Posts tagged ‘Religion and Spirituality’

23 April 2013

kisah tentang dicabutnya panah dari kaki Imam Ali As pada waktu salat itu

oleh alifbraja

Kisah ini banyak disebutkan dan dinukil pada literatur hadis dengan nukilan dan kutipan yang beragam. Meski literatur-literatur dan buku-buku yang mengutip kisah ini tidak termasuk sebagai literatur dan buku derajat pertama, namun perlu diingat bahwa pertama, kisah ini disebutkan dalam beragam literatur, baik literatur Syiah atau pun Sunni; seperti Irsyâd al-Qulûb Dailâmi, al-Anwâr al-Nu’mâniyah, al-Manâqib al-Murtadhawiyah, Hilyat al-Abrâr, Muntahâ al-Âmal, al-Mahajjat al-Baidhâ demikian juga pada buku-buku fikih seperti al-Urwat al-Wutsqâ.[1]

Kedua, para penyusun buku dan periwayat kisah ini adalah ulama popular dan telah dikenal. Ketiga, kandungan kisah ini tidak bertentangan dengan akal dan riwayat, bahkan akal dan riwayat justru mendukung kemungkinan terjadinya peristiwa seperti ini; karena itu, menurut hemat kami, tidak ada masalah menjelaskan inti peristiwa ini berdasarkan kriteria-kriteria dan standar-standar ilmiah riwayat.

Dalam menjelaskan pandangan rasional masalah ini terdapat dua dalil yang dapat disebutkan:

1.    Di antara tipologi dan karakter penting Ali bin Abi Thalib As adalah gemar dan cinta pada ibadah sedemikian sehingga Ibnu Abi al-Hadid Mu’tazili dalam Syarh Nahj al-Balâghah menulis, “Baginda Ali adalah orang yang paling abid dalam urusan ibadah; salat dan puasanya lebih banyak dari kebanyakan orang. Orang-orang belajar darinya salat malam dan dzikir-dzikir serta amalan-amalan mustahab.”[2]

Imam Ali As sedemikian khusyu dalam ibadah dan perhatiannya tercurah sepenuhnya pada Allah Swt sehingga untuk mengeluarkan anak panah yang menghujam di kakinya pada perang Shiffin dan tidak mampu dicabut dari kakinya dalam kondisi normal, maka pada waktu salat, dalam kondisi sujud anak panah itu dicabut dari kakinya. Tatkala Imam Ali As usai menunaikan salat, beliau sadar bahwa anak panah telah dicabut dari kakinya. Beliau bersumpah bahwa ia tidak merasakan bagaimana anak panah itu dicabut;[3] Mengingat bahwa salat adalah tiang agama, pilar mikraj dan munajat maka orang yang mengerjakan salat sejatinya berada dalam kondisi ‘uruj (melesak) menuju Allah Swt dan berbisik-bisik dengan-Nya. Karena itu, mata, telinga, tangan dan kaki seluruhnya dalam kekuasaan Allah Swt dan tidak berada dalam kekuasaan orang yang mengerjakan salat.

Di samping itu, iman Ali bin Abi Thalib adalah iman yang berdasarkan pada pengenalan hakiki dan memandang ibadah kepada Tuhan sebagai ziarahnya demikian juga salat sebagai bukti-bukti Ilahi dan ziarah kepada Tuhan. Imam Ali Abin Thalib memandang Tuhan sebagai kieindahan mutlak. Karena itu, tentu saja beliau tidak lagi melihat dirinya. Imam Ali As menyembah Tuhan dalam kondisi merdeka dan terlepas dari segala bentuk keterikatan dan ketergantungan pada selain-Nya.[4]

2.    Pelbagai kondisi para nabi, para imam dan para wali Allah dalam salat tidak semuanya harus sama. Terkadang dengan menjaga kehadiran hati (hudhur al-qalb), mereka juga tetap menaruh perhatian terhadap alam majemuk (dunia) dan pelbagai manifestasi material. Mereka tidak melalaikan hal ini. Apabila terjadi sebuah masalah, mereka menunjukkan reaksi apabila diperlukan. Dan terkadang mereka tenggelam dalam samudera alam malakut dan tidak melihat segala sesuatu selain Zat Suci Allah Swt. Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Bahkan mereka sama sekali melupakan badannya sendiri sehingga seolah-olah panca indra mereka tidak lagi berfungsi tatkala tersedot magnet cinta dan irfan Rabbani. Mereka tidak merasakan segala sesuatu yang berhubungan dengan badan. Ditariknya anak panah yang menancap di kaki Imam Ali As pada waktu salat dalam kondisi sujud juga demikian adanya.[5]

Karena itu, dengan memperhatikan nukilan dan riwayat yang beragam dalam masalah ini yang sebagian secara lahir terasa aroma ghuluw (kecendrungan mendudukan Imam Ali pada maqam rububiyah) namun hal itu tidak akan menciderai inti kejadian kisah ini. Dan nampaknya inti cerita adalah yang disebutkan pada buku Syarh Nahj al-Balâghah dan Hayât-e Ârifân-e Imam Ali As sebagaimana yang telah kami jelaskan pada penjelasan bagian pertama di atas.

Kisah ini, tidak hanya tidak akan mendegradasi kedudukan dan derajat Imam Ali As bahkan akan menyebabkan pemuliaan dan pengagungan terhadap Imam Ali As; karena sebagaimana para wanita Mesir yang terpesona dan fana ketika menyaksikan paras rupawan Nabi Yusuf As sehingga tanpa sadar mereka memotong jari-jari mereka sendiri, kisah Imam Ali As juga demikian adanya. Karena Imam Ali As hanya melihat keindahan mutlak, sedemikian apa adanya sehingga seluruh anggota badannya tidak dirasakan dan sepenuhnya berada dalam wewenang Ilahi. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali tidak lagi melihat dirinya dan menaruh perhatian terhadap kemilau dunia. Dengan demikian, wajar ketika anak panah itu dicabut dari kaki Imam Ali dalam kondisi sujud, Imam Ali As tidak merasakan apa pun.

 


[1]. Dailami, Irsyâd al-Qulûb, jil. 2, hal. 25 & 26, Intisyarat-e Nashir, Qum, Cetakan Pertama, 1376 S. Sayid Ni’matullah Jazairi, al-Anwâr al-Nu’maniyah, jil. 2, hal. 371, Syerkat Cap Tabriz; Muhammad Saleh Kasyfi Hanafi, al-Manâqib al-Murtadhawiyah, hal. 364. Sayid Hasyim Bahrani, Hilyat al-Abrâr, jil. 2, hal. 180; Syaikh Abbas Qummi, Muntahâ al-Âmal, hal. 181, Capkhane Ahmadi, Cetakan Kesembilan, 1377; Faidh Kasyani, al-Mahajjat al-Baidhâ, jil. 1, hal. 397 & 398, Beirut; Anwâr al-Nu’mâniyah, hal. 342. Demikian juga buku-buku fikih seperti al-Urwat al-Wutsqâ, Muhammad Kazhim Yazdi, Ibadat, Bab al-Shalat.

[2]. Abdul Hamid ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hal. 27, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah.

[3]. Habibullah Khui, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 8, hal. 152; Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘Ârifân-e Imâm Ali As, hal. 63 & 64. Markaz Intisyarat-e Isra, Cetakan Keempat, 1385; referensi-referensi yang disebutkan pada catatan kaki No. 1.

[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘Ârifân-e Imâm Ali As, hal. 62 & 64, dengan sedikit perubahan dan ringkasan.

[5]. Disadur dari Hayât-e ‘Ârifân-e Imâm Ali As, hal. 62 & 64; Murtadha Muthahhari, Imâmat wa Rahbari, Qum, Sadra, Cetakan Keempat, 1365 S, hal. 180-181.

12 April 2013

Agama pamungkas dapat ditetapkan merupakan agama sempurna

oleh alifbraja

 

Sebelum memasuki pada inti pembahasan kiranya perlu dijelaskan di sini apa yang dimaksud dengan Redaksi  “sempurna” (kâmil). Redaksi “sempurna” di sini secara lahir adalah kebalikan dari redaksi “cacat” (nâqish). Secara umum tatkala kita berkata agama sempurna; artinya agama yang tidak cacat. Dengan kata lain, artinya agama yang tidak memiliki kekurangan untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Dan memberikan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk kesempurnaannya.

Kunci untuk mengakses pada dalil-dalil mengapa Islam disebut agama sempurna terletak pada masalah kepamungkasan agama Islam. Artinya kepamungkasan Nabi Islam dan keyakinan bahwa selepasnya tiada lagi nabi yang akan diutus, sejatinya membimbing kita untuk menerima bahwa mengikut kaidah agama ini haruslah agama sempurna; karena apabila agama ini tidak sempurna maka wajib bagi Tuhan untuk mengirim agama lainnya untuk kesempurnaan petunjuk manusia. Sementara sesuai dengan kaidah rasional dan referensial kita ketahui bahwa Tuhan tidak mengirim lagi agama lain. Karena itu agama ini harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia hingga hari Kiamat dimana apabila tidak demikian adanya maka niscaya Tuhan dalam membimbing manusia tidak menuntaskan dalil-dalil dan hujjah-hujjah. Tentu saja hal sedemikian tercela (qabih) bagi Tuhan.

Karena itu, Anda perhatikan bahwa masalah kepamungkasan dan pembahasan sempurnanya agama atau dengan ungkapan lebih baik lebih sempurnanya agama Islam mirip dua gambar satu koin dan satu sama lain saling bertautan.

Dalam tulisan ini kami berada pada tataran menjawab pertanyaan yang diajukan di atas. Dan sejatinya kita akan menempuh pelbagai jalan yang digunakan untuk menetapkan dan membuktikan masalah kepamungkasan agama. Namun secara selintasan kita akan membahas masalah kesempurnaan agama Islam. Di bawah ini kami akan menjelaskan indicator yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam. Dan sebagai pendahuluan kami sebutkan bahwa: seluruh aturan Islam, senantiasa segar dan baru. Tidak ada agama yang menampilkan kesegaran dan kebaruan seperti yang dimiliki Islam.  Dan keterkinian aturan-aturan Islam senantiasa sejalan dan selaras dengan seluruh masa.

Artinya pada setiap masa dan zaman dan untuk setiap perbuatan Anda dapat temukan sebuah hukum dalam aturan-aturan Islam. Dan demikianlah Anda menjumpai agama ini memiliki hukum pada setiap masalah. Setiap masalah tidak didiamkan atau tidak indahkan begitu saja. Dari angle ini, sisi ini dapat menjadi salah satu sisi kesempurnaan agama Islam.

Agama Islam untuk dapat menjawab setiap persoalan di setiap masa memberdayakan salah satu media dan mekanisme yang tiada duanya dalam pelbagai sistem penetapan hukum. Berikut ini kami akan menyinggung beberapa dari media tersebut:

1.       Agama Islam menggunakan pelbagai aturan dan kaidah universal dimana kaidah-kaidah ini sejatiniya merupakan simbol dan formula ketercakupan dan kemenyeluruhan ajaran Ilahi ini. Akan tetapi supaya kaidah-kaidah universal ini dapat bercorak menyeluruh dan mencakup segala hal serta mampu memberikan solusi atas setiap persoalan maka seyogyanya kaidah tersebut diadopsi dari sumber-sumber khusus dan diberdayakan semaksimal dan seoptimal mungkin sebagaimana yang akan kami singgung beberapa hal berikut ini:

a.       Allah Swt memandang hujjah (argumen dan dalil) bahwa segala yang dihukumi oleh akal sehat dalam proses inferensi hukum-hukum syariat; misalnya hukum tercelanya menghukum seseorang tanpa adanya penjelasan hukum sebelumnya, atau hukum akal terhadap terpujinya keadilan dan tercelanya kezaliman dan sebagainya. Atas alasan ini, Anda simak perhatian Islam terhadap hukum-hukum akal sehat seperangkat kaidah universal menandaskan bahwa kaidah ini bercorak menyeluruh yang dapat diberdayakan dan dayagunakan pada setiap masa untuk menjawab setiap persoalan yang ada.

b.       Allah Swt menetapkan hukum-hukum mengikut kepada kemaslahatan dan kemudaratan. Sebagai contoh, setiap persoalan yang memiliki kemasalahatan yang lebih besar maka ia memiliki signifikansi dan preferensi yang lebih tinggi ketimbang persoalan yang setingkat di bawahnya.

c.       Adanya aturan-aturan universal dimana kaidah universal ini dapat menjadi pembatas sebagian hukum-hukum Ilahi lainnya. Di antaranya Allah Swt befirman, “Allah tidak menjadikan kesusahan bagimu dalam agama.” (Qs. Al-Hajj [28]:78) dimana aturan ini dapat membatasi hukum agama yang memberikan kesusahan bagi manusia dan merubahnya menjadi hukum yang lain. Karena itu, satu hukum agama dapat berubah dan berganti sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di lapangan. Misal lainnya dalam hal ini adalah kaidah idhtirar (dalam kondisi darurat) dan kaidah ikrah (paksaan).

d.       Aturan-aturan Islam selaras dan sejalan dengan fitrah manusia dan Tuhan menaruh perhatian terhadap nurani yang tidak berubah manusia ini dalam aturan-aturan Islam. Menjaga dan mengindahkan apa yang senada dengan tabiat sehat seorang manusia dan memilih jalan medium (i’tidal) dalam proses penetapan aturan dan hukum. Dengan kata lain, Allah Swt menaruh perhatian pada fitrah suci manusia dalam menetapkan aturan-aturan universal. Di antara aturan ini adalah aturan-aturan yang bertalian dengan pria dan wanita yang memiliki aturan-aturan khusus tersendiri.

e.       Ijtihad salah satu kaidah yang diterima (khususnya) dalam dunia Syiah dimana dengan penetapan dan kodifikasi ijtihad dalam agama Islam, sehingga ajaran Islam memiliki dimensi mencakupi dan menyeluruh. Misalnya mujtahid dengan memberdayakan kaidah-kaidah universal lau mencocokkannya dengan masalah-masalah baru. Dan demikianlah agama mampu memberikan solusi atas pelbagai persoalan setiap orang pada setiap masa.

Akhirnya dengan adanya sumber-sumber universal ini dimana Allamah Sya’rani bertutur tentang jalan-jalan ini: “Fikih Islam tidak cacat, melainkan kita memiliki kaidah-kaidah universal yang dapat kita gunakan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian pada setiap masa. Dan perkara ini adalah perkara yang telah berkembang pada masa Syaikh Thusi hingga masa kami.”[1]

2.       Salah satu media lainnya yang diberdayakan Islam untuk menunjukkan ketercakupan dan kemenyeluruhannya adalah keragaman dan bilangan hukum. Tatkala Anda menyaksikan dalam kitab fikih, Anda menyimak bahwa terdapat sebagian besar hukum-hukum Islam membahas masalah-masalah yang paling sederhana kehidupan manusia; misalnya makan dan minum hingga yang paling rumit hubungan sosial termasuk di antaranya adalah jual-beli, pemerintahan dan sebagainya. Karena itu, di samping ada kaidah-kaidah universal sebagaiman yang disebutkan pada bagian pertama di atas dan dapat menjadi problem solver (pemecah masalah), Islam secara partikulir dan kasus-per-kasus memiliki banyak hukum-hukum bagi kehidupan personal dan sosial manusia. Dan hal ini juga merupakan manifestasi yang lain dari universalitas, kemenyeluruhan dan kemencakupan Islam dan pada saat yang sama merupakan salah satu formula kesempurnaan agama Ilahi ini.

 

 

Hingga kini kita telah menyinggung salah satu dalil atas kesempurnaan agama Islam yaitu universalitas, kemenyeluruhan dan kemencakupan agama Ilahi ini. Sebagai kelanjutan pembahasan ini, untuk menjelaskan sisi sempurna agama Islam, kita juga dapat bersandar pada dalil-dalil lainnya sebagaimana berikut ini:

1.       Dengan mengkaji kasus-per-kasus hukum-hukum Islam dan membandingkannya dengan hukum-hukum yang serupa pada agama-agama Ilahi lainnya atau dengan sistem-sistem hukum dan perundangan yang ada di dunia saat ini, maka satu jalan lainnya akan muncul dan dapat menunjukkan keunggulan dan kesempurnaan hukum-hukum Islam. Misalnya hukum-hukum transaksi; apabila kita ingin membandingkan misalnya jual-beli dan pernikahan dalam Islam, Yahudi dan Kristen, keragaman dan keluasan penetapan hukum dalam Islam tiada bandingnya. Bahkan di antara aturan-aturan madani (civil laws) dunia saat ini, aturan madani Iran yang mengambil sumber dari fikih Syiah Ja’fari menurut pengakuan para profesional dan dosen terkemuka merupakan salah satu aturan madani yang termaju di dunia saat ini.

2.       Salah satu sisi lainya kesempurnaan agama Islam, dominasi akhlak Islam dan perilaku kenabian atas maktab-maktab lainnya (baik pada masa kemunculannya atau pun masa sekarang ini). Akhlak yang diajarkan dalam Islam termasuk pelbagai aturan-aturan praktis khususnya pada perilaku personal dan sosial yang memperhatikan tinjauan dunia dan akhirat. Hal ini berbeda dengan ajaran moral yang diajarkan dalam Kristen dan Yahudi yang dominan mendapat penegasan adalah perilaku yang lebih banyak condong ke dunia atau ke akhirat. Atau kebalikan dari maktab-maktab akhlak dunia saat ini yang tidak dapat menjawab lebih dari satu dimensi dari multi dimensi perilaku yang dimiliki manusia. Akan tetapi akhlak yan diajarkan dalam Islam di samping menghimpun pelbagai dimensi manusia dan menjawab pelbagai kebutuhan ini, ia mampu menyediakan tercapainya tujuan-tujuan transendental bagi kehidupan manusia dan hal itu tidak lain adalah kedekatan kepada Tuhan (qurb Ilahi).

3.       Di antara dalil ayat-ayat dan riwayat-riwayat terkait kesempurnaan agama Islam yang dapat disebutkan di sini adalah sebagai berikut:

Pertama, Sesungguhnya dalam (surah) ini benar-benar terdapat penyampaian yang jelas bagi kaum yang menyembah Allah. (Qs. Al-Anbiya [21]:106) Pada ayat ini, penyampaian jelas dan nyata bagi kaum yang menyembah Allah. Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menulis: Iblagh (penyampaian) bermakna terpenuhi dan genapnya sesuatu. Dan juga bermakna sesuatu yang dengannya harapan manusia terpenuhi.[2] Anda letakkan ayat ini di samping ayat “Telah Kusempurnakan bagimu agamamu.” (Qs. Al-Maidah [5]:5) maka Anda akan memahami bahwa Islam adalah agama sempurna yang melaluinya segala hajat dan harapan manusia yaitu kedekatan kepada Allah (qurb ilaLalah) terpenuhi.

Kedua, Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (Qs. Al-Taubah [9]:33) Kandungan ayat ini adalah kemenangan (Islam) atas seluruh agama dan bahwa tiada lagi agama yang akan datang selepasnya. Sekiranya adalagi agama yang akan diturunkan setelahnya maka niscaya ayat ini telah dianulir oleh ayat lainnya (sementara ayat ini tidak termasuk ayat yang dianulir). Dari sisi lain, lantaran apabila agama ini yang merupakan agama terakhir dan pamungksa bukan merupakan agama sempurna maka niscaya petunjuk manusia akan mengalami kecacatan (tidak sempurna) dan tentu saja hal ini tercela bagi Tuhan.

Ketiga, Sima’e menukil dari Imam Musa Kazhim As bahwa ia berkata kepada Imam, “Apakah Rasulullah Saw memenuhi segala sesuatu apa pada masanya? Imam menjawab, iya. Bahkan Rasulullah telah menghadirkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat hingga hari kiamat.[3]

Keempat,  Rasulullah Saw pada khutbah Hajjatulwida’ bersabda: “Ayyuhannas! Tidakklah sesuatu yang mendekatkanmu kepada surga dan menjauhkanmu dari neraka kecuali aku telah perintahkan kalian untuk melakukannya. Dan tidaklah sesuatu yang mendekatkanmu kepada neraka dan menjauhkanmu dari surga kecuali telah aku larang kalian untuk tidak melakukannya.”

Dalil-dalil ayat dan riwayat akhir kenabian juga merupakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang secara langsung menunjukkan atas kesempurnaan agama Islam.[]

 

Referensi untuk telaah lebih jauh:

1.       Husaini Qazwini, Âyâ Qawânin-e Islâm Irtjiâ’i ast?

2.       Kharrazi, Bidâyat al-Ma’ârif al-Ilahiyyah.

3.       Ayatullah Ja’far Subhani, Muhadhârat fii Ilahiyyah.

4.       Syirazi, Naqd wa Tarh Andisyeh-hâi dar Mabâni I’tiqâdi.

5.       Allamah Thabathabai, al-Mizân, jil. 28.

6.       Kulaini, al-Kâfi, jil. 1.

 


[1]. Muhsin Kharrazi, Bidâyat al-Ma’ârif, jil. 1, hal. 270, sesuai nukilan dari kitab Râh-e Sa’âdat, hal. 214.

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 28, hal. 186.

[3]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 57

10 April 2013

Adab Lahir batin membaca al-Qur’an

oleh alifbraja

Pada adab lahir terdapat sekumpulan pendahuluan dan syarat-syarat yang harus dijalankan yang telah dijelaskan pada gilirannya sendiri.

Adab batin al-Qur’an dapat diperoleh dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sendiri dan sebagian riwayat. Al-Qur’an menganjurkan dalam beberapa ayat kepada orang-orang yang membaca al-Qur’an untuk membaca al-Qur’an dengan tartil dan pendalaman. Al-Qur’an menyatakan, “Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil (perlahan, tenang, teratur dan dengan pendalaman).”[1] Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepada mereka, (lalu) mereka membacanya (baca: mempelajarinya) dengan sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya (nabi Islam). Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”[2]

Kedua ayat ini, dengan memperhatikan beberapa riwayat dan hadis-hadis, di samping menyinggung tentang adab lahir membaca al-Qur’an dan juga tentang adab batin.  Dalam sebuah hadis yang disebutkan sehubungan dengan ayat 121 surah al-Baqarah, Imam Shadiq As bersabda, “Orang-orang yang membaca al-Qur’an membacanya dengan sebenarnya adalah kami Ahlulbait.”[3]

Tentu saja, Imam Shadiq As menjelaskan tentang obyek ril dan faktual orang-orang yang membaca al-Qur’an dan boleh jadi terdapat banyak orang beriman yang dengan menjalankan adab-adab lahir dan batin membaca al-Qur’an sampai pada derajat para pembaca sejati al-Qu’an. Karena itu dalam menjelaskan ayat “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya”[4] Imam Shadiq As bersabda, “Yang dimaksud supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya adalah bacalah dengan seksama, pahamilah hakikat-hakikatnya, beramallah dengan hukum-hukumnya, berharaplah pada janji-janjinya, cemaslah dengan ancaman-ancamannya, ambillah pelajaran dari kisah-kisahnya, dan patuhilah perintah-perintah serta jauhilah larangan-laranganya, maka demi Allah yang dimaksud bukanlah menghafal ayat dan membaca huruf-huruf dan surah-surah, karena terdapat orang-orang yang menghafal huruf-huruf al-Qur’an namun mereka melanggar batasan-batasannya. Maksud dari ayat ini adalah berpikirlah pada ayat-ayat al-Qur’an dan beramallah dengan hukum-hukumnya sebagaimana Allah Swt berfirman, ““Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya”[5] Karena itu, dengan memperhatikan hadis penuh cahaya ini kita dapat menyebutkan adab-adab batin membaca al-Qur’an sebagaimana berikut ini:

  1. Tatkala tiba pada sebuah ayat yang mengandung janji maka berharaplah supaya kita juga dapat meraih janji tersebut dan manakala tiba pada ayat yang mengandung ancaman maka cemaslah jangan-jangan kita tergelincir dan termasuk dari orang-orang yang diancam oleh ayat tersebut. Karena itu, bilamana kita sampai pada ayat-ayat surga atau neraka, maka hendaknya kita berhenti sejenak dan memohon kepada Allah Swt untuk dianugerahkan surga dan berlindung kepada Allah Swt dari azab neraka.[6] Imam Ali As, sehubungan dengan karakter dan tipologi orang-orang beriman, bersabda, “Namun pada malam hari mereka bangun membaca al-Qur’an dengan adab-adabnya yang khusus. Tatkala sampai pada sebuah ayat yang memotivasi maka mereka menambatkan hatinya semoga dapat sampai padanya sedemikian gembira sehingga laksana seseorang terkasih yang akan datang kepadanya. Namun tatkala sampai pada ayat yang mencemaskan dan menakutkan mereka mencermatinya dengan penuh perhatian. Kulit badan mereka bergetar, hati mereka takut, dan badan mereka berguncang. Seolah neraka dan suara gemuruhnya dan benturan rantai-rantai api terdengar di telinga mereka terjatuh dan air mata mereka berlinangan, berlindung kepada Allah Swt untuk memperoleh keselamatan (dari azab ini).[7]
  2. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah memahami al-Qur’an, memikirkan ayat-ayatnya, mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum Ilahi. Imam Shadiq As meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali As yang bersabda, “Ketauhilah membaca yang tidak terdapat tadabbur di dalamnya sama sekali tidak memberikan manfaat.”[8]
  3. Mencamkan bahwa al-Qur’an bukanlah kalam manusia dan mengagungkan Sang Pencipta; karena mengagungkan kalam bermakna mengagungkan mutakallim-nya (pembicaranya).
  4. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah tahliyah. Tahliyah artinya ia menyesuaikan dirinya dengan setiap ayat yang dibacanya. Apabila ia membaca kisah-kisah para nabi ia mengambil pelajaran darinya. Apabila ia membaca nama-nama dan sifat-sifat Ilahi maka ia akan mencermati pada obyek-obyek nama-nama dan sifat-sifat tersebut.[9]
  5. Takhliyah merupakan salah satu adab-adab batin membaca al-Qur’an bagi mereka yang ingin mempelajari al-Qur’an. Orang yang ingin merujuk pada al-Qur’an maka ia harus mengosongkan dirinya dari segala prajudis dan debu kesamaran pikiran sehingga tidak menyisakan pengaruh dalam pemahamannya terhadap al-Qur’an.[10]
  6. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji khususnya sombong, riya (suka pamer),[11] hasud dan tamak karena selama manusia terkontaminasi dengan noda-noda ini maka makna kalam Ilahi tidak akan pernah memanifestasi (tajalli) dalam dirinya.
  7. Di antara adab-adab batin yang terunggul dalam membaca al-Qur’an adalah kesucian jiwa dan spiritual. Selama manusia belum lagi suci maka al-Qur’an tidak akan menunjukkan hakikatnya kepada manusia karena al-Qur’an sendiri menandaskan, “La yamussuhu illa al-mutahharun”[12] (Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah disucikan).
  8. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah bahwa pembaca memandang al-Qur’an bukan sebagai teks melainkan sebuah resep yang menyembuhkan dan harus berharap demikian. Dalam riwayat disebutkan bahwa orang-orang yang memandang dengan pandangan ini terhadap al-Qur’an dan berharap obat dari penyakit-penyakitnya maka Allah Swt berkat harapan para pembaca al-Qur’an seperti ini akan memberikan kesembuhan kepada mereka dari al-Qur’an, menjauhkan musibah dan musuh-musuh dari masyarakat serta mengucurkan hujan rahmat-Nya kepada mereka.[13] [iQuest]

 

 


[1]. (Qs. Al-Muzammil [73]:4)

وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتيلاً

[2]. (Qs. Al-Baqarah [2]:121)

اَلَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُوْنَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَ مَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ

[3]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil.1, hal. 215, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.

[4].  (Qs. Shad [38]:29)

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ

[5]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 432, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran 1374 S.

[6]. Muhammad Masyhadi, Tafsir Kanz al-Daqâiq wa Bahr al-Gharâib, jil 2, hal. 132, Sazeman Intisyarat Wizarat Irsyad, Teheran, 1368 S.

[7]. Nahj al-Balâghah, Subhi Shalih, hal. 304.

[8]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 36.

[9]. Mulla Husain Kasyifi Sabzewari, Jawâhir al-Tasfir, hal. 270, Daftar Nasyr Mirats Maktub, Teheran, Tanpa Tahun.

[10] . Ibid, dengan sedikit perubahan

[11]. Muhammad bin Hasan, Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 6, hal. 182, Ali al-Bait As, Qum, 1409 H.

إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ فُلَانٌ قَارِئٌ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيَطْلُبَ بِهِ الدُّنْيَا وَ لَا خَيْرَ فِي‏ ذَلِكَ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيَنْتَفِعَ بِهِ فِي صَلَاتِهِ وَ لَيْلِهِ وَ نَهَارِهِ .

[12]. (Qs. Al-Waqiah [56]:79)

[13]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 627.

وَ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَوَضَعَ دَوَاءَ الْقُرْآنِ عَلَى دَاءِ قَلْبِهِ فَأَسْهَرَ بِهِ لَيْلَهُ وَ أَظْمَأَ بِهِ نَهَارَهُ وَ قَامَ بِهِ فِي مَسَاجِدِهِ وَ تَجَافَى بِهِ عَنْ فِرَاشِهِ فَبِأُولَئِكَ يَدْفَعُ اللَّهُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْبَلَاءَ وَ بِأُولَئِكَ يُدِيلُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ مِنَ الْأَعْدَاءِ وَ بِأُولَئِكَ يُنَزِّلُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ الْغَيْثَ مِنَ السَّمَاءِ فَوَ اللَّهِ لَهَؤُلَاءِ فِي قُرَّاءِ الْقُرْآنِ أَعَزُّ مِنَ الْكِبْرِيتِ الْأَحْمَرِ .

 

11 November 2012

MAQAM ROH

oleh alifbraja

MAQAM ROH

 

Dalam istilahi tasawwuf yang dimaksud maqamat sangat berbeza dengan maqam dalam istilah umum yang bererti kubur. Pengertian  maqamat secara adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan kerohanian
Maqam erti nya :
1) adalah “tempat berdiri”, dalam istilah sufis bererti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari ‘hal’ 
2) biasanya diartikan sebagai keadaan minda atau fikiran yang dialami oleh para sufi celah-celah perjalanan kerohaniannya

Dengan erti kata lain, maqam diertikan sebagai suatu tahap adab
 kepadaNya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan
pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya
sendiri ketika dalam keadaan tersebut, serta tingkah laku riyadah
menuju kepadanya.

3  Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam
lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam
tersebut. Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk
yang sama di antara ahli-ahli sufi, namun mereka bersependapat bahawa
tahap permulaan bagi setiap maqam ialah taubah.
Rentetan amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada
keadaan rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara
rohaniah dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada Allah
semata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut
atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam kenyataan
dan pengalaman dan sebagainya.
4 Al-Maqamat dan al-ahwal adalah dua bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian daripada sebab akibat amalan-amalan melalui latihan-latihan rohani.

Banyak pendapat yang berbeza untuk mendefinisikan maqamat, di antaranya :

 Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalam wushul (mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat – wara – zuhud – tawakal – sabar dan Ridha.

Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabbah – ma’rifat dan redha.

At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – redha – tawakal – ma’rifat.

Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf”, menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – redha – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.

Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat Al Makiyah bahkan menyebutkan enam puluh maqam tetapi tidak memperdulikan sususunan maqam tersebut.

Maqam-maqam di atas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga mengelirukan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.

Menjelaskan perbezaan tentang maqamat dan hal mengelirukan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeza tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut:

Maqamat adalah perjalanan rohaniah yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan srohaniah yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan halangan untuk menuju Tuhan.

Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain itu memerlukan waktu yang bertahun- tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sedar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah , yang biasa disebut “lama’at”.
Menurut al-Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.
Adapun pengertian maqam dalam pandangan al-Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
Semakna dengan al-Qusyairi, al-Hujwiri (w. 465 H) menyatakan bahwa  maqam  adalah keberadaan seseorang di jalan Allah yang dipenuhi olehnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan maqam itu serta menjaganya hingga ia mencapai kesempurnaannya.  Jika diperhatikan beberapa pendapat sufi diatas maka secara terminologis kesemuanya sepakat memahami Maqamat bermakna kedudukan seorang pejalan spiritual di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras beribadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu dan latihan-latihan spiritual sehingga pada akhirnya ia dapat mencapai kesempurnaan. Bentuk maqamat adalah pengalaman-pengalaman yang dirasakan dan diperoleh seorang sufi melalui usaha-usaha tertentu; jalan panjang berisi tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf memang bertujuan agar manusia (sufi) memperoleh hubungan langsung dengan Allah sehingga ia menyadari benar bahwa dirinya berada sedekat-dekatnya dengan Allah. Namun, seorang sufi tidak dapat begitu saja dekat dengan Allah. Ia harus menempuh jalan panjang yang berisi tingkatan-tingkatan (stages ataustations). Jumlah maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi ternyata bersifat relatif. Artinya, antara satu sufi dengan yang lain mempunyai jumlah maqam yang berbeda. Ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat maqamat itu terkait erat dengan pengalaman sufi itu sendiri.
Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa Maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (yaqzah), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah. Sedangkan menurut al-Sarraj Maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat, wara’, zuhd, faqr, shabr, tawakkal dan ridha. 
 Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat – sabar – faqir – zuhud – tawakal – mahabah – ma’rifat dan ridha. At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat – Wara – Zuhud – faqir – sabar – ridha – tawakal – ma’rifat. Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya “Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf” menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat – zuhud – sabar – faqir – dipercaya – tawadhu (rendah hati) – tawakal – ridho – mahabbah (cinta) -dan ma’rifat.
Tentang “Hal”, dapat diambil contoh beberapa item yang diungkapkan oleh al-
Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu:
 Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan),
al-qurb (perasaan dekat kepada Tuhan),
al-mahabbat (rasa cinta kepada Tuhan),
 al-khauf wa al-rajâ’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan),
 al-syawq (rasa rindu),
 al-uns (rasa berteman),
al-thuma’nînat (rasa tenteram),
 al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan
al-yaqîn (rasa yakin). 
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat
dibezakan dari dua segi:

a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh
dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan
ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat
juga diperoleh manusia hanya karena anugErah semata-mata dari Tuhan,
meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-
sungguh.

b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya
bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada
diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya,
namun penulis mengikuti pendapat yang membeZakannya beserta alasan-
alasannya.

Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada
tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.

Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:

a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang
makruh, serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;

a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketenangan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).

Maqām merupakan tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Misalnya maqām taubat, seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwat. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).

Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.

Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeza, dia memandang bahawa suatu maqām boleh dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, iaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).

Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membahaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;

1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah

27 Oktober 2012

SISTEMATIKA TASAWUF 1

oleh alifbraja

SYARI’AT TAREKAT HAKEKAT

Dalam dunia tasawuf istilah tersebut diatas sangat populer;Syari’at Tarikat-Tarekat (Thariqat) Hakikat -Hakekat (haqiqat) adalah rangkaian sarana / jalan menuju Allah dan satu sama lain tidak bisa dipisahkan.Syeikh Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha,dalam syair hikmahnya mengatakan :

Inilah Jalan penghidupan keyakinan

Syari’at, tariqat, haqiqat menuju kemuliaan

Dengarlah yang tersirat dalam gambaran

Yang tersurat dalam bisikan.

Inilah gambaran jalan menuju Allah melalui Syariat, tariqat, haqiqat, melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu.Tiga jalan utama ini menjadi sarana bagi orang orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari tiga tersebut.

Syari’at tanpa haqiqad, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga, menurut syeikh Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad ,Bagi orang yang beramal karena memperoleh surga,ada atau tidak adanya syari’at sama saja keadaannya,karena ia beranggapan;masuk surga itu semata mata anugerah Allah.dan inilah syariat yang kosong.

 

Haqiqat tanpa syari’at menjadi batal,Syeikh Ibn Muhammad Syatha mencontohkan :bila ada seorang yang memerintahkan sahabatnya mendirikan sholat, maka ia akan menjawab, mengapa harus sholat ?bukankah sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya ? bila telah ditetapkan sebagai seorang yang beruntung,tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat, sebaliknya apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka ia akan masuk neraka walaupun mendirikan shalat.ini jalan yang salah.

Sayri’at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan.Thariqat pelaksanaan dari peraturan hukum Allah ( syari’at).sedangkan Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari’at, sebagai tugas menjalankan firmanNYA

Kedudukan tiga jalan menuju Allah tersebut dijelaskan oleh syeikh Ibn Muhammad syatha;dalam syair hikmahnya :

Ibarat Bahtera itulah Syariat

Ibarat samudera itulah tharikqat

Ibarat mutiara itulah haqiqat

Syari’at ibarat kapal / bahtera, sebagai instrument, Tarekat ibarat lautan sebagai wadah yang mengantar tujuan.Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak mafaatnya.

Untuk memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan /samudra yang sangat luas dangan ombak dan gelombang yang dahsyat.Sedangkan untuk mengarungi lautan itu,tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.

Rumi dengan indah memberikan deskripsi ketiga hal tersebut sabagai berikut :

Syari’at ibarat pelita;ia menerangi jalan,tanpa pelita kalian tak dapat berjalan, ketika sedang menapaki jalan kalian sedang menempuh tarekat, dan ketika telah sampai pada tujuan itulah hakekat.

1.SYARI”AT

Didlam eksiklopedi tasawuf disebutkan bahwa syari’at merupakan salah satu tahap praktek bagi calon sufi.keempat tahap lainya itu: syari’ah ( hukum keagamaan eksoterik ) tariqah (jalan mistik),haqiqah (kebenaran) dan ma’rifah ( pengetahuan ).

Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syari’at;hukum Allah untuk kehidupan manusia,yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al mustaqim (yaitu jalan agama yang lurus.Jalan ini membawa sesorang ke dalam hakekat ( kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensinya ).

Syari’at dari akar kata syara’a yang berarti jalan.ia adalah jalan yang benar,sebuah rute perjalanan baik dan dapat ditempuh oleh siapapun.Sebagian besar sufi memahami syari’at dalam pengertian yang luas; mencakup ilmu dan seluruh ajaran islam.Syari’at bukan hanya sekumpulan kode atau peraturan yang mengatur tindak lahiri.Ia juga menjelaskan tentang keimanan, tauhid, cinta ,syukur,sabar,ibadah,zikir,jihad takwa.dan ihsan serta menunjukkan bagaimana mewujudkan realitas tersebut.semua doktrin sufi,secara implicit dan /atau ekplisit lahir dari sini.Syeikh Ahmad Sirhindi mengemukakan ; di dalam syari’at terkandung tiga hal yaitu : pengetahuan(ilmu),praktik ( amal)dan ikhlas.artinya meyakini kebenaran syari’at dan melaksanakan perintah perintahNYA dengan tulus dan ikhlas demi mendapatkan keridloan Illahi

Syari’at berisi ajaran moral dan etika yang menjadi dasar tasawuf.Syari’at memberi petunjuk kepada setiap orang untuk hidup secara tepat didunia ini.Mencoba menjalankan tasawuf tanpa mengikuti syari’at bagaikan membangun rumah berfondasi pasir.Tanpa dibangun kehidupan teratur yang dibangun dari prinsip moral dan etika yang kuat maka tidak ada mistisisme yang dapat berkembang.Kebutuhan terhadap syari’at sering diibaratkan dengan perahu nabi nuh yang harus dibangun dengan papan dan pasak.papan adalah ilmu dan pasak adalah amal.Tanpa perahu seseorang akan tenggelam dalam lautan keserbabendaan,sebagaimana putra nabi nuh yang menolak hukum yang dibawa ayahnya, karena itu didalam tasawuf syari’at sering dilihat sebagi bagian dari lipat tiga : syari’at, adalah jalan utama,yang cabangnya adalah jalan yang lebih sulit ( Tariqah) yang mengarah ke kebenaran ( haqiqah)

Dasar pokok ilmu syari’at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur’an dan sunah nabi Muhammad saw.ibadah mahdzah dan ghairu mahdzah serta ibadah muamalah tercantum denga jelas dalam ilmu syari’at.

Siappun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari’at,walaupun ulama sufi besar dan piawi, atau wali sekalipun.Orang yang menganggap dirinya tidak memerlukan syari’at untuk mencapai tarikah sangat sesat dan meneyesatkan..Karena syari’at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan dengan thariqat dan haqiqat.Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibanya, walaupun seorang telah mencapai tingkat wali..Bahkan ibadah syari’atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa.Sebagaimana dicontohkan rosulullah saw,ketika mendirikan sholat dengan penuh kekhusukan dan begitu lama berdiri,ruku’dan sujudnya,sehingga dua kakinya bengkak karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan ketulusan.

Ketika nabi ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh sungguh beliau menjawab : “Mengapa saya tidak menjadi hamaba yang bersyukur ?”Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensukuri nikmat ALLah dan semua anugerahnya.Maka para sufiyah atau waliyullah tetap berkewajiban melaksankan ibadah syari’at yang ditaklifkan kepada setiap muslim dan muslimat..

Oleh karena itu wajib bagi penempuh jalan ruhani dan para penuntut ilmu ilmu islam secara intensive mempelajari ilmu syari’at.Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat tergantung erat kepada ilmu syari’at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan ( ruhaniyah ) tetap tergantung erat dengan syari’at.Tanpa syari’at semua ilmu ruhaniyah tak ada artinya.

Hati para sufiah akan bersinar cemerlang dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang tinggi, haya akan diperoleh dengan ilmu syari’at. Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahanya yang sudah tercantum dari teladan nabi saw,semua tercantum dalam ilmu syari’at.

Ilmu tasawuf adalah bagian dari akhlaq mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanahya nabi Muhammad saw.Cahaya yang bersinar dari kehidupan nabi muhammad saw adalah pokok dasar dari pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para penuntut ilmu tasawuf.Menurut nabi Muhammad saw hati adalah ukuran pertama penuntut ilmu tasawuf.dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlaq mahmudah dan mencegah akhlaq mazmumah,seperti yang diajarkan dalam sunah nabi Muhammad saw,sebagian dari ilmu syari’at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan ditempati oleh tariqat yang berdasarkan syari’at.

2.TAREKAT

Tarekat menurut bahasa berasal dari kata arab TARIQAH ( jama’:taruq atau tara’iq ) yang bararti jalan atau metode atau aliran (madzab).Tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan tujuan sampai ( wusul) kapada NYA.Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh seorang sufi dengan aturan aturan teretentu, dengan petunjuk guru atau mursid tarekat masing masing,agar berada sedekat mungkin dengan ALLAH swt.Ahli taswuf mengaitkan istilah tarekat dengan firmanNYA :”Dan bahwasanya apabila mereka tetap berdiri pada jalan (tariqah) yang benar niscaya akan kami turunnkan ( hikmah)seperti hujan yang deras dari langit. (AL-Jin/72:16).

Pemikiran yang mendasari tasawuf adalah karena Allah merupakan zat yang maha suci,maka yang suci itu tidak akan dapat didekati kecuali dengan sesuatu yang suci.Dalam mendekatkan diri kepada Allah, para sufi biasanya melalui tahapan tahapan spiritual ( maqomat).masing masing sufi menempuh tahapan spiritual yang berbeda beda,berdasarkan pengalaman ruhani yang berbeda pula. menurut AL Gazali langkah langkah yang harus ditempuh untuk mencapai kejernihan hati ( tazkiyah al nafs ) adalah :Takhalli yaitu pengosongan hati dari selain Allah, Tahalli :yaitu mengisi hati dengan zikir kepada Allah dan sifat sifat terpuji, dan Tajalli ; yaitu;memperoleh hakekat dan penampakan Tuhan.

Metoda yang digunakan para suifi untuk mendekatkan diri kepada Allah berbeda beda,, sebagian mereka melalui cara selalu dalam keadaan zikir kepada Allah ( mulzamah al-dzikr), selalu melatih diri (riyadoh ),selalu bersunguhsungguh untuk membersihkan hati dari sifat sifat tercela dan hawa nafsu (mujahadah),sebagian yang lain melalui metoda tujuh yaitu; memperingati diri(musyaratah),mengawasidiri(muraqabah),intropeksi (muhasabah),menghukum diri (mu’raqabah ) kesungguhan lahir batin (mujahadah ),menyesali diri (mu’atabah) dan pembukaan hijab ( mukhasafah ).Serentak dengan itu mereka melintasi tingkatan tingkatan (maqamat) antara lain tobat, sabar,ridla,zuhud, muhatabah, dan ma’rifah.

Menurut syeikh Ajiba al hasani ; tarekat berarti bertujuan membereskan hati membereskan hati dengan tiga hal : ikhlas, jujur dan tenang ( tuma’ninah) atau bisa dikatakan membereskan hati dengan cara mengosongkannya dari kotoran kotoran jiwa dan menghiasinya dengan keutamakan.

Suatu ketika syeikh Baha’ al Din al naqsyabandi ditanya :apa tujuan tariqah ?,beliau menjawab :”tujuannya adalah mengetahui secara rinci apa yang baru engkau ketahui secara singkat, dan untuk merasakan dalam penglihatan apa yang telah engkau ketahui lewat penjelasan dan argument”.Tujuan tareqah adalah memperkuat keyakinan terhadap syari’at,menyakini kebenaranya, mematuhi jaran ajaranya dengan senang dan spontan,mengikis kemalasan dan meniadakan penentangan atas keinginan diri ( nafsu ).

Seluruh kegiatan Tariqah dapatlah dikatakan mengarah pada satu tujuan ; yaitu ma’rifat billah atau mengenal ALLAH.Ma’rifat billah adalah puncak tujuan dari perjalanan tariqat atau ajaran tasawuf.Dengan berbagai jalan, cara, atau metoda ,tariqah pada intinya adalah ingin menjadi orang selalu taqarub billah, ma’rifat billah dan sekaligus ingin menjadi orang yang dikasihi ALLAH atau yang dikenal dengan sebutan WALIYULLAH.

3.WAJIBKAH MENGIKUTI KELOMPOK TAREKAT TERTENTU

Ada semacam keyakinan kuat dalam masyarkat kita bahwa pengamal tariqat harus mengikuti orginasasi atau kelompok tarekat tertentu,sehingga dia dapat disebut pengamal tariqat jika ia telah memsuki suatu organisasi tarekat tertentu yang dibimbing seorang guru tertentu dan mempunyai tata cara menurut ajaran organisasi tersebut.Dengan demikian ada doktrin yang baku dan diyakini benar benar, bahwa seorang tidak bisa sampai kepada tujuan ibadat secara hakiki sebelum menempuh atau melaksanakan ajaran organisasi tariqoah tertentu.

Ust.Labib MZ (dalam Rahasia Ilmu Tasawuf ) perpendapat ; seorang pengamal tariqat tidaklah harus menjadi anggota kelompok jama’h tariqoh dalam aliran tertentu, namun seorang yang sudah melaksanakan ajaran islam secara murni dan konsekwen sudah termasuk melaksanakan tariqat.

Semua orang sesuai dengan profesinya dan kemampuanya dengan cara sendiri sendiri bisa dikategorikan pengamal tariqat.Dalam hal ini tariqat yang digariskan dalam syari’at tenytunya. Sebab tariqat yang tidak sesuai dengan syari’at adalah sesat.Tidak ada tariqat tanpa syari’at, tidak terwujud hakekat tanpa adanya syari’at. Seperti dikatakan syeikhZainudin bin Ali Al Malibari :” Bahwasanya Tariqat ( jalan menuju Allah yang ditempuh orang islamn ) adalah syari’at,tariqat, hakikat.Maka dengarkanlah contoh contoh dari ketiga tiganya “.

Jadi tarekat umat islam tak lain adalah syari’at islam itu sendiri.Dan umat islam yang mengamalkan syari’atnya berarti sudah mengamalkan tareqat,tak peduli apapun profesinhya, direktur dokter ,ulama, pengajar,kyai , ustaz, da’i ,pelajar, mahasiswa dan lainya.Jalan tariqah bisa ditempuh dengan berbagi macam jalan termasuk juga orang sudah mengususkan diri dengan memperbanyak zikir dan senantiasa bertaqarub kepada Allah,baik lewat organisasi tariqat tertentu atau tidak ,nilainya sama hanya cara dan bentuknya yang berlainan.

Syeikh Zainudin bin Ali al malibary dalam “Nadhom Hidayatul Adzkiya” mengatakan :”Dan bagi masing masing dari kaum ada sebuah jalan (tariqat,cara)dari beberapa jalan,yang dipilihnya, maka dari jalan ini mereka sampai.Seperti duduknya diantara manusia dalam keadaan mendidik, dan seperti memperbanyak wirid – wirid, puasa, solat. Dan seperti berkhidmad kepada manusia, membawa kayu bakar untuk bersedekah dengan uang yang dihasilkannya”.

Pada akhirnya seorang muslim tidaklah wajib mengikuti ataupun memasuki kelompok atau organisasi tarekat teretntu,(agar sampai kepada Allah ) tetapi wajib bagi umat islam untuk melaksanakan syari’at islam sebagi tariqat yang sah untuk menuju kepada ALLAH, sebagai bukti perwujudan keimanan kepada Allah. Apabila seorang muslim telah melaksanakan syari’at dengan benar dan sesuai petunjuk sunah rosul maka berarti sudah melaksanakan tariqat yang dilakukan oleh keksaih Allah, wliyullah.

4.HAKIKAT

Dalam eksiklopedi Tasawuf di terangkan ; Hakikat atau kebenaran adalah makna terdalam dari praktik dan petunjuk yang ada pada syari’at dan tarekat.Haqiqah menunjukan hakikat esensial segala sesuatu atau kebenaran., ia adalah pengalaman langsung akan kebenaran gaib.Tanpa pemahaman yang didasari pengalaman tersebut maka kita ditakdirkan untuk taklit, meniru mereka yang telah mencapai tingkat HAQIQAH, seperti laiknya sebuah mesin.Pencapaian pada tingkat haqiqah ini menegaskan dan memperkukuhkan prkatik dua tingkat pertama.Sebelum mencapai tingkat haqiqah, seluruh praktik merupakan bentuk peniruan .

Haqiqah ( kebenaran atau kenyataan seakar dengan kata Al haq, realty, absol ute).Makna haqiqah (hakikat) menunjukan kebenaran esoteric yang merupakan batas dari transendensi manusia dan teologis.Dalam pengertian ini haqiqah merupakan unsur ketiga setelah syaria’at (hukum) yang merupakan keyakinan eksoteris,tarikat (jalan)sebagai tahapan esoterisme,yang ketiga ialah haqiqah yakni kebenaran esensial.

Haqiqah adalah kemampuan seorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syari’at .Dalam dunia sufi haqiqah diartikan sebagai aspek batin dari syari’at,sehingga haqiqah adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal,inti, dan rahasia dari syari’at ; merupakan tujuan setiap penempuh jalan menuju ALLAH ( salik).

23 Oktober 2012

KUN ALLAH

oleh alifbraja

Allah mencipta alam dengan KUN, dan binatang di laut dan di bumi.
dan mahluk gaib lainnya dengan KUN . Tetati Allah menciptakan ADAM TIDAK DENGAN KUN Melalui anasar2 setelah api angin air tanah, di himpun Para malaikat
lalu allah menerintah kan para malaikat : Wahai malaikat? Ciptakan Adam Seperti Rupaku: setelah adam di bentuk seperti rupanya, ditupkan roh adam bersin saja.. adam tidak hidup kemelut terjadi.

allah berkata kepada malaikat, Wahai malaikat: Aku ingin Rahasia di diri adam sekarang
Allah Bertajali penuh kepada adam Gaib di diri adam, pi ahsania takwin, Sempurnalah kejadian adam . Lalu Bersujudlah para Malaikat kepada adam selaku halifah..hanya iblis yang tidak melihat rahasia allah tersebut.

kesimpulan Gaibnya diri kita di sulbi Adam. sulbi nuh ibrahim sampai sulbi abdullah. adapun titisan titik Zat itu memancarnya. sampai ke sulbi orang tua kita. hadirlah kita2 jadi sebenarnya di dunia kampung allah dilanjutkan, di akhirat /surgapun kampung allah yang kekal Abadi.

Kesimpulan:

1_zat allah Adalah perbendaharaan Yang tersembunyi roh kita sekalian jadi kita semua ikut andil menciptakan Alam semesta ini. sewaktu semua perbendaharaan mengucapkan KUN .
2_Allah ingin mengenalkan per bendaharaannya,
3_allah ingin melihat dirinya.
4_Zat allah berubah nama : pertama zat ke dua Nur Muhammad ke tiga Adam. sebenarnya dia juga yang yang nampak maupun tersembunyi/bathin.

Adapun:tajali
Jadi tajali Allah kepada hamba: sesuai amanah nya.
tajali Malaikat kepada alam yang diperindah allah sesuai perintahnya.
tajali titik kepada kitab/ alif, untuk petunjuknya.

salam alika

23 Oktober 2012

TINGKATAN ULAMA AKHIRAT

oleh alifbraja

Dalam dunia transenden, jiwa manusia bekerja sama dengan tubuh duniawi melalui suatu mukjizat, yang rahasianya hanya dapat diketahui oleh Tuhan sehingga mewujudkan kehidupannya didunia yang lebih rendah. Meski demikian, jiwa akan selalu mengenang asal kediaman tanah air sejatinya, sungguhpun terbatas pada dunia material.

Dalam dunia transenden jiwa manusia melakukan pendakian melewati rintangan kezuhudan dan disiplin spiritual, yang tingkatan pertamanya “Sayr wa Suluk” (perjalanan spiritual) dari seorang ulama. Walaupun ada berbagai cara penggambaran dan penjelasan tentang jalan menuju persatuan dengan Tuhan YANG MAHA ESA, yang semuanya dapat diringkas dalam tiga tingkatan ulama yang utama.

Tingkat pertama adalah “Qabdh Latha’if” (penyusutan dalam esensi lembut-halus). Dalam tingkatan ini, aspek tertentu dari jiwa seorang ulama akan berhubungan dengan kezuhudan dan kesalehan serta manifestasi teofani dari nama-nama Tuhan Yang Maha Lembut dan Maha Halus.

Pada tingkatan inilah di dalam diri seorang ulama akan ditemukan sifat yang lemah lembut berlandaskan kasih sayang dan kebajikan yang luhur, sehingga dirinya tidak pernah melakukan fitnah keji kepada kaum muslim lainnya.

Tingkatan “Qabdh Latha’if” (penyusutan dalam esensi lembut-halus) merupakan perjuangan spiritual (mujahadah) yang mendefinisikan berbagai kelembutan dan kehalusan dalam diri ulama, dalam diri kaum arif dan pecinta Allah.

Bagi seorang ulama dalam tingkatan ini, ia melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, sehingga mukjizat yang berada dalam tubuh akan terungkap meski hanya sekejap dan memungkinkan burung jiwa dapat membentangkan sayapnya dan terbang ke dunia spiritual yang sangat luas tiada batasannya dan menikmati alunan simfoni keabadian serta ekstase yang merupakan aspek esensi dari dunia ini.

Seorang ulama akhirat yang sudah mencapai tingkatan “Qabdh Latha’if” ini, tentunya tidak memerlukan tunggangan atau sarana apapun, karena dia sendiri memiliki daya untuk terbang menuju dunia transenden melalui rahasia perjanjian primordial antara manusia dan Tuhan.

Tingkatan kedua adalah “Basth Kasyf Imani” (perluasan penyingkapan melalui keimanan). Dalam tingkatan ini, aspek dari jiwa ulama mendapat keluasan dan diperluas. Sehingga eksistensinya melampaui batasan dirinya sendiri hingga dia memeluk seluruh alam semesta melalui ketulusan iman.

Kadar intesitas tingkatan Basth Kasyf Imani ini dapat berfungsi sebagai katalisator yang mengaktifkan sang ulama untuk lebih banyak lagi mencari ilmu (pengetahuan) yang berkaitan dengan segala maujud dalam kosmos sewaktu ia berada dalam ekstase (wajd) dibawah pengaruh kuat suatu keadaan spiritual (hal), sehingga tubuh jasmaninya akan tampak meluruh seperti debu primordial (al habah).

Dan menyatu dengan lingkungan alam sekelilingnya. Maka inilah kebenaran bagi hati manusia yang sederhana, yang bebas dari rasa keakuan, keserakahan dan dari berbagai cinta serta gairah yang dapat mempengaruhinya “

Namun apabila ia tidak terbebas dari hal-hal itu, dan ia terisi sesuatu selain Allah dihatinya, maka sesuatu itu akan bergerak dan berpengaruh sebagaimana api yang kian berkobar.

Ulama dalam tingkatan “Basth Kasyf Imani” ini adalah manusia yang sudah terlepas dari jurang dunia material yang sangat dalam dan telah berhasil dalam penyempurnaan jiwanya sebagai penakluk nafsu-nafsu hewani“, sehingga dirinya akan terbebas dari rasa keakuan yang ingin selalu dihormati oleh semua orang, dengan tanpa memperhatikan cacat bathin yang mengeram didalam hatinya.

Tingkatan ketiga adalah; “Wishalbi Al Haqq” (persatuan dengan Yang Maha Benar). Dalam tingkatan ini, seorang ulama harus melalui pencapaian tingkat peleburan (fana) dan kekekalan (baqa). Karena pada tingkatan ini, dirinya telah dapat melewati seluruh maqamat (tingkatan) lainnya dan dia dapat merenungkan wajah sang kekasih (Allah SWT). Penampakkan luarnya yang sedih tak lain merupakan prawacana untuk ketakterlukiskan kebahagiaan yang tersembunyi didalamnya.

Seorang ulama dalam tingkatan ini, akan menyerahkan dirinya kepada kehendak Tuhan, menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan. Dan menjadi sumber gita-gita yang menebarkan kegembiraan dan kebahagiaan serta menuntun orang lain ke tempat primordial dan kediaman akhirnya, agar dapat membebaskan dirinya dari nafsu keinginan yang tanpa batas itu.

Dirinya bagaikan sebuah tempat perlindungan diantara badai yang mengerikan dan oase yang menyejukkan di tengah-tengah tandusnya gurun pasir serta dapat dijadikan sebagai mata air yang penuh barakah untuk menghilangkan kebingungan dan kehausan jiwa.

Maka pada tingkatan yang terakhir inilah, seorang ulama akan mampu menguak selubung keterpisahan eksistensi dan bersatu dengan asal serta sifat primordialnya melalui penyerahan kemauannya sendiri kepada kehendak Tuhan dan menempatkan diri sepenuhnya dalam genggaman Tuhan.

Ulama dalam tingkatan ini akan selalu menyatukan visi antar sesama ulama lainnya agar bersinergi dalam membentuk ummah yang penuh dedikasi tinggi dan menjalin tali persatuan sesama ummat Islam dengan berlandaskan keilmuan (pengetahuan).

Sehingga dirinya akan dipersatukan dengan getaran kehidupan alam (mikrokosmos bersatu dengan makrokosmos) yang didalam diri seseorang selalu ada dalam bentuk getaran hati, sehingga jiwanya mengalami perluasan dan mencapai kebahagiaan dan ekstrase yang melingkupi dunia. Sehingga dirinya akan terbebaskan dari belenggu diri yang membatasi penilaiannya terhadap sesuatu hal.

Dalam tingkatan inilah seorang ulama akhirat akan bersikap obyektif dan tidak terlalu kukuh dengan faham yang dimilikinya ketika melihat seseorang atau suatu kelompok memiliki perbedaan faham dengan dirinya. Bagi kaum muslim, mereka (ulama akhirat) adalah sarana potensial untuk menyadari nilai warisan masa lampau dari Muhammad Rasuulullah SAW yang sangat berharga.

Lisan mereka (para ulama akhirat) memiliki sifat realitas batin yang pasti meninggalkan pengaruh pada jiwa pendengarnya. Karena segala ucapan mereka itu merupakan nyanyian abadi dalam dunia, ruang dan waktu, karena segala ucapannya telah terbebas dari rasa kebencian dan kecurigaan yang berlebihan terhadap sesama ummat Islam. Bahkan para ulama akhirat telah menjauhkan diri mereka dari para penguasa yang hendak memanfaatkannya.

Nabi SAW bersabda; “Seburuk-buruknya ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa. Dan sebaik-baiknya penguasa adalah, penguasa yang mengunjungi ulama.” (HR Muslim)

Dari Jabir ra, dari Abu Thalhah ra dan Dari ibnu Abbas ra, bahwasanya nabi SAW bersabda; “ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti yang tidak akan diajak biara, tidak dilihat dan tidak diampuni dosa mereka oleh Allah, bahkan mereka abadi selamanya didalam neraka dengan siksaan yang pedih.” (Nabi SAW mengulangi sabdanya sampai 3x).

Ibnu Abbas berkata; “siapakah mereka?” Nabi SAW bersabda; “yaitu para ulama yang mencari dunia dengan menjual agamanya, Para penguasa yang memberlakukan undang-undang yang mengakibatkan kesengsaraan bagi raknyatnya dan para penyebar fitnah” (HR Bukhari & Muslim)

“Para Ulama akhirat tidaklah akan mengalami proses kemunduran atau perubahan, mereka selalu sejuk menyejukkan dalam ucapan maupun ajarannya,laksana kilau mentari pagi dipermukaan air yang jernih “
(Sayyid Faridhal Attros Al Kindhy Asy’ari)

Ulama yang baik dan benar adalah ulama akhirat yang membawa kemasylahatan bagi ummat, dan bukannya membawa kemudharatan yang memicu pertikaian antar sesama ummat Islam pada khususnya dan antar sesama ummat beragama pada umumnya.

Mengenai kriteria tingkatan para ulama yang telah saya sebutkan diatas adalah; mereka yang hidup dijaman para sahabat, tabi’ien dan tabi’ien tabi’iet. Dan semoga ulama-ulama kita sekarang ini termasuk dalam salah satu kriteria tingkatan ulama akhirat tersebut diatas. Insya Allah ….. !!!.

19 Oktober 2012

DUNIA TASAWWUF

oleh alifbraja
DUNIA TASAWWUF
Secara tinjauan literal semantik, istilah sufisme (tashawwuf) disinyalir berasal dari derivasi kata Arab ash-shofa’ yang berarti bening atau jernih sebagai simbol langkah mistikus yang menempuh jalan penyucian nurani. Nabi saw. bersabda;
“Kejernihan dunia telah sirna dan tinggallah kekeruhannya, maka hari ini, kematian adalah penghargaan bagi setiap Muslim”. (HR. Ad-Dâruquthny)
Atau berasal dari ash-shuffah yang dinisbatkan pada Ahli Shuffah (serambi), yaitu sekitar 400 sahabat Muhâjirîn yang fakir dan tidak memiliki tempat tinggal dan sanak keluarga di masa Nabi yang menentap dan beribadah di masjid Nabi, Madinah. Atau berasal dari ash-shaff (barisan) yang seolah hati mereka berada di barisan terdepan dalam kehadiran di hadapan Allah. Namun pendekatan isytiqâqy (derivasi) ash-shûfiy (sufi) pada ketiga kata tersebut, menurut aL-Qusyairy dinilai tidak tepat secara teori analogi harfiah. Sebab jika dari ash-shofa’ sangat jauh bentuk subjek (fa’il)-nya menjadi ash-shufiy, jika dari ash-shuffah maka menjadi ash-shafwiy, dan jika dari ash-shaff (barisan) —meskipun memiliki kebenaran secara makna, namun— kata ash-shufiy bukanlah bentuk subjeknya. Bahkan menurutnya, sufisme juga tidak berasal dari akar kata ash-shauf (wol), sebab pakaian tersebut bukan performance asli kaum sufi. Jadi menurut aL-Qusyairy, sebutan ash-shufiy diberikan lebih hanya sebagai gelar (laqab). Namun menurut Ibn Khaldun, kendati ash-shauf bukan pakaian khusus para mistikus, namun karena keidentikan tradisi mereka yang menggunakan pakaian dari wol sebagai ekspresi kezuhudannya, istilah tashawwuf lebih dekat berasal dari akar kata ash-shauf. Meski demikian, acuan paling mendasar etimologis sufisme, sebenarnya lebih berasal dari sikap mistikus yang secara total berusaha memadamkan hasrat duniawi dari kehidupannya dengan menenggelamkan seluruh himmahnya dalam samudera ukhrowi. Lantaran itulah kaum mistikus cukup dikenal dengan sebutan ash-shufiy dan tidak perlu mencari analogi atau turunan akar kata untuk sebutan mereka.
Istilah-istilah yang menjadi termenologi dalam Tasawuf, juga tidak pernah terekam, secara akademis dalam sejarah periode Islam awal. Bahkan dizaman Nabi kata sufi, kata Syari”at Hakikat ataupun Thariqat, tidak di munculkan sebagai istilah tersendiri dalam prakyek keagamaan. Semata, karena para sahabat dan Tabi”I, adalah sekaligus para pelaku Syari”at, Thariqat dan Hakikat, dalam kesehariannya. Hanya satu setengah abad kemudian, istilah-istilah itu muncul dengan termenologi tersendiri, dalam kerangka memudahkan praktek ke Islaman yang sebenarnya.
Untuk melihat sejarah Tasawuf, definisi seputar Tasawuf dari para pelaku serta tokoh-tokohnya sangat membantu alur hitoris itu hingga dewasa ini. Pada zaman Nabi saw, kita mengenal istilah yang sangat komprehensif mengenai dunia esoteris, yang disebut dengan Al-Ihsan. Dalam riwayat Al- Bukhari, disebut oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya: “hendaknya engkau manyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, maka apabila engkau tidak melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R.Bukhari)
Istilah Al-Ihsan tersebut, dalam prakteknya, memunculkan tradisi agung dalam Islam, yaitu amaliyah batin yang kekal membangun suatu akademi esoteris yang luar biasa. “Seakan-akan melihat Allah dan Allah melihatnya,” adalah puncak dari prestasi moral seorang hamba Allah disaat sang hamba berhubunga denganNya. Proses-proses berhubungan itulah yang kemudian diatur dalam praktek Tasawuf. Karena dalam setiap tradisi Thariqat Tasawuf yang mempunyai sanad sampai kepada Rasulullah saw, kelak disebut dengan Thariqat Mu’tabarah- menunjukkan bahwa tradisi sufistik sudah berlangsung sejak zaman Rasulullh saw. Hanya saja tradisi tersebut tidak terpublikasi secara massif mengingat dunia esoteris adalah dunia spesifik, dimana tidak semua khayalak menerimanya. Doktrin-doktrin Dzikir dan pelaksanaannya yang dilakukan melalui baiat pada Rasulullah saw, menggambarkan hubungan-hubunga psikhologis antara Rasul saw, ketika itu dengan sahabat dan Allah swt.
Di lain pihak, tradisi akademi Taswuf nantinya melahirkan produk-produk penafsiran esoteric atau metafisik, terhadap hasanah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain Al-Qur’an secara khusus punya penekanan terhadap soal-soal Tasawuf, ternyata seluruh kandungan Al-Qur’an juga mengandung dimensi batin yang sangat unik. Jadi tidak ada alasan sama sekali untuk menolak Tasawuf, hanya karena beralasan bahwa Tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an. Padahal seluruh kandungan Al-Qur’an tersebut mengandung dua hal : Dzahir dan batin , syari’at dan hakikat.
Banyak sekali definisi tasawuf yang telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud dengan tasawuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh sebagian dari keseluruhan bangunan tasawuf yang begitu besar dan luas.
Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf; sementara Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani dalam “Ensiklopedia Orang-Orang Suci”-nya Hikayat al-awliya’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:
“Tasawuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu perjalanan’ menuju malik al muluk `Raja semua raja’ (Allah `azza wa jalla).”
“Tasawuf adalah mencari wasilah ‘alat yang menyampaikan’ ke puncak fadhilah ‘keutamaan’.”
Definisi paling panjang yang dikutip Abu Nu’aim berasal dari perkataan Imam al-Junaid ra. ketika ditanya orang mengenai makna tasawuf:
“Tasawuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:
1. tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba- lomba mengerjarnya.
2. Selalu bersandar kepada Allah `azza wa jalla,.
3. Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
4. Sabar kehilangan dunia (harta).
5. Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
6. Sibuk dengan Allah dan tidak sibuk dengan yang lain.
7. Melazimkan dzikir khafi (dzikir hati).
8. Merealisasikan rasa ikhlas ketika muncul godaan.
9. Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
10. Teguh kepada Allah dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini; dan jika tidak, maka ia adalah pendusta. [Hilayat al-Awliya]
Beberapa fuqaha ‘ahli fikih’ juga mengemukakan definisi tasawuf dan mengakui keabsahan tasawuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imam Muhammad ibn Ahmad ibn Jazi al-Kalabi al-Gharnathi (w. 741 H.) dalam kitabnya al Qawanin al Fiqhiyyah li Ibn Jazi hal. 277 menegaskan:
“Tasawuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir.”
Imam `Abd al-Hamid al-Syarwani, dalam kitabnya Hawasyi al-Syarwani juz VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji),itulah ilmu tasawuf.”
Al-Husayn bin Mansur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat”.
Abu Hamzah al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin , menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersembunyi”.
Amr bin Utsman al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik sa’at itu”. Muhammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlaq mulia, dari orang yang mulia di tenga-tengah kaum yang mulia”. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apapun, tidak pula dimiliki apapun”.
Ruwaim bin Ahmad :
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allahdalam setiap keada’an apapun yang dikehendakiNya”.
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinandan kefekiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi,dengan medahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sifat kontra, dan memilih “. Ma’ruf Al-karky:
“Tasawuf artinya , memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
Hamdun al-Qashshar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mema’afkan perbuatan-perbuatan yang tak baik,dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baikpun bukan suatu yang besar, bahkan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu”.
Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapanganjiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan sega-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislahkalian karena kami”.
Sahl bin Abdullah :
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis”. Ahmad An-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya,dan peduli orang lain ketika ada”.
Muhammad bin Ali Kattany: “Tasawuf adalah akhlak yang baik, barang siapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf”.
Ahmad bin Muhammad ar- Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal dipintu Sang Kekasih, sekalipun engkau diusir”.
“ “Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya setelah berjauhan denganNya”.
Abu bakr asy-syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt,tanpa hasrat”.
“Sufi terpisah dari manusia, dan bersambung dengan Allah swt. Sebagaiana difirmankan Allah swt, kepada Musa, “Dan aku telah memilihmu untuk DiriKu” (Thoha: 41) dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Allah swt ,berfirman kepadanya , “Engkau tak akan bias melihatKu”.
“ Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan TuhanYang Haq”.
“Tasawuf adalah kilat yang menyala, dan Tasawuf terlindung dari memandang mahluq “.
“ Sufi disebut sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukandemiian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka”.
Al-Jurairy :
“Tasawuf berarti kesadaran atas diri sendiri dan berpegang pada adab”.
Al-Muzayyin:
“ Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-haq”.
As-kar an-Nakhsyaby:
“ Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apapun, tetapi menyucikan segalanya”.
Dzun Nuun Al-Mishry:
“ Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada”.
Muhammad Al-Wasithy:
“ Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi geraan-garakan,dan sekarang tak ada sesuatu yang tinggal selain kesedihan”.
Abu Nash as-Sarrajath-Thusy:
“ Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu ?” Lalu ia menjawab, “Yang tidak dibawa di bumi dan tidak dinaungi langit”. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada kelaburan”.
Ahmad ibnul Jalla:
“ Kita tidak mengenal mereka melalui persyaratan ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah swttidak menghakangi dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi”.
Abu Ya’qub al-Madzabily:
“ Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus”.
Abu Hasan as-Sirwany:
“ Sufi yang bersama ilham,bukan dengan wirid yang menyertainya”.
Abu Ali Ad-Daqqaq:
“ yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang”.
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya, dan ruhnya ditawarkan pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekorpun yang menaruh perhatian padanya”.
Abu Sahl ash-sha’luky:
“Tasawuf adalah berpaling dari sifkap menentang ketetapan Allah”.
Imam Muhammad `Amim al-Ihsan dalam kitabnya Qawa’id al-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imam al-Ghazali, menyatakan:
“Tasawuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allah secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul dengan Allah dan baik bergaul dengan mahluk, maka ia adalah sufi.”
Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu ikatan: “Tasawuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullah”.
Penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) merupakan ruh dari takwa, sementara takwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam perjalanan menuju Allah), sehingga dikatakan oleh Imam Muhammad Zaki Ibrahim, pemimpin tarikat sufi Al-Asyirah Al-Muhammadiyyah di Mesir, bahwa “tasawuf adalah takwa. Takwa tidak hanya berarti “mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Takwa juga meliputi “cinta, ikhlas, sabar, zuhud, qana’ah, tawadhu’, dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk ke dalam kategori makarim al-akhlaq (alkhlak yang mulia) atau al-akhlaq al-mahmudah (akhlak yang terpuji)”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tasawuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul dengan Allah dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imam Muhammad ibn `Ali al-Kattani, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya, menegaskan bahwa “tasawuf adalah akhlak”. Imam Abu Nu’aim al-Ishbahani juga mengutip definisi senada dalam Hilyat al-Awliya-nya:
“Tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak (orang-orang ) mulia.”
Definisi terakhir di atas sejalan dengan keberadaan Nabi SAW yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” Para perawi hadis ini adalah para perawi sahih (rijal al-shahih). (Majma’ al-Zawaid, juz VIII hal.188)
Akhlak itu sendiri merupakan perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imam al-Ghazali diungkapkan dengan redaksi: “Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan.”
Apa pun definisi yang dikemukakan para ulama mengenai tasawuf, satu hal pasti adalah bahwa tasawuf merupakan sisi rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial; bahkan ia merupakan inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul.
Pernyataan Imam Muhammad Zaki Ibrahim barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: “Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tasawuf, semua definisi yang ada mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tasawuf adalah hijrah menuju Allah SWT, dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat saling melengkapi.” (Abjadiyyah al-Tashawwuf al-Islami, atau Tasawuf Salafi, hal 7)
Tidak satu definisi-pun yang mampu menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tasawuf. Demikian pula, tidak ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut denga ihsan ‘beribadah seolah-olah melihat Allah’, karena hal itu menyangkut soal “rasa dan pengalaman” bukan “penalaran atau pemikiran”. Pemahaman yang utuh mengenai tasawuf dan sekaligus ihsan hanya muncul setelah seseorang “mengalami” dan tidak sekadar “membaca” definisi-definisi yang dikemukakan orang.
GENERASI SUFI
As-sulami dalam Thabaqat, merinci sebuah nama besar dari seluruh periode, dengan lima generasi. Generasi ini menurut As-Sulamy adalah generasi terbaik, yang meletakkan dasar-dasar utama Sufi, dan masuk dalam kategori sabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik ummat manusia adalah generasi abadku,kemudian generasi abad berikutnya, lalu generasi abad berikutnya …” (H.R. Bukhari) . Generasi inilah yang juga pernah di prediksi oleh Rasulullah saw, dalam sabdanya : “Ummatku senantiasa ada empat puluh orang, berperilaku dengan budi pakerti Ibrahim Al-Khalil Alaihissalam, manakala ada suatu perkara datang, mereka diserahi”. Generasi pertama sampai generasi kelima, berjumlah 100 tokoh Sufi, masung-masing generasi terdiri 20 tokoh: Generasi pertama : Al-Fudhail bin ‘Iyadh ,Dzun-Nun, al-mishry,Ibrahim bin Adam, Bisyr Al-Harfy, Sary As-Saqathy, Al-harits Al-muhasiby, Syaqiq al-Balqhy, Abu yazid al-Busthomy, Abu Sulaiman ad-Darany, Ma’ruf al-Karky, Hatim al-Asham , Ahmad bin Hadrawary, Yahya bin Mu’adz ar-Razy , Abu Hafsan-Naisyabury, Hamdun al-Qashar, Manshur bin Ammar , Ahmad bin Ashim al-Anthaky, Abdullah bin Khubaik al-Anthaky, dan Abu Turab an-Nakhsyaby.
Generasi kedua :
Abul Qasim al-Junaid, Abul husayn an-Nury, Abu Utsman al-Hiry an-Naysabury, Abu Abdullah ibnu jalla, Ruwaim bin Ahmad al-Baghdady, Yusuf bin Ibnul Husain ar-Razy, Syah al-Kirmani , Samnun bin Hamzah al-Muhibb, Amr bin Utsman al-makky, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Muhammad bin Fadhl al-balkhy, Muhammad bin Ali at-Turmudzy, Abu Bakar al-Warraq,Abu Sa’id al-Kharraz, Ali bin Sahl al-Ashbahany, Abul Abbas bin Masruq ath-thusy, Abu Abdullah al-Maghriby, Abu Ali az-Zujajany, Muhammad dan Ahmad,kedua putra AbulWard, Abu Abdullah as-Sijzy.
Generasi ketiga :
Abu Muhammad al-Jurairy, Abul Abbas bin Atha’ al-Adamy, Mahfud bin Mahmud an-Naysabury, Thahir al-Muqaddasy, Abu Amr ad-Dimasyqy, Abu Bakr bin Hamidat-Turmudzy,Abu Ishaq Ibrahim al-Khawash, Abdullah bin Muhammad al-Kharraz ar-Razy, Bunan bin Muhammad al-Jamal, Abu Hamzah al-Baghdady al-Bazzaz, Abul Husayn al-Waraq an-Naysaburi, Abu Bakr al-Wasithy,al-Husayny bin Mashur al-Hallaj, Abul Husainy bin as-Shaigh ad-Dainury Mumsyadz ad-Dinawary Ibrahim al-Qashshar, Khairun Nasaj, Abu Hanzah al-Kurasany, Abu Abdullah ash-Shubaihy, Abu Ja’far bin Sinan.
Generasi keempat :
Abu Bakr asy-Syibly , Abu Muhammad al-Murtaisy, Abu Ali ar-Rudzbary, Abu Ali ats-tsaqafi Abdullah bin Muhammad bin Manazil, Abul Khair al-Aqtha’ at-Tinaty, Abu Bakr al-Kattany, Abu Ya’kub an-Nahrajury Abul Hasan al-Muzayyin, Abul ali Ibnul Katib, Abul Husayn bin Banan, Abu Bakr bin Thahir al-Abhury,Mudzaffar al-Qurminisainy, Abu Bakr bin Yazdaniyaz, Abu Ishaq Ibrahim Ibnul Maulid, Abu Abdullah bin Alyan an-Nasyawy, Abu Bakr bin Abi Sa’dan.
Generasi kelima:
Abu Sa’id ibnul A’raby, Abu Amr az-Zujajy, Ja’far bin Muhammad al-Khuldy , Abul Abbas al-Qasim as-Sayyary, Abu Bakr Muhammad bin Dawud ad-Duqqy, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad asy-Sya’any, Abu Amr Ismail bin Nujaid , Abul Hasan Ali bin Ahmad al-Busyanjy, Abu Abdullah Muhammad bin Khafif, Bundar ibnu Husayn as-Syirazy, Abu Bakr at-Timistany, Abul Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dainury, Abu Utsman Sa’id bin Salman al-Maghriby, Abul Qasim Ibrahim bin Muhammad an-Nashruabadzy, Abul Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushry, Abu Abdullah at-Targhundy, Abul Hasan Ali bin Bundar ash-Syairafy, Abu Bakr Muhammad bin Ahmad asy-Syabahy, Abu BakrMuhammad bin Ahmad al-Farra’, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Muqry, Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad ar-Rasy, Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawary.
Setelah periode As-Sulamy muncul beberapa sufi seperti Abul Qasim al-Qusayry, disusul prestasi puncak pada Abu Hamid Al-Ghazali (yang bergelar Hujjatul Islam ), kemudian Syaikh Abdul Qadir al- Jailany,Ibnul Araby , dan Sulthanul A’uliya’Syaikh Abul Hasan Asyadzily.
POINT SERTA ISTILAH DALAM AJARAN TASAWUF
Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat popular, dan menjadi terminology tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, Semuanya didasarkan pada Ql-Qur’an dan HadistNabi. Karena di butuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlahterminologinya, sebagaimana dibawah ini, yaitu: Ma’rifatullah Al-Waqt, Maqam, Haal, Qadh dan Bast, Haibah dan Uns, Tawajud –Wajd –Wujud, Jam’ dan Farq, Fana dan Baqa’. Ghaibah dan Hudhur, Shahw dan syukr, Dzauq dan Syurb, Mahw dan Istbat, Sitr dan Tajalli, Muhadharah, Lawaih, Lawami’ dan Thawali’, Buwadah dan Hujum , Talwin dan Tamkin, Qurb dan Bu’d, Syari’at dan Hakikat, Nafas, Al-Khawatir, Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, Warid, Syahid, Nafsu, Ruh, Sirr, dan yang lainnya .
Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain : Taubat, Mujahadah , Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara’, Zuhud, Diam, Khauf Raja’, Huzn, Lapar dan Meninggalkan Syahwat, Khusu’ dan Tawadu’, Jihadun, Nafs, Dengki, Pergunjingan, Qana’ah, Tawakal, Syukur, Yaqin, Sabar, Muraqabah, Ridha, Ubudiyah, Istiqamah, Ikhlas, Kejujuran, Malu, kebebasan, Dzikir, Futuwwah, Firisat, Akhlaq, Kedermawa’n, Do’a, Kefakiran, Tasawuf, Adab, Persahabatan, Tauhid, Keluar dari dunia, Cinta, Rindu, Mursyid, Sama’, Murid, Murad, Karamah, Mimpi, Tharekat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya.
Seluruh istilah tersebut biasamya menjadi tema-tema dalam kitab-kitab Tasawuf, karena perilaku para Sufi tidak lepas dari subtansi dibalik istilah-istilah itu semua, dan nantinya di balik istilah tersebut selain bermuatan subtansi, juga mengandung “rambu-rambu” jalan ruhani itu sendiri.
TUDUHAN-TUDUHAN NEGATIF PADA TASAWUF
Demi objektifitas, menilai apakah tasawuf melenceng dari ajaran Islam apa tidak, kita harus melewati beberapa kriteria di bawah ini. Dengan kriteria ini secara otomatis kita bisa mengukur hakikat tasawuf.
Pertama sekali, penilaian harus melampaui tataran kulit, dan langsung masuk pada substansi materi dan tujuannya.
Lantas apa substansi materi tasawuf? Seperti dijelaskan di atas tujuan tasawuf adalah dalam rangka membersihkan hati, mengamalkan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang jelek. Seorang sufi dituntut selalu ikhlas, ridha, tawakal, dan zuhud – tanpa sama sekali mengatakan bahwa kehidupan dunia tidak penting.
Kedua, Menilai secara objektif, jauh dari sifat tendensius dan menggenalisir masalah.
Sikap ini sangat penting. Karena pembacaan terhadap sebuah kasus yang sudah didahului oleh kesimpulan paten akan menghalangi objektifitas, dan memburamkan kebenaran sejati.
Ketiga, memahami istilah atau terminologi yang biasa digunakan para sufi, sehingga kita tidak terjebak kepada ketergesa-gesaan dalam memvonis sebuah masalah.
Misalnya dalam dunia sufi dikenal istilah zuhud. Kemudian orang sering salah mengartikan bahwa zuhud adalah benci segala hal duniawi. Zuhud identik dengan malas kerja, dst. Padahal kalau kita teliti dengan sedikit kesabaran tentang apa itu arti zuhud yang dimaksud para sufi, maka kita akan menemukan bahwa zuhud yang dimaksud tidak seperti persepsi di atas. Abu Thalib al-Maki, seorang tokoh sufi, misalnya, punya pandangan bahwa bekerja dan memiliki harta sama sekali tidak mengurangi arti zuhud dan tawakal.
Keempat, dalam vonis hukum, kita perlu membedakan antara hukum sufi yang mengucapkan kata-kata dalam keadan ecstasy dan dalam keadaan sadar.
Konsep ini penting sekali, supaya kita tidak terjebak pada sikap ekstrim seperti memvonis kafir, musyrik, fasik, dll.
Kenyataan di atas sama sekali tidak berarti mau mengatakan bahwa sejarah sufi, putih bersih. Ada masa-masa dimana ada oknum kaum sufi melenceng dari hakikat ajaran Islam, terutama setelah berkembangnya tasawuf falsafi.
Beberapa penyimpangan oknum kaum sufi falsafi:
– Menyepelekan kehidupan duniawi
– Terjebak pada pola pandang jabariah
– Mengaku-ngaku bahwa Allah Swt telah membebaskannya dari hukum taklif, seperti shalat, puasa, dll. Dan semua hal bagi dirinya halal.
KESIMPULAN
Setelah mengetahui hakikat ajaran tasawuf di atas jelaslah bahwa ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam. Ia bukanlah aliran sesat. Bahwa ada penyimpang oknum sufi itu tidak berarti tasawuf itu jelek dan sesat. Kita jangan sekali-kali terjebak apada generalisir masalah. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat ajaran tasawuf harus bersendikan al-Qur’an dan Hadis. Diluar itu ditolak!
Tasawuf, seperti dinyatakan Syeikh Yusuf al-Qardhawi, adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Karena misi tasawuf memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. Karena Nabi Muhamad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.

17 Oktober 2012

Definisi Sufism

oleh alifbraja

Sufisme (bahasa Arab: تصوف, tasawwuf, bahasa Arab / Persia: عرفان) adalah sebuah tradisi tasawuf Islam yang mencakup berbagai kepercayaan dan praktek. Antaranya adalah aspek esoterik mengenai komunikasi dan dialog langsung antara umat Islam dengan Allah. Tariqa (mazhab Sufi) bisa memiliki kaitan dengan Syiah, Sunni, dan kecenderungan Islam yang lain, atau dengan gabungan tradisi beberapa. Pemikiran Sufi muncul dari Timur Tengah pada abad ke-8, tetapi penganut-penganutnya kini ada di seluruh dunia.

Sufisme telah menghasilkan sejumlah besar puisi dalam bahasa Arab, Turki, Persia, Kurd, Urdu, Punjabi, dan Sindhi yang mencakup karya-karya Jalal al-Din Muhammad Rumi, Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai, Sachal Sarmast, dan Sultan Bahu, dan juga banyak tradisi tarian kesalihan (misalnya pemusingan Sufi), dan musik seperti Qawwali.

 

Pada masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat nabi.

 

Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan menempatkan “al-Sufi” di belakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan awal abad II Hijriyyah.

 

Rencana ini memberikan penerangan tentang zuhud yang dilihat dari sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai peralihannya ke tasawuf.

 

Etimologi

 

Beberapa etimologi untuk kata “Sufi” telah diusulkan.

 

Pandangan yang umum adalah bahwa kata “Sufi” berasal dari Suf (صوف), satu kata bahasa Arab untuk sakhlat yang mengacu pada mantel sederhana yang dipakai oleh zahid-zahid Islam pada zaman awal. Namun, tidak semua ahli sufi memakai mantel atau pakaian yang terbuat dari sakhlat.

 

Lagi sebuah teori etimologi menyatakan bahwa kata dasar untuk “Sufi” adalah kata bahasa Arab, safa (صفا) yang berarti kesucian, dan merujuk kepada penegasan Sufisme terhadap kesucian hati dan jiwa.

 

Beberapa orang yang lain mengatakan bahwa asal kata “Sufi” adalah dari kata “Ashab al-Suffa” (“Teman-teman Serambi”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang-orang Serambi”) yang merupakan sekelompok penganut Islam pada zaman Nabi Muhammad yang menghabiskan banyak waktu di serambi masjid Nabi untuk bersembahyang.

 

Zuhud

 

Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon sufi adalah zuhd yaitu kondisi meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi adalah zahid, tetapi tidak setiap zahid merupakan sufi [1].

 

Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah [2].

 

Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes [3]. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah. Terkait dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir” [4]. Zuhud disini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah.

 

Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah., Bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Kondisi seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya [5].

 

Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya [6]. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.

 

Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah berikut: “Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan” [7]. “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” [8]. Sementara dalam hadits disabdakan: “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari” [9]

 

Faktor-faktor Zuhud

 

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud dalam sistematika: al-taubah, al-sabr, al-Faqr, al-zuhud, al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan zuhud dalamsistematika: al-taubah, al-wara ‘, al-zuhd, al-Faqr, al-shabr, al-ridla, al-tawakkul, dan al-ma’rifah [10]. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam: al-taubah, al-wara ‘, al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla [11].

 

Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.

 

Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu: Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir [12].

 

Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan atman dengan Brahman [13]

 

Sementara itu Abu al’ala Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal-usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga: Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara ‘[14], taqwa dan zuhud.

 

Kedua, reaksi spiritual kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan Mu’awiyah, yang dimulai dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia dan memiliki sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.

 

Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini harus ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah kalamiyyah pada awal abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih, yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam [15].

 

Menurut hemat penulis, zuhud itu meskipun ada kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak ditemukan ayat al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak ditemukan nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa neraka (QS.Al-hadid: 19), (QS.Adl-Dluha : 4), (QS. Al-Nazi’aat: 37 – 40).

 

Transisi dari Zuhud ke Tasawuf

 

Benih – benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Karena itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan spiritual para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.

 

Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada waktu itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik-konflik sosial politik yang dimulai dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata memiliki dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah, Syiah, Khawarij, dan Murjiah.

 

Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kedzaliman – kedzaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H [16].

 

Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini memiliki pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam kondisi sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu ‘awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW dan sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya, Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh, dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut adalah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia meluncurkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.

 

Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak: zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak: abidin atau ubbad) atau nasik (jamak: nussak) [17]

 

Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu:
Aliran Madinah

 

Sejak masa yang dini, di Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-Jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah bin Mas’ud (w . 33 H.), Hudzaifah bin Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H.).

 

Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada zuhud dan kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
Aliran Bashrah

 

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam, bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan Qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi, Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid bin Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan [18].

 

Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah adalah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata: “Para sufi pertama-tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para sufi adalah sebagian teman Abdul Wahid bin Zaid, salah seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebihan dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota – kota lain “[19]. Menurut Ibn Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
Aliran Kufah

 

Aliran Kufah menurutLouis Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh , sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.

 

Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah adalah ar-Rabi ‘ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id bin Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H .), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)
Aliran Mesir

 

Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah bin Amru bin al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.

 

Tokoh – tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ‘Atar al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an dan shalat malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah: “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam “. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir, dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.

 

Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H.). Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll [20]

 

Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu memiliki karakteristik sebagai berikut:

 

Pertama: Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.

 

Kedua: Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

 

Ketiga: Motivasi zuhud ini adalah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.

 

Keempat: Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase antisipasi tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka disebut zahid, qari ‘dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.

 

Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf dimulai dari gerakan zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan menempatkan al-sufy di belakang namanya. Saat ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (Ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa ‘) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ ain al jama ‘) [21]. Sejak itulah muncul karya-karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-Muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H. ). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.
Kesimpulan

 

    Zuhud adalah fase yang mendahului tasawuf.

 

    Munculnya aliran-aliran zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.

 

    Pada akhir abad ke II Hijriyyah transisi dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian, menurut Nicholson, untuk membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh spiritual pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut at-taftazani, mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.

 

Bacaan lanjutan

 

    Aceh, Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani, 1984.
    Al-Taftazani, Abu al-Wafa, al-Ghanimi, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, Qahirah, Dar al-Tsaqafah, 1979.
    Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
    Al-Tusi, Nasr al-Sarraj al-Luma ‘, Mesir, dar al-Kutub al-Hadisah, 1960
    Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
    Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi, Mesir, al-Anjalu al-Misriyyah, 1954
    Munawir, Ahmad warson, al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir, Yogyakarta, 1984
    Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1995
    Nicholson, A. Reynold, The Mistic of Islam, terj. BA, Jakarta, Bumi Aksara, 1998
    Syukur, Amin, Prof. Dr., Menggugat Tasawuf, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
    Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000
    Taimiyah, Ibnu, al-Shuffiyyah wa al-Fuqoro ‘, kairo, Mathba’ah al-Manar, 1348 H.

 

Catatan kaki

 

    Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1995, hlm. 64
    Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir: Kamus Arab – Indonesia, PP. Al-Munawiwir, Yogyakarta, 1984, hlm. 626.
    Prof. Dr. Amin Syukur MA, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2000, hlm. 1
    Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir: al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku MA, Zuhud …, op.cit, hlm. 2
    Ibid., Hlm. 3
    Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka), 1977, hlm. 54
    QS. Al-Baqarah, 2:143
    QS. Al-Qashash, 28:77
    Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., Hlm. 55
    Al-Tusi, Al-Luma ‘, (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah), 1960, hlm. 65
    Lihat Harun Nasution, falsafat …, op.cit., Hlm. 62-63
    Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi …, op.cit., Hlm. 56-57
    Ibid., Hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA, Zuhud …, op.cit., Hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta: Bumi Aksara), 1998, hlm. 8-21
    Istilah wara ‘sering dipakai dalam dunia tasawuf, arti dari istilahtersebut adalah sikap menjaga diri dan membentenginya dari hal-hal yang tidak jelas hukumnya, atau dengan kata lain menjaga diri daribarang yang syubhat.
    Prof.Dr.Amin Syukur MA, Zuhud …, op.cit., Hlm. 5-6; lihat juga al-Taftazani, Sufi …, op.cit., Hlm. 58 dan 250
    Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80-81
    Ibid., Hlm. 82
    Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islamy, (Qahirah al-Tsaqafah), 1979, hlm. 72 – 75
    Ibn Taimiyyah, al-Shuffiyyah wa al-fuqara ‘, (Kairo: Mathba’ah al-Manar), 1348 H., hlm. 3-4
    Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi …, op.cit., Hlm. 68-80
    Abu BakarAceh, Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo: Ramadlani), 1984, hlm.57

15 Oktober 2012

Pintu Pahala Dan Pelebur Dosa

oleh alifbraja

Di dalam risalah yang sederhana ini kami sampaikan beberapa amalan yang dapat melebur dosa dan membawa pahala yang besar, yang kesemuanya bersumber dari hadist-hadist yang shahih. Kita bermohon kepada Allah yang Maha Hidup, yang tiada Tuhan yang haq selain Dia, untuk menerima segala amalan kita. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 

1. TAUBAT

“Barangsiapa yang bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah akan mengampuninya” HR. Muslim, No. 2703. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima tobat seorang hamba selama ruh belum sampai ketenggorokan”.

 

2. KELUAR UNTUK MENUNTUT ILMU

 

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu,niscaya Allah memudahkan baginya dengan (ilmu) itu jalan menuju surga” HR. Muslim, No. 2699.

 

 3. SENANTIASA MENGINGAT ALLAH

 

“Inginkah kalian aku tunjukkan kepada amalan-amalan yang terbaik, tersuci disisi Allah, tertinggi dalam tingkatan derajat, lebih utama daripada mendermakan emas dan perak, dan lebih baik daripada menghadapi musuh lalu kalian tebas batang lehernya, dan merekapun menebas batang leher kalian. Mereka berkata: “Tentu”, lalu beliau bersabda: (( Zikir kepada Allah Ta`ala ))” HR. At Turmidzi, No. 3347.

4. BERBUAT YANG MA`RUF DAN MENUNJUKKAN JALAN KEBAIKAN

 

“Setiap yang ma`ruf adalah shadaqah, dan orang yang menunjukkan jalan kepada kebaikan (akan mendapat pahala) seperti pelakunya” HR. Bukhari, Juz. X/ No. 374 dan Muslim, No. 1005.

5. BERDA`WAH KEPADA ALLAH

“Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” HR. Muslim, No. 2674.

6. MENGAJAK YANG MA`RUF DAN MENCEGAH YANG MUNGKAR.

 ”Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, jika ia tidak mampu (pula) maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman” HR. Muslim, No. 804.

 

 7. MEMBACA AL QUR`AN

“Bacalah Al Qur`an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat untuk memberikan syafa`at kepada pembacanya” HR. Muslim, No. 49.

 

8. MEMPELAJARI AL QUR`AN DAN MENGAJARKANNYA

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur`an & mengajarkannya ” HR. Bukhari, Juz. IX/No. 66.

 

 

9. MENYEBARKAN SALAM

 Kalian tidak akan masuk surga sehingga beriman, dan tidaklah kalian beriman (sempurna) sehingga berkasih sayang. Maukah aku tunjukan suatu amalan yang jika kalian lakukan akan menumbuhkan kasih sayang di antara kalian? (yaitu) sebarkanlah salam” HR. Muslim, No.54.

 

10. MENCINTAI KARENA ALLAH

 ”Sesungguhnya Allah Ta`ala berfirman pada hari kiamat: ((Di manakah orang-orang yang mencintai karena keagungan-Ku? Hari ini Aku akan menaunginya dalam naungan-Ku, pada hari yang tiada naungan selain naungan-Ku))” HR. Muslim, No. 2566.

 

11. MEMBESUK ORANG SAKIT

 ”Tiada seorang muslim pun membesuk orang muslim yang sedang sakit pada pagi hari kecuali ada 70.000 malaikat bershalawat kepadanya hingga sore hari, dan apabila ia menjenguk pada sore harinya mereka akan shalawat kepadanya hingga pagi hari, dan akan diberikan kepadanya sebuah taman di surga” HR. Tirmidzi, No. 969.

 

12. MEMBANTU MELUNASI HUTANG

“Barangsiapa meringankan beban orang yang dalam kesulitan maka Allah akan meringankan bebannya di dunia dan di akhirat” HR. Muslim, No.2699.

 

13. MENUTUP AIB ORANG LAIN

 ”Tidaklah seorang hamba menutup aib hamba yang lain di dunia kecuali Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat” HR. Muslim, No. 2590.

 

14. MENYAMBUNG TALI SILATURAHMI

 ”Silaturahmi itu tergantung di `Arsy (Singgasana Allah) seraya berkata: “Barangsiapa yang menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan dengannya, dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan dengannya” HR. Bukhari, Juz. X/No. 423 dan HR. Muslim, No. 2555.

15. BERAKHLAK YANG BAIK

 ”Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga, maka beliau menjawab: “Bertakwa kepada Allah dan berbudi pekerti yang baik” HR. Tirmidzi, No. 2003.

16. JUJUR

 ”Hendaklah kalian berlaku jujur karena kejujuran itu menunjukan kepada kebaikan, dan kebaikan menunjukan jalan menuju surga” HR. Bukhari Juz. X/No. 423 dan HR. Muslim., No. 2607.

 

17. MENAHAN MARAH

 

“Barangsiapa menahan marah padahal ia mampu menampakkannya maka kelak pada hari kiamat Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk dan menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai” HR. Tirmidzi, No. 2022.

 

18. MEMBACA DO`A PENUTUP MAJLIS

 

“Barangsiapa yang duduk dalam suatu majlis dan banyak terjadi di dalamnya kegaduhan lalu sebelum berdiri dari duduknya ia membaca do`a: (Maha Suci Engkau Ya Allah dan dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa Tidak ada Ilah (Tuhan) yang berhak disembah kecuali Engkau, aku memohon ampun dan bertobat kepada-Mu) melainkan ia akan diampuni dari dosa-dosanya selama ia berada di majlis tersebut” HR. Tirmidzi, Juz III/No. 153.

 

19. SABAR “

 Tidaklah suatu musibah menimpa seorang muslim baik berupa malapetaka, kegundahan, rasa letih, kesedihan, rasa sakit, kesusahan sampai-sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan melebur dengannya kesalahan-kesalahannya” HR. Bukhari, Juz. X/No. 91.

 

20. BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA

 ”Sangat celaka, sangat celaka, sangat celaka…! Kemudian ditanyakan: Siapa ya Rasulullah?, beliau bersabda: ((Barangsiapa yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya di masa lanjut usia kemudian ia tidak bisa masuk surga))” HR. Muslim, No. 2551.

 

21. BERUSAHA MEMBANTU PARA JANDA DAN MISKIN

 ”Orang yang berusaha membantu para janda dan fakir miskin sama halnya dengan orang yang berjihad di jalan Allah” dan saya (perawi-pent) mengira beliau berkata: ((Dan seperti orang melakukan qiyamullail yang tidak pernah jenuh, dan seperti orang berpuasa yang tidak pernah berbuka” HR. Bukhari, Juz. X/No. 366.

 

22. MENANGGUNG BEBAN HIDUP ANAK YATIM

 ”Saya dan penanggung beban hidup anak yatim itu di surga seperti begini,” seraya beliau menunjukan kedua jarinya: jari telunjuk dan jari tengah.HR. Bukhari, Juz. X/No. 365.

 

23. WUDHU`

“Barangsiapa yang berwudhu`, kemudian ia memperbagus wudhu`nya maka keluarlah dosa-dosanya dari jasadnya, hingga keluar dari ujung kukunya” HR. Muslim, No. 245.

 

24. BERSYAHADAT SETELAH BERWUDHU`

Barangsiapa berwudhu` lalu memperbagus wudhu`nya kemudian ia mengucapkan: (Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan yang haq selain Allah tiada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya,Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci),” maka dibukakan baginya pintu-pintu surga dan ia dapat memasukinya dari pintu mana saja yang ia kehendaki” HR. Muslim, No. 234.

 

25. MENGUCAPKAN DO`A SETELAH AZAN

“Barangsiapa mengucapkan do`a ketika ia mendengar seruan azan: ((Ya Allah pemilik panggilan yang sempurna dan shalat yang ditegakkan, berilah Muhammad wasilah (derajat paling tinggi di surga) dan kelebihan, dan bangkitkanlah ia dalam kedudukan terpuji yang telah Engkau janjikan kepadanya)) maka ia berhak mendapatkan syafa`atku pada hari kiamat”HR. Bukhari, Juz. II/No. 77.

 

26. MEMBANGUN MASJID

 ”Barangsiapa membangun masjid karena mengharapkan keridhaan Allah maka dibangunkan baginya yang serupa di surga” HR. Bukhari, No. 450.

 

27. BERSIWAK

 ”Seandainya saya tidak mempersulit umatku niscaya saya perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap shalat” HR. Bukhari II/No. 331 dan HR. Muslim, No. 252.

 

28. BERANGKAT KE MASJID

“Barangsiapa berangkat ke masjid pada waktu pagi atau sore, niscaya Allah mempersiapkan baginya tempat persinggahan di surga setiap kali ia berangkat pada waktu pagi atau sore” HR. Bukhari, Juz. II/No. 124 dan HR. Muslim, No. 669.

 

29. SHALAT LIMA WAKTU

 ”Tiada seorang muslim kedatangan waktu shalat fardhu kemudian ia memperbagus wudhu`nya, kekhusyu`annya dan ruku`nya kecuali hal itu menjadi pelebur dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya selama ia tidak dilanggar suatu dosa besar. Dan yang demikian itu berlaku sepanjang masa” HR. Muslim, No. 228.

30. SHALAT SUBUH DAN ASHAR

“Barangsiapa shalat pada dua waktu pagi dan sore (subuh dan ashar) maka ia masuk surga” HR. Bukhari, Juz. II/No. 43.

 

31. SHALAT JUM`AT

 ”Barangsiapa berwudhu` lalu memperindahnya, kemudian ia menghadiri shalat Jum`at, mendengar dan menyimak (khutbah) maka diampuni dosanya yang terjadi antara Jum`at pada hari itu dengan Jum`at yang lain dan ditambah lagi tiga hari” HR. Muslim, 857.

 

32. SAAT DIKABULKANNYA PERMOHONAN PADA HARI JUM`AT

 ”Pada hari ini terdapat suatu saat bilamana seorang hamba muslim bertepatan dengannya sedangkan ia berdiri shalat seraya bermohon kepada Allah sesuatu, tiada lain ia akan dikabulkan permohonannya”HR. Bukhari, Juz. II/No. 344 dan HR. Muslim, No. 852.

33. MENGIRINGI SHALAT FARDHU DENGAN SHALAT SUNNAT

RAWATIB

 ”Tiada seorang hamba muslim shalat karena Allah setiap hari 12 rakaat sebagai shalat sunnat selain shalat fardhu, kecuali Allah membangunkan baginya rumah di surga” HR. Muslim, No. 728.

 

34. SHALAT 2 (DUA) RAKAAT SETELAH MELAKUKAN DOSA

“Tiada seorang hamba yang melakukan dosa, lalu ia berwudhu` dengan sempurna kemudian berdiri melakukan shalat 2 rakaat, lalu memohon ampunan Allah, melainkan Allah mengampuninya” HR. Abu Daud, No.1521.

35. SHALAT MALAM

 ”Shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam” HR. Muslim, No. 1163.

 

36. SHALAT DHUHA

“Setiap persendian dari salah seorang di antara kalian pada setiap paginya memiliki kewajiban sedekah, sedangkan setiap tasbih itu sedekah, setiap tahmid itu sedekah, setiap tahlil itu sedekah, setiap takbir itu sedekah, memerintahkan kepada yang makruf itu sedekah dan mencegah dari yang mungkar itu sedekah, tetapi semuanya itu dapat terpenuhi dengan melakukan shalat 2 rakaat dhuha” HR. Muslim, No. 720.

 

37. SHALAWAT KEPADA NABI SAW

 ”Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah membalas shalawatnya itu sebanyak 10 kali” HR. Muslim, No. 384.

38. PUASA

 ”Tiada seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah melainkan Allah menjauhkannya karena puasa itu dari neraka selama 70 tahun” HR. Bukhari, Juz. VI/No. 35.

 

39. PUASA 3 (TIGA) HARI PADA SETIAP BULAN

 ”Puasa 3 (tiga) hari pada setiap bulan merupakan puasa sepanjang masa” HR. Bukhari, Juz. IV/No. 192 dan HR. Muslim, No. 1159.

 

40. PUASA 60 (ENAM) HARI PADA BULAN SYAWAL

 ”Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan, lalu ia mengiringinya dengan puasa 6 hari pada bulan Syawal maka hal itu seperti puasa sepanjang masa” HR. Muslim, 1164.

 

41. PUASA `ARAFAT

“Puasa pada hari `Arafat (9 Dzulhijjah) dapat melebur (dosa-dosa) tahun yang lalu dan yang akan datang” HR. Muslim, No. 1162.

 

42. PUASA `ASYURA

 ”Dan dengan puasa hari `Asyura (10 Muharram) saya berharap kepada Allah dapat melebur dosa-dosa setahun sebelumnya” HR. Muslim,No. 1162.

 

43. MEMBERI HIDANGAN BERBUKA BAGI ORANG YANG BERPUASA

 ”Barangsiapa yang memberi hidangan berbuka bagi orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang berpuasa itu, dengan tidak mengurangi pahalanya sedikitpun” HR. Tirmidzi, No. 807.

 

44. SHALAT DI MALAM LAILATUL QADR

 ”Barangsiapa mendirikan shalat di (malam) Lailatul Qadr karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”HR. Bukhari Juz. IV/No. 221 dan HR. Muslim, No. 1165.

 

45. SEDEKAH

 ”Sedekah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api” HR. Tirmidzi, No. 2616.

 

46. HAJI DAN UMRAH

 ”Dari umrah ke umrah berikutnya merupakan kaffarah (penebus dosa) yang terjadi di antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga” HR. Muslim, No. 1349.

 

47. BERAMAL SHALIH PADA 10 HARI BULAN DZULHIJJAH

 ”Tiada hari-hari, beramal shalih pada saat itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini, yaitu 10 hari pada bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: “Dan tidak (pula) jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: “Tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali lagi dengan membawa sesuatu apapun” HR. Bukhari, Juz. II/No. 381.

 

48. JIHAD DI JALAN ALLAH

 ”Bersiap siaga satu hari di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan tempat pecut salah seorang kalian di surga adalah lebih baik daripada dunia dan seisinya” HR. Bukhari, Juz. VI/No. 11.

 

49. INFAQ DI JALAN ALLAH

“Barangsiapa membantu persiapan orang yang berperang maka ia (termasuk) ikut berperang, dan barangsiapa membantu mengurusi keluarga orang yang berperang, maka iapun (juga) termasuk ikut berperang” HR. Bukhari, Juz.VI/No. 37 dan HR. Muslim, No. 1895.

 

50. MENSHALATI MAYIT DAN MENGIRINGI JENAZAH

 ”Barangsiapa ikut menyaksikan jenazah sampai dishalatkan maka ia memperoleh pahala satu qirat, dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikubur maka baginya pahala dua qirat. Lalu dikatakan: “Apakah dua qirat itu?”, beliau menjawab: ((Seperti dua gunung besar))” HR. Bukhari, Juz. III/No. 158.

 

51. MENJAGA LIDAH DAN KEMALUAN

 ”Siapa yang menjamin bagiku “sesuatu” antara dua dagunya dan dua selangkangannya, maka aku jamin baginya surga” HR. Bukhari, Juz. II/No. 264 dan HR. Muslim, No. 265.

 

52. KEUTAMAAN MENGUCAPKAN LAA ILAHA ILLALLAH & SUBHANALLAH WA BI HAMDIH

 ”Barangsiapa mengucapkan: sehari seratus kali, maka baginya seperti memerdekakan 10 budak, dan dicatat baginya 100 kebaikan,dan dihapus darinya 100 kesalahan, serta doanya ini menjadi perisai baginya dari syaithan pada hari itu sampai sore. Dan tak seorangpun yang mampu menyamai hal itu, kecuali seseorang yang melakukannya lebih banyak darinya”. Dan beliau bersabda: “Barangsiapa mengucapkan: satu hari 100 kali, maka dihapuskan dosa-dosanya sekalipun seperti buih di lautan” HR. Bukhari, Juz. II/No. 168 dan HR. Muslim, No. 2691.

 

53. MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN

 ”Saya telah melihat seseorang bergelimang di dalam kenikmatan surga dikarenakan ia memotong pohon dari tengah-tengah jalan yang mengganggu orang-orang” HR. Muslim.

 

54. MENDIDIK DAN MENGAYOMI ANAK PEREMPUAN

 ”Barangsiapa memiliki tiga anak perempuan, di mana ia melindungi, menyayangi, dan menanggung beban kehidupannya maka ia pasti akan mendapatkan surga” HR. Ahmad dengan sanad yang baik.

 

55. BERBUAT BAIK KEPADA HEWAN

 ”Ada seseorang melihat seekor anjing yang menjilat-jilat debu karena kehausan maka orang itu mengambil sepatunya dan memenuhinya dengan air kemudian meminumkannya pada anjing tersebut, maka Allah berterimakasih kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga” HR. Bukhari.

 

57. MENINGGALKAN PERDEBATAN

 ”Aku adalah pemimpin rumah di tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan padahal ia dapat memenangkannya”HR. Abu Daud.

58. MENGUNJUNGI SAUDARA-SAUDARA SEIMAN

 ((Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang para penghuni surga? Mereka berkata: “Tentu wahai Rasulullah”, maka beliau bersabda: “Nabi itu di surga, orang yang jujur di surga, dan orang yang mengunjungi saudaranya yang sangat jauh dan dia tidak mengunjunginya kecuali karena Allah maka ia di surga”)) Hadits hasan, riwayat At-Thabrani.

 

59. KETAATAN SEORANG ISTRI TERHADAP SUAMINYA

 ”Apabila seorang perempuan menjaga shalatnya yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menjaga kemaluannya serta menaati suaminya maka ia akan masuk surga melalui pintu mana saja yang ia kehendaki” HR. Ibnu Hibban, hadits shahih.

 

60. TIDAK MEMINTA-MINTA KEPADA ORANG LAIN

 ”Barangsiapa yang menjamin dirinya kepadaku untuk tidak meminta-minta apapun kepada manusia maka aku akan jamin ia masuk surga” Hadits shahih, riwayat Ahlus Sunan.