HAMZAH FANSURI
BAPAK SASTRA DAN BAHASA MELAYU
Waktu dan t emp at Hamzah Fansuri lahir sampai sekarang masih
merupakan teka-teki. Demikian juga t ahun kapan ia meninggal tak
dike t ahui secara pasti. Namun bahwa ia adalah seorang sufi
besar yang luas pengaruhnya diwilayah Nusantara pada abad ke-17
dan sesudahnya, tidak ada yang bisa menyangkal. Jus t ru karena
luasnya pengaruh ajaran-ajarannya itulah yang membuat kita bert anya – t anya mengapa tidak ada catat an yang resmi kapan ia lahir
dan meninggal. Hikayat Aceh sendiri misalnya tidak me n y e b ut
adanya seorang tok oh sastra dan ahli tasawuf bernama Hamzah
Fansuri, suatu kekeliruan yang sangat besar, karena dengan demikian seakan-akan tok oh Hamzah Fansuri tidak pernah muncul dalam
sejarah Aceh.
Namun hal itu bisa dimaklumi. Peniadaan nama Hamzah Fansuri dan jejaknya dalam sejarah memanglah disengaja dan merupakan kelanjutan dari perintah perusakan te rhadap karya-karyanya
yang dipandang penuh dengan ajaran-ajaran yang berbahaya dan
menye s a tkan. Ketika pengaruh Hamzah Fansuri sudah berakar
dalam masyarakat Aceh pada awal abad ke -17, khususnya pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), datanglah
untuk kedua kalinya seorang ulama dari Ranir India bernama
Nuruddin, yang kelak akan ki ta kenal dengan nama Nuruddin
A Raniri. Ia adalah seorang ulama ortodo ks dan tidak menyukai
ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Dalam waktu yang singkat Nuruddin Arraniri dapat mempengaruhi sultan. Setelah itu ia berhasil
mendorong sultan melakukan perusakan te rhadap ajaran-ajaran
Hamzah Fansuri, sehingga seorang tok oh pr ibumi dengan mudah
dapat disingkirkan oleh seorang penda t ang. Dengan demikian penyingkiran te rhadap Hamzah Fansuri, yang di ikuti dengan pengejaran te rhadap dirinya dan pengikutnya serta pembakaran karya-karyanya, lebih me rupakan peristiwa pol it ik.
13 Namun sejarah tidak bisa dibohongi. Begitu Hamzah Fansuri
meninggal namanya tiba-tiba melejit lagi dan menjadi buah
bibir orang. Pengikutnya yang setia ternya ta tidak sedikit,
dan merekalah yang berhasil menye l ama tkan salinan karya-karya
Hamzah Fansuri sehingga sampai kepada kita sekarang ini Pertanyaan yang muncul kepada kita setelah lebih tiga abad kematiannya
ada l ah: “Benarkah ajaran tasawuf Hamzah Fansuri sesat? Tidakk ah apa yang ia alami serupa saja dengan apa yang dialami Al-Hallaj,
v yang huk uman ma t inya lebih merupakan peristiwa politik? “
Kita tidak perlu menjawab pe rt anya an itu sebelum memperhatikan sungguh-sungguh apa yang ia ajarkan dalam karya-karyanya. Sebab karya-karya Hamzah sendirilah kelak yang akan menjadi saksi atau hakim apakah ia seorang sufi yang sesat ataukah
t idak.
Meskipun hari dan t ahun kelahirannya tidak dike t ahui dengan
pasti, ia diperkirakan hidup antara pertengahan abad ke-I 6 dan
awal ke-17 pada masa pemerintahan raja Iskandar Muda. Karena
t ambahan nama di belakangnya “F angsur” itulah kita sekarang mengenalnya sebagai tok oh yang berasal dari Barus, Aceh, sebab kataka ta Melayu “B arus” bila diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
akan menjadi “F a n s u r”. Tapi di dalam sajak-sajaknya ia pun men yeb ut bahwa dirinya berasal dari Shahr Nawi, sebuah ko ta di
Siam t emp at be rmukimnya pedagang dan ulama Islam dari Persia
dan Ar ab. Jadi meskipun tidak bisa dipastikan di mana ia lahir sebena rnya, jelaslah kedua t emp at ini memiliki arti yang penting
dalam hidupnya.
Sajak-sajaknya juga menya t akan bahwa ia telah mengembara
ke berbagai t emp at dan negeri seperti J awa, Siam, Semenanjung
Melayu, Pesisir Sumatra, Persia dan tanah Arab. Selain menguasai
bahasa Melayu, ia mahir pula dalam bahasa-bahasa Persia dan Ar ab.
Penguasaan bahasanya inilah agaknya yang membuat ia sangat
mudah menguasai berbagai buku tasawuf dari sufi-sufi te rkemuka
Persia. Di dalam uraian-uraian tasawufnya misalnya tak sedikit
sajak-sajak para sufi Persia itu ia kut ip dalam bahasa aslinya, kemudian dibubuhi terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Bahkan ia tak segan-segan menya t akan bahwa ia belajar langsung tasawuf dari sufi-sufi terk emu ka di Persia. Ia juga diberitahukan telah mengunjungi Mekkah dan Medinah, dan menunaikan
ibadah haji.
14 Dalam sebuah sajaknya ia menulis:
Hamzah Fansuri di Negeri Melayu
Tempa tnya kapur di dalam kayu
“K apur” dalam sajak ini sama dengan “barus”, menunjukkan
t emp at asal Hamzah. Agaknya ia sengaja memakai kata-kata “kap ur” itu setelah baris yang menyebutkan namanya sendiri (Hamzah
Fansuri), lalu ia memb u at ungkapan yang menunjuk pada makrifat
(Uniomys t ika),: tempatnya kapur di dalam kayu.
Di dalam sajaknya yang lain ia menul i s:
Hamzah Shahr-Nawi terlalu hapus
Seperti kayu sekalian hangus
Asalnya Laut tidak berharus
Menjadi kapur di dalam Barus
Sajak ini mewartakan bahwa ia seakan-akan berasal dari ShahrNawi, Siam, namun dibesarkan dan mempelajari tasawuf sampai
makrifat di tanah barus. Kata-kata “kayu sekalian hangus” menunjukkan bahwa ia mencapai makrifat. Seseorang yang mencapai makrikat. atau fana hapus) dengan Tuhannya, sering dilambangkan
sebagai sesuatu yang kembali ke asalnya “L a ut tak be ra rus”, suatu
ungkapan yang sering digunakan juga oleh Ibn Arabi dan Jalaluddin
Rumi. Laut di sini adalah lambang dz at yang maha luas. Sedang
baris “menjadi kapur di dalam Ba rus” mewartakan bahwa ia mencapai tingkat kesufian di tanah Barus.
Sebagai penyair, di sini ia berhasil memadukan tahapan pengalaman spiritual yang ia capai dengan t emp at di mana ia mencapainya. Artinya ia mampu menya tukan dunia luar dan dunia
dalam yang sangat inti dalam penulisan puisi, menjadi suatu ungkapan yang utuh. berdimensi ganda, menyaran ke banyak segi.
Ketika tingkat kesufian telah ia capai, maka ia tak peduli lagi
pada t emp at kelahirannya di dunia ini, sebab lahir di mana saja
sebenarnya sama. Yang penting adalah ia telah paham bahwa ia
berasal dari Dz at di luar dunia ini. Katanya:
Hamzah gharib Unggas Quddusi
Akan rumahnya Baytul Makmuri
Kursinya sekalian ia kapuri
Di negeri Fansuri minal ashjari
15 Jika sajak ini dialihkan ke dalam bahasa Indonesia masa kini,
saya kira akan menjadi sebagai be r ikut:
Hamzah asing si burung suci
Rumah di umumnya di Baitulmakmur
Taht anya put ih ia kapuri
Dari kayu di tanah Fansuri
Dalam sajak ini Hamzah Fansuri menyebut dirinya orang asing
atau pengembara asing di dunia ini (lihat juga Rumi). Secara hakiki ia adalah roh suci (burung suci). Dan rumah yang sebenarnya adalah di dalam ha t inya. Ia memakai ungkapan “Baytul makm ur” unt uk me nyeb ut ha ti, suatu ungkapan yang biasa ki ta t emui
dalam literatur sufi, yang kemudian juga dipakai di dalam
tasawuf Jawa, misalnya oleh Ronggowarsito (lihat: Hidayat J ati).
Berdasar sajak-sajak ini S. Naguib Al-Attas dalam b u k u n ya
“The Mysticisun of Hamzah F ansuri” (Kualalumpur: 1970) mengajukan kemungkinan t ent ang t emp at kelahirannya. Kemungkinan,
ka ta Al-Attas, Hamzah dilahirkan di Shar Nawi, namun ayahnya
berasal dari Barus, dan menjelang ayahnya wafat ia pun kembali ke
Barus. Tetapi dibagian lain ia menulis bahwa ia berasal dari Barus, dan
mencapai tingkat kesufian di tanah Shahr Nawi:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat ada di t anah Shahr Nawi
Namun apakah ia dilahirkan di Barus atau Shahr Nawi
agaknya tidak menjadi penting lagi. Yang jelas bukan orang asing
seperti Nuruddin Arraniri yang berasal dari Ranir di India i tu.
Seperti ia tulis dalam sajaknya:
Hamzah Fansuri orang uryani
Seperti Ismail menjadi qurbani
Bukannya Ajami lagi Arabi
Sementara Wasil dengan Yang Baqi
Di sini ia mewa rt akan bahwa ia orang fakir (uryani = telanjang),
16 telah menjalani pengorbanan sebagaimana nabi Ismail. Ia bukan
orang Persia (Ajami) at au p un Arab, dan selalu manunggal (menyatu diri) dengan Tuhannya.
Di bagian lain, sementara ia mengaku berasal dari Barus, dan
mendapat pelajaran sufi di Shahr Nawi ia mengatakan bahwa ia ^
mendapat khilaf at atau ilmu tasawuf di Bagdad. Dan ajaran tasawuf yang ia peroleh adalah ajaran Syekh Abdulkadir Jailani.
Namun karya-karya Hamzah Fansuri sendiri menunjukkan bahwa
bukan pengaruh Jailani yang besar kepadanya, melainkan ajaran
Ibn Arabi. Selain i tu Hamzah menunjukkan bahwa dirinya
sangat dekat dengan tokoh – tok oh sufi yang lain serta karya-karya
puisinya, seperti: B ist ami, Baghdadi, Al-Hallaj, Imam Ghazali,
Mas’udi, Farid At tar, Jalaluddin Rumi, Shabistari, Maroko,
Iraqi, Sa’di, Nikmatullah, J ami dan Karim Al-Jili.
Sebuah sajaknya yang terkenal yang mengabarkan luas
daerah yang ia kunjungi dan pengakuannya bahwa rumahnya yang
sejati adalah ha t inya sendiri, yang dalam sajaknya terdahulu di
sebut “Baytul m a k m u r” adalah ini:
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka ‘bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya ditemukan pada di dalam rumah
Seperti sajak-sajaknya yang lain t emp at – t emp at yang memiliki arti penting bagi hidupnya, muncul dalam sajak ini dan menjadi
sangat berarti atau bermakna baik sebagai pelambang atau pembentuk
nilai sajak. Kita diberi tahu di sini betapa jauhnya Hamzah Fansuri men-\ s
cari Tuhannya, betapa payah badan dan rohaninya, sehingga akhirnya
Tuhan ia jumpai dalam dirinya.
Barang siapa mengenal dirinya sendiri, ia akan mengenal Tu-v
hannya, ka ta hadi t s. J adi sebenarnya Tuhan i tu tidak jauh dari
diri kita. Hanya unt uk mendapa tkan Tuhan itu yang tidak mudah.
Manusia harus be rupaya lahir dan ba t in, beramal dan mengerjakan ibadah, ment aa ti syariah ajaran agama, serta mendalami
17 agama benar-benar. Hamzah Fansuri dalam sajak ini menunjuk-
-V kan bahwa Tuhan memang t idak j auh dari diri ki ta, namun unt uk
mencapainya manusia harus melakukan perjalanan j auh, karena
begitu lahir ke dunia manusia seakan-akan asing atau j auh dari
hakekat kejadiannya. Di sini jelas bahwa Hamzah Fansuri tidak
^ Menolak pent ingnya ibadah keagamaan, asal ia dianggap sebagai
benar-benar suatu latihan spiritual yang penting dan dijalankan
dengan penuh keyakinan dan disiplin. Namun semua itu akhirnya
tergantung pada manusia, apakah ia mampu bercermin pada dirinya atau tidak unt uk menangkap cahaya ilahi yang ters embunyi
dalam dirinya. Cahaya ilahi yang akan tersingkap bila seseorang
mampu melakukan disiplin spiritual yang keras, mau belajar
sungguh-sungguh, sebab perjalanan ke dalam diri itu memang
tidak mudah dan payah.
Tuduhan Nuruddin Arraniri bahwa Hamzah Fansuri telah
menempuh jalan yang sesat, t e rnya ta keliru. Dalam sajak-sajaknya sendiri Hamzah Fansuri malah mengecam para sufi palsu £
atau pengikutnya yang telah menyelewengkan ajaran
tasawuf yang sebenarnya. Kata Hamzah:
Segala muda dan sopan
Segala tuan berhuban
Uzlatnya berbulan-bulan
Mencari Tuhan ke dalam hut an
Segala menjadi “s u f i”
Segala menjadi “s hal awq i” (= pencinta kepayang)
Segala menjadi Ruhi (roh)
Gusar dan masam pada bumi (menolak dunia)
w \ Tasawuf yang diajarkan Hamzah Fansuri tidak menolak
dunia atau aktivitas keduniaan. Dalam sajak ini jelas ia tidak setuju
dengan para sufi palsu yang suka be rt apa atau menyingkirkan diri
ke hutan, menyiksa tubuh, tidak mau bergaul dengan masyarakatnya. Tuhan bisa dicari dalam diri kita sendiri dengan pemahaman
dan perenungan yang da l am, dan gratis ia dicari di hut an yang
18 sepi t anpa pemahaman diri yang mendalam. Kata Hamzah dalam
sajaknya yang lain:
Subhani itulah terlalu ajaib
Dari habbil-Warid Ia qarib
Indah sekali Qadi dan Khatib
Demikian hampir tidak mendapat nasib
Baris kedua sajak ini “habbil-Warid Ia qarib” adalah kutipan
Dari ayat suci bahwa “Dia lebih dekat dari pembuluh darah ki ta”.
Dia begitu indah sebagai Penghulu (Qadi) dan kha t ib kita. Di
dalam tasawufnya manusia tet ap dipandang sebagai hamba dan
sebagai hamba ia wajib menjalankan perintah Tuhan seperti shalat, <£ =
hanya dalam beragama sebaiknya manusia itu tidak bertaklid,
melainkan lebih mulia berijtihad:
Aho segala kita bernama Abid
Shalat dan Shahadat jangan kau taqlid
Dalam sajak ini, sebagaimana dalam sajak-sajaknya yang lain,
t ampak keterampilan Hamzah memainkan kata dan me robahnya
untuk kepentingan suara dan sajak, t anpa me Robah maknanya.
Misalnya kata-kata abdi menjadi abid, dan lain sebagainya
Sebagai seorang sufi, yang t ak terlalu memandang tinggi dunia
dan selalu berusaha menjauhkan diri dari penjajahan benda-benda,
ia t e r n y a ta seorang yang populis. Ia menganjurkan murid-muridnya, unt uk lebih dekat dengan orang kecil, dan selalu menjauhi,
atau melawan, penguasa yang lalim. Ka t anya:
Jika bersahabat dengan orang kaya
Akhirnya engkau jadi binasa
Anjurannya unt uk menjauhi penguasa yang lalim ia tulis
dalam sajak ini:
Aho segala kamu anak alim
19 Jangan bersahabat dengan yang zalim
Karena Rasulullah sempurna hakim
Melarangkan ki ta sekalian khadim
Aho segala kamu yang menjadi faqir
Jangan bersahabat dengan raja dan amir
Karena Rasulullah badïhir dan nasir
Melarangkan ki ta Saghir dan kabir
Bila ki ta kembali ke sajak-sajaknya tentang mencari
Tuhan, maka ki ta lihat di situ bagaimana seorang sufi lebih melet akkan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Seorang sufi ingin
merealisir posisi manusia yang telah ditentuk an Tuhan dalam
kitab sucinya, yaitu sebagai khalifah. Ia berdaulat pada dirinya
sendiri, bebas melakukan pilihan dengan segala risikonya.
Seni, sebagaimana hidup, adalah realisasi diri sepenuhnya. Begitupun jalan untuk bertemu dengan Tuhan tidaklah bisa dicapai <fe =
t anpa upaya pembentukan diri, pencarian diri dan realisasi diri.
Di dalam upaya itu iradah atau kehendak berperan
penting unt uk ditingkatkan sehingga menya tu dengan kehendak
Tuhan.
Mengapa sufi memiliki keyakinan diri yang demikian besar?
Sebab hadits nabi menya t akan bahwa jika seseorang ingin me nge-F
nal Tuhannya, ia harus mengenal dirinya terlebih dahulu, dirinya
terdalam. Di dalam diri terdalam inilah te rdapat jendela unt uk
melihat Tuhan, te rdapat cermin unt uk menangkap cahaya Tuhan,
te rdapat alat perekam te rhadap suara-suara Tuhan.
Tuhan itu kreatif, karena itu manusia harus kreatif. Agaknya
ia menyalin surat Annur ketika menulis sajak ini, yang menyatakan pandangannya bahwa Tuhan itu kreatif:
Cahaya atharNya Tiadakan padam
Memberikan wujud pada sekalian
Menjadikan mahluq siang dan malam
IIA abadi’l-abad Tiadakan karam
20 Dari sajaknya ini ki ta t ahu bahwa Hamzah memandang Tuhan
sebagai penc ipta dan ada perbedaan ant a ra manusia sebagai hamba
dengan Tuhannya i tu. Tapi pada hakeka tnya manusia itu juga merupakan faset-faset dari wujud ilahi, karena manusia memang
diciptakan me n u r ut gambaran Tuhan.
Dalam sebuah ungkapan simboliknya ia mengatakan bahwa
“Wujud T uhann ya dengan wujud dirinya esa juga.” Ungkapan ini
harus diartikan sebagai t ahap terakhir dari perjalanan seorang sufi,
yaitu makrifat, di mana kehendak manusia dengan Tuhan telah
menya tu, sebab kata-kata “Wujud” di sini tidak bisa diartikan
sebagai ada secara fisik, melainkan sebagai “keberadaan” atau
“Eksistensi”. Dengan ka ta lain seorang yang telah mencapai
makrifat dengan sendirinya mampu memancarkan keberadaan
Tuhan di dunia, mampu menunjukkan kebe sar an Tuhan, mampu
mengemban sifat-sifat ilahi yang diberikan kepadanya. Sebab
kehendaknya telah menya tu dengan kehendak Tuhan, tidak berpisah dengan Tuhan.
Bahwa ia menolak faham hului, faham keleburan seleburl eburnya dengan Tuhan sehingga pribadinya lenyap di lautan
ke tuhanan, t amp ak dalam sajaknya ini:
Aho segala ki ta umat Rasuli
T u n t ut ilmu hakikat al-wusul
Karena ilmu itu pada Allah qabul
I ‘t iqadmu jangan Ittihad dan hului
Seorang theolog Kristen, Dr Harun Hadiwijono dalam bukunya
“Keba t inan Islam Abad XVI” (J aka r ta = 1975) memberi koment ar
t ent ang karya Hamzah Fansuri yang masyhur “Asrar al-Arifin”
bahwa Hamzah memulai ajarannya dengan mengemukakan hal
Allah yang sama dengan Allah yang diajarkan oleh para ulama Islam. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa Allah adalah Mahasuci
dan Mahatinggi, yang menc ipt akan manusia. J adi Tuhan t e t ap
be rkedudukan sebagai penc ipt a.
Namun sayang meskipun Harun Hadiwijono menyadari bahwa,
21 anjuran Hamzah Fansuri pada awal bukunya itu menganjurkan agar sekalian anak Adam yang Islam wajib mencari Tuhan
yang menjadikannya sebagai tidak bertentangan dengan Islam,
ia ‘toh berkesimpulan juga:’ T eta pi jika ajaran Hamzah ini kita selidiki lebih mendalam dan dihubungkan dengan seluruh ajarannya,
maka akan t ampakl ah, bahwa Hamzah menyimpang dari ajaran
ulama ortodo ks Tuhan Allah lebih dipandang dari segi
filsafat dari pada segi relegius. “ig =
Dengan memakai kritik para ulama ortodo ks seperti Nuruddin Arraniri ia seakan-akan ingin menya t akan bahwa tasawuf
itu asing dari Islam, seperti dika t akannya. “Dari segala kut ipan ini
jelaslah kiranya bahwa gambaran Hamzah t ent ang Allah tidak sama dengan gambaran Al-Qur ‘an. “Sebab oleh Hamzah Fansuri
Dzat yang Mutlak itu diibaratkan sebagai laut, baik sebagai laut
batiniah (bahr al-butun) laut yang dalam (bahr al-‘amiq) dan laut
yang mulia (bahr al-ulyan).
Memang tidak sedikit kalangan non-Islam kurang memahami
hubungan yang mendalam antara tasawuf dan Islam be rpendapat
serupa i tu, seakan-akan tasawuf itu tidak bersumber dari Islam dan
asing dari ajaran Islam yang hakiki. Bahwa Tuhan juga sering diibaratkan dalam Al-Qur’an bisa dilihat misalnya dalam surat Annur ayat 3 5, di mana Tuhan diibaratkan sebagai cahaya di atas
cahaya. Para penyair sufi kemudian ten tu saja tidak terlarang
menc ipt akan ibarat-ibarat lain sesuai dengan penemuannya sendiri.
Dalam bukunya “Janji-janji I sl umum” (terj. HM Rasjidi, J aka r ta:
1982) Roger Garaudy, melalui sebuah penelitian yang menda l umum,
malah membant ah bahwa tasawuf asing dari ajaran Islam. Ia mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu bentuk spiritualitas yang
khusus dalam Islam dan merupakan keseimbangan ant a ra jihad besar-
(Yaitu perjuangan melawan tiap keinginan yang membelokkan
manusia dari s ent rumnya, yaitu T uhan), dan jihad kecil (yaitu
usaha unt uk kesatuan dan keharmonisan masyarakat Islam melawan segala bentuk kemusyrikan kekuasaan, kekayaan dan penget ahuan yang salah yang akan menjauhkan manusia dari jalan Allah).
22 Meskipun Roger Garaudy mengakui adanya pengaruh mistik
dari agama lain te rhadap tasawuf, ia tet ap menya t akan bahwa
tasawuf yang sejati bersumber dari Al-Qur’an. Ia memberikan
contoh dua hal yang sangat pokok dari ajaran para sufi, yaitu:
(1). Menanamkan rasi cinta kepada Tuhan, yang sesuai dengan
ayat 31 surat Al-Imran “Ka t akan (hai Muhammad), jika kamu
mencintai Tuhan ikutilah aku, Tuhan akan mencintaimu dan
mengampuni dos a-dos amu. ::; (2). Tidak seperti mistik Kristen,
tasawuf Islam tidak puas dengan sekedar pemikiran t ent ang
Tuhan yang berakhir dengan rasa bersatu dengan Tuhan. Dari
pengalaman bersatu dengan Tuhan, ia hanya mengambil energi ^
unt uk mencurahkan t indakannya kepada “amar ma ‘ruf” kepada
realisasi masyarakat manusia, sebab Al-Qur’an sendiri dalam surat
Al-Imran ayat 30 menya t akan bahwa manusia itu adalah khalifahkhalifah Allah di mu ka bumi, yang bertanggung jawab te rhadap
keseimbangan dan keserasian ant a ra alam dan manusia.
Kesalahan memandang bahwa paham wujudlah yang dibawakan Hamzah Fansuri itu menyimpang dari ajaran Islam agaknya
bersumber dari kenyataan bahwa faham itu melahirkan kaum
zindiq yang memang menyimpang dari ajaran agama. Tapi Hamzah
Fansuri melalui sajak-sajaknya telah menunjukkan bahwa ia tidak
sefaham dengan kaum zindiq i tu, yaitu golongan wujudlah yang
berhaluan mulhidah (menyimpang dari kebena r an). Hamzah t e t ap
berpegang pada wujudlah yang murni, yang klasik, yang belum
menyimpang yang disebut muwahhidah (kesatuan dengan Tuhan).
Agaknya unt uk membe tulkan kesalahpahaman ini perlu dijelaskan mengapa mereka disebut sebagai kaum wujudlah. Disebut demikian karena dalam percakapan dan keyakinannya mereka selalu bertolak pada faham bahwa Tuhan itu immanen, di
Selain tr ans enden, atau bertolak dari masalah wujud Tuhan.
Keyakinan semacam i tu berangkat dari kepercayaan bahwa Tiada
Tuhan selain Allah (la ilahailallah). Bagi kaum sufi kalimat ini
be rarti: Tak ada ada dalam diriku yang menye l ama tkan ada
Tuhan yang adalah wujudku. Eesensi Tuhan, juga sifat-sifatNya,
t ampak dalam hasil pekerjaannya yang tampak di dunia ini,
dalam ruang dan wa k t u.
23 Hamzah Fansuri menulis dalam bahasanya sendiri sebagai berikut.
Wujudnya itu umpama da’irah yang buntu
Nentiasa tetap, tidak berkisar
Kelakuannya saja yang berubah-ubah
Mengenal Dia terlalu sulit
Dalam “Syair Perahu” nya lebih jelas lagi titik tolak Hamzah
Fansuri, katanya:
La ilaha illallaah itu firman
Tuhan itulah ketergantungan alam semesta
iman tersurat pada hati insan
siang dan malam jangan dilalaikan
La ilaha illallaah itu tempat mengintai
Tauhid ma’rifat semata-mata
memandang yang gaib semuanya rata
lenyapkan sekalian kita
La ilaha illallaah itu jangan kaupermudah
sekalian mahluk ke sana berpindah
da’im dan ka’im jangan berubah
khalak di sana dengan La ilaha illallaah
La ilaha illallaah itu jangan kaulalaikan
siang dan malam jangan kausunyikan
selama hidup juga engkau pakaikan
Allah dan Rasul juga yang menyampaikan
Atau bait ini:
La ilaha illallah itu tempat mengintai
bidang yang KADIM tempat berdamai
wujud Allah terlalu bitai
siang dan malam jangan bercerai
24 Berdasar sajak-sajaknya ini, dalam pengantar terjemahan sajaksajak Iqbal “Asrar-i-khudi” (J aka RTA: 1976) Bahrum Rangkuti
menyetujui pandangan Dr. Van Nieuwenhuyze dalam b u k u n y a,;:
mengenai Syamsudin Al-Samatrani, sufi Aceh yang hidup sejaman?
dan sehaluan dengan Hamzah Fansuri. Menurut Nieuwenhuyze
kondisi yang dialami mistik Islam memang ment akjubkan. Ia bersifatkan ikhtisar pergandaan (tweekedigheid). Di satu pihak
ada ada yang fenomenal, yang tampak yang di s ebut wahmi,
di pihak lain ada wujud kesegalaan, ya i tu wujud tunggal yang hadir
dalam segala hal. Pada hakeka tnya mistik yang demikian itu adalah
“Ma’rifa j ami ‘abainah uma” (ilmu yang melingkupi dan menjembatani keduanya).
Dengan demikian cita t auhid Islam tet ap terpelihara, hubungan
lahir dengan Islam tidak terputus, pakaian Islam tidak hilang,
sebab kondisi antara khalik dan mahluk masih tet ap terpelihara,
bahkan perbedaan keduanya dinya t akan sebagai positif dan negatif. Bahrum Rangkuti selanjutnya be rpendapat bahwa Hamzah
Fansuri dan Syamsudin Al-Syamatrani sebenarnya hendak mewujudkan bahwa segala ini berpusat pada Allah. Di sini Bahrum Rangkuti berpegang pada apa yang dinya t akan Hamzah Fansuri dalam
sajak-sajaknya. Allah meliputi alam semesta, dengan tegas dinyatakan oleh Hamzah Fansuri. Tapi menusia bisa memperoleh kepribadian dan bisa sampai kepada Tuhan hanya dengan “taraqqi”, ^
yaitu berusaha me n umb uhk an sifat-sifat Tuhan dalam dirinya
dengan sungguh-sungguh. Hamzah Fansuri misalnya me n y a t a k a n:
La ilaha illallah itu kesudahan ka ta
t auhid ma’rifat semata-mata
hapus ingin sekalian hal
hamba dan Tuhan tidak berbeda
Menurut Bahrum Rangkuti yang dimaksud dengan bait ini
adalah diselaraskannya kemauan, pikiran, amal dan cita Insanul
kamil dengan kemauan T uhan, sehingga seolah-olah segala gerak
cita insan itu adalah gerak cita Tuhan juga. Hanya salah pengertian
saja te rhadap pe rumpama an-pe rumpama an yang dilukiskan Ham-
25 zah dalam sajak-sajaknya, yang memb u at Nuruddin Arraniri
menent ang habis-habisan ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsudin
Al-Syamatrani.
S S. Naguib Al-Attas dalam bukunya yang telah dikutif di bagian
awal tulisan ini, lebih jauh menya t akan bahwa tasawuf yang dibawa Hamzah Fansuri pada akhir abad ke-16 itu adalah tasawuf
klasik yang belum tercemar oleh ajaran yang sesat. Ini terbuk ti dari kut ipan langsung sajak-sajak sufi Persia yang awal dalam buku-
\ J buku Hamzah Fansuri. Namun sayang, ka ta Al-Attas, ketika Hamzah Fansuri merasa kembali di Indonesia, yakni sepulangnya dari
Persia, pengertian tasawuf telah dikorupsi dan mengalami degenerasi. Gejala pemalsuan tasawuf ini pertama muncul di India
pada jaman dinasti Moghul, dan kemudian oleh orang-orang
India tasawuf palsu ini disebarkan pula ke Indonesia. Ketika
Nuruddin Arraniri t iba di Sumatera, yaitu menjelang wafatnya
Sultan Iskandar Muda, ia membawa pengertian tasawuf yang salah
pula yang didapa tkannya di India, khususnya faham wUjudiah.
Di India ia terbiasa melihat tasawuf yang diselewengkan dengan
berbagai praktek-klenik dan pedukunannya yang bertujuan menumpuk kekayaan. Hamzah Fansuri juga melihat kenya t a an ini
sepulang dari Persia, namun buru-buru dia sendiri memperoleh
pemahaman yang salah dari Nuruddin Arraniri. Agaknya, Nuruddin belum s empat mendalami karya-karya Hamzah Fansuri secara
menyeluruh sebelum melahirkan pe rt ent angannya, atau ada halhal lain yang berlatar-belakang politik maka ia menyerang Hamzah
dan Syamsuddin habis-habisan. Labih-lebih mengingat posisi
Syamsudin sebagai kadi agung di istana Sultan Iskandar Muda,
yang memb u at ajarannya leluasa tersebar.
Bait-bait yang dipe t ik dari “Syair P erahu” ini akan menunjukkan betapa Hamzah Fansuri tidak meninggalkan tauhid dan
rukun iman.
1
Inilah gerangan sua tu madah
mengarangkan syair terlalu indah
26 membe tuli jalan t e m p at berpindah
di sanalah i’tikad diperbetuli sudah
2
Wahai mu da kenali dirimu
adalah, perahu tamsil t u b u hmu
tiadalah berapa lama hidupmu
ke akhirat jua kekal diammu
3
Hai muda arif budiman
hasilkan kemudi dengan pedoman
alat pe r ahumu jua kerjakan
itulah jalan membe tuli insan
19
Ingati sungguh siang dan malam
lautnya deras be r t ambah dalam
anginpun keras OMB a k n ya rencam
ingati perahu jangan tenggelam
21
Sampailah Minggu dengan masanya
datanglah angin dengan paksanya
berlayar perahu sidang budimannya
berlayar itu dengan kelengkapannya
22
Wujud Allah nama pe r ahunya
ilmu Allah akan kurungnya
iman Allah nama kemudinya
yakin akan Allah nama pawangnya
30
T untu ti ilmu jangan kepalang di dalam kub ur terbaring seorang
Munkar wa Nakir ke sana da t ang
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang
33
Kenal dirimu hai anak Adam
t a tka la di dunia terangnya alam
sekarang di k u b ur t emp a tmu kelam
tiadalah berbeda siang dan malam
Sajak-sajak ini benar-benar indah. Pemilihan imaji-imaji simbol iknya tep at dan menggugah. Pemakaiannya pun konsisten dan
perulangan-perulangan yang te rdapat di da l umumnya membawa ki ta
pada suasana ekstase sebagaimana dalam zikir, sehingga ki ta membayangkan bahwa ada keserasian ant a ra bentuk dan isi.
Penamaan syair kepada sajak itu sebenarnya menimbulkan
persoalan, karena bentukn ya yang emp at baris i tu. Syair berasal
Dari kata-kata Arab “shi ‘ir” yang berarti puisi, bukan sajak empat
baris. Karena itu diragukan bahwa Hamzah Fansuri menggunakan
nama syair u n t uk sajak-sajaknya i tu. Sajak empat baris seperti
itu agaknya lebih kena, sebab sudah barang ten tu Hamzah tidak
asing dengan b e n t uk persajakan Persia i tu.
Naguib Al-Attas juga mempertanyakan hal i tu. Namun masalah
yang tak kalah penting yang diajukan Naguib Al-Attas adalah apakah sudah ada buku-buku uraian tasawuf dalam bahasa Melayu
sebelum Hamzah Fansuri? Persoalan itu dijawab sendiri oleh AlAttas.
Menurut Al-Attas memang belum dike t emukan tulisan yang
menguraikan tasawuf secara jelas dan rinci dalam bahasa
Melayu sebelum munculnya karya-karya Hamzah Fansuri seperti
“Asrarul Arifien”, “Sharabul Ashiqin” dan “Mu ntahi”. Ini
tidak dike t emukan tanda-tanda semaraknya sastra Melayu sejak
kedatangan Islam di Sumatera sebelum Hamzah Fansuri menulis
rubayatn ya seperti “Syair Pe r ahu”, “Syair Dagang”, “Syair
Burung pingai “dan sebagainya.
28 Dengan Hamzah Fansuri, ka ta Al-Attas lebih lanjut, perkembangan bahasa Melayu menjadi pesat. Pengaruhnya luar biasa di
kalangan cendikiawan Indonesia. Ia banyak menambah perbendaharaan kata-kata Melayu sedemikian banyaknya karena pengetahuannya yang luas dalam bahasa Arab dan Persia. Dengan sendirinya, ia pun membawa pula pembaha ruan di bidang logika atau
mant iq, karena masalah bahasa bersangkutan pa ut dengan masalah
logika dan pemikiran.
Pada j amannya pula tidak ada yang mampu menandingi Hamzah Fansuri dalam kesusastraan. Karya-karyanya berpengaruh
besar dalam gaya maupun thema te rhadap sastra Melayu berikutnya. Pada masanya, buku-buku uraian tasawuf dan keagamaan
kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Misalnya buku-buku yang
disebut-sebut dalam “Sejarah Me l ayu” seperti “Durrul Manzum”
(Benang Mutiara) dan “Al-Sayful Q ati” (Pedang Tajam) Dalam
bukun ya “Sha r abul Ashiqin”, di mana ia membicarakan pentingnya syariah unt uk dilaksanakan, Hamzah sendiri menya t akan
bahwa ia mengerjakan ka ryanya dalam bahasa Melayu untuk
pembaca yang tidak mengerti bahasa Arab dan Persia.
Dengan demikian, apabila belum juga dike t emukan karyakarya berbahasa Melayu yang sama berisi dan segar bahasanya
seperti karya Hamzah, maka Hamzah Fansuri sudah sepantasnya
mendapa tkan gelar sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Indonesia
Sebutan ini layak diberikan kepadanya sebagai penghargaan
t e rhadap jerih payah dan mu tu karya-karyanya.
J aka r ta 12 November 1983 Daftar Bacaan
1. Syed Muhammad Naguib Al-Attas “T he mysticism of Hamzah
Fansur i “(University of Indonesian Press, Kuala L ump ur; 1970)
2. Syed Muhammad Naguib Al-Attas “Raniri dan The Wujudiyyah of 17th Century A cheh” (MBRAS, Singapore; 1966)
3. V.Y. Braginsky “Some Remarks on The St RUC ture of The
Syair Perahu By Hamzah F ansuri “(Bijdragen deel 1973)
4. J. Doerenbos “De Geschrieften van Hamzah Pansoe ri” (Leiden 1933)
5. Annemarie Schimmel “Mystical Dimensions of Islam” University of Nor th Carolina Press, Chapel Hill: 1975)
6. R.A. Nicholson “Studies in Islamic mysticism” (Cambridge
University Press 1980 – r EPR int ed)
7. Dr. Harun Hadiwijono “Keba t inan Islam Abad XVI” (BPK
Gunung Mulia, J a k a r t a: 1975)
8. Bahrum Rangkuti “Asrar-i-khudi Mohamad I qbal” (Bulan
Bintang J a k a r t a: 1966)
9. Roger Garaudy “Janji-janji I sl umum” (terj. HM Rasjidi, Bulan
Bintang, J a k a r ta 1 9 8 2)
30 SYAIR PERAHU
Inilah gerangan suatu madah,
mengarangkan syair terlalu indah,
membe tuli jalan t emp at be rpindah,
disanalah i’tikat ‘diperbetuli sudah
Wahai muda, kenali dirimu,
adalah perahu tamsil t u b u h m u,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat pe r ahumu jua kerjakan,
itulah jalan membe tuli insan.
Perteguh j ua alat pe r ahumu,
hasilkan bekal air dan k a y u,
dayung pengayuh t a ruh disitu.
sehingga laju pe r ahumu i tu.
1 imam. HAaaq m
Sudahlah hasil kayu dan a y a r
2
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir
3
.
Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah disana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.
Muaranya dalam, ikanpun banyak,
disanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak,
keatas pasir kamu tersesak.
Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam * ombaknya karang,
ikanpun banyak datang menyarang,
hendak membawa ketengah sawang.
2 air; 3 besar.
4 kacau
memi 1 Muaranya itu terlalu sempit,
dimanakan lalu sampan dan rakit,
jikalau ada pedoman dikapi t,
sempurnalah jalan terlalu ba’id
2
.
Baiklah perahu engkau pe r t eguh,
hasilkan 3 pendapat
4
dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh
5
.
pul aunya j auh t emp at berlabuh.
Lengkapi penda r at dan tali sauh,
derasmu banyak be r t emu musuh,
selebu
6
rencam
7
ombaknya c abuh,
LIIA
8
akan tali yang teguh.
Barang siapa bergantung disitu,
t eduhl ah selebu yang rencam i t u,
pedoman be tuli pe r ahumu laju,
selamat engkau ke pulau i tu.
; 2 jauh; 3 ikatkan; 4 tali penambat ke darat; 5 kacau dan riuh;
6 samudera; 7 kacau dan memusingkan; 8 baca: La Uaha illa’llahu.
33 LIIA jua yang engkau ikut,
di laut keras topan dan r ibut,
hiu dan paus di belakang me n u r u t,
pe r t e t apl ah kemudi jangan terkejut.
Laut Silan terlalu dalam,
disanalah perahu rusak dan karam,
meskipun banyak disana menye l umum,
larang mendapat pe rma ta nilam ‘.
Laut Silan wahid al kahhar
2
,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan (mem) belok sengkar
3
,
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
kesanalah kita semuanya be rpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah,
selamatlah engkau sempurna musyahadah
4
1 sejenis batu yang indah; 2 yang berwenang; disini laut Silan dibandingkan
dengan wujud Tuhan; 3 balok atau papan melintang di kapal; 4 mengetahui
dan mengalami Tuhan dalam batin menurut ilmu suluk;
34 Silan itu ombaknya kisah
5
,
banyaklah akan kesana be rpindah,
topan dan r ibut terlalu ‘azamah
6
,
perbetuli pedoman jangan be rubah.
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit
7
pada sekalian alam,
banyaklah disana rusak dan karam
perbaiki na’am
8
, Siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras be r t ambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam,
Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi t e d u h,
t ambahan selalu t e t ap yang c abuh,
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
5 cerita; 6 hebat:
7 sangat luas, meliputi segala sesuatu;
8 na’am: ya, disini agaknya pengakuan. Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budiman (nya),
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan ‘,
iman Allah nama kemudinya,
“Yakin akan Al l ah” nama pawangnya.
“Taha r at
2
dan istinja “
3
nama lantainya,
“Kufur
4
dan ma s i a t “
s
air ruangnya,
tawakkul akan Allah j u r u b a t u n y a,
tauhid itu akan sauhnya.
LIIA akan talinya,
kamal
6
Allah akan tiangnya,
as salam alaikum akan tali lenggangnya,
t a at dan ibadat anak dayungnya.
1 dalam naskahnya tidak terbaca; 2 suci; 3 bersuci; 4 tidak percaya;
5 durhaka; 6 kesempurnaan.
36 Salat akan nabi tali bubut annya,
istigfar ‘Allah akan layarnya,
“Allahu a k b a r” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a ‘a l umum” nama r ant aunya,
“Iradat
2
Al l ah “nama banda rnya,
“K u d r at Al l ah” nama l abuhannya,
“Surga j a n n at an n a ‘i m”
3
nama negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair t emp at be rpindah,
didalam dunia janganlah t a r r i ‘ah
4
,
didalam kubur berkhalwat sudah.
Kenal dirimu didalam k u b u r,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan b e r t u t u r,
dibalik papan badan t e rhancur.
1 permintaan ampun; 2 kemauan; 3 surga yang nikmat; 4 loba;
37 Didalam dunia banyaklah mamang
5
,
ke akhirat jua t emp a tmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
T u n t u ti ilmu jangan kepalang,
dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir
6
kesana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang
Tongkatnya lekat tidak terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan l enyap,
6 kedua malaikat yang menurut kepercayaan menanyai orang yang
mati didalam kuburannya; 7 hilang sejajar.
38 Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu be r t ambah garang
tongka tnya besar terlalu panjang,
c abuknya banyak tidak terbilang.
Kenal dirimu, hai anak Adam!
t a tka la di dunia terangnya alam,
sekarang di k u b ur t emp a tmu kelam,
tidak berbeda siang dan malam.
Kenal dirimu, hai anak dagang!
dibalik papan t idur t e r l ent ang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan bicara?
LIIA itu firman,
Tuhan itulah ketergantungan alam semesta,
iman t e r sur at pada ha ti insap,
siang dan malam jangan dilalaikan. LIIA itu terlalu nya t a,
t auhid ma’rifat ‘semata-mata,
memandang yang gaib semuanya r a t a,
lenyapkan kesana sekalian ki t a.
LIIA itu jangan kaupe rmudah-mudah.
siapa kesana berpindah,
da’im
2
dan ka’im
3
jangan be rubah,
khalak
4
disana dengan LIIA.
LIIA itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kausunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan
LIIA itu ka ta yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian r u s u h,
jin dan setan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.
1 pengetahuan tentang zat Allah yang dalam; 2 permanen; 3 teguh; 4 yang
dijadikan; makhluk. LIIA itu kesudahan ka t a,
tauhid ma’rif at semata.
hapus ingin sekalian hal,
hamba dan Tuhan tidak berbeda.
LIIA itu t emp at mengintai
bidang yang KADIM ‘t empat berdamai,
wujud Allah terlau b i t a i
2
,
siang dan malam jangan bercerai.
LIIA itu t emp at musyahadah,
menya t akan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pe r t emuan Tuhan terlalu susah.
Dari: DE GESCHRIFTEN VAN HAMZAH PANSOERl
(Dissertatie J. Doorenbos).
0.000000
0.000000