Posts tagged ‘makrifat’

9 November 2012

“Awwaludini Ma’rifatullah”

oleh alifbraja

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM

“Awaludini Ma’rifatullah”

Bermula awal agama mengenal Allah

Dengan apa Allah dikenal?

Dengan tiga perkara

mana yang tiga perkara itu?

Pertama tahu akan “TUBUH”

Kedua tahu akan “HATI”

Ketiga tahu akan “NYAWA”

Ada berapa pembagian tubuh?

Tubuh dibagi tiga

Yang mana yang tiga itu?

Pertama tubuh yang kasar

Kedua tubuh yang halus

Ketiga tubuh yang bathin

Maksud tubuh kepada hati

Maksud hati kepada nyawa

Maksud nyawa kepada Allah

Kalau iya memang benar kita orang yang menyembah Allah.

Berapa buah jalan manuju kahadirat Allah?

Adapun jalan menuju kehadirat Allah itu empat jalannya

Manakah yang empat itu?

Yaitu : yang partama jalan SYARIAT

yang kedua jalan TARIKAT

yang ketiga jalan HAKIKAT

yang keempat jalan MAKRIFAT

SYARIAT: pegang syariat tubuh yang kasar.

TARIKAT: pegang tarikat tubuh yang halus.

HAKIKAT: pegang hakikat tubuh yang batin.

MAKRIFAT: pegang makrifat Tuhan Allah yang punya pegang.

SYARIAT:jatuh kepada kita,jadi apa dia bagi kita?

“JADI TUBUH”.

TARIKAT:jatuh kepada kita,jadi apa dia bagi kita?

“JADI HATI”.

HAKIKAT:jatuh kepada kita,jadi apa dia bagi kita?

“JADI NYAWA”.

MAKRIFAT: jatuh kepada kita,jadi apa dia bagi kita?

“JADI RAHASIA”.

SYARIAT: pegang syariat tubuh yang kasar.

Apa bunyi zikirnya?

“LAA ILAHA ILLALLAH”.

TARIKAT: pegang tarikat tubuh yang halus.

Apa bunyi zikirnya?

“ALLAH ALLAH”.

HAKIKAT: pegang hakikat tubuh yang batin

Apa bunyi zikirnya?

“HU… ALLAH”.

MAKRIFAT: pegang makrifat Tuhan Allah yang punya pegang.

Apa bunyi zikirnya?

( bunyinya ……….. tiada berhuruf,tiada bersuara,lenyap selenyap-

lenyapnya,karam sekaram-karamnya……….)

SYARIAT:adalah jalan tubuh,

Tahu ketiadaan tubuh kita lahir dan bathin

Zahirnya tubuh batinnya anggota.

TARIKAT:adalah jalan hati,

Tempat bergantung baik dan jahat,lahir dan batin

Zahirnya akal bathinnya pangana/pengenal(=ingat kepada Allah)

HAKIKAT: adalah jalan nyawa

Pencari jalan kepada Allah,lahir dan batin

Zahirnya angin bathinnya Muhammad

MAKRIFAT:adalah jalan rahasia Allah yang punya pegang(urusan Allah) zahir dan bathin

Zahirnya Muhammad batinnya Allah

SYARIAT : kalau mati dimana kuburnya?

“Dapat dibumi yang tak berpijak”

TARIKAT : kalau mati dimana kuburnya?

“Dapat dilangit tak berbintang”

HAKIKAT : kalau mati dimana kuburnya?

“Dapat diangin yang tak berhembus”

MAKRIFAT : kalau mati dimana kuburnya?

“Dapat dilaut yang tak berombak”

MATI SYARIAT : mati TABI’I namanya.

MATI TARIKAT : mati MAKNAWI namanya.

MATI HAKIKAT : mati SURI namanya.

MATI MAKRIFAT :mati HISI namanya.

Bila ikhlas mengamalkan salah satu zikir dalam mata pelajaran Tharikat Naqsyabandiyah

maka Allah akan memberi rasa mati yang empat perkara.

1.Dapat merasakan MATI TABI’I

Yaitu mati panca indra yang lima,seluruh anggota tubuhnya secara lahir dan batin telah membaca Allah Allah dan suara alam ini seolah berzikir dan terdengar membaca kalimat Allah Allah,berzikir dengan sendirinya,hingga yang tinggal hanyalah rasa rindu terhadap Allah.Orang yang telah merasakan mati Tabi’i itulah orang yang telah sampai dengan Rahmat Allah pada maqam tajalli Af’alullah(nyata perbuatan Allah SWT).

2.Dapat merasakan MATI MAKNAWI

Yaitu merasakan dirinya lahir dan batin telah hilang dan seluruh alam ini telah lenyap semuanya,yang ada hanyalah kalimat Allah Allah semata-mata dimanapun ia memandang,kalimat Allah yang ditulis dengan Nur Muhammad.

Orang yang telah merasakan mati maknawi itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Allah pada maqam Asma Allah SWT,atau biasa disebut maqam Tajalli Asma(nyata nama Allah SWT),nama dengan yang punya nama tidak terpisahkan sedikitpun.”Dengan nama Allah SWT,yang tidak memberi mudarat/binasa dilangit dan dibumi dan Dia maha mendengar lagi maha mengetahui”.

3.Dapat merasakan MATI SURI

Yaitu didalam perasaan orang itu telah lenyap segala warna-warni,

yang ada hanya Nur semata-mata,yakni Nurullah,Nur Dzatullah,Nur Sifatullah,Nur Asma Allah,Nur Af’alullah,Nur Muhammad,Nur Baginda Rosulullah,Nur Samawi,Nur ‘Ala Nur.

Inilah orang yang telah diberi pelita oleh Allah untuk meluruskan jalannya.

Orang yang telah merasakan mati suri itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Allah pada makam Tajalli Sifattullah(Nyata Sifat Allah).

4.Dapat merasakan MATI HISI

Yaitu dalam perasaannya telah lenyap kalimat Allah,dan telah lenyap pula seluruh alam ini secara lahir dan batin,dan telah lenyap pula nur yang tadinya terang benderang,yang ada dan dirasakannya adalah Dzat Allah SWT,bahkan dirinya sendiripun dirasakannya hilang musnah,ia telah dibunuh Allah SWT.dan dialah sebagai gantinya,sebagaimana firman Allah SWT didalam Hadist Qudsi:

“Bahwasanya hamba-Ku,apabila AKU telah kasihi,AKU bunuh ia,lalu apabila telah AKU bunuh,maka AKUlah sebagai gantinya”

Maka langkahnya seolah-olah langkah Allah

Pendengarannya,pendengaran Allah

Penglihatannya,penglihatan Allah

Geraknya,kehendak Allah

Perbuatannya,perbuatan Allah

Orang yang telah mendapat mati hisi,ia akan melihat Allah SWT dalam perasaannya

Surat Al-Baqarah ayat 115 :

Timur dan barat kepunyaan Allah SWT,kemana kamu menghadap,maka disana ada wajah Allah”

Surat An-Nisa ayat 126 :

[4:126] Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.

“Dialah Allah yang awal,dan Dialah yang zhahir dan Dialah Allah yang batin”

Orang yang telah merasakan mati hisi ,itulah orang yang telah sampai dengan Rahmat Allah SWT pada maqam Tajalli Dzat.

Ilahi anta maksudi waridhoka mathlubi

24 Oktober 2012

MERASAKAN KEHADIRAN TUHAN dalam SHALAT

oleh alifbraja

Wahai Ahmad! Aku heran dengan tiga kelompok dari hambaku: hamba yang melakukan shalat dan dia tahu kepada siapa dia mengangkatkan tangannya serta di depan siapa dia berdiri, akan tetapi ngantuk dalam shalatnya dan aku heran dengan hamba yang memiliki kemampuan untuk bisa menyiapkan makanan hari ini akan tetapi dia hanya memikirkan untuk esok hari serta aku heran dengan hamba yang tidak tahu bahwa aku ridho atau kah marah kepadanya sementara dia tertawa”.

 

Dalam kelanjutan dari hadits mi’raj, Tuhan berfirman kepada Nabi Muhammad saw.:

Wahai Ahmad! Aku heran dengan tiga kelompok dari hambaku: Pertama: Aku heran dengan hamba yang melakukan shalat dan di tahu kepada siapa dia mengangkat tangan serta di depan siapa dia berdiri, akan tetapi dia ngantuk dalam shalatnya!…”

 

Kutipan dari hadits ini mengisyaratkan akan satu poin dimana kita semua atau kebanyakan dari kita terkena dengan ‘penyakit’ tersebut yaitu kita belum bisa menjalankan shalat yang sebenarnya; walaupun setiap orang yang memiliki kesadaran dan makrifat yang kuat maka dia akan lebih memiliki perhatian kepada shalat dan akan lebih memahami pentingnya shalat.

Kita semua tahu bahwa shalat kita dalam keutamaan dan kelayakannya tidak seperti shalat yang dilakukan oleh para para wali ilahi dan juga kita mengetahui bahwa efek dan buah dari shalat yang telah disebutkan dalam banyak ayat dan riwayat tidak dimiliki oleh shalat kita, akan tetapi banyak dari kita tidak mengetahui dengan betul kadar kekurangan dan kelemahan kita, oleh karenanya kita mesti berusaha untuk membenahi segala kekurangan dan kecacatan shalat kita. Kita harus menyadari kekurangan dan kecacatan shalat dengan ketidak hadiran hati dikarenakan kurangnya perhatian serta kita harus benar-benar tahu bahwa jika kita melakukan shalat dengan sempurna dan semestinya, betapa banyak faedah yang akan kita dapatkan dari kesempatan untuk menjalankan shalat dan betapa kita akan meraih hasil-hasil yang tinggi darinya dimana tanpa adanya kehadiran hati dan kesadaran untuk menjalankan shalat akan banyak hasil dan manfaat yang akan hilang dari kita serta dengan bahasa apa lagi supaya kita bisa sadar.

Sepantasnya kita disini menyinggung sedikit tentang shalatnya para wali Tuhan dan membandingkan shalat mereka dengan shalatnya kita sehingga kita bisa melihat kekurangan yang ada dalam shalat kita. Sebab dengan membandingkan yang lemah dengan yang kuat serta yang kurang dengan yang sempurna kita akan lebih mengetahui kekurangan dan kecacatan kita.

Alhasil, untuk membenahi kekurangan karena kurangnya perhatian kepada shalat, telah banyak disinggung oleh para tokoh agama dalam buku-buku mereka diantaranya buku “Asraar Al-Shalat” karya marhum Mirza Jawad Aqhae Tabrizi ra. juga buku “Asraar Al-Shalat” karya Imam Khumanei ra. Dan pada kesempatan ini kita akan menyinggung bagian dari poin-poin yang berkenaan dengan shalat:

 

 

Hakekat dan Essensi Shalat

Shalat artinya bahwa seorang hamba berdiri di depan Tuhan dan mengakui akan kehambaannya serta mengadukan seluruh permohonannya kepada Tuhan. Orang yang berdiri untuk melakukan shalat hendaklah dia merasakan kehadiran Tuhan hendaklah sadar didepan maqom apa dia berdiri dan ini akan membuat dia menjalankan tugas kehambaan dengan puncak ketundukan dan kekhusyuan.

Ketika kita berdiri untuk menjalankan shalat, sangat sedikit konsentrasi kita kepada shalat akan tetapi konsentrasi kita kepada masalah-masalah lain yang kita miliki, bahkan terkadang masalah tersebut berhubungan dengan puluhan tahun yang lalu yang masuk ke dalam benak kita. Malah ketika kita kita hendak mengucapkan salam baru kita sadar bahwa kita sedang menjalankan shalat! Betapa hal ini sangat buruk dan tidak sepantasnya karena kita sedang berdiri dihadapan Tuhan serta kita tidak sadar didepan siapa kita berdiri dan apa yang kita ucapkan! Tuhan memasukkan sifat-sifat ini tergolong kepada tanda-tanda orang munafik:

Ÿwurtbqè?ù’tƒno4qn=¢Á9$#žwÎ)öNèdur4’n<$|¡à2

dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas.[1]

 

Terdapat juga dalam sebauh riwayat bahwa barang siapa yang menjalankan shalat akan tetapi hatinya tidak terikat oleh shalat, apakah dia tidak takut kalau aku jadikan dia menjadi seperti keledai. Saking buruk dan tidak pantasnya seseorang tidak perhatian dan konsentrasi dalam shalatnya sehingga dia berhak dirubah menjadi seperti seekor keledai; pada hakekatnya dia bukanlah manusia. Bagaimana mungkin seseorang berdiri di depan seseorang pembesar, akan tetapi dia tidak perhatian kepadanya dan hatinya ditempat lain, apalagi dia berdiri di depan Tuhan alam semesta – Tuhan segenap wujud, seluruh kebaikan dan semua kenikmatan darinya – bahkan dia tidak perhatian kepadaNya melebihi ketidak perhatian dia kepada manusia biasa!.

Apakah ketika seseorang berdiri di depan yang lain dan berbicara dengannya, dia akan memalingkan mukanya? Jika berbuat demikian apakah secara akal dia tidak disebut gila? Alhasil, Tuhan tidaklah bersifat jisim sehingga kita mengarahkan muka kita ke arahnya, akan tetapi hubungan atau perhatan dengan Tuhan dilakukan lewat hati. Sebab dia melingkupi dan menguasai segala sesuatu dan hanya dengan hati kita bisa menghadapNya artinya jika kita hati kita berpaling dariNya dan tidak perhatian dalam shalat kita berarti kita berpaling dari Tuhan.

Apakah seseorang ketika Tuhan dengan karuniaNya memberikan izin dan kesempatan untuk berdiri di depanNya, berbicara denganNya dan menyampaikan segala isi hatinya serta bermunajat kepadaNya – bukannya memanfaatkan kesempatan ini dan bersyukur atas kenikmatan yang besar ini – malah dial alai dariNya? Orang-orang besar ( penting ) tidak sembarangan member izin dan kesempatan kepada sembarang orang untuk bisa menghadap kepadanya, akan tetapi Tuhan karena kecintaanNya yang tak terbatas dia membuka pintu rumahNya lebar-lebar untuk semua manusia dan mengizinkan mereka untuk menghadapNya. Maka kita mesti menggunakan kesempatan emas ini dan dengan segenap wujud kita menghadap kepadaNya dan perhatian kita hanya mengarah kepadaNya.

Jika seseorang tidak memiliki keyakinan kepada Tuhan dan tidak meyakini bahwa dia berada dihadapanNya, jelas dia tidak akan perhatian kepadaNya, akan tetapi orang yang meyakini akan Tuhan dan tahu bahwa kita berdiri di hadapanNya maka ketidak perhatian kita adalah sebuah kejelekan dan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Oleh karenanya dalam riwayat menggunakan kata “aku heran”:[2]Tuhan berfriman: aku heran kepada hambaku yang berdiri di depanku akan tetapi dia malas-malasan dan tidak perhatian.

 

Urgensi dan Nilai Shalat

Dikarenakan shalat memiliki urgensi yang cukup besar dan memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi manusia, syetan pun dengan segala daya dan upaya berusaha mencegah manusia untuk bisa betul-betul memahami hakekat shalat serta menghalangi manusia untuk menjalankan shalat yang merupakan perbuatan baik disisi Tuhan. Oleh karenanya syetan berusaha memasukan kedalam fikiran manusia supaya dia mengingat apa-apa yang sudah terlupakannya sehingga hati manusia tidak lagi konsentrasi kepada shalat. Akan tetapi syetan hanya bisa menguasai orang-orang seperti kita yang mengizinkan dan memberikan dia tempat di hati kita serta tidak berusaha menjauhkannya dari diri kita akan tetapi malah melibatkannya, maka tentunya ketika menjalankan shalat kita disibukkan dengannya.

Jalan yang terbaik bagi manusia untuk meraih kesempurnaan dan dekat dengan Tuhan adalah shalat dan dalam rangka mencurahkan karuniaNya kepada manusia serta agar manusia bisa meraih kesempurnaan, Tuhan mewajibkan shalat dalam lima waktu. Bahkan sebagian dari fuqoha ( ahli fiqh ) berkata: barang siapa yang tenggelam di lautan maka dia tetap herus menjalankan shalat sesuai dengan keadaannya dan hendaklah hatinya konsentrasi kepada Tuhan walaupun syarat-syarat yang lain seperti menghadap kiblat bagi dia dimaafkan ( tidak disyaratkan ). Ini semua tidak lain melainkan karena shalat memiliki peran sangan mendasar dalam kesempurnaan dan kebahagiaan manusia, oleh karenanya Nabi saw. bersabda: “shalat adalah sebaik-baiknya perkara…”[3]serta imam Ridho as. berkata: “shalat adalah kurbannya setiap ketakwaan”.[4]

Syetan dengan jiwa permusuhan lamanya dengan manusia akan selalu berusaha untuk menghalangi manusia untuk mendapatkan apa yang paling baik dan yang paling penting baginya dia juga akan berusaha untuk membuat manusia lalai dari factor-faktor yang membuat mereka sempurna dan bahagia:

tA$s%y7Ï?¨“ÏèÎ6sùöNßg¨ZtƒÈqøî_{tûüÏèuHødr&

Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau Aku akan menyesatkan mereka semuanya,[5]

 

 

Terkadang dua raka’at shalat walau itu shalat sunnah yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan kekhusu’an akan membuat dosa-dosa manusia terampuni, sebab tidak mungkin manusia yang melakukan shalat dengan penuh kesadaran dan kekhusu’an serta tahu di depan siapa dia berdiri akan tetapi dia tidak menyesali perbuatan-perbuatan buruk dan jahat yang telah dilakukannya serta tidak berniat untuk meninggalkan perbuatan tersebut.

Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad saw. bersabda: “Jika di depan rumah seseorang mengalir sungai dan lima kali dalam sehari dia melakukan mandi, apakah akan tersisa kotoran di badannya? Shalat pun demikian pula seperti sebuah sungai dan ketika manusia melakukan shalat maka semua dosa-dosanya akan diampuni”.[6]

Jika kita sudah sudah memahami essensi shalat dan betul-betul mengambil manfaat darinya maka tidak akan tersisa lagi dosa dalam diri kita. Akan tetapi sangat disayangkan kita tidak betul-betul memahami nilai-nilai yang ada dalam shalat dan kita menjalankannya dengan asal-asalan; oleh karenanya sama sekali kita tidak mendapat faedah darinya. Maka poin kedua adalah kita harus betul-betul memahami pentingnya serta pengaruh yang sangat berharga dari shalat sehingga kita sadar bahwa shalat yang dilakukan tanpa ada kesadaran, kekhusu’an dan kehadiran hati sama sekali tidak memiliki faedah serta keberkahan.

Jika dua raka’at shalat bisa membuat semua dosa-dosa manusia terampuni, konsekwen dalam menjalankan shalat-shalat yang berkualitas dan diterima oleh Tuhan, akan membuat manusia bisa meraih derajat yang paling tinggi yaitu “qurb ila Allah”. Maka dengan memperhatikan poin-poin tersebut, tidak akan tersisa bagi kita kecuali penyesalan dan kerugian diakibatkan karena kehilangan faedah serta manfaat yang besar tersebut.

Jika kita kehilangan uang sebesar seratus tuman ( mata uang Iran ) maka konsentrasi kita menjadi buyar dan jika kita kehilangan emas permata yang sangat berharga atau cincin yang bernilai seratus ribu tuman, selama beberapa hari akan selalu kepikiran dan tidak bisa tidur; sementara jika kita kehilangan dua raka’at shalat yang lebig berharga dari seluruh dunia dan kelezatannya, kita tidak merasakan penyesalan sama sekali.

Andai kita tahu bahwa bagaimana para wali Tuhan mengambil faedah dari shalat: sebagian para pembesar berkata – mungkin ini juga kandungan dari beberapa riwayat – jika para raja dunia mengetahui betapa lezatnya melakukan shalat maka dia akan menanggalkan tahtanya dan hanya akan melakukan shalat. ( Dari pernyataan dan ucapan mereka ini menunjukan akan tingginya derajat yang telah mereka raih ).

Betapa kita selalu berusaha siang dan malam untuk bisa meraih kelezatan-kelezatan dengan melengkapi diri dengan makanan dan pakaian serta dengan yang lainnya. Terkadang kita selama bertahun-tahun banting tulang dan mempersiapkan segala sesuatu untuk kita bisa merasakan kelezatan; seorang alim berkata: semua kelezatan yang dimiliki oleh para raja tidak ada apa-apanya dibanding dengan kelezatan yang dimiliki oleh seoarang mukmin dalam menjalankan shalat dua raka’at; akan tetapi mereka bahagia dengan kelezatan-kelezatan materi dan tidak mengetahui akan kelezatan-kelezatan bermunajat dengan Tuhan.

Untuk bisa memperbaiki semua kerugian-kerugian yang telah lalu dan betul-betul mengambil faedah dari shalat serta agar kita tidak kehilangan berkah-berkah dan faedah-faerah yang ada dalam munajat dengan Tuhan, kita harus betul-betul mengamalkan aturan-aturan yang ada dalam riwayat-riwayat atau ucapan-ucapan para ulama, para wali Tuhan dan nasehat-nasehat akhlaki dari para ulama akhlak dimana baik mereka sendiri sudah mengalami dan merasakan hal-hal tersebut atau mereka merujuk dari riwayat-riwayat. ( Nilai yang dimiliki oleh poin-poin ini sungguh tidak terbatas, akan tetapi karena ini kita bisa dapatkan dengan percuma dan dengan sangat murah, kita tidak bisa merasakannya. Setiap riwayat yang tertulis dalam buku-buku hadits lebih berharga dari semua harta benda dan semua kelezatan-kelezatan dunia ).

 

Merenungkan Tentang Shalat dan Kebesaran Tuhan

Termasuk kepada amalan-amalan yang bisa menghasilkan kehadiran hati dan konsentrasi adalah hendaklah seseorang beberapa saat sebelum menjalankan shalat dia duduk di mesjid atau di tempat shalat, berfikir dan mengkonsentrasikan diri hanya kepada Tuhan serta mengosongkan diri kita dari selainNya. Kosongkan hati kita dari pikiran-pikiran, khayalan-khayalan serta ingatan-ingatan dengan mengkonsentrasikan indra kita juga melupakan semua kecendrungan-kecendrungan duniawi dan berusahalah mengahdirkan hati. Alhasil, dengan tafakur dan penyesalan akibat kehilangan nilai-nilai maknawi dari shalat serta memperbaiki kerugian dan kekurangan yang telah lalu maka hal-hal di atas akan bisa diraihnya.

Sebelum melakukan shalat sebaiknya seseorang mengkontrol pikirannya dan sebisa mungkin konsentrasinya terpusat kepada shalat, tempat shalat dan tempat sujud. Atau jika dia melakukan shalat di tempat sepi dan tidak seorang pun yang melihatnya, hendaklah dia duduk santai sehingga tidak ada beban lagi dibadannya dan setelah mengkonsentrasikan indranya sebisa mungkin dia merasakan kehadiran Tuhan serta membawa dirinya berada dihadapan Tuhan yang maha tinggi.

Kita sering mengklaim bahwa berada di haribaan Tuhan begitu juga dengan alam ini, akan tetapi ini hanya di mutuk belaka sementara hati kita belum bisa meyakininya. Ketika kita sedang sendirian berada di kamar dan jauh dari pandangan orang lain, kita akan berbuat sesuatu perbuatan tertentu dan ketika kita sadar bahwa ada orang lain atau keluarga kita memperhatikan kita maka kita akan merubah perbuatan kita. Ketika manusia menjaga perbuatannya di hadapan orang lain serta kita akan selalu hati-hati dalam berbuat, maka jika dia betul-betuk meyakini bahwa kita berada di hadapan Tuhan serta tahu bahwa Dia melihat perbuatan kita maka tentu dia akan menjaga hatinya supaya tidak mengarah kepada sesana dan kemari. Jika manusia tahu bahwa dia berada di hadapan orang lain maka hatinya tidak akan merasa bebas untuk berbuat ini dan itu terutama ketika dia merasa bahwa dia berada di hadapan Tuhan serta merasakan kehadiranNya maka dia akan lebih mengkontrol hatinya serta akan betul-betul merasakan kehadirannya. Atau ketika dalam shalat dia mengucapkan “Allahu Akbar”dan dia meyakini bahwa Tuhan maha besar dari segala sesuatu dimana kebesarannya tidak terbatas maka sedetikpun dia tidak akan lalai akan kehadiranNya. Pada langkah pertama kita belum bisa merasakan kebesaran Tuhan, kita hanya melapalkan ucapan ini dan tidak bisa memenggambarkan kebesaran dan keagunganNya; apa itu kebesaran Tuhan? Atau sebesar apa kebesaran Tuhan sehingga Dia lebih besar dari manusia dan seluruh makhluk? Otak kita sama sekali tidak bisa menampung kebesaran Tuhan, walaupun dengan merenungi karya-karya Tuhan serta dengan usaha yang keras dalam rangka meniti tahapan-tahapan sampai akhirnya kita bisa merasakan kebesaran Tuhan.

Telah dinukil dari Imam Shadiq as. sebuah riwayat yang rinci bahwa seorang perempuan penjual minyak wangi bernama Zaenab datang ke rumah Nabi saw. dan menanyakan tentang kebesaran Tuhan, Rasul saw. menjawab pertanyaanya dengan memberikan perbandingan alam-alam, tujuh langit dan bintang-bintang dimana yang satu lebih kecil dibanding yang lain, diantaranya beliau bersabda: “bumi ini dengan apa yang ada di dalam serta yang ada di atasnya dibandingkan dengan langit pertama ibarat sebuah cincin yang berada di padang pasir yang luas”.[7]Perbanding ini juga berlaku antara satu alam dengan alam-alam yang ada di atasnya dan tidak ragu lagi bahwa perbandingan antara alam satu dengan alam yang lain serta perbandingan antara bintang-bintang di angkasa raya akan membawa manusia untuk bisa memahami keagungan Tuhan.

Bumi dengan segala kebesarannya sangat kecil dibandingkan dengan matahari begitu pula matahari tidak bisa dibandingkan dengan bintang-bintang yang lainnya dimana semuanya berputar di angkasa dan tidak terjadi benturan antara yang satu dengan yang lain. Ketika seseorang mengetahui ada susunan bintang baru, dia akan mengatahui bahwa sampainya cahaya dari satu bintang kepada bintang yang lain lamanya sampai berjuta-juta tahun. Cahaya yang memiliki kecepatan tiga ratus ribu kilo meter setiap detiknya, bayangkan jika selama setahun apalagi sampai satu juta tahun! Selain itu, dibelakang bintang-bintang ini terdapat alam-alam lain, sebab bintang-bintang yang bisa di lihat dengan mata lahir terletak di langit pertama. Tentang masalah ini Tuhan berfirman:

$¨Z­ƒy—uruä!$yJ¡¡9$#$u‹÷R‘‰9$#yxŠÎ6»|ÁyJÎ/

dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang.[8]

 

( Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui tentang langit-langit yang lain serta tidak bisa memperkirakan luas dan besarnya langit tersebut ). Tidak ragu lagi bahwa ini semua menunjukan akan kebesaran serta keagungan tanpa batas Tuhan. Tuhan yang dengan ucapan “kun” ( jadilah ), Dia menciptakan semua wujud – pada hakekatnya inilah kita yang berkata begitu sementara Tuhan tidak butuh untuk menyucapkan kata “kun”dan kehendakNya cukup untuk menciptakan seluruh wujud – memiliki kebesaran dan keagungan yang maha tidak terbatas dimana alam semesta tercipta dengan kehendakNya dan akan tetap ada karenaNya pula serta jika Dia tidak berkehendak maka semuanya akan musnah.

Maka ketika manusia dengan memperhatikan kebesaran ciptaan, sampai batas tertentu dia mengetahui kebesaran Tuhan sepantasnya ketika dia melakukan shalat hendaklah sadar di depan siapa dia sedang berdiri. Apakah pantas ketika berdiri di depanNya pikiran kita kepada roti, air, pakaian, rumah atau peralatan yang lain? Seberapa nilai seluruh wujud, manusia, bumi, lautan dan gunung-gunung dibandingkan dengan wujud Tuhan sehingga manusia mau melepaskan Tuhan demi mencari isi perut, pakaian, wanita, anak-anak atau dunia? Apakah manusia yang berakal akan berbuat demikian?.

Oleh karenanya salah satu perkara yang mengakibatkan munculnya kehadiran hati dalam diri manusia adalah hendaklah dia sebelum shalat untuk merenungkan keagungan Tuhan serta betul-betul menyadari di depan siapa dia berdiri atau hendaklah dia membaca doa-doa baik sebelum ataupun sesudah shalat. Ketika shalat hendaklah berusaha untuk memahami makna dari kelimat-kalimat yang diucapkannya, berpikir dan merenungkan semuanya seperti apa yang ditekan oleh Marhum Mirza Jawad Oqo Tabrizi dalam bukunya “Asrar Al-Shalat”. Jelas ketika seseorang hendak berkata, langkah pertama dia akan menggambarkan dalam benaknya makna-makna dari lafadz yang hendak diucapkan kemudian baru dia berucap, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan bagi kita untuk cepat-cepat melakukan shalat sehingga tidak ada kesempatan untuk memikirkan dan merenungkan makna-makna dari lafadz yang kita ucapkan.

Selayaknya manusia melakukan shalat dengan penuh konsentrasi dan jika sebelumnya dalam satu menit dia menyelesaikan satu raka’at hendaklah sekarang selesaikan dalam dua menit walaupun sebenarnya ini sangat sebentar bagi orang yang hendak pergi keharibaan ilahi. Lama kelamaan konsentrasi kepada makna-makna bacaan shalat akan menjadi ‘malakah’ baginya seperti hanya perhatian kepada lafadz shalat yang sudah menjadi ‘malakah’ baginya.

Imam Sajjad as. berkata:

“…dan ketika engkau menjalankan shalat, anggaplah bahwa ini adalah shalat terakhirmu!”.[9]

 

Ketika melakukan shalat kita tidak tahu apakah ini shalat terakhir bagi kita ataukah bukan, oleh karenanya Imam as. berkata hendaklah kita anggap bahwa ini adalah shalat terakhir bagi kita. Jika manusia mengetahui bahwa umurnya tidak tersisa kecuali sebanyak waktu dua raka’at shalat maka dia akan betul-betul mengkonsentrasikan dirinya dan berusaha untuk melakukan shalat sebaik mungkin dan sekhusu’ mungkin. Sementara ini kita tidak tahu kapan akan berakhir umur kita maka sebaiknya kita untuk selalu menganggap bahwa shalat yang kita lakukan adalah shalat terakhir. Anggapan ini akan membuat kita untuk selalu bertahan di hadapan syetan dan berusaha mengeluarkannya dari dalam diri kita serta betul-betul memanfaatkan kesempatan-kesempatan dan detik-detik dari shalat yang kita lakukan. Tidak diragukan bahwa keadaan seperti akan sangat berpengaruh kepada kita untuk bisa menghadirkan hati kita. Walau pun sebaiknya setelah selesai melakukan shalat manusia tidak lalai kepada Tuhan serta merasa diri tidak lagi berada dihadapan dan dilihat olehNya.

Apakah setelah beberapa tahun anda jauh dari teman dekat dan sekarang anda berhasil bertemu dengannya serta sangat menikmati pertemuan ini, akan tetapi setelah pertemuan tersebut anda langsung berdiri dan tanpa mengucapkan kata perpisahan pergi meninggalkannya begitu saja? Seseorang yang hanya sekedar mengucapkan “assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wa barokaatuh” dia langsung berdiri dan melanjutkan kembali pekerjaannya seolah-olah dia merasa diri terpenjarakan ketika bersama Tuhan dan menunggu waktu dan secepat mungkin untuk lepas dari penjara dan kurungan tersebut sehingga dirinya menjadi bebas?.

Seharusnya setelah melakukan shalat hendaklah kita membaca doa yang panjang baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain. Dalam sebuah riwayat Nabi saw. menukilkan bahwa Tuhan berfirman:

Barang siapa yang tertimpa hadas dan dia tidak melakukan wudlu sesungguhnya dia telah berpaling ( menjauh ) dariu, barang siapa yang terkena hadas lalu dia berwudlu akan tetapi tidak melakukan shalat dua raka’at sungguh dia telah berpaling dariku dan barang siapa yang terkena hadas lalu dia berwudlu setelah itu dia melakukan shalat dua rakaat dan berdoa, maka jika seandainya aku tidak menjawab permohonannya dariku tentang urusan agama dan dunianya sungguh aku telah menjauh darinya dan aku bukanlah tuhan yang menjauh (dari hambanya)”.[10]

 

Maka salah satu perkara yang menyebabkan perhatian kepada Tuhan dan menarik karuniaNya adalah kondisi yang selalu dalam keadaan wudlu. Terlebih lagi jika setelah melakukan wudhu dia menjalankan shalat dua raka’at lalu setelah itu dia berdoa dan memohon kepadaNya agar untuk beberapa saat dia bisa bersamaNya dan selalu mendapat taufik serta kebaikanNya.

Apakah untuk melakukan wudlu dan menjalankan dua raka’at shalat butuh waktu berapa lama? Serta apa susahnya untuk melakukan itu dimana Tuhan berfirman: jika doanya tidak aku kabulkan maka aku telah berbuat dhalim kepadanya, ini tidak lain kecuali karena karunia Tuhan dan jangan sampai dengan mudah karunia ini kita hilangkan.

Orang-orang yang selalu melakukan hal ini dan selalu dalam keadaan wudlu lalu setelah itu dia melakukan shalat dua raka’at dan diakhiri dengan berdoa, maka mereka telah mendapat banyak keuntungan karena pasti doa-doanya akan terkabulkan walaupun mungkin tidak secara langsung, karena hal itu sesuai dengan mashlahat yang ada di sisi Tuhan.

Kelanjutan dari hadits mi’raj tersebut, Tuhan berfirman:

dan aku heran dengan hamba yang memiliki kemampuan untuk bisa menyiapkan makanan hari ini akan tetapi dia hanya memikirkan untuk esok hari serta aku heran dengan hamba yang tidak tahu bahwa aku ridho atau kah marah kepadanya sementara dia tertawa”.


[1]Al-Taubah: ayat 54.

[2]Kondisi-kondisi seperti keheranan, takut, sedih dan sifat lain khusus bagi wujud material yang memiliki sifat materi. Tuhan terlindung dari keheranan karena seuatu atau sifat jiwa yang lain, ketika Dia menggunakan kata-kata tersebut, Dia ingin berbicara dengan bahasa kita.

[3]Jaami’ Ahadis Al-Syiah, jilid 4, hal. 6. Atau Al-Hikmah Al-Zaahirah, hal. 139.

[4]Kaafi, jilid 3, hal. 265.

[5]Shaad: ayat82.

[6]Wasaail Al-Syiah, jilid , hal. 7.

[7]Bihar Al-Anwar, jilid 60, hal. 83-85.

[8]Al-Fushilat: ayat 12.

[9]Bihar Al-Anwar, jilid 69, hal. 408.

[10]Bihar Al-Anwar, jilid 80, hal. 308.

23 Oktober 2012

hal jabariyah lahaulawalaku wata illa billah

oleh alifbraja

Untuk ubudiyahnya,  aku .. disandarkan kepada,  lahaulawalaku wata illa billah….(tiada daya dan upayaku…) bagi yang belum mentajalikan asma (belum mengenal nama ke-100) …  makanya  adab ibadah ubudiyahnya ada istigpar.. subhanallah 33x, alhamdulillah 33x, allahu akbar, 33x  berjumlah 99, dan tambah  lagi satu nama yang Asli (nama yang ke-100), nama yang Rahasia,, nama yang tidak dinyaringkan. 

Sedangkan, kesimpulan makrifat (yang sudah tahu nama yang ke-100) iaitu adalah perhimpunan kesempurnaan (dzat, sifat, asma dan afaal) pada  nama Rahasia itu.  Mustahil kenal pangkat (Tuhan) dan jabatan (Allah), tetapi tidak kenal nama Aslinya (Rahsianya) …..anak-anak  juga tau..

(Berkaitan pertanyaan ante itu) Betul masih jabariyah..ibarat sekolah tidak ada ijazah..apa lagi belum pernah digurukan..Firman Allah: Tuhan mengajarkan kalam dan apa yang kita tidak ketahui.

Jadi yang tidak diketahui disuruh cari (carilah nama Rahasia itu).

(Perhatian: Nama Rahasia adalah sama dengan Ismu al Adzim, nama Asli Dzat dan nama yang ke-100)

17 Oktober 2012

Manifestasi Makrifat

oleh alifbraja

Berbagai pilihan AMAL ADALAH KARENA BERBAGAI-BAGAI AHWAL (HAL-HAL)

 

Ini dalam membicarakan tentang makrifat tentang gambaran makrifat tetapi tidak dikatakan makrifat dan tidak diuraikan secara terus terang sebaliknya dikatakan sebagai ahwal. Ahwal adalah jamak untuk kata hal. Hikmat ini membawa arti hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau perilaku lahiriah dan hal adalah suasana atau perilaku hati. Amal terkait dengan “lahiriah” manakala hal terkait dengan “batiniah.” Karena hati menguasai sekalian anggota maka kelakuan hati yaitu hal menentukan bentuk amal yaitu perbuatan lahiriah.

Dalam pandangan tasawuf, hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Allah). Karena itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh makrifat. Ahli ilmu membangun makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasauf bermakrifat melalui pengalaman lansung tentang hakikat.

Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli spiritual terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka kegaiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk gaib seperti jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya setan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini. Kasyaf yang mengakui sesuatu, walau apa rupa yang dihadapi, penting bagi pengembara kerohanian. Rasulullah saw sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril as dalam rupanya yang asli dua kali saja, meskipun pada setiap kali Jibril as menemui Rasulullah saw dengan rupa yang berbeda, Rasulullah saw tetap mengenalinya sebagai Jibril as Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya setan yang menjelma dalam berbagai rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti rupa seorang yang tampak alim dan wara ‘.

 

AL-ALIM.

Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau zauk yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai hampir dengan pintu gerbangnya. Ketika sampai di situ seseorang hanya menanti karunia Allah, semata-mata karunia Allah yang membawa ma’rifat kepada hamba-hamba-Nya. Karunia Allah yang mengandung makrifat itu dinamakan hal. Allah memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat sesuatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahwa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi efeknya dapat dilihat pada tubuhnya yang menggigil sampai dia jatuh pingsan. Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau zauk atau merasakan keperkasaan Allah dan pengalaman ini dinamakan hakikat, yaitu hati mengalami hakikat keperkasaan Allah Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa. Jadi, pengalaman yang diperoleh dari zauk hakikat melahirkan pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan itu disebut makrifat. Orang yang terkait dikatakan bermakrifat terhadap keperkasaan Allah Jadi untuk mencapai makrifat seseorang itu haruslah mengalami hakikat. Inilah jenis makrifat yang tertinggi. Makrifat tanpa pengalaman hati adalah makrifat secara ilmu. Makrifat secara ilmu bisa didapat dengan belajar, sementara secara zauk tersedia tanpa belajar (laduni). Ahli tasawuf tidak berhenti sejauh makrifat secara ilmu malah mereka mempersiapkan hati mereka agar sesuai menerima kedatangan ma’rifat secara zauk.

Ada orang yang memperoleh hal sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam tempuh tertentu dan ada juga yang berkelanjutan di dalam hal. Hal yang berkelanjutan atau berkelanjutan dinamakan wisal yaitu penyerapan hal menerus, permanen atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang terkait. Hal-hal (ahwal) dan wisal bisa dibagi lima jenis:

1: Abid:

Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau zauk yang membuat dia merasakan secara bersangatan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, kemampuan, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang dari Allah Semuanya itu adalah karunia-Nya semata. Allah sebagai Pemilik yang sebenarnya, ketika Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali setiap waktu yang dikehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah sehingga jika dia melepaskan cadangan itu dia akan jatuh, tidak berdaya, tidak bisa bergerak, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah swt Hal atau suasana yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat beribadah, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak mengambil bagian dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah dan gemar sendirian. Dia merasakan apa saja yang selain Allah akan menjauhkan dirinya dari Allah

2: Asyikin:

Asyikin adalah orang yang mendapat asyik dengan sifat Keindahan Allah Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah di dalamnya. Amal atau perilaku asyikin adalah gemar merenung alam maya dan memuji Keindahan Allah pada apa yang disaksikannya. Dia bisa duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang terlihat adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan aturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini. Dia memiliki alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah

3: Muttakhaliq:

Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan berubah sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana qurbi Faraidh atau qurbi nawafil. Dalam qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengendalikan atau mempengaruhinya. Hal qurbi Faraidh adalah dia melihat bahwa Allah melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah, dan diamnya ini adalah gerakan Allah Orang ini tidak memiliki kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti kata dan perbuatan, terjadi secara spontan. Perilaku atau amal qurbi Faraidh adalah bercampur-campur antara logika dengan tidak logis, menurut adat dengan merombak adat, perilaku alim dengan jahil. Dalam banyak hal penjelasan yang bisa diberikannya adalah, “Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki “.

Dalam suasana qurbi nawafil, pula muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah yang menguasai bakat dan kemampuan pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal qurbi nawafil adalah berbuat dengan izin Allah karena Allah mengaruniakan kepadanya kemampuan untuk berbuat sesuatu. Contoh qurbi nawafil adalah perilaku Nabi Isa as yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah, juga perilaku beliau as menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa as melihat sifat-sifat Allah yang diizinkan menjadi bakat dan kemampuan beliau as, sebab itu beliau as tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah SWT

4: muwahhid:

Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid adalah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan sekalian maujud. Perilaku atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Ahmad, dan jika ditanya kepadanya di mana Ahmad, maka dia akan menjawab Ahmad tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke’Ahmad-an ‘dan benar-benar dikuasai oleh ke’Allah-an’. Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas dari beban hukum. Dia mungkin meneriakkan, “Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku! “Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh keberadaan ‘Aku Hakiki’. Akan tetapi sikap dan perilakunya dia tetap dalam ridha Allah Bila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi anggota syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal tidak bisa dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak bisa menahannya. Ahli hal karam dalam perbuatan Allah s.w.t. Kapan dia meneriakkan, “Akulah Allah!” Bukan berarti dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah Allah yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.

Berbeda pula kaum Mulhid. Si Mulhid tidak dikuasai oleh hal, tidak ada zauk, tetapi berkelakuan dan berbicara seperti orang yang di dalam zauk. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat bukan mengalami hakikat secara zauk. Si Mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata. Dia puas berbicara tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini berbicara sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesadaran kemanusiaan, masih gelojoh dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi sepakat mengatakan bahwa barangsiapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” Sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!

5: Mutahaqqiq:

Mutahaqqiq adalah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali ke kesadaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurus. Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak bisa dijadikan pemimpin. Dia harus turun ke kesadaran sifat barulah dia bisa memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang ditunjuk oleh Allah menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah Orang inilah yang menjadi anggota makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, anggota tarekat yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani tingkat tertinggi adalah para nabi-nabi dan Allah karuniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi ditunjuk sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.

Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeda, dengan itu akan mencetuskan kelakuan amal yang berbeda. Ahwal harus dipahami dengan sebenarnya oleh orang yang memasuki pelatihan tarekat spiritual, supaya dia mengetahui, dalam amal yang bagaimanakah dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan shalat, zikir atau puasa. Dia harus berpegang sungguh-sungguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia cepat dan selamat sampai ke puncak.

————————–

1: Penjelasan, memori, tarik dan keinginan terhadap benda-benda alam seperti harta, wanita, pangkat dan lain-lain.

2: Kehendak atau syahwat yang mengarahkan perhatian kepada apa yang diinginkan.

3: Kelalaian yang menutup ingatan terhadap Allah

4: Dosa yang tidak dicuci dengan taubat masih mengotori hati.

Diri manusia tersusun dari anasir

i.tanah,

ii.air,

iii.api dan

iv.angin.

Ia juga diresapi oleh unsur-unsur alam seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, setan dan malaikat. Setiap anasir dan unsur itu menarik hati kepada diri masing-masing. Tarik menarik itu akan menimbulkan kekacauan di dalam hati. Kekacauan itu pula menyebabkan hati menjadi keruh. Hati yang keruh tidak dapat menerima sinar nur yang melahirkan iman dan tauhid. Mengobati kekacauan hati adalah penting untuk membukakannya untuk menerima informasi dari alam malakut. Hati yang kacau itu bisa distabilkan dengan cara menundukkan semua anasir dan unsur tadi kepada syariat. Syariat menjadi tali yang dapat mengikat musuh-musuh yang mencoba menawan hati. Penting bagi seorang murid yang menjalani jalan spiritual menjadikan syariat sebagai payung yang mengharmoniskan perjalanan anasir-anasir dan daya-daya yang menyerap ke dalam diri agar cermin hatinya bebas dari gambar-gambar virtual. Bila cermin hati sudah bebas dari gambar-gambar dan atraksi tersebut, hati dapat menghadap ke Hadrat Ilahi.

Selain atraksi benda-benda alam, hati bisa juga tunduk kepada syahwat. Syahwat bukan saja rangsangan nafsu yang rendah. Semua bentuk kehendak diri sendiri yang berlawanan dengan kehendak Allah adalah syahwat. Kerja syahwat adalah mengajak manusia supaya lari dari hukum dan aturan Allah serta membangkang takdir Ilahi. Syahwat membuat manusia tidak reda dengan keputusan Allah Seseorang yang mau menuju Allah harus melepaskan dirinya dari belenggu syahwat dan keinginan diri sendiri, lalu masuk ke dalam benteng Aslim yaitu berserah diri kepada Allah dan reda dengan takdir-Nya.

Hal berikutnya yang yang dikatakan sebagai ilmu hikmatialah junubbatin tidak suci dan dilarang melakukan ibadah atau memasuki masjid. Orang yang berjunub batin pula tertegah dari memasuki Hadrat Ilahi. Orang yang di dalam junub batin yaitu default hati, posisinya seperti orang yang berjunub lahir, di mana amal ibadatnya tidak diterima. Allah mengancam untuk menjatuhkan orang yang shalat dengan default (dalam kondisi berjunub batin) ke dalam neraka wil. Begitu hebat sekali ancaman Allah kepada orang yang menghadap-Nya dengan hati yang lalai.

Mengapa begitu hebat sekali ancaman Allah kepada orang yang lalai? Bayangkan hati itu berupa dan berbentuk seperti rupa dan bentuk kita lahir. Hati yang khusyuk adalah umpama orang yang menghadap Allah dengan mukanya, duduk dengan tertib, berbicara dengan sopan santun dan tidak berani mengangkat kepala di hadapan Kaisar Yang Maha Agung. Hati yang lalai pula adalah umpama orang yang menghadap dengan belakangnya, duduk secara biadab, bertutur kata tidak tentu ujung pangkal dan perilakunya sangat tidak sopan. Perbuatan demikian adalah satu penghinaan terhadap martabat ketuhanan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Jika raja didunia murka dengan perbuatan demikian maka Raja kepada sekalian raja-raja lebih berhak melemparkan kemurkaan-Nya kepada hamba yang biadab itu dan layaklah jika si hamba yang demikian dicampakkan ke dalam neraka wil. Hanya hamba yang khusyuk, yang tahu bersopan santun di hadapan Tuhannya dan mengagungkan Tuhannya yang layak masuk ke Hadrat-Nya, sementara hamba yang lalai, tidak tahu bersopan santun tidak layak mendekati-Nya.

Yang ke empat adalah dosa-dosa yang belum ditebus dengan taubat. Ia mencegah seseorang dari memahami rahasia-rahasia yang halus-halus. Pintu ke Perbendaharaan Allah yang tersembunyi adalah taubat! Orang yang telah menyuci-bersihkan hatinya hanya mampu berdiri di luar pintu Rahasia Allah selagi dia belum bertaubat, samalah seperti orang yang mati syahid yang belum menjelaskan hutangnya terpaksa menunggu di luar surga. Jika dia mau masuk ke dalam Perbendaharaan Allah yang tersembunyi yang mengandung rahasia yang halus-halus wajib bertobat. Taubat itu sendiri merupakan rahasia yang halus. Orang yang tidak memahami rahasia taubat tidak akan mengerti mengapa Rasulullah yang tidak pernah melakukan dosa masih juga memohon ampunan sedangkan sekalipun beliau berdosa semuanya diampuni Allah Apakah Rasulullah saw tidak yakin bahwa Allah mengampuni semua dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan beliau (jika ada)?

Maksud taubat adalah kembali, yaitu kembali kepada Allah Orang yang melakukan dosa tercampak jauh dari Allah Meskipun orang ini sudah berhenti melakukan dosa malah dia sudah melakukan amal ibadat dengan banyaknya namun, tanpa taubat dia tetap tinggal berjauhan dari Allah Dia telah masuk ke dalam golongan hamba yang melakukan amal salih tetapi yang berjauhan bukan berdekatan dengan Allah Taubat yang lebih halus adalah pengayatan kalimat:

“Laa Hau la wala quwata illa billah.”

Tiada daya dan upaya melainkan anugerah Allah

“Inna Lillillahi wa-inna ilai-irajiun”

Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.

Segala sesuatu datangnya dari Allah, baik kehendak maupun perbuatan kita. Sumber yang mendatangkan segala sesuatu adalah Uluhiyah (Tuhan) dan yang menerimanya adalah ubudiyah (hamba). Apa saja yang dari Uluhiyah adalah sempurna dan apa saja yang terbit dari ubudiyah adalah tidak sempurna. Uluhiyah memberikan kesempurnaan tetapi ubudiyah tidak dapat melaksanakan kesempurnaan itu. Jadi, ubudiyah berkewajiban mengembalikan kesempurnaan itu kepada Uluhiyah dengan memohon ampunan dan bertobat sebagai menampung cacat. Segala urusan dikembalikan kepada Allah s.w.t. Semakin tinggi makrifat seseorang hamba semakin kuat ubudiyahnya dan semakin sering dia memohon ampunan dari Allah, mengembalikan setiap urusan kepada Allah, sumber datangnya segala urusan.

Bila hamba mengembalikan urusannya kepada Allah maka Allah sendiri yang akan mengajarkan Ilmu-Nya yang halus-halus agar kehendak hamba itu sesuai dengan Iradat Allah, kuasa hamba sesuai dengan Kudrat Allah, hidup hamba sesuai dengan Hayat Allah dan pengetahuan hamba sesuai dengan Ilmu Allah, dengan itu jadilah hamba mendengar karena Sama ‘Allah, melihat karena Basar Allah dan berkata-kata karena Kalam Allah Setelah semuanya berkumpul pada seorang hamba maka jadilah hamba itu Insan Sirullah (Rahasia Allah).

MAHA SUCI ALLAH YANG MENUTUPI RAHASIA KEISTIMEWAAN (PARA WALI) DENGAN diperlihatkan SIFAT KEMANUSIAAN BIASA bagi masyarakat dan TERNYATA KEBESARAN KETUHANAN ALLAH SWT DALAM memperlihatkan sifat kehambaan (PADA WALI-NYA). Orang yang jahil dan lemah imannya mudah terlintas sangkaan saat menghadapi kejadian yang luar biasa yang terzahir dari seseorang manusia. Nabi Ia as dilahirkan secara luar biasa, dan padanya terzahir mukjizat yang luar biasa, menyebabkan sekelompok manusia menganggap beliau as sebagai anak Tuhan. Uzair yang ditidurkan oleh Allah selama seratus tahun dan dijagakan di kalangan generasi yang sudah melupakan Taurat, lalu Uzair membacakan isi Taurat dengan lancar. Penonton pun menganggap Uzair sebagai luar biasa, lalu mengangkatnya sebagai anak Tuhan. Orang sering mengagungkan manusia yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Terkadang cara pengagungan itu sangat keterlaluan sehingga orang yang diagungkan itu didudukkan pada taraf yang melebihi standar manusia. Selain dianggap sebagai anak Tuhan, ada juga yang dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Timbul juga penabalan sebagai Imam Mahadi yang dijanjikan Tuhan. Efek pemujaan sesama manusia banyak terdapat di lembaran sejarah. Pemujaan yang demikian dianggap Allah sebagai menyembah makhluk. Hal ini terjadi karena salah menafsirkan kejadian luar biasa yang terzahir pada orang tersebut, meskipun mereka tidak meminta diagungkan. Hal luar biasa yang terjadi pada nabi-nabi disebut mukjizat dan yang terjadi pada wali-wali dinamakan keramat. Mukjizat menjadi bagian dari bukti atau argumen kepada publik tentang kebenaran kenabian. Fungsi utama mukjizat adalah memperkuat keyakinan publik kepada seseorang nabi itu. Sesuai dengan fungsinya mukjizat terjadi secara terbuka dan diketahui publik. Keramat pula merupakan karunia khusus kepada para wali. Tujuan utamanya adalah untuk menambahkan keyakinan wali itu sendiri. Tidak dimaksudkan untuk membuktikan posisi wali itu kepada orang banyak. Kekeramatan banyak terjadi pada zaman akhir ini, jarang terjadi pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat, sedangkan para sahabat beliau adalah aulia Allah yang agung. Sebagian dari mereka telah dinyatakan sebagai anggota surga ketika mereka masih hidup lagi. Mereka sudah memiliki iman yang sangat teguh, tidak perlu ke kekeramatan untuk menguatkannya. Jaminan surga yang diberikan oleh Rasulullah saw tidak membuat mereka mengurangi layanan bakti mereka kepada Allah Umat ​​yang terakhir ini tidak memiliki hati sebagaimana umat pada zaman Rasulullah saw Umat ​​zaman akhir ini membutuhkan kekeramatan sebagai penawar yang menguatkan hati mereka. Karena kekeramatan itu lebih berguna untuk diri sendiri, maka ia lebih banyak terjadi secara tersembunyi, hanya sejumlah kecil yang menyaksikannya atau kadang-kadang tidak ada yang melihatnya. Sifat kewalian ditampakkan kepada wali Allah itu sendiri sedangkan pada orang ditampakkan sifat manusia biasa, sehingga masyarakat tidak mengetahui posisinya yang sebenarnya. Dengan demikian seseorang wali Allah itu diberi layanan sebagai manusia biasa. Dia harus hidup dan mengelola kehidupan seperti orang. Perilakunya yang memakai kemanusiaan biasa menjadi contoh kepada masyarakat, bagaimana mau menjalani kehidupan di dunia dengan mentaati Allah Rasulullah menjalani kehidupan sebagai manusia biasa di mana beliau terpaksa mengikat perut dengan kain untuk menahan lapar, padahal dengan hanya berdoa kepada Allah beliau bisa menjadi kenyang tanpa makan. Para nabi dan para wali adalah manusia yang menjadi model untuk diikuti oleh orang banyak. Jika mereka hidup secara khusus seperti bergerak secepat kilat dan kenyang tanpa makan, sudah tentu tidak ada manusia yang dapat mengikuti mereka. Jadi ketika Allah memakaikan sifat kehambaan seperti orang kepada para nabi dan para wali-Nya itu adalah untuk kebaikan manusia umum. Orang bisa mengikuti contoh yang mudah dan tidak timbul pemujaan sesama manusia yang bisa membawa kepada syirik.

14 September 2012

Tasawuf » Makna Muraqabah (Keterjagaan) – Praktik sufi bag 5

oleh alifbraja

Keterjagaan dan keterasingan kita dari kehidupan dapat membuat pikiran kita kembali segar dan jernih

Praktik sufi yang sangat penting ialah keterjagaan. Kata Arabnya muraqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik muraqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan “pembukaan ” di dalam. Muraqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat) .Selama pengasingan, dan ketika “pembukaan ” yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan kulminasi, boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (makrifat) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.

Makna Pengasingan Diri (Khalwat)

Sering praktik khalwat dipadu dengan praktik spiritual lain yang ditetapkan selama empat puluh hari. Mengapa empat puluh hari? Dalam dunia alamiah, terdapat banyak hukum alam, sebagian di antaranya berjalan menurut siklus. Juga terdapat banyak hukum biologi, seperti hukum-hukum yang mengatur perkembangbiakan dan pemberian makanan, yang mengikuti suatu ritme tertentu dan siklus waktu. Dalam hal makanan rohani atau rehabilitasi. ada pula tempo dan frekuensi optimum.

Dalam tradisi praktik khalwat sufi sering kita dapati waktu pengasingan diri ditetapkan oleh guru rohani bagi muridnya, biasanya untuk jangka waktu empat puluh hari, atau sepuluh hari, atau tujuh atau tiga hari, dan sebagainya. Misalnya, untuk waktu khalwat selama bulan Ramadan, hendaknya seseorang menyendiri (berkhalwat) di mesjid sedikitnya selama tiga hari dan biasanya sepuluh hari..

Syekh sufi menyuruh seorang pencari untuk berkhalwat apabila tubuh, pikiran dan hatinya telah sepenuhnya siap untuk itu. Kata Arab untuk pengasingan diri ialah khalwah (khalwat) Begitu memasuki khalwat, tujuannya ialah-dengan cara dzikrullah dan berjaga- untuk meninggalkan semua pikiran, dan melalui pemusatan pikiran ke satu titik mengalami kasadaran yang murni. Selama khalwatnya seorang murid, makannya harus diatur dengan cermat oleh syekh. Demikian pula, keadaan mental, emosi, dan rohaninya diawasi. Pengasingan spiritual dan dzikrullah tidak akan bermanfaat apabila si pencari tidak siap meninggalkan semua aspek kemakhlukkan. Salah satu bentuk pengasingan spiritual disebut chilla yang artinya empat puluh, dan jangka waktunya empat puluh hari. Dikatakan bahwa bila seseorang telah siap untuk dikurung selama empat puluh hari, suatu terobosan atau pembukaan dapat tercapai lebih awal, sebelum genap empat puluh hari.

Jangka waktu khalwat yang disebutkan dalam Al- Qur’an sehubungan dengan Nabi Musa adalah suatu janji karena Allah selama empat puluh hari (Q.2:.251), dimulai tiga puluh hari lalu ditambah sepuluh hari (Q.7:142). Nabi Zakaria diperintahkan untuk tidak berbicara selama tiga hari (Q. 19:10). Nabi Muhammad ditanya, “Berapa hari seseorang harus bertaubat agar diampuni [yakni sadar akan hakikat] ?” Nabi menjawab, “Setahun sebelum mati sudah cukup.” Kemudian beliau segera berkata, “Setahun terlalu lama; sebulan sebelum mati cukuplah.” Kemudian beliau berkata, “Sebulan terlalu lama.” Kemudian beliau terus berkata semakin mengurangi jangka waktunya, sampai beliau berkata, “Langsung tobat, juga cukup.”

Praktik-praktik Sufi Lainnya

Karena macam praktik yang dapat dilakukan sangatlah banyak, contoh lainnya adalah yang tercantum disini.

Banyak syekh sufi dan orang suci telah mengajukan doa, wirid, dan bacaan-bacaan yang membantu si pencari untuk menyucikan dan mengangkat dirinya. Lingkaran dan pertemuan dzikrullah diselenggarakan untuk membantu menyucikan diri dengan jalan meninggalkan pikiran dan perhatian pada urusan duniawi. Banyak bantuan datang melalui konsentrasi pada bunyi khusus yang spesifik secara berulang-ulang. Energi yang memancar dari kehadiran banyak orang dalam suatu lingkaran dzikrullah menciptakan “pembukaan” ke “hati” dan menghasilkan rasa riang dalam diri para pencari. Masing-masing guru spiritual, sesuai dengan keadaan dan waktunya, telah menghasilkan berbagai obat untuk mengobati penyakit-penyakit hati.

Beberapa syekh telah mengetahui bahwa praktik hadhrah adalah metode yang bermanfaat untuk memungkinkan “pembukaan” ke “hati”. Kata Arab hadhrah biasanya didefinisikan sebagai “tarian sufi” dalam konsteks ini, tetapi secara harfiah hadhrah berarti kehadiran, karena orang yang melakukan hadhrah dengan benar terangkat kesadarannya akan kehadiran Allah yang senantiasa hadir dan senantiasa meliputi. Hadhrah, yang biasanya melibatkan seruan atas sifat-sifat Allah Yang Mahahidup ( al-Hayyu) , dapat dilakukan sambil berdiri, berirama dan bergoyang dalam kelompok- kelompok. Sebagian kelompok berdiri melingkar, sebagian berdiri dalam barisan, dan sebagian duduk berbaris atau melingkar, pria di satu kelompok, dan wanita di kelompok lain yang terpisah.

Sebagian sufi telah mengambil praktik-praktik dari Asia dan Afrika dan menginovasi berbagai cara dan sarana dalam menggunakannya sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Misalnya, beberapa sufi, terutama para anggota tarekat Naqsyabandiyah, menggunakan latihan pernapasan dan penarikan nafas panjang secara intensif, yang menambah aliran oksigen ke dalam peredaran darah. Praktik-praktik ini sangat menyerupai praktik yang dilakukan para yogi di India.

Sebagian dari praktik-praktik ini terbuka bagi umum, sedang yang lainnya banya dimaksudkan bagi para pemula dan para pencari yang dekat. Sering mereka me- ngeluarkan anak-anak dan orang-orang yang sangat muda. Praktisnya, dalam semua kasus, pria dan wanita dipisahkan, sehingga tak ada energi pengganggu yang menyebabkan penyimpangan perhatian.

Gerak berputarnya para darwis merupakan praktik aneh lainnya. Prinsip di balik gerakan ini ialah bahwa bentuk lahiriahlah yang dapat dibiarkan untuk berkelana dan berputar, sedang sentralitas batin dan perasaan yang mendalam tetap bening dan kokoh, persis seperti benar-benar beningnya inti sentral dari puncak yang sedang berputar. Gaya berputar dikuasai oleb Maulana Jalaluddin Rumi, yang biasa dilakukan sambil mengelilingi sebatang pohon. Efeknya ialah mencapai pemusatan ke satu titik dengan mempersatukan dua realitas yang saling berlawanan-berputar secara lahiriah, diam secara batiniah-dalam satu wujud. Selama berputar, perbatian barus diarahkan ke dalam menuju “hati”, dan sesuai dengan itu kepada Allah, karena apabila ia diarahkan keluar, orang yang berputar akan segera pusing. Berputar dapat menimbulkan keadaan asyik- masyuk apabila dilakukan di bawah pengawasan dan tuntunan yang benar dari syekh sufi.

Para anggota tarekat Rifa’iyah menunjukkan suatu fenomena fisik yang agak spektakuler dan aneh, yang tak mudah dijelaskan. Salah satu praktik itu ialah menusuk tubuh dengan pedang tanpa mengeluarkan darah, dan nampaknya tanpa rasa sakit, yang dilakukan sementara dalam keadaan fly. Persepsi dan pengalaman seseorang dalam suatu keadaan tertransformasi sangat berbeda dengan pengalaman dalam kesadaran normal.

Kebanyakan tarekat sufi mempraktikkan dzikrullah dengan berirama atau menyanyi, dengan sekali-sekali menggunakan instrumen musik, terutama genderang. Musik telah memasuki praktik tarekat sufi secarasangat terbatas, dan sering untuk jangka waktu sementara di bawah tuntunan seorang syekh sufi. Di anak-benua India, kaum sufi mendapatkan bahwa orang Hindu sangat menyukai musik, sehingga mereka pun menggunakan musik untuk membawa mereka ke jalan kesadaran-diri, dzikrullah dan kebebasan yang menggembirakan. Maka walaupun peralatan musik digunakan untuk maksud dan tujuan itu, namun pada umumnya mereka dianggap sebagai penghalang yang tak perlu. Kebanyakan bait- bait yang dinyanyikan adalah mengenai jalan rohani dan tak ada hubungannya dengan nyanyian biasa. Sering merupakan gambaran tentang bagaimana membebaskan diri dari belenggunya sendiri dan bagaimana agar terbangun.

Jadi, nyanyian dan tarian sufi merupakan bagian dari praktik menumpahkan kecemasan duniawi dan menimbulkan kepekaan dalam diri dengan cara sama , (mendengar). Dalam konteks sufi, sama’ ini artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan musik atau nyanyian yang dimaksudkan untuk peningkatan rohani dan penyucian-diri. Tidak ada arti lain yang dikandung semua praktik ini selain menimbulkan suatu keadaan netral dalam diri sendiri dan pembukaan hati. Dan, tidak dilakukan demi hiburan sebagaimana musik biasa yang ritmis dan menggairahkan secara fisik. Tarian itu adalah untuk Allah, bukan untuk orang lain. Sering kita dapati bahwa bilamana seorang syekh sufi sejati tidak hadir, musik dan nyanyian tak dapat dikendalikan lagi dan melenceng dari tujuan yang diniatkan. Musik adalah alat, dan bila dipegang oleh orang yang tahu bagaimana menggunakannya, akan bermanfaat untuk tujuan yang diniatkan. Apabila sebaliknya maka ia bisa lepas kendali dan menyebabkan kerusakan.

Pentingnya Waktu dan Tempat

Tempat dan waktu sangatlah berpengaruh bagi praktik sufi
karena perbedaan tempat dan waktu akan menentukan
kondisi setempat

Guru spiritual sangat mementingkan tempat dan waktu yang khusus untuk meditasi, doa, dan praktik- praktik spiritual lainnya. Ada tempat-tempat tertentu yang mempunyai sifat-sifat alamiah yang dipengaruhi, misalnya, oleh medan magnet listrik dan kedekatan kepada bukit-bukit granit, sungai, atau sumber air lainnya. Ada banyak tempat di muka bumi ini di mana orang merasakan adanya daya tarik untuk berada disana. Juga ada tempat-tempat yang berdaya tolak, seperti, misalnya, dekat jalur listrik tegangan tinggi, yang menghalau kebanyakan hewan yang dapat merasakan getaran buruknya sehingga menjauhi pencemaran semacam itu, tidak seperti kebanyakan manusia yang tidak sepeka hewan.

Jelaslah, setiap tempat mempunyai energi atau ekosistem tertentu. Ada tempat-tempat tertentu di muka bumi yang mempunyai konsentrasi energi yang tinggi, seperti Mekah, Madinah, Yerusalem, dan makam para nabi zaman dahulu serta para wali, para syekh dan pemimpin spiritual, ke mana orang tertarik secara konstan. Apabila seseorang mengunjungi tempat-tempat itu, ia merasa bahwa suatu peristiwa besar pernah terjadi di sana, dan perasaan ini sering membantu dalam menyembuhkan hati dan meninggikan tingkat spiritual seseorang. Tempat-tempat itu banyak membantu apabila seseorang dibimbing dan dipersiapkan untuk mengangkat keadaannya.

Komentar yang sama juga berlaku pada waktu. Ada suatu hubungan penting, walaupun tak kentara, antara waktu dan musim yang berubah-ubah, fase-fase bulan, fluktuasi suhu, dan kondisi-kondisi perubahan lain yang berkaitan dengan waktu. Tak diragukan bahwa ada tendensi dan kecenderungan dalam lingkungan kosmik berkenaan dengan energi positif dan negatif yang mempengaruhi iklim bumi secara fisik maupun spiritual pada waktu-waktu tertentu. Misalnya, tidak diketahui pada malam tertentu mana di bulan Ramadan terdapat lailatul qadr, tetapi menurut tradisi malam itu adalah tanggal 21 atau 23 atau 25 atau 27 atau 29 bulan Ramadan. Pada malam itu seakan-akan semua kekuatan kosmik yang sesuai terfokus bersama-sama dan diperbesar, dan seakan-akan tak ada katup spiritual di “langit” serta jauh lebih kondusif untuk duduk bermeditasi. Dzikrullah dan berjaga malam pada waktu seperti itu, di tempat seperti Mekah atau Madinah atau di makam seorang syekh sufi, lebih efektif daripada di waktu dan tempat lain

Maka pengetahuan tentang waktu dan tempat merupakan bantuan penting ketika mengikuti praktik- praktik spiritual. Misalnya, dikatakan bahwa sepertiga malam bagian akhir, sebelum fajar, adalah salah satu waktu terbaik untuk zikir kepada Allah dan berdoa, dan bahwa tempat yang terbaik untuk praktik-praktik semacam itu adalah tempat yang bersih dan bebas dari perbuatan batil. Namun, apabila seseorang telah bertekad dan terbimbing dengan baik maka tempat dan waktu kurang penting baginya. Ketika Imam Ali ditanya, “Hari apa saja dalam setahun yang buruk?” ia menjawab, ‘Janganlah menjadi musuh dari hari maka tak ada hari yang akan menjadi musuh Anda.” Dari puncak tinggi kedudukan spiritualnya, ia tidak membeda-bedakan atau melihat perbedaan antara hari baik dan hari buruk. la semata-mata hanya menyaksikan rahmat dan cinta Allah sepanjang waktu, di mana pun, walaupun ia berada dalam keadaan sedang ditetak oleh pedang pembunuh ketika sujud di hadapan Allah Yang Maha Esa, yang melampaui waktu dan tempat.

Imam yang sudah tercerahkan melihat seluruh kosmos dalam hatinya. la memandang hatinya sebagai rumah suci penyembahan kepada Allah di pusat kosmos. la melihat jejak-jejak Allah pada setiap waktu. Namun, bagi orang awam, dalam urusan spiritual, nampak seakan-akan Allah lebih hadir pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu ketimbang di waktu atau tempat lain.

Tujuan akhir dari semua praktik sufi yang sejati ialah menyadari hakikat-hakikat yang tak terbatas ketika hakikat terungkap dengan caranya sendiri yang alami di dalam setiap hati. Percikan-percikan cahaya yang memancar dari dalam tak terhitung banyaknya dan tak terbatas dalam kombinasi dan perubahannya, meliputi segala sifat, namun hakikatnya adalah satu. Sufi sejati tak akan berhenti sampai ia mapan dalam pengetahuan tentang hakikat, dan apabila ini terjadi, semua cahaya, manifestasi dan sifat-sifat mulia lainnya memudar dalam gemerlapnya cahaya kebangunan batin.

11 September 2012

Ma’rifat Hamba Allah (Tauhid)

oleh alifbraja

Allah berfirman,

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia (QS 2:163)”
“Tuhan kamu adalah Tuhan yang maha Esa (QS 16:22)”
“Katakanlah: Dialah Yang maha Esa (QS 112:1)”.
Itulah beberapa mutiara tauhid yang disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an
sebagai pentauhidan akan ke-Esa-an Diri-Nya. Maka secara harfiah, tauhid
adalah Mengesakan Tuhan.
Al Ghazali dalam kitab
Raudhah Al-Thalibin Wa Umdah Al-Salikin (16)

mengartikan
tauhid sebagai menyucikan
Al-Qidam
dari sifat
al-huduts
(baru), menjauhkannya
dari segala sesuatu yang baru, sehingga seseorang tidak kuasa melihat dirinya
bernilai lebih terhadap yang lainnya. Artinya, dirinya menjadi tiada atau fana.
Sebab bila dia melihat kepada dirinya sendiri atau orang lain disaat dia berada
dalam kondisi mentauhidkan Al-Haqq


, maka akan terjadi dualisme, dan itu berarti
tidak mengesakan terhadap Dzat-Nya yang
qadim
, yang memiliki sifat Esa dan
Tunggal (disinilah Iblis tertipu sehingga menolak perintah Allah). Keesaan
sebagai Yang Tunggal sebagai makna tauhid pada hakikatnya berkaitan erat
dengan pengenalan yang baru (semua makhluk) terhadap yang
qidam
. Maka
dalam siklus
makrifatullah
tak pernah berhenti, tauhid merupakan ujung dari
makrifat dari yang menyaksikan, ia dikatakan rahasia dan ruh dari makrifat.
Namun, tauhid juga merupakan awal dari
makrifatullah
, karena di ujung
perjalanan makrifat si pencari (salik) akan mengalami penyaksiannya di awal
mula sebelum ia menjadi dirinya (sebelum ruhnya ditiupkan ke dalam jasad) (QS
7:172).

Dengan demikian menjadi jelas bahwa ketika seseorang mencapai suatu
totalitas tauhid yang benar berupa penyaksian akan Allah sebagai Tuhan Yang
Esa, tidak ada pengakuan bahwa dirinya telah sampai, karena pengakuan akan
menyebabkan suatu bencana baik bagi dirinya yang diliputi kesombongan diri,
atau hanya sekedar ilusi yang menipu dirinya sendiri. Dalam banyak aspek,
pengungkapan makrifat dimungkinkan apa adanya, seperti Nabi Muhammad
SAW menceritakan Isra & Mi’rajnya, sebagai suatu
dzauqi
atau citarasa ruhaniah
penyaksian hakiki sehingga darinya akan muncul berbagai pengungkapan
lahiriah berupa puisi, prosa, dan bentuk-bentuk pengungkapan lainnya. Ada yang
boleh disiarkan sebagai suatu berita kenikmatan yang memang harus ditebarkan
sebagai sebuah rahmat, ada juga yang harus disembunyikan karena bisa
menimbulkan fitnah baik bagi dirinya, para munafik dan ateis, maupun orang
yang mengikutinya dengan kebodohan dan tanpa ilmu sehingga yang muncul
dari pengikut yang bodoh adalah pengakuan-pengakuan palsu.
6.10.1 Pengertian Tauhid
Menurut Al-Qusyairy an-Naisabury, “Risalatul Qusyairiyah”
[10]


, Tauhid adalah


suatu hukum bahwa sesungguhnya Allah SWT Maha Esa, dan mengetahui
bahwa sesuatu itu satu bisa dikatakan tauhid juga. Sehingga, menauhidkan
sesuatu yang satu merupakan bagian dari keimanan terhadap yang satu itu.
Makna eksistensi Allah SWT sebagai Yang Esa adalah suatu penyifatan yang
didasarkan ilmu pengetahuan. Dikatakannya bahwa Allah SWT adalah
Ketunggalan Dzat, sehingga “
Dia Adalah Dzat Yang tidak dibenarkan untuk
disifati dengan penempatan dan penghilangan.


” Selanjutnya banyak ahli hakikat


yang mengatakan bahwa Allah SWT itu Esa adalah penafian segala
pembagian terhadap dzat; penafian terhadap penyerupaan tentang Hak dan
Sifat-sifat-Nya, serta penafian adanya teman yang menyertai-Nya dalam Kreasi
dan Cipta-Nya.
Hujwiri dalam “Kasyf al-Mahjub”

dan Al Qusyairy

dalam kitab Risalahnya,
membagi pengertian tauhid menjadi tiga kategori yaitu :



Tauhid Allah SWT oleh Allah SWT, yaitu ilmu dan pengetahuan-Nya
bahwa sesungguhnya Dia adalah Esa.

Tauhid Allah SWT oleh makhluk, yaitu ketentuan-Nya bahwa makhluk
adalah yang menauhidkan dan menjadi ciptaan-Nya, atau disebut
tauhidnya hamba dan penegasan tauhid ada dalam hatinya.

Tauhid Allah SWT oleh manusia yaitu pengetahuan hamba bahwa Allah
SWT Yang maha Perkasa dan Agung adalah Maha Esa.
Pada tauhid yang pertama, maka ketauhidan-Nya hanya dapat terpahami oleh
ilmu dan pengetahuan-Nya, dimana Yang Memahami ketauhidan Allah oleh Allah
adalah Allah sendiri atau penetapan-Nya pada makhluk pilihan-Nya Sendiri.
Dalam hal ini yang mendapat kemuliaan itu adalah Nabi Muhammad SAW
dimana beliau dapat memperoleh kekuatan dan memperlihatkan eksistensi Allah
dari luar non-eksistensinya pada saat peristiwa Mi’raj. Sehingga, Yang Ada
adalah Allah semata. Dalam pengertian demikian, makhluk yang mengetahui
berdasarkan pengetahuan-Nya hanya mampu sekedar berkata bahwa “
aku
mengenal Allah dengan Allah
” dengan tabir sebagai suatu sifat
ar-Rububiyyah
.
Hakikatnya, seperti yang sering diungkapkan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabat tersebut adalah ujung dari
Ma’rifat al-Haqq
, dalam batas-batas yang
sangat dekat (
Qabaa Qausaini
atau lebih dekat lagi), tetapi bukan merupakan
Ma’rifat Dzat
Allah karena hanya Dialah yang dapat menauhidkan-Nya.
Meminjam istilah Ibnu Arabi, maka tauhid yang pertama bisa dikatakan sebagai
al-Hirah al-Ilahiyah
atau
Kebingungan Ilahiyah
yang dialami makhluk setelah
mencapai maqam tertinggi yaitu Mi’raj Nabi SAW. Dan hanya Nabi Muhammad
SAW lah yang berhak mengatakan dengan penyaksian utuh “
aku mengenal
Allah dengan Allah
”. Para sahabat, wali, dan kaum arifin sesudahnya berada di
bawah maqam nabi SAW tersebut, sehingga dalam sabdanya Nabi Muhammad
SAW berkata “
Saya bersama Allah dimana tidak seorangpun dari malaikat atau
nabi bisa berada bersama saya.
” Tauhid Allah oleh Allah karena itu dikatakan

Yang Ada hanyalah Dia
”. Dan bagi mereka yang mengikuti jejak Nabi

Muhammad SAW maka mereka mentauhidkan melalui dirinya karena tanpa “
Nur
Muhammad dan Muhammad SAW
” semua makhluk akan musnah. Secara
eksak, hal ini berarti bahwa tanpa “
Nur Muhammad dan Muhammad SAW

semua makhluk tidak pernah diciptakan oleh Allah SWT. Inilah makna awal dan
akhir dari esensi penciptaan melalui firman “Basmalah” dan “Kun” yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai “Yang Petama Kali”
diciptakan dan yang “Yang Paling Akhir” dimunculkan, yang “Lahir sebagai Nabi
Muhammad SAW hamba Allah” dan “Yang Batin sebagai Nur Muhammad”
(penyisipan kata sambung “dan” harus dipahami dengan logika kuantum yang
tidak terbedakan, Lihat juga QS al-Hadiiid ayat 3).
Pada tauhid yang kedua, maka Tauhid-Nya Allah oleh makhluk adalah suatu
penghambaan mutlak dari semua makhluk yang eksis setelah kehendak “
Kun Fa
Yakuun
”. Maka, pentauhidan yang muncul adalah suatu ketentuan baik yang
berupa penetapan-penetapan, sunnatullah yang pasti dan tidak pasti, puja-puji,
dan tasbih semua makhluk dari maujud yang paling elementer sampai maujud
yang nyata membangun relativitas dari yang baru (dari makhluk), dari
nanokosmos ke makrokosmos, dari
‘alam al-mulk
sampai
‘alam

al-jabarut
.
Penegasan tauhid yang terdapat dalam semua makhluk, karena itu adalah
penegasan dalam hati, sebagai suatu hakikat paling elementer dan halus bahwa
semua makhluk mengada semata-mata karena curahan rahmat dan kasih
sayang-Nya semata. Pada tauhid kedua ini, Abu Bakar As Shiddiq r.a.
mengatakan bahwa tauhid adalah perbuatan Ilahi dalam hati makhluk-Nya. Maka
dikatakan bahwa pentauhidan Allah SWT oleh makhluk adalah pentauhidan dari
ciptaan-Nya, atau yang diciptakan-Nya dengan kehendak firman “
kun fa yakuun
”.
Jadi tauhid kedua adalah tauhid semua alam semesta (al-Aalamin) beserta
semua isinya, yang memuja dan memuji hanya kepada Penciptanya, juga karena
Dialah Allah yang Maha Memelihara (QS 1:2), maka tiada Tuhan selain DiriNya.
Disini semua makhluk harus menauhidkan Allah SWT dengan secara total
menafikan eksistensi dirinya sendiri sebagai maujud, sehingga makhluk harus
mengatakan “
Tidak ada Tuhan Selain Allah (Laa ilaaha illaa Allaah)



Tauhid yang ketiga adalah Tauhid Allah oleh manusia melalui pengetahuan-Nya
yang dianugerahkan kepada manusia berupa akal pikiran dan kehendak bebas
untuk memilah dan memilih. Pentauhidan Allah SWT oleh manusia adalah
pentauhidan untuk makhluk yang menyaksikan pertamakali dan makhluk yang
disempurnakan sebagai Insan kamil. Maka, manusia yang menauhidkan Tuhan
sebagai Yang Esa adalah ia yang melakukan pencarian atau dianugerahi
makrifat pengenalan secara langsung. Pencarian adalah wasiat Allah yang
ditauhidkannya, maka ia yang mencari adalah ia yang akan berjalan dari awal
dan sampai ke awal kembali. Ia yang mampu memecahkan rahasia eksistensi
dirinya melalui dirinya sendiri untuk kemudian mengenal Dia yang
ditauhidkannya. Inilah tauhid yang identik dengan pengertian “
Man arofa
nafsahu, faqod arofa robbahu
”. Tauhid demikian adalah tauhidnya hamba Allah
yang mesti menegaskan ketauhidan Allah SWT melalui profil manusia yang
paling disempurnakan yaitu Nabi Muhammad SAW sebagai hamba Allah dan
Kekasih Allah. Maka tauhid manusia seperti ini adalah “
Tidak ada Tuhan Selain
Allah, dan Muhammad SAW adalah Utusan Allah (Laa ilaaha illaa Allaah,
Muhammadurrasulullah)”
Dan dengan demikian, bagi manusia dan semua
makhluk-Nya maka tauhid ketiga adalah tauhid Yang Awal dan juga tauhid Yang
Akhir (QS 57:3), yang merupakan rahmat bagi seluruh alam. Tanpa melalui
penauhidan ketiga ini, maka tauhid manusia (dan jin) menjadi tidak sempurna.
Kendati seseorang dapat memulai dari ketauhidan kedua, yakni Tauhid Allah
oleh makhluk sebagai makhluk elementer, namun tauhid kedua adalah tauhid
bagi makhluk non sintesis yang berjalan dengan berjalannya sang waktu sebagai
suatu
qadā
. Maka ia yang tidak memulai dari tauhid ketiga hanya mendapat
sekedar pengampunan, karena Tauhid kedua adalah tauhidnya manusia pertama
yaitu Nabi Adam a.s. Dan pengampunan, seperti halnya ampunan yang
dianugerahkan kepada Adam dan Hawa sebagai suatu hidayah untuk mereka
dan anak cucunya, tidak lebih dari awal mula perjalanan makrifat manusia, yaitu
awal mula dari manusia pertama menyadari kesadaran diri yang teosentris
bahwa ada Tuhan Yang Esa. Rasululllah SAW bersabda :

“Ada seseorang dari generasi sebelum zaman kamu sekalian yang sama sekali
tidak pernah beramal baik kecuali bahwa ia bertauhid saja. Orang itu berwasiat
kepada keluarganya,’Bila aku mati, bakarlah aku dan hancurkan diriku,
kemudian taburkan separuh tubuhku di darat dan separuhnya di laut pada saat
angin kencang.’ Keluarganya pun melakukan wasiatnya itu. Kemudian Allah
SWT berfirman kepada angin,’Kemarikan apa yang kamu ambil.’ Tiba-tiba orang
tersebut sudah berada disisi-Nya. Kemudian Allah SWT bertanya kepada orang
tersebut,’Apa yang membebanimu sehingga kamu berbuat begitu?’ Dia
menjawab,’Karena malu pada-Mu.’ Kemudian Allah SWT mengampuninya.” (HR Bukhari)


Tauhid ketiga sebenarnya ekor yang memutar kearah kepala, jadi tauhid ketiga
yaitu Tauhid Allah oleh manusia adalah suatu kewajiban bagi semua manusia
dan jin, suatu lingkaran perjalanan yang menutup dimana awal dan akhir
bertemu, yaitu tauhid Allah oleh Allah dan tauhid Allah oleh manusia yang
menyambung tanpa kelim (tanpa kelihatan sambungannya, tetapi tahu bahwa
disitulah sambungannya, seperti pita mobius yang memelintir saling memunggungi),

atau katakanlah suatu sambungan yang saling memunggungi.
Maka menjadi jelas bahwa dalam tauhid ketiga, antara manusia yang
menauhidkan dan Allah yang ditauhidkan saling memunggungi, dan diantara
keduanya adalah alam semesta sebagai wadah pembelajaran bagi makhluk
yang disempurnakan yaitu manusia sebagai hamba Allah





“Kesejatian Diri” dua kata yang seringkali membuat orang kurang paham dengan kata-kata itu, siapa, mengapa dan bagaimana sesungguhnya dirinya. Dalam Proses pencarian siapa diri kita ini meski terlihat sederhana, ternya dibutuhkan bermacam perjuangan dan ujian sampai kita benar-benar tahu dan mengerti apa dan bagaimana diri kita sesungguhnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita dihadapkan pada sesuatu yang kurang nyaman menurut kita, oleh karena keterbatasan kuasa serta keterbatasan posisi kita, akhirnya kita menuruti apa yang sebenarnya ada penolakan pada diri kita. Mengikuti atau menuruti sesuatu hal yang bertentangan pada diri kita adalah suatu ujian yang berat, karena disini kita akan menjadi sosok yang bermuka dua.
Dari kejadian diatas, satu bisa kita tarik hikmahnya dan bisa sbagai perbendaharaan dalam tahap mencari Kesejatian diri, bahwa sebenarnya diri kita tidak seperti yang kita lakukan tadi. Dari berbagai macam aktivitas yang ada penolakan pada diri kita, itulah yang sesungguhnya dapat membangun dan menemukan siapa dan bagaimana diri kita. Berjalannya waktu, lambat laun proses pencarian “Kesejatian Diri” akan kita temukan…

1 September 2012

belajar Islam secara keseluruhan

oleh alifbraja

Tingkatan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat
itu adalah idiom-idiom yang biasa digunakan kalangan tasawwuf atau ahli tarekat.
Apa yang mereka ajarakan itu sebagiannya ada yang benar, namun tidak ada jaminan
semuanya benar.

Sebab kalangan ahli taawwuf dan tarikat itu sendiri
ada banyak ragamnya. Dari yang paling bersih hingga yang paling kotor. Paling
bersih maksudnya adalah bersih dari beragam bentuk bid’ah dan syirik. Di mana
semua yang diajarkannya selalu dilandaskan kepada riwayat dan sunnah-sunnah
Rasulullah SAW dan masih konsekuen dengan hukum-hukum syariah.

Namun tidak sedikit di antaranya yang justru sudah
menginjak-injak syariah itu sendiri serta sulit menghindarkan diri dari khurafat,
bid’ah dan fenomena syirik. Bahkan boleh dibilang sudah keluar dari syariah
Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama. Sehingga idiom syariah, tarekah,
makrifat dan hakikat itu hanya sekedar pemanis di bibir. Namun pada hakikatnya
tidak lain merupakan sebuah pengingkaran terhadap syariah serta merupakan
penyimpangan dari manhaj salafus shalih.

Kalau syariah diletakkan paling rendah, akan muncul
kesan bahwa demi kepentingan tarekah, makrifat dan hakikat, syariah bisa
dikesampingkan. Dan paham seperti ini berbahaya bahkan sesungguhnya merupakan
bentuk pengingkaran terhadap agama Islam.

Jangan sampai ada anggapan bahwa bila orang sudah
mencapai derajat makrifat apalagi hakikat, lalu dia bebas boleh tidak shalat,
tidak puasa atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat itu sendiri.
Kalau ajaran yang Anda tanyakan itu cenderung berpikiran seperti itu, ketahuliah
anda telah salah dalam memilih ulama. Kalau makrifat dan hakikat boleh menyalahi
syariah, maka ulama yang Anda sebut itu tidak lain adalah syetan yang datang
merusak ajaran Islam.

Sebab Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan
makrifat dan hakikat, beliau hanya meninggalkan Al-Quran dan Sunnah sebagai
pedoman dalam menjalankan syariah. Dan tidaklah seseorang bisa mencapai derajat
makrifah dan hakikah, manakala dia meninggalkan syariah.

Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alakum
warahmatullahi wabarakatuh

25 Agustus 2012

Mengenal Sifat Lahirah Batiniah

oleh alifbraja

HAWA NAFSU berasal dan napas api neraka. Ketika napas itu berembus dari api, syahwat terbawa ke pintu neraka tempat perhiasan dan kesenangan berada, lalu ia mendatangi nafsu.

Ketika nafsu mendapatkan kesenangan dan perhiasan, ia bergolak akibat kesenangan dan perhiasan yang diletakkan di sisinya dalam wadah itu, dan ia berupa angin panas. Ia lalu mengalir dalam urat-urat, sehingga semua saluran darah terisi olehnya dalam waktu lebih cepat daripada kedipan mata.

Saluran darah mengaliri seluruh tubuh dan kepala hingga kaki. Jika angin itu sudah berembus di dalamnya, lalu jiwa manusia merasakan embusannya dalam tubuh, kemudian ia merasa nikmat dan senang dengannya, itulah yang disebut dengan syahwat dan kenikmatannya.

Apabila nafsu serta syahwat berikut kenikmatannya sudah menempati seluruh tubuh, syahwat menyerang hati. Apabila syahwat sudah demikian hebat, ia menguasai hati, sehingga hati tertawan, yakni takluk kepada syahwat. Selanjutnya, syahwat dapat memainkannya. Kekuatan hawa nafsu dan syahwat ada bersama jiwa dan bertempat dalam perut, sedangkan kekuatan makrifat, akal, ilmu, pemahaman, hafalan, dan pikiran berada di dada. Makrifat ditempatkan di kalbu, pemahaman di fu’ad, serta akal di pikiran, dan hafalan menyertainya.

Syahwat diberi sebuah pintu yang menghubungkan tempatnya ke dada, sehingga asap syahwat yang bersumber dari hawa nafsu bergolak sampai ke dada. Ia menyelubungi fu’ad dan kedua mata fu’ad berada dalam asap itu. Asap tersebut adalah kebodohan. Ia menghalangi mata fu’ad untuk melihat cahaya akal yang dipersiapkan baginya.

Demikian pula amarah ketika bergolak. Ia seperti awan yang menutupi mata fu’ad, sehingga akal pun tertutup. Akal bertempat di otak dan cahayanya memancar ke dada. Ketika awan amarah keluar dari rongga ke dada, ia memenuhi dada dan menyelubungi mata fu’ad.

Karena cahaya akal terhalang, sementara awan menutupi fu’ad, fu’ad orang kafir berada dalam gelapnya kekafiran. Itulah tutup yang Allah sebutkan dalam Al-Quran:

Mereka berkata, “Hati kami tertutup.” (QS Al-Baqarah : 2)
Tetapi, hati orang-orang kafir dalam kesesatan terhadap hal ini. (QS Al-Mu’minun : 63)

Adapun fu’ad mukmin berada dalam asap syahwat dan awan kesombongan. Inilah yang disebut kelalaian.

Dari kesombongan itulah amarah berasal. Kesombongan bertempat dalam jiwa. Ketika jiwa manusia menyadari penciptaan Allah atasnya, kesombongan berada di dalamnya. Inilah sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Allah Swt. memilih dan memuliakan manusia yang bertauhid. Dan setiap seribu orang, satu orang dipilih, sementara sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya tidak dipedulikan. Dia hanya memerhatikan satu dari setiap seribu manusia. Dia mendistribusikan bagian pada Hari Penetapan dan menolak orang yang Dia abaikan, sehingga mereka tidak mendapat bagian.

Ketika mengeluarkan keturunan \[manusia] lewat sulbi, Dia menjadikan mereka berbicara, Manusia yang diperhatikan Allah mengakui-Nya secara sukarela saat Allah berfirman, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (QS Al-A’raf:172). Orang yang tidak mendapat bagian dan tidak mendapat perhatian Allah menjawab, “Ya, Engkau Tuhan kami” dengan terpaksa.

Itulah makna firman Allah Swt.: “Seluruh yang terdapat di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya baik dengan sukarela maupun terpaksa.” (QS Al-Imran:83)

Dia menjadikan mereka dalam dua kelompok: kelompok kanan dan kelompok kiri.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Sebagian mereka berada di surga dan Aku tidak peduli; Aku tidak peduli ampunan-Ku tercurah kepada mereka. Sebagian lagi berada di neraka dan Aku pun tidak peduli; Aku tidak peduli ke mana kembalinya mereka.”

Dia lalu mengembalikan mereka ke sulbi Nabi Adam as. Dia mengeluarkan mereka pada hari-hari dunia untuk (memberi mereka kesempatan) melakukan amal dan menegakkan hujah. Manusia yang telah dipilih dan dimuliakan Allah, kalbunya dicelup dalam air kasih sayang-Nya sampai bersih. Allah Swt. berfirman, “Itulah celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?!” (QS Al-Baqarah:138)

Dia kemudian menghidupkannya dengan cahaya kehidupan setelah sebelumnya ia hanya berupa seonggok daging.

Ketika dihidupkan dengan cahaya kehidupan, ia pun bergerak dan membuka kedua mata di atas fu’dd. Ia lalu diberi-Nya petunjuk dengan cahaya-Nya yang tidak lain adalah cahaya tauhid dan cahaya akal. Ketika cahaya itu menetap di dadanya serta fu’ad dan kalbu merasa teguh dengannya, Ia pun mengenal Tuhan. Itulah maksud firman Allah Swt.: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Dia kami hidupkan …“ (QS Al-Baqarah:138). Yaitu, dihidupkan dengan cahaya kehidupan.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Lalu, Kami berikan untuknya cahaya yang dengan itu ia berjalan di tengah-tengah man usia.” (QS Al-An’am : 122) Yakni, cahaya tauhid.

Dengan cahaya itu, kalbunya menghadapkannya kepada Allah, sehingga jiwa menjadi tenteram dan mengakui bahwa tiada Tuhan selain Dia. Ketika itulah lisan mengungkapkan ketenteraman jiwanya dan kesesuaiannya dengan kalbu berupa ucapan: “laa ilaaha illaa Allah (tiada Tuhan selain Allah).” Itulah makna firman Allah Swt.: “Tidaklah jiwa seseorang beriman kecuali dengan izin Allah” Yunuus dan firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenteram.” (QS Al-Fajr : 27)

Kala jiwa sudah merasa tenteram saat melihat perhiasan karena akal menghiasi mata fu’ad dengan tauhid, saat melihatnya itu jiwa merasakan kenikmatan cinta Allah yang meresap dalam kalbu bersama cahaya tauhid. Saat melihat perhiasan, ia merasakan kenikmatan cinta dalam cahaya tauhid. Ketika itulah jiwa menjadi tenang dan senang kepada tauhid. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Firman-Nya, menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman indah dalam kalbu kalian.”135

Kala jiwa mendapatkan perhiasan itu, ia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Ketika seorang mukmin berbuat dosa, Ìa melakukan itu dengan syahwat dan nafsunya, padahal ia membenci kefasikan dan kekufuran. Karena benci, ia berbuat fasik dan bermaksiat dalam kondisi lalai. Ia sebenarnya tidak bermaksud kepada kefasikan dan kemaksiatan seperti halnya iblis.

Kebencian itu tertanam dalam jiwa, namun syahwat menguasai jiwa. Kebencian itu ada, karena tauhid terdapat dalam dirinya. Hanya saja, kalbu dikalahkan oleh sesuatu yang merasukinya, akal terhijab, dada dipenuhi asap syahwat, dan nafsu menguasai kalbu.

Ini terjadi lantaran akal kalah, makrifat tersudut, dan pikiran buntu, sementara hafalan dan akal terkurung dalam otak. Jiwa melakukan dosa karena kekuatan syahwat, sementara musuh menghiasi, membangkitkan angan, mengiming-imingi ampunan, serta mempertunjukkan tobat, sehingga hati berani berbuat dosa.

23 Agustus 2012

Islam dan Mistik Jawa

oleh alifbraja

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.

Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi): 1) Seh Sumah, 2) She Ngusman Najid, 3) Seh Suman sendiri, 4) Seh Bukti Jalal, 5) Seh Brahmana dan 6) Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar masalah kejawen dari IAIN Sunan Klaijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Dunia Penciptaan.

Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begita saja. Misalnya, dalam disertai Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi Islam Sufistik : “Islam Pertama” dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia (Mizan, 2001).

Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan oleh Dr. Simuh.

Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Seluk Saloka Jiwa dan Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula.

Namun, yang pokok, antara apa yang diungkapan oleh Dr. Simuh dengan Dr. Alwi Shihab tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Dr. Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, penjulukannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya-karya Ranggawarsita menjadi rujukan utama untuk kebatinan Jawa.

Serat Soluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sanggkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah : * al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air. * Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk.

Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawwmah) yang memancarkan : 1) warna hitam; 2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah; 3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan 4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.

Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kejawen yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Namun demikian, konsep tentang nafsu-nafsu itu kemudian berkembang dikalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan penganut kebatinan Jawa nonmuslim.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya “di-ilhami” oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma’inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs(nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah(Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan “Kesehatan Lahir dan Batin” bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut 4 (empat) macam tingkatan nafsu manusia: 1. ammarah(egosentros) , 2. supiyah(eros) , 3. lawwamah(polemos) , dan 4. muthmainah(religios ).

Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?

· Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa?

· Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa?

· Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi  budaya  untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini?

Pertanyaan-pertanya an ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang. Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipanpupuh berikut ini: Yata wahu / Seh Suman sareng angrungu / pandikanira / sang panditha Ngusman Najid / langkung suka ngandika jroning wardoyo // Sang Awiku / nyata pandhita linuhung / wulange tan siwah / lan kawruhing jawata di / pang-gelare pangukute tan pra beda // .

Artinya: Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan. Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran “agama ganda” bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, “Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam” (Simuh; 1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan- kepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri- priayi-abangan- Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain.

Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. “Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan… sangat sepele,” demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis:

“Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik.” (ibid: 4-5). Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.

Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan “menyeleweng” dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi” . Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme”.. ..

Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake… Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah “disubversi” sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis

Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan “kita” versus “mereka”, dan karena itu “Jawa” dan “Islam” berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir “mitis” ke pola berpikir “epistemologis.

Transformasi berpikir “mitis” ke “epistemologis” adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang “tidak berjarak” dengan alam menuju cara berpikir yang “mengambil jarak” dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir “mitis”, manusia berada “dalam penguasaan” alam.

Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.

9 Agustus 2012

Al Muntahi (bag. 14)

oleh alifbraja

28.      Inilah ertinya:  Yang fakir itu tiada suatu pun baginya. Maka firman Allah dalam Hadis Qudsi:

Tidur fakir itu tidurKu, Makan fakir itu makanKu, Dan minum fakir itu minumKu.

Dan lagi firman Allah: Manusia itu adalah RahsiaKu dan Aku Rahsianya dan Sifatnya.

Berkata pula Uways Al Qarani: Yang fakir itu hidup dengan hidup Allah, dan sukanya denganKesukaan Allah.

Seperti kata Mashaikh: Barangsiapa yang mengenal Allah maka ia akan menyengutukannya, dan barangsiapa mengenal dirinya maka ia itu kafir.

Seperti kata Syeikh Muhyil Din Ibnu Arabi:

Yang makrifat itu dinding bagiNya, Bermula jikalau tiada wujud kedua (alam) nescaya nyatalah AdaNya.

29.      Kerana belajar dan makrifat, rindu dan merindu, sekeliannya itu, pada iktibarnya adalah sifat hamba juga, jikalau sekelian itu tiadalah padanya, maka lenyaplah ia. Kerana dzatnya dan sifatnya nisbat kepada Allah SWT jua, jikalau barangkala tiada ia, maka sifat hamba, seperti sifat ombak, pulang ke laut (Dzat).

Inilah makna Firman Allah QS  Fajr 89:28: Pulang kepada Tuhannya dengan reda dan diredai.  Dan makna QS Al Baqarah 2:156: Daripada Allah kami datang dan kepada Allah kami kembali.

Dan Firman Allah: QS Al Qashash 28:88: Tiap-tiap sesuatu binasa kecuali wajah Allah. Dan juga Firman Allah QS Ar Rahman 55:26,27: Segala sesuatu akan fana, dan yang kekal Dzat Tuhanmu yang empunya Kebesaran dan Kemuliaan.