalam serombong kesesatan.
 
Penulis ingin membawakan suatu riwayat kisah hidup seorang tokoh yang penulis rasakan beliau adalah contoh yang ideal untuk memahamkan kita bahawa adalah amat penting untuk mendalami segenap aspek ilmu di dalam Islam sebelum terjun kepada sesuatu konklusi atau keputusan.
 
Tokoh yang penulis maksudkan adalah Al Imam Hujjatul Islam, Al Ghazali. Beliau adalah seorang ahli teologi, ahli falsafah, dan di antara ahli sufi yang muktabar di dalam Islam. Lahir pada 450H/1058 M di kota Ghazalah, dekat Tus, Khurasan, Iran Utara. Nama sebenarnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Tusi al Ghazali. Susur galur ilmunya dimulai dengan mendalami ilmu fikah, kemudiannya ilmu kalam dan falsafah, diikuti dengan frasa ilmu yang terakhir yakni ilmu tasawuf.
 
Pada tahun 1091, beliau pernah menjadi Guru Besar Hukum kepada Nizam Al-Mulk (1018-1092), kemudian Perdana Menteri Sultan Maliksyah, dan kerajaan Saljuk di Madrasah Nizamiyah, Baghdad. Beliau mengajar di sana selama 4 tahun. Dalam waktu tersebut, beliau telah berjaya menghasilkan 2 karya yang amat berharga iaitu Maqasid Al-Falasifah (Maksud Ahli Falsafah) dan Tahafut Al Falasifah (Kecelaruan Ahli Falsafah).
 
2 karyanya itu telah membawa satu gelombang besar dalam dunia aliran falsafah dan ilmu kalam. Penulis amat kagum kerana Al Ghazali telah memberi tamparan yang hebat kepada ilmu logik akal yang cuba mengatasi Kalam Allah. Sesungguhnya Al Ghazali sememangnya Hujjatul Islam iaitu Pembela Islam.
 
Al Ghazali terus bersinar apabila berjaya menghasilkan Ihya’ Ulum Al-Din(Menghidupkan kembali ilmu Agama). Tidak salah jika penulis katakan bahawa Al Ghazali adalah sangat berpengaruh sehingga beliau disebut sebagai tokoh yang amat penting selepas zaman Rasulullah jika dilihat dari segi pengaruh dan peranannya dalam menata dan mengukuhkan nilai keagamaan.
 
Pada tahun 1095, Al Ghazali meninggalkan Baghdad dan mengembara dari satu negeri ke satu negeri kerana kehidupannya tergoncang oleh krisis kepercayaan. Pada mulanya beliau ke Damsyik, kemudian Hebron, Baitul Muqaddis, terus ke Makkah dan Madinah. Beliau menjalani kehidupan zuhud (asketisme) dengan mengembara selama 10 tahun.
 
Setelah itu, beliau kembali ke Nisabur pada tahun 1106 untuk mengajar di Madrasah Maimunah Nizamiyah. Tidak berapa lama, beliau pergi ke Tus, mendirikan HALAQAH (Sekolah Calon Sufi). Beliau mengasuh Halaqah sehingga ke penghujung usianya.
 
Perjalanan Intelektual dan Spiritual dalam menemukan kedamaian batin dan mengikut jalan sufi dicurahkan dalam autobiografinya yang bertajuk al-munqiz min al-dhalal (pembebas daripada kesesatan).
 
Al Ghazali telah mengkritik ahli falsafah dan akhirnya beliau memilih jalan tasawuf sebagai jalan menuju Allah. Dalam bukunya tahafut al-falasifah beliau sendiri telah menyanggah pandangan ahli falsafah yang membawa kepada kekufuran yakni hujah alam ini qadim, tuhan tidak mengetahui bahagian sekecil-kecil alam ini, dan ketiadaan kebangkitan jasmani pada hari Qiamat. Al Ghazali tega bangun ditengah-tengah gelanggang falsafah, dan merobek seluruh pemahaman yang songsang dan bercelaru itu.
 
Al Ghazali menemui kepuasan dan menemukan diri di dalam dunia tasawuf. Ternyata krisis hidupnya bukan bererti ragu, tetapi beralih arah dari dunia ke dalam batin.
 
Al Ghazali berkata, “Pada akhirnya saya sampai kepada kebenaran, bukan menerusi jalan akal budi serta pengumpulan bukti, melainkan menerusi cahaya yang dipancarkan oleh Allah ke dalam jiwaku.”
 
Berbahagialah Al Ghazali kerana telah berjaya mendamaikan antara syariat dan tasawuf. Jasanya itu amatlah besar di dalam ketamadunan Islam kerana beliau telah menzahirkan ilmu tasawuf pada jiwa umat Islam. Imam Al Ghazali juga telah berjasa dalam menyebarkan aliran As-Syairiyah yang dianut oleh majoriti Ahli Sunnah wal Jamaah (ASWJ).
 
Lihatlah wahai sahabatku, sesungguhnya usaha dalam pencarian ilmu ini amatlah jauh sekali. Janganlah sesekali kita menyangka bahawa pencarian ilmu itu sudah tamat. Sesekali tidak!! Pemahaman Islam itu memerlukan pengorbanan yang amat besar. Tidak malukah kita mendabik dada kononnya sudah menguasai sesuatu ilmu sedangkan al Ghazali sendiri pun, walau telah menghasilkan lebih daripada 280 buku, tetapi tidak pernah berasa cukup dalam penerokaannya mendalami ilmu Al Khaliq ini.
 
Penulis menyeru para netter semua dan diri penulis sendiri, agar jangan pernah berasa diri ini cukup, atau dengan bahasa mudahnya “berlagak pandai”. Kata orang tua-tua, jika kail panjang sejengkal, jangan diduga lautan dalam. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyertakan pandangan tokoh-tokoh yang dilihat kontroversi mengenai pendirian mereka tentang ilmu tasawuf ini.
 
Dalam volum 5 dari Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab yang bertajuk ar-Rasa’il ash-Shakhsiyyah, hal 11, serta hal. 12, 61, dan 64, dia menyatakan: “Saya tidak pernah menuduh kafir Ibn ‘Arabi atau Ibn al-Fari kerana interpretasi sufinya”
 
Lanjutan dari Ibn Qayyim Al Jauziyyah :“Diantara orang terbaik adalah Sufi yang mempelajari fiqh.
 
Shaikh Rashid Ridha juga berkata, “tasawuf adalah salah satu dari tiang agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk meninggikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi”(Majallat al-Manar, p. 726)
 
Hayatilah perjalanan hidup, onak dan duri kisah suka duka perjuangan Al Imam Hujjatul Islam Al Ghazali. Semoga kita semua mendapat iktibar dan mencontohi adabnya dalam menuntun jalan ke arah pemurnian beragama. Memahami Al Quran dan Hadith tidak cukup jika berdasarkan literal semata-mata. Unsur-unsur balaghah, majaz, asbabun nuzul, nasakh dan mansukh dan pelbagai lagi aspek perlu diberi perhatian. Memang benar kita mahu mengikut Al Quran dan As Sunnah. Tetapi bagaimanakah kita mahu mencari petunjuk untuk meneroka ke arah jalannya? Sudah tentu dengan adab-adab ilmu. Ibarat mahu menaiki tangga. Dari anak tangga pertama, tidak boleh melompat terus ke anak tangga ke sepuluh. Semestinya akan tersungkur ke bawah. Seharusnya mesti mengikut langkah demi langkah. Tapak demi tapak. Itulah langkah perjalanan bagi mereka yang bersabar
 

Marilah kita menuju ke arah kejayaan seperti mana yang telah dikecapi oleh ulama salaf dan khalaf. Coretan sejarah perlu dilebarkan demi mendepani masa mendatang. Agar Islam terus bersinar dan gemilang di bawah Nur kalimah yang Hak.

23 Juli 2012

Dari Zuhud ke Tasawuf

oleh alifbraja

Dari Zuhud ke Tasawuf

 

DARI ZUHUD KE TASAWUF
A. PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.
B. ZUHUD
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi [1].
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah [2].
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes [3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir” [4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya [5].
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya [6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan” [7]. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [8]. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari” [9]
C. FAKTOR – FAKTOR ZUHUD
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah [10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla [11].
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir [12].
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman [13]
Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’ [14], taqwa dan zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam [15].
Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).
D. PERALIHAN DARI ZUHUD KE TASAWUF
Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H [16].
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.
Dari perubahan –perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak) [17]
Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :
1. Aliran Madinah
Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
2. Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan [18].
Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain” [19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
3. Aliran Kufah
Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)
4. Aliran Mesir
Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll [20]
Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.
Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.
Keempat : Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’) [21]. Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

23 Juli 2012

Martabat Songo

oleh alifbraja

Martabat Songo

 
HAKEKATE MARTABAT SONGO

a.   Kaping wolu : akarsa malih, martabat Hayan Sabitah arane,

b.   Hayan iku sejatining urip, Sabitah teteping pati mangka tetep tinetepan, pati lan uripe tetep!

Bahasa Indonesia ssebagai berikut :

a.   Yang ke delapan : menghendaki lagi, martabat Hayan Sabitah namanya,

b.   Hayan itu ialah hidup, Sabitah ketetapan dari pati, maka saling memantapkan, hidup dan mati tetap menatapi!

Tujuan hidup yang “sebenar-benarnya” disebut dengan bahasa Arab “Hayan Sabitah” arti kata “hayan” ialah “hidup” yang bagi diri manusia, sama dengan kehidupan; dan sabitah artinya; baik, mulya, sempurna! Dengan demikian tujuan hidup ini yang paling pokok, ialah hidup senang, tentram, mulya, bahagia dan sebagainya tanpa sifat-sifat lawannya!

Dimuka telah disinggung-singgung suatu anggapan “apakah sifat wujudNYA harus manifestasinyacitaNYA sebagai bentuk apa yang kita alami sekarang, kalau diingat bahwa Datwajibulwujud yang berpangkal dari kesempurnaan empat unsur tersebut sebelum keadaan ini, sudah merintis sifatNYA secara evolusi sekian juta tahun silih berganti, sifat-sifat itu tidak ada yang sesempurna sifat manusia. dulu sebagai manusia?. Kalau anggapan itu benar maka sempurnalah Alam Semesta (Tuhan) mewujudkan

Dari sifat wujudNYA yang “tidak sempurna” selanjutnya menuju kekesempurnaannya, marilah kita meninjau fa’al hidup dari beberapa serangga sebagai perumpamaan :

1.   Dari telur menetas itu lahirlah seekor ulat yang berkeliaran dari satu pohon ke lain pohon, makan daun-daun untuk kelangsungan hidupnya.

2.   Ia sama sekali tidak mengerti bahwa induknya adalah seekor Kupu-kupu yang cantik dan dapat terbang.

3.   Selang beberapa hari si Ulat berhenti sebagai pemakan daun-daunan, kemudian ia mencari tempat yang aman untuk berlindung. Selanjutnya ia mengerutkan dirinya dengan kelamad yang keluar dari mulutnya dan nanusnya, setelah cukup kuat, ia diam seribu bahasa seolah-olah bertapa, kemudian, badannya yang tadinya gembur dan bergelang-gelang, kini menjadi kepompong tetap dalam kondisi diam sama sekali tidak bergerak!

4.   Phase terahir dari “tapanya” menjadikan ia seekor Kupu seperti induknya, dan kini sempurnalah hidupnya. Tidak lagi makan daun-daunan tetapi menghisap madu yang segar dan manis itu, dan tidak lagi berjalan dengan kakinya yang 12 buah, kini dapat terbang!

Didalam hati saya bertanya : “Mungkinkah ia juga merasakan manisnya madu, mungkinkah ia merasakan senang hatinya”!? kupu-kupu itu tidak mengerti bahwa setelah bertelur lalu mati, juga ia tidak mengerti berapa lama ia harus hidup sebagai kupu-kupu? Mungkin sekali seperti kupu-kupu itu adalah fungsi daripada Hayang Sabitah; artinya sifat-sifat makhluk sepertinya dapat merasakan “rasa manis dan sebagainya” sekedar beberapa hari saja; tidak seperti manusia, ia dapat merasakan segalanya!. Timbul keyakinan bahwa : sifat dari wujudNYA bukanlah Kupu-kupu sebagai tujuanNYA, akan tetapi sifat Kupu-kupu tersebut kesempurnaannya hanya sampai disitu, ia tidak nanti berevolusi lagi menuju sifat terakhir sebagai kesempurnaan sifat hidupnya! Benarlah apa yang diucapkan Prof. A.C. Morrison, “Mungkin ada akal yang Maha Tinggi untuk mewujudkan kehendakNYA”!.

Dari proses makhluk-makhluk sendiri andai kata manusia “belum ada” sebagai manifestasiNYA maha – akal yang Tinggi itu, saya kira dunia ini hanya terisi oleh makhluk-makhluk sekian juta jenisnya itu, akalnya (nalurinya) hanya dibatasi bentuk-bentuk sifatnya. (Yang segera punah)!!

Karena itu sebagai tujuan terakhir dari sifat-sifat hidup yang membisu dan akal terbatas itu lahiriyah manusia! Manusia yang serta merta membawa segala kebutuhan-kebutuhan dari segala kemauan yang tersalur melalui bahasa dan indera-inderanya! Mungkin tepat adanya anggapan; “kehendakNYA tidak akan sampai terwujud sekaligus menuju ketujuanNYA : tanpa lebih dahulu Datwajubulwujud meleburkan kehendakNYA, sebagai manusia”!.

Suatu sanggahan misalnya, mengapa kalau harus demikian Agungnya manusia masih saja mencuri, menipu, merampok, jadi jahat dan sebagainya? Jawaban itu dapat dikembalikan, pada : sifatNYA yang secara dinamis dan panta rei bahwa adanya sifat dan watak manusia yang demikian, adalah sifat-lawanNYA sebagai keseimbangan! Dan disinilah maka tujuan hidup itu terus berkembang dan mengurangi keseluruhan sifat-sifat diats; apakah ia akan mati, berputus asa, bosan dan lain-lain sifat-sifat yang ia arungi, memang itulah tujuan hidup yang sebenarnya, menuju Hayan Sabitah!

Bagaimana bentuk serta alam Hayan Sabitah itu? Jawabannya hanya berkisar pada hati. Kita puas dan bahagia hidup dengan hasil usaha sesuai sifat lingkungan dan alam sekitar, apakah ia kuli, bakul air, atau saudagar sekalipun seharusnya merasa senang dan bahagia dengan hasil ikhtiyarnya! Banyak orang-orang mewah namun hasil daripada perbuatan yang eksesnya merugikan orang lain, bentuk korupsi, penipuan atau menghisap tenaga manusia dan lain-lain yang erat hubungannya dengan kejahatan-kejahatan!.

Kemudian, hidup yang meraka anggap senang dan puas; nafsu-nafsu mereka mungkin diselubungi adanya sifat kekurangan-kekurangan apakah dilihat dari sudut teknologi atau kesehatan, pertanian dan plitik, kesemuanya untuk mewujudkan Hayan Sabitah, kesempurnaan yang harus dicapainya apakah akan mewujudkan kendaraan ruang angkasa, pertanian-pertanian yang menghasilkan buah yang melimpah dan gemuk-gemuk, obat-obatan yang membentuk keremajaan kembali, semuanya adalah tujuan hidup menuju ke Hayan Sabitah!.

Demikian gambaran secara umum yang didasarkan kepada “kelahiran” yang aspeknya hanya mementingkan rasa; padahal tujuan yang pokok dari Hayan Sabitah adalah kesempurnaanhidup dan mati” yang seharusnya pada tingkat dan rasa yang sama!. Kalau awal kejadiannya tiada rasa apa-apa akhir kejadiannyapun seharusnya juga dapat mencapai alam yang tiada rasa (Layu Khayafu!), atau luluhnya Kawula Gusti!!. daripada “

Lanjutan dari Martabat Sanga.

c.   “Sapa kang jumeneng ing Hayan Sabitah, iya Kang Maha Suci, iku Hurip kita, sadurunge ana bumi langit, trus samengkone;

d.   Uripe Hayan Sabitah, iku purbaNE, rasa wisesane karsa, sempurnane otot-bayunira, lungguhe ing syulbi, hiya iku enggone Rasulullah”!!.

Bahasa Indonesia :

c.   “Siapakah yang bersemayam di Hayan Sabitah, ialah Yang Maha Suci, itu Hidup kita, sebelum terjadinya bumi dan langit, terus hingga sekarang;

d.   Hidupnya Hayan Sabitah, itu purbaNYA, rasa pamisesaannya kehendak, sempurnanya otot-otot dan bayumu, mukimnya di syulbi, yaitu tempatnya Rasulullah”!!.

Yang dimaksud : Dat Yang Maha Suci atau Dat Yang Menghidupi – sebelum terjadinya bumi dan langit atau kita kenal alam semesta ini sebenarnya “belum apa-apa” dan belumlah juga IA meleburkan Datnya sebagai wujud, setelah mana Dat itu mensifatkan wujudNYA, maka di sifat-sifat itulah Dat baru mempunyai tujuan, yang corakNYA terbawa oleh pengalaman hidupnya sifat-sifat tersebut!!.

Dari hasil pengalaman yang jutaan tahun inilah, maka Hidup itu pandai dan cerdas serta tangkas, hasil dari prosesnya sendiri! Diatas, pada alinea d. Terdapat kata-kata “hidupnya Hayan Sabitah itu adalah purbaNYA artinya ke-kesempurnaan yang bertolak dari rasa yang dipengaruhi oleh kehendak ialah Hayan Sabitah sebagai tujuan akhir dari hidupNYA”.

Dengan demikian corak hidup yang bagaimanapun bentuknya, adalah ber-Tujuan Satu ialah serba rasa, atau “among – rasa” yang dimaksudkan adalah hidup kita!!.

Katakanlah hidupNYA bersifat : siput, lebah, gajah dan sebagainya secara teratur, sekalipun pada sifat-sifat itu “ke Hayan Sabitahannya” terbatas; agaknya aneh sekali bahwa peranan-peranannya sifat hidup itu keseluruhannya toh bagi kepentingan manusia!!.

Suatu contoh : lembu bentina yang gemuk, selain susunya yang amat berguna bagi pertumbuhan fa’al hidup manusia, juga kulitnya, tanduknya, dagingnya, kotorannya, bulunya seluruhnya bagi kepentingan manusia, tanpa nama Hayan Sabitah masih pincang! Serangga dan margasatwa seolah-olah tidak berhak untuk hidup, namun manusialah dalam hal ini sebagai penjaga dan pemelihara demi Hayan Sabitah.

Dengan merenungkan pekerti sendiri diatas, timbullah keyakinan, bahwa wujud dari sifatNYA yang kini berakhir sebagai Manusia, sudah tiada lagi makhlik yang lebih atas lagi taraf bentuk dan sifatnya, kini “manusia Bumi” tinggal mencerdaskan otak sebagai perpaduan dan motor dari kehidupan menuju Hayan Sabitah!!.

Secara lahiriyah kita berlomba-lomba sebagai pengemban RahsaNYA, secara bathiniyah kita berlomba mengikis nafsu untuk tujuan terakhir yang akan kita hayati apakah nanti di alam pati kita beroleh layukhayafu (tujuan yang teratas), atau di alam nasut zabarut (alam Rasa), apakah di alam malakut, kita hanya berjuang untuk sekedar menyelaraskan bukan mengharuskan!!.

Kembali pada alinea d. Bernarkah rasa-rasa itu pemurbawisesaannya karsa (kehendak) atau timbulnya rasa adalah harkat dari kehendak?? Memang benar, kalau seandainya  kehendak kita hanya “nrima” atau “trima apa adanya” saya kira Hayan Sabitah hanya sebagai perisai, yang sebenarnya alam semesta (Allah, Tuhan) hanya merasakan apa yang dirintis oleh kehendak, misalnya tanpa merobah susunan rasa asli, yang bersumber pada hidup hayati dan nabati manusia hanya merasakan “rasa asin” ia tidak mengerti rasa manis, gurih, pedas dan sebagainya, tanpa ber-kemauan untuk mengikuti kehendak yang ingin merasakan!.

Kodrat dan Iradat berjalan serentak demi menggalang RahsaNYA; sebenarnyalah tanpa “kodrat dan iradat” tidak nanti akan ada Tujuan Hidup mungkin Hidup tak mau hidup, lama-lama punah!!.

Terserah para wasisi sendiri untuk menilai yang lebih bebas dan tepat.

23 Juli 2012

Sejarah Jalan Kesufian

oleh alifbraja

Al-Kindi (m. abad kesepuluh): merujuk pada kemunculan suatu komunitas kecil

di Alexandria, Mesir, pada abad kesembilan yang menyeru manusia kepada

kebajikan dan mencegah kemungkaran. Mereka disebut sufi. Menurut Muruj

adz-Dzahab karya al-Mas’udi, kaum sufi mula-mula muncul di zaman Khalifah

Abbasiah, al-Ma’mun. Menurut Abul Qasim Qusyairi, kaum sufi muncul di

abad kesembilan, sekitar dua ratus tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad

saw. Lantas timbul pertanyaan, mengapa perlu waktu bertahun-tahun untuk

sungguh-sungguh tertarik dengan ilmu kebatinan? Sekilas melongok ke sejarah

masa awal Islam mungkin dapat memberikan keterangan tentang masalah ini.

Mari kita tengok tanah Arab pada awal abad ke tujuh. Yang kita dapati adalah

sebuah masyarakat dari berbagai suku yang terpecah belah yang selama

berabad- abad telah terlibat dalam tradisi peperangan, penyembahan berhala

dan nilai-nilai kesukuan lainnya. Walaupun orang Arab masa itu melakukan

perdagangan di luar Tanah Arab, namun pengaruh budaya lain pada mereka

sangat sedikit. Empiriurn Bizantiurn dan penjarahan Nebuchadnezar ke Arabia

sebenarnya hanya berdampak sedikit pada mereka. Maka kita dapati suatu

kaum yang telah menjalani cara hidup mengembara selama berabad-abad

dengan sedikit perubahan. Mendadak, suatu “cahaya kenabian” yang

menakjubkan terwujud di hadapan mereka. Cahaya ini mulai dengan jelas

mengenali dan menghancurkan berbagai kekejaman dan ketidakadilan dalam

masyarakat mereka.

Orang menakjubkan yang membawa cahaya baru pengetahuan ini ialah Nabi

Muhammad saw. Selama 23 tahun, Nabi Muhammad saw menyanyikan

kebenaran abadi bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini untuk mempelajari jalanjalan

penciptaan seraya melakukan perjalanan kembali ke asalnya, Pencipta

Yang Esa. Karena, meskipun hakikatnya manusia itu bebas, ia diikat dan dibatasi

oleh hukum-hukum lahiriah yang mengatur kehidupan.

Muhammad menyerukan kebenaran abadi yang telah diserukan oleh ribuan

utusan Ilahi sebelurnnya. Beliau menyerukannya dalam bahasa yang digunakan

pada zaman itu di negerinya, suatu bahasa yang merupakan prestasi budaya

pa1ing tinggi dan suatu rahmat bagi kaum tersebut. Orang Arab tidak

mempunyai warisan artistik selain bahasanya. Nabi menjelaskan kebenaran

abadi itu kepada kaum yang telah tenggelam dalam gelapnya kejahilan yang

kejam selama berabad-abad. Setelah usaha bertahun-tahun, beliau berhasil

menghimpun segelintir pendukung, yang kebanyakan pernah dianiaya dan

terpaksa melarikan diri ke Etiopia untuk mencari perlindungan pada penguasa

Kristen yang baik bernama Negus. Setelah hijrah dari Mekah ke Madinah pada

tahun 632, Nabi Muhammad saw membangun sebuah komunitas baru yang

terdiri dari orang-orang dari berbagai bagian Tanah Arab, namun kebanyakan

 

dari Mekah dan Madinah. Kiblat komunitas ini dalam menyembah Allah adalah

Ka’bah, sebuah bangunan berbentuk kubus terbuat dari batu yang semula

didirikan oleh Nabi Ibrahim as di Mekah, tetapi kiblat perilaku sehari-harinya

adalah Nabi yang diberkati itu sendiri. Mereka mengikuti beliau, ajarannya dan

keterangan beliau mengenai perintah-perintah Al-Qur’an yang diwahyukan

kepadanya, yang secara batin berkiblat kepada Penciptanya. Mereka

menyembah Allah dan mengikuti Nabi yang hidup dengan cinta dan

pengetahuan tentang Allah (makrifat).

Dalam sepuluh tahun terakhir kehidupan Nabi, dan terutama selama tiga tahun

terakhir, berbagai peristiwa mulai berlangsung dengan cepat. Selama periode ini,

ribuan orang Badui yang cenderung pergi ke tempat berlangsungnya kekuasaan

dan kemenangan, melihat Islam semakin mendominasi tanah mereka, maka

mereka semua masuk Islam dalam jumlah ribuan. Ketika Nabi Muhammad saw

wafat, komunitas Muslim yang baru muncul itu mengalami goncangan hebat.

Akibatnya, berlangsunglah pemilihan yang terburu-buru dan tegang atas Abu

Bakar sebagai pemimpin pertama komunitas tersebut. Nabi Muhammad saw

telah menyatakan dalam banyak kesempatan, kepada siapa kaum Muslim harus

merujuk tentang berbagai hal mengenai jalan Islam sepeninggal beliau. Seperti

seorang dokter yang bertanggung jawab, ketika hendak cuti atau pensiun,

memberitahu para pasiennya kepada siapa mereka harus merujuk bila ia tidak

ada.

Seorang dokter lebih mengetahui kondisi pasiennya ketimbang yang lain. Sangat

wajar bagi seorang pemimpin rohani seperti Nabi Muhammad saw untuk

menunjuk siapa yang paling pantas mengurusi umat setelah wafatnya, sesuai

dengan hukum Ilahi yang telah diwahyukan kepada beliau. Namun timbul

ketidaksepakatan mengenai apakah Nabi telah menunjuk Imam ‘Ali secara

khusus sebagai pengganti beliau, ataukah beliau hanya sekedar

menyebutkannya sebagai yang terbesar di antara umat dalam pengetahuan dan

kebajikan. Akibatnya, sebelum Nabi dimakamkan, orang Arab mulai melobi untuk

mendapatkan kekuasaan. Kaum Anshar (penduduk Madinah) ingin memilih

salah seorang di antara mereka sendiri sebagai pemimpinnya. Pada saat-saat

terakhir, dua dari sahabat terdekat Nabi, Abu Bakar dan Umar, berhasil

menyatukan diri dan dengan dukungan ‘Umar, Abu Bakar terpilih sebagai

pemimpin umat, sebagai orang yang dihormati karena berusia lebih tua dan

diakui sebagai sahabat Nabi yang tulus.

Kepemimpinan Abu Bakar berlangsung selama dua tahun, suatu periode yang

penuh dengan perselisihan internal. Jiwa orang Arab tak suka ditundukkan

dengan cara apa pun, karena mental meieka bersemangat bebas. Metode

penundukkan yang lazim ialah menetapkan kewajiban membayar uang pajak

kepada orang lain. Pembayaran zakat, yang dipaksakan Abu Bakar kepada

orang-orang yang menolak menunaikannya, ditafsirkan oleh sebagian orang

sebagai bentuk penundukan yang tidak mau mereka ikuti. Jadi sebagian besar

suku yang baru saja memasuki gerakan Islam tiba-tiba mendapatkan bahwa

mereka harus membayar penuh, dan benar-benar menyerahkan, sesuatu,

bukannya mendapatkan keuntungan dari barang rampasan. Inilah penyebab

perpecahan dalam komunitas Islam yang sedang berkembang dengan pesat

tersebut. Selain itu, ada pula pendusta-pendusta yang mengaku sebagai nabi.

Jadi, masa kepemimpinan Abu Bakar sebagian besar digunakan untuk menekan

gejolak internal.

Setelah wafatnya Abu Bakar di tahun 634, ‘Umar yang telah ditunjuk oleh Abu

Bakar sebagai wakilnya menjadi pemimpin umat Islam berikutnya. Dalam masa

sepuluh tahun kepemimpinannya tetjadi ekspansi besar Islam. Mesir, Persiadan

Empirium Bizantium ditaklukkan, termasuk Yerusalem, yang kuncinya malah

diberikan secara pribadi oleh orang Kristen kepada ‘Umar. ‘Umar merupakan

teladan kesederhanaan dan hidupnya sangat sederhana. Ia dibunuh oleh

seorang budak Persia selagi salat di mesjid tahun 644.

Pemimpin berikutnya, ‘Utsman, diangkat oleh sekelompok orang yang telah

ditunjuk oleh ‘Umar untuk memilih penggantinya, ia berasal dari klan Bani

Umayyah, yang sebagian anggotanya adalah musuh utama Nabi Muhammad

saw. Banyak orang Bani Umayyah memeluk Islam hanya setelah penaklukan

Mekah oleh Nabi dan pengikutnya, ketika mereka merasa tak ada pilihan lain

selain masuk Islam. Mereka menerima Islam dengan enggan, dan kebanyakan

terus hidup menurut kebiasaannya di masa jahiliah. ‘Utsman sendiri tidak banyak

mempedulikan urusan duniawi, tetapi mengizinkan banyak anggota klannya

untuk hidup semau mereka.

Ia menempatkan banyak anggota klan Umayyah pada posisi kunci pemerintahan

di wilayah-wilayah yang baru dikuasi kaum Muslim, sehingga ada orang-orang

yang menuduhnya melakukan nepotisme. Dalam enam tahun pertama

pemerintahannya, ekspansi wilayah oleh kaum Muslim berlanjut terus, begitu

juga konsolidasi daerah-daerah yang telah ditaklukkan. Namun, ternyata aksi

tersebut lebih merupakan awal dari suatu pemutaran kembali ke pemerintahan

orang-orang serakah, ketimbang suatu kelanjutan dari pemerintahan orangorang

berpengetahuan spiritual dan saleh.

Dalam masa pemerintahan ‘Utsman, yang berlangsung selama dua belas tahun,

banyak kaum muslim yang benar-benar kembali ke cara hidup jahilia, takhayaul

dan kesukuan. Rampasan perang dari Empirium Persia, Bizantium, dan Mesir

mengalir ke Mekah dan Madinah, akibatnya terjadilah era kemerosotan akhlak

dan kebusukan dalam kemewahan. Rumah besar dan istana-istana mulai

dibangun pada masa ini. Arsitek pada masa itu adalah Abu Lu’lu, budak Persia

yang telah membunuh ‘Umar karena membebankan pajak yang besar

kepadanya. Di masa ‘Umar, rumah biasanya berdiri di atas sebidang kecil tanah,

terdiri atas dua atau tiga kamar. Di satu sisi kamar terdapat halaman, di tengahtengahnya

sumur, dan di bagian sudut terdapat wadah gabah. Rumah dibangun

satu lantai. Namun, di masa ‘Utsman, banyak istana dibangun, dan orang mulai

saling berlomba membangun gedung-gedung megah.

 

Setelah terbunuhnya ‘Utsman di tahun 656, yang tetjadi ketika ia sedang

membaca Al-Qur’ an, Imam ‘Ali dipilih oleh rakyat sebagai pemimpin umat Islam

berikutnya. Pemerintahannya berlangsung selama hampir enam tahun dan

penuh dengan perselisihan internal serta peperangan. Pada waktu itu banyak

orang mengaku dirinya Muslim tetapi sama sekali tidak mengetahui atau

meresapi jalan hidup Islam. Kita melihat kaum Muslim bersumpah demi Al-Qur’an

tetapi bertingkah tidak sesuai dengan maknanya. Di tahun 656 terjadi sumpah

palsu secara masal yang pertama. Nabi telah memperingatkan istri beliau

Aisyah bahwa pada suatu hari ia akan berperang di pihak yang salah, dan oleh

karena itu akan mengalami kesedihan yang paling buruk, di suatu tempat

bernama Hawab, dan bahwa anjing-anjing Hawab akan menyalakannya.

Beberapa tahun kemudian, ketika sedang melewati Hawab dalam perjalanannya

ke Perang Jamal melawan Imam ‘Ali, ia mendengar salakan anjing dan teringat

akan peringatan Nabi, la bertanya apa nama tempat itu dan dikatakan

kepadanya bahwa tempat itu benama Hawab. Tetapi, sebagian di antara para

sahabatnya membawa dua puluh orang saksi yang mengaku Muslim untuk

bersumpah palsu dengan Al-Qur’an bahwa nama tempat itu bukan Hawab.

Kembali, dalam Perang Shiffin tahun 657, terjadi lagi insiden sumpah palsu

dengan Al-Qur’an.

Setelah syahidnya Imam ‘Ali, di mana ia ditikam secara mematikan ketika

sedang sujud dalam salat, maka putranya, Imam Hasan, memiliki posisi yang

wajar dan pantas untuk menjadi pemimpin kaum Muslim berikutnya. Namun,

Mu’awiyah, gubernur Bani Umayah di Suriah yang sedang berjuang merebut

kedudukan sebagai penguasa bagi dirinya sendiri dan klannya, mulai menghasut

rakyat melawan Imam Hasan. Imam Hasan mempunyai laskar besar yang siap

membantunya. Tapi ia juga mengetahui segala kelemahan orang-orangnya dan

tidak menghendaki perpecahan di dalam laskarya. Selain itu, ia menyadari

kecerdikan dan kecurangan Mu’awiyah, la tak ingin melihat darah kaum Muslim

tertumpah sia-sia. Maka ia menerima gencatan senjata yang ditawarkan

Mu’awiyah dengan konsekuensi melepaskan semua klaim atas kepemimpinan

kaum Muslim tanpa melepaskan kedudukan spiritualnya yang agung.

Sebagaimana Imam’ Ali, yang tidak suka hanya diam berpangku tangan ketika

tidak dipilih sebagai khalifah pertama, tetapi berusaha semampunya meluruskan

apa yang salah di tahun-tahun pemerintahan para pendahulunya, maka Imam

Hasan tak punya pilihan lain selain menerima kenyataan bahwa walaupun dialah

yang terbaik di masa itu, namun ia tak dapat memimpin kaum Muslim.

Penerimaannya untuk gencatan senjata bukanlah suatu perbuatan melepaskan

kedudukan spiritualnya yang sesungguhnya, tapi merupakan petunjuk ke arah

itu. Karena tak mungkin mewujudkan kebesaran batinnya ke dalam

kenegarawanan lahiriah tanpa menyebabkan kaum Muslim saling membunuh,

satu-satunva alternatif adalah menerima persyaratan gencatan senjata, yang

juga menetapkan bahwa sesudah dia maka saudaranya Imam Husain akan

menjadi khalifah kaum Muslim. Namun, Mu’awiyah dengan sangat cerdik

melanggar semua ketentuan gencatan senjata setelah terbunuhnya Imam

 

Hasan tahun 661, dan mengangkat anaknya Yazid yang berakhlak buruk

menjadi penggantinya. Karena itu Imam Husain pun berontak melawan

Mu’awiyah dan Yazid.

23 Juli 2012

Definasi Sufism

oleh alifbraja

Sufisme (bahasa Arab: تصوف, taṣawwuf‎, bahasa Arab/Parsi: عرفان) ialah sebuah tradisi tasawuf Islam yang merangkumi berbagai-bagai kepercayaan dan amalan. Antaranya ialah aspek esoterik mengenai komunikasi dan dialog langsung antara penganut Islam dengan Allah. Tariqa (mazhab Sufi) boleh mempunyai kaitan dengan Syiah, Sunni, serta arah aliran Islam yang lain, atau dengan satu gabungan tradisi berbilang. Pemikiran Sufi muncul dari Timur Tengah pada abad ke-8, tetapi penganut-penganutnya kini terdapat di seluruh dunia.

 

Sufisme telah menghasilkan sejumlah besar puisi dalam bahasa Arab, Turki, Parsi, Kurd, Urdu, Punjabi, dan Sindhi yang merangkumi karya-karya Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, dan Sultan Bahu, serta juga banyak tradisi tarian kesalihan (umpamanya pemusingan Sufi), dan muzik seperti Qawwali.

 

Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.

 

Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan “al-Sufi” di belakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.

 

Rencana ini memberikan penerangan tentang zuhud yang dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai peralihannya ke tasawuf.

 

 

Etimologi

 

Beberapa etimologi untuk perkataan “Sufi” telah dicadangkan.

 

Pandangan yang lazim adalah bahawa perkataan “Sufi” berasal daripada Suf (صوف), sepatah perkataan bahasa Arab untuk sakhlat yang merujuk kepada mantel sederhana yang dipakai oleh zahid-zahid Islam pada zaman awal. Bagaimanapun, bukan semua ahli sufi memakai mantel atau pakaian yang diperbuat daripada sakhlat.

 

Lagi sebuah teori etimologi menyatakan bahawa kata dasar untuk “Sufi” ialah perkataan bahasa Arab, safa (صفا) yang bermaksud kesucian, dan merujuk kepada penegasan Sufisme terhadap kesucian hati dan jiwa.

 

Sesetengah orang yang lain mengatakan bahawa asal perkataan “Sufi” adalah daripada perkataan “Ashab al-Suffa” (”Teman-teman Serambi”) atau “Ahl al-Suffa” (”Orang-orang Serambi”) yang merupakan sekumpulan penganut Islam pada zaman Nabi Muhammad yang menghabiskan banyak masa di serambi masjid Nabi untuk bersembahyang.

 

 

 

Zuhud

 

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi[1].

 

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah[2].

 

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes[3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.

 

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].

 

Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya[6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.

 

Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan”[7]. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”[8]. Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[9]

 

Faktor-faktor Zuhud

 

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd, al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah[10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla[11].

 

Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.

 

Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir[12].

 

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman[13]

 

Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’[14], taqwa dan zuhud.

 

Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.

 

Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam[15].

 

Menurut hemat penulis,zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 – 40).

 

Peralihan dari Zuhud ke Tasawuf

Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.

Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H[16].

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.

Dari perubahan –perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak)[17]

Zuhud yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :

Aliran Madinah

Sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).

Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.

Aliran Bashrah

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di Abadan[18].

Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain”[19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.

Aliran Kufah

Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.

Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)

Aliran Mesir

Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.

Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.

Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll[20]

Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :

Pertama : Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.

Kedua : Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

Ketiga : Motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.

Keempat : Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.

Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’)[21]. Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.

Kesimpulan

  • Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf.
  • Munculnya aliran –aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
  • Pada akhir abad ke II Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.

Bacaan lanjutan

  • Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
  • Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah , 1979.
  • Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
  • Al-Tusi,Nasr al-Sarraj al-Luma’, Mesir,dar al-Kutub al-Hadisah,1960
  • Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
  • Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954
  • Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984
  • Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995
  • Nicholson, A. Reynold,The Mistic of Islam, terj. BA, Jakarta, Bumi Aksara,1998
  • Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002
  • Zuhud di Abad Modern,Yogyakarta, Pustaka Pelajar,2000
  • Taimiyah, ibn, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro’, kairo, Mathba’ah al-Manar,1348 H.

Nota kaki

  1. Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1995, hlm. 64
  2. Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir : Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626.
  3. Prof. Dr. Amin Syukur MA, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2000, hlm. 1
  4. Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2
  5. Ibid., hlm. 3
  6. Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka), 1977, hlm. 54
  7. QS. Al-Baqarah, 2:143
  8. QS. Al-Qashash, 28:77
  9. Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55
  10. Al-Tusi, Al-Luma’,(Mesir : Dar al-Kutub al-Hadisah), 1960, hlm. 65
  11. Lihat Harun Nasution, falsafat …,op.cit., hlm. 62-63
  12. Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57
  13. Ibid., hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-21
  14. Istilah wara’ sering dipakai dalam dunia tasawuf, arti dari istilahtersebut adalah sikap menjaga diri dan membentenginya dari hal-hal yang tidak jelas hukumnya, atau dengan kata lain menjaga diri daribarang yang syubhat.
  15. Prof.Dr.Amin Syukur MA, Zuhud…,op.cit., hlm. 5-6;lihat juga al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 58 dan 250
  16. Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80- 81
  17. Ibid., hlm. 82
  18. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, (Qahirah al-Tsaqafah),1979,hlm. 72 – 75
  19. Ibn Taimiyyah,al-Shuffiyyah wa al-Fuqara’, (Kairo : Mathba’ah al-Manar), 1348 H.,hlm. 3-4
  20. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi…,op.cit., hlm. 68-80
  21. Abu BakarAceh,Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani), 1984,hlm.57
23 Juli 2012

PERBEDAAN ALIRAN SUFI DAN ALIRAN TEORITIS DALAM MENGUNGKAPKAN KEBENARAN

oleh alifbraja

PERBEDAAN ALIRAN SUFI DAN ALIRAN TEORITIS DALAM MENGUNGKAPKAN KEBENARAN

 

 

 

Pada dasarnya dalam diri manusia berkumpul empat macam sifat :

  1. As-sifat as-sab’iyyah (sifat binatang buas)
  2. As-sifat al-bahimiyyah (sifat binatang ternak)
  3. As-sifat asy-syaithaniyyah (sifat setan)
  4. As-sifat ar-rabbaniyyah (sifat ketuhanan).

Ketika manusia dikuasai amarah, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang buas. Ketika dia dikuasai oleh syahwat, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang ternak. Gabungan dari kedua sifat ini melahirkan sifat senang kepada keburukan, memaksa, senang berbuat makar, licik dan menipu sehingga (ketika hal ini terjadi) berati ia telah dikuasai oleh sifat asy-syaithaniyyah. Lalu ketika dalam diri manusia tertanam masalah-masalah ketuhanan dan pada saat yang sama merupakan bagian urusan Tuhan. Allah swt berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa masalah roh adalah urusan Tuhanku.” (Q.S. Al-Isra’: 85).

Allah swt memposisikan diri-Nya sebagai Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan Maha Agung. Allah swt senang dengan apa yang sesuai dengan penamaan ini, yaitu berupa pengetahuan manusia kepada-Nya maupun yang terkait. Sebaliknya, Allah sedih jika dibalik itu, manusia tidak mengetahuinya. Jika engkau telah memahami ini, maka ketahuilah bahwa sibuk beribadah dan tetap menjaganya akan menghasilkan tujuan, yaitu mencapai yang seharusnya dicapai.

Ketahuilah bahwa ilmu yang ada dalam hati terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan argumentasi, metode ini ditempuh para ilmuwan. Dan terkadang melalui metode mukasyafah  (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian), metode ini ditempuh oleh kaum sufi.

Metode kaum sufi sendiri ada dua cara :

Pertama, melalui bisikan dalam hati. Hal ini disisyaratkan dalam sabda Nabi saw,”Sesungguhnya Ruh al-Qudus (Jibril as) telah membisikkan kedalam hatiku,’Cintailah siapa saja yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan berpisah dengannya. Kerjakanlah apa yang engkau inginkan kerena sesungguhnya engkau akan diberi balasan setimpal atas perkerjaan itu. Dan hiduplah sesukamu karena sesungguhnya engkau akan mati” (Ibnu Al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah 2/403).

Kedua, melalui ilham yang baik, yaitu denan cara disingkapkan kepadanya hakekat segala sesuatu dan diperlihatkan kepada malaikat yang ditugaskan untuk mengurus segala sesuatu, yang darinya engkau mendapatkan manfaat. Hati itu laksana cermin jernih yang memancarkan sinar terang, maka ketahuilah bahwa hakekat segala sesuatu telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Jadi walaupun penghalang (hijab) yang ada begitu tinggi, namun karena posisi cermin sejajar dengan Lauh al-Mahfudz, maka hakekat segala ilmu tetap dapat tersingkap.

Terangkatnya hijab kadang terjadi pada sat tidur dan kadang pada saat terjaga, suatu hal yang biasa terjadi pada kamum sufi, dan terkadang pula bersamaan dengan tiupan semilir angin yang terjadi tanpa campur tangan dan persiapan dari pihak manusia. Ketika ini terjadi, dari balik tabir kegaiban, rahasia-rahasia ilmu memancarkan sinar berkilau ke dalam hati.

Puncak dari penyikapan tabir ini terjadi dengan datangnya kematian kerena pada saat itu semua hijab dibuka. Hal ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw,”Manusia itu dalam keadaan tidur, ketika mereka mati barulah mereka terbangun.” (HR. Al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafa; al-Qari, al-Asrar al-Marfu’ah (386); al-Albani, adh-Dha’ifah (102).

Metode penyucian jiwa yang dilakukan oleh kaum sufi hampir sama dengan kondisi manusia yang akan menjemput kematian. Oleh karena itu, mereka tidak menyibukkan diri dengan kegiatan mencari ilmu, tapi lebih menyibukkan diri dengan menyucikan hati dan memutuskan hubungan dengan makhluk lain supaya hal ini menjadi sebab dapat menghadap Allah swt secara total, lalu menyerahkan segala urusan-Nya, dimana Ia Maha Mengetahui segala cahaya dan bisikan halus yang tersingkap dalam hati mereka. Inilah metode yang dialami para nabi dan wali. Mereka mendapatkan berbagai macam ilmu dan hakekat melalui proses belajar, namun mereka mendapatkan secara langsung melalui sumbernya sehingga tidak lagi perlu belajar dan berusaha.

Proses belajar dan berusaha yang dilakukan manusia biasa itu seperti medote yang ditempuh para nabi dalam mendapatkan ilmu secara langsung melalui sumbernya. Namun berhati-hatilah, jangan sampai engkau meninggalkan proses belajar dan berusaha selama dirimu tidak mampu untuk mendapatkan ilmu secara langsung dari sumbernya.

 

Tulisan ini kami ambil dari kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali, untuk menjawab pertanyaan mengapa orang-orang sufi memperoleh ilham luar biasa dari Allah, tersingkap hijab sehingga hal-hal gaib menjadi nyata karena metode belajarnya berbeda dengan metode belajar yang ditempuh oleh kaum teoritis (syariat). Mudah-mudahan tulisan ini berguna untuk saudara Satria dan orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kebenaran, kalau anda mencari kebenaran Ilahi, maka tempuhlah jalan yang telah teruji kebenarannya yaitu jalan  rintisan para Nabi dan  para Wali, yaitu jalan kesufian, membersihkan hati agar terbuka hijab (penghalang) antara makluk dengan Tuhannya. Apabila hijab itu dibukakan oleh-Nya, maka tidak ada penghalang antara hamba dengan Tuhan, maka Allah swt menjadi nyata dan disaksikan oleh hambanya, Allah Maha Gaib (Al-Ghaibi) bagi yang tidak terbuka hijab dan menjadi MAHA NYATA (Adh-Dzahiri) bagi yang terbuka hibab nya.

Sungguh setiap para penempuh kebenaran harus mengalami mukasyafah  (penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian) sehingga memperoleh Haqqul Yakin, tidak ada keraguan sedikitpun tentang Tuhan yang disaksikannya. Rahmat Allah swt akan selalu beserta orang yang sunguh-sungguh mencari bukan orang-orang yang keras hatinya, merasa benar sendiri dan meyakini sesuatu dengan kebenaran yang semu.