Posts tagged ‘Kali’

11 November 2012

Ajaran Tasawuf

oleh alifbraja

Mahabbah, Syauq, Wushul, Qona’ah

Mahabbah: kecenderungan kepada Allah secara paripurna, mengutamakan urusan-Nya atas diri sendiri, jiwa dan hartanya, sepakat kepada-Nya lahir dan batin, dengan menyadari kekurangan diri sendiri (Syaikh alMuhasibiy). Rabi’ah berkata: “Orang yang mahabbah kepada Allah itu tidak habis rintihan kepada-Nya sampai ia dipanggil ke sisiNya.

Syauq: yaitu kerinduan hati untuk selalu terhubung dengan Allah dan senang bertemu dan berdekatan denganNya ( Abu Abdullah bin Khafif ). Sebagian Ulama’ berkata: ” Orang-orang yang Syauq merasakan manisnya kematian setelah dialami, sebab terbuka tabir yang memisahkan antara dirinya dengan Allah.

Unsu : tertariknya jiwa kepada yang dicintai ( Allah ) untuk selalu berada di dekatNya. ( Abu Sa’id al Karraz). Syeh Malik bin Dinar mengatakan, “Barangsiapa tidak unsu dengan muhadatsah kepada Allah, maka sedikitlah ilmunya, buta hatinya dan sia-sia umurnya.

Qurbun : dekat hatinya seseorang dengan Allah Ta’ala, sehingga dalam melakukan segala hal merasa selalu dilihat olehNya. Syeh Abu Muhammad Sahl mengatakan, “Tingkat paling rendah dalam tingkatan Qurb adalah rasa malu melakukan maksiat”

Haya’: Rasa malu dan rendah diri, demi mengagungkan Allah (Syaikh Syihabuddin), Syaikh dzun Nun alMisri mengatakan, “Mahabbah membikin orang berucap, Haya’ membikin diam, dan Khauf membikin gentar”.

Sakar:Gejolak mabuknya hati sewaktu disebut Allah (Syaikh Abu Abdullah)

Wushul: terbukanya tabir hati dan menyaksikannya pada hal-hal yang diluar alam ini (alam dhohir) (Syaikh Abu Husein anNuriy)

Qona’ah: menerima cukup dengan yang ada tanpa keinginan berusaha memperoleh yang belum ada (Syaikh Abu Abdullah).

29 Oktober 2012

KITA SEJATINYA ADALAH TAMU HARTA KITA HANYA PINJAMAN

oleh alifbraja

Saudaraku…
Kala hidup kita identik dengan kesuksesan, kejayaan dan kemenangan. Seperti menduduki sebuah jabatan penting. Baju kekuasaan yang dikenakan. Asset bertebaran di mana-mana. Berbagai macam investasi dibuat. Laba bisnis yang tak pernah surut. Popularitas yang semakin mengkilap. Prestasi puncak di dunia pendidikan. Dan yang senada dengan itu.

Hal itu sering membuat kita silau dan terpesona dengan dunia. Kita lupa bahwa pada hakikatnya kita adalah tamu yang sedang bertandang ke rumah salah seorang sahabat kita. Kita tak sadar bahwa harta yang kita punya, seberapapun jumlah dan kwantitasnya hanya sekadar titipan dan pinjaman dari yang Maha Kaya.

Abdullah bin Mas’ud ra pernah menasihati kita:

“Tidak seorang pun yang berada di pagi hari melainkan ia adalah sebagai seorang tamu dan hartanya adalah pinjaman. Seorang tamu seharusnya sadar bahwa beberapa saat lagi ia akan meninggalkan rumah yang ia singgahi. Dan hartanya sewaktu-waktu akan dikembalikan kepada pemiliknya.”
(Mawa’izh as shahabah, Shalih Ahmad al Syami).

Saudaraku..
Tamu yang baik adalah tamu yang menjaga adab-adab Islam dalam bertamu. Seperti; tidak berlama-lama dalam bertamu. Mata terpelihara dari mengamati perabot dan perhiasan milik tuan rumah. Jika terpaksa harus bermalam, maka tidak lebih dari tiga malam.

Jika keberadaan kita di dunia ini diumpamakan seperti tamu, yang hanya singgah beberapa saat lamanya. Maka tentu kita ingin memberikan kesan seindah dan seelok mungkin kepada tuan rumah. Dan kita sadar, bahwa tamu yang baik adalah tamu yang bersikap sopan santun, memahami aturan, dan tidak menyulitkan serta menyusahkan tuan rumah.

Demikianlah dunia tempat kita hidup sekarang ini, hanya seperti tempat persinggahan sementara. Setelah waktu istirahat dirasa cukup, maka kita akan melanjutkan perjalanan yang hakiki. Perjalanan menuju Allah swt. Safar menuju tempat yang kekal abadi.

Maka pada saat kita terlena. Dan menjadikan tempat persinggahan sebagai tempat menetap, maka hal itu merupakan awal dari bencana yang besar. Dan pangkal dari kesengsaraan abadi.

Allah swt membuat ilustrasi tentang kehidupan dunia dalam sebuah firman-Nya, “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal di dunia melainkan sesaat di waktu petang atau pagi hari.” An Nazi’at: 46.

Saudaraku…
Harta benda yang kita kumpulkan siang dan malam. Pagi, siang dan petang hari. Hakikatnya adalah titipan dan pinjaman Allah swt. Walau terkadang kita meraihnya dengan perahan keringat. Meskipun terkadang kita harus mengaisnya ke luar daerah dan bahkan ke luar negeri.

Seperti titipan dan pinjaman lainnya, jika sewaktu-waktu pemiliknya mengambilnya dari kita, maka kita tak bisa menolaknya atau menahannya. Harta kita sesungguhnya, yang akan kita bawa sampai kita menutup mata adalah harta yang kita kembalikan kepada pemiliknya. Berupa zakat, sedekah, infaq, menolong orang yang kesusahan, membantu orang yang tak mampu dan seterusnya.

Selebihnya akan kita tinggalkan. Tidak kita bawa ke liang lahat. Dan bahkan bisa jadi sepeninggal kita, harta peninggalan kita justru menjadi barang rebutan bagi ahli waris kita.

Saudaraku..
Sadarkah kita bahwa sebenarnya kita adalah tamu? Yang mungkin esok atau lusa kita harus pamit kepada tuan rumah untuk melanjutkan perjalanan yang sangat jauh. Lebih jauh dari jangkauan pandangan mata kita.

Dan pernahkah kita menghitung harta titipan dan pinjaman Allah swt yang ada di tangan kita? Kapan kita akan mengembalikannya kepada pemiliknya? Wallahu a’lam bishawab.

28 Oktober 2012

Rahasia dibalik Dzikir Jahar

oleh alifbraja

Hingga kini, masih banyak orang yang under estimate, merasa tidak mempercayai dengan dalil suudzon dan syak wasangka, apakah benar ada yang dinamakan dzikir jahar atau dzikir keras. Kebanyakan dari mereka, mengira bahwa yang dinamakan dzikir keras itu sesuatu yang tidak ada riwayat dari Rasulnya. Benarkah?

Sebagai ilustrasi, sebagaimana orang bijak pernah berkata, bahwa manusia akan dikumpulkan dengan orang yang disukainya. Jika ia mencintai musik, maka ia akan berkumpul dengan para pecinta musik. Jika ia mencintai hobi motor cross misalnya, maka ia akan berkumpul dengan mereka yang mencitai hobi yang sama. Tidak perduli dengan suara bising dan dentuman musik yang menjadi-jadi. Bagi mereka yang penting adalah mencari kenikmatan.

Ya, begitulah bahwa manusia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang memiliki hobi dan minat yang sama. Demikian juga dengan dzikir, atau bagi mereka yang menyukai dzikir. Timbulnya pertanyaan, benarkah ada dzikir jahar, ialah keluar dari mereka yang memang belum mencintai apa itu dzikir jahar. Padahal, Allah sendiri adalah firman-Nya menyatakan bahwa orang yang beriman yang memiliki hati suci, jika mendengar dzikir akan tersentuh dan gemetar hatinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” (QS. Al Anfal ayat 2).

Dalam ayat ini, Allah memberi isyarat bahwa mereka yang beriman tidak akan merasa resah tetapi akan tersentuh hati dan jiwanya jika mendengarkan dzikir. Dari ayat ini yang menjadi titik tekan adalah dalam kata dzukiro, yang berarti dzikir itu dibacakan. Berarti orang yang beriman itu mendengar bacaan dzikir, lalu mereka bergetar hatinya. Kemudian, kita bisa menyimpulkan bahwa apa pun yang bisa didengar atau terdengar itu adalah suara yang dinyaringkan atau dikeraskan. Berarti dzikir dalam ayat tersebut adalah dzikir jahar atau dzikir yang dinyaringkan. Untuk lebih jelasnya, maka kita uraikan satu per satu ayat Al Quran dan Hadits yang menerangkan tentang dzikir jahar.

 

HUKUM DZIKIR KERAS (JAHAR) DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITSHUKUM DZIKIR JAHAR DALAM AQUR’AN

 

– 1. Q.S. AL-‘AROF AYAT 204 :

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat .”

 

Penjelasan ayat ini bukan menunjukan dzikir dalam hati tapi dzikir yang terdengar atau dzikir keras. Namun, Ayat di atas seakan bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits yang lain tentang anjuran untuk berdzikir dalam hati seperti Q.S.Al-‘Arof ayat 205: “Sebutlah nama Allah di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan tidak dengan suara yang keras dari pagi sampai petang, Dan janganlah dirimu menjadi golongan yang lupa (lalai).”

Sebenarnya Ayat 205 ini tidaklah bertentangan dengan ayat 204 yang menunjukan akan diperintahkannya dzikir jahar. Dan ayat 205 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang dzikir keras karena akan bertentangan dengan dzikir yang telah umum yang biasa dibaca dengan suara keras, seperti takbiran, adzan, membaca talbiyah ketika pelaksanakan haji, membaca al-qur’an dengan dikeraskan atau dilagukan, membaca sholawat dangan suara keras dan lain-lain. Hanya saja, Q.S Al’Arof ayat 205 ini hanya menjelaskan tentang dzikir yang tidak memakai gerak lidah yaitu dzikir dalam hati atau khofi. Jadi penjelasan Ayat 205 ini menunjukan, bagaimanapun bentuknya dzikir jika dibaca dalam hati pasti tidak akan mengeluarkan suara karena dzikirnya sudah menggunakan hati, bahkan sudah tidak menggunakan gerak lidah.

Kesimpulan dari dua ayat itu, Allah menunjukan adanya perintah dibolehkannya berdzikir dengan jahar (keras) maupun dzikir dalam hati (khofi) yang tidak memakai gerak lidah.

 

 

 

– 2. Q.S.AL-BAQOROH AYAT 200 :

“Apabila engkau telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menywebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau bahkan berdzikirlah lebih (nyaring dan banyak) daripada itu.”

Menurut Ibnu Katsir, latar belakang turunnya ayat ini ialah kebiasaan bangsa Arab, baik suku quraisy maupun lainnya pada musim haji mereka biasanya berkumpul di Mudzalifah setelah wukuf di Arafah. Disitu mereka membanggakan kebesaran nenek moyang mereka dengan cara menyebut-nyebut kebesaran nenek moyang mereka itu dalam pidato mereka. Ketika telah memeluk agama Islam, Nabi memerintahkan mereka hadir di Arafah untuk wukuf kemudian menuju mudzdalifah. Setelah mabit di mudzdalifah mereka diperintahkan untuk meninggalkan tempat itu dengan tidak menunjukan perbedaan diantara mereka (dengan cara menyebut kebesaran nenek moyang) seperti yang mereka lakukan pada masa pra Islam.

Berbeda dengan Ibnu Katsir, yaitu Mahmud Hijazi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bila kamu selesai mengerjakan haji maka berdzikirlah kepada Tuhanmu dengan baik (dengan cara menyebut-nyebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu sewaktu kamu jahiliyah atau sebutlah nama Allah itu lebih keras daripada kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu itu. Begitu pun penafsiran Ibnu Abbas, seperti terdapat dalam kitab Tanwir al Miqbas ketika menafsirkan kata aw asyadda dzikro yang berarti menyebut Allah dengan mengatakan “Ya Abba” seperti menyebut nenek moyang “Ya Allah”.

Dua pendapat mufasir di atas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa menyebut nama Allah dalam pengertian dzikrullah dianjurkan setelah menunaikan ibadah haji,. Dzikrullah tersebut dikerjakan dengan suara keras, bahkan boleh dengan suara yang lebih keras daripada suara jahiliyah tatkala mereka menyebut nama nenek moyang mereka ketika berhaji.

 

 

 

 

 

– 3. Q.S. AL-BAQOROH AYAT 114 :

“ Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalangi-halangi menyebut nama Allah di dalam mesjid-mesjid-Nya ..”

 

– 4. Q.S. AN-NUR AYAT 36 :

Didalam semua rumah Allah diijinkan meninggikan (mengagungkan) suara untuk berdzikir dengan menyebut nama-Nya dalam mensucikan-Nya sepanjang pagi dan petang.”

 

– 5. Dan lain-lain

 

HUKUM DZIKIR JAHAR MENURUT HADITS ROSUL

 

HADITS KE SATU

Dalam Kitab Bukhori jilid 1:

Dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas ra., berkata: “Inna rof’ash shauti bidzdzikri hiina yanshorifunnaasu minal maktuubati kaana ‘ala ‘ahdi Rosuulillaahi sholallaahu alaihi wasallam kuntu ‘alamu idzaanshorrofuu bidzaalika sami’tuhu.” Artinya :“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir setelah manusia-manusia selesai dari sholat fardlu yang lima waktu benar-benar terjadi pada zaman Nabi Saw. Saya (ibnu Abbas) mengetahui para sahabat melakukan hal itu karena saya mendengarnya .”

Selanjutnya dalam hadits :“Suara yang keras dalam berdzikir bersama-sama pada waktu tertentu atau ba’da waktu sholat fardhu, akan berbekas dalam menyingkap hijab, menghasilkan nur dzikir” (HR. Bukhari).

 

 

– HADITS KE DUA

Dari Abu Khurairah ra, katanya Rasulullah bersabda: “Allah berfirman; ‘Aku berada di dalam sangkaan hamba-Ku tentang diri-Ku, Aku menyertainya ketika dia menyebut-Ku, jika dia menyebut-Ku kepada dirinya, maka Aku menyebutnya kepda diri-Ku. Maka jika menyebut-tu di depan orang banyak, maka Aku akan menyebutnya di tempat yang lebih baik daripada mereka” (HR. Bukhari). Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut ‘di depan orang banyak’, berarti dzikir tersebut dilakukan secara jahar.

 

– HADITS KE TIGA

Diriwayatkan di dalam Al Mustadrak dan dianggap saheh, dari Jabir ra. berkata: “Rasulullah keluar menjumpai kami dan bersabda: ‘Wahai saudara-saudara, Allah memiliki malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis-majlis dzikir di dunia. Maka penuhilah taman-taman syurga’. Mereka bertanya:’Dimanakah taman-taman syurga itu?’. Rasulullah menjawab: ‘Majlis-majlis dzikir.’ Kunjungilah dan hiburlah diri dengan dzikir kepada Allah” (HR. Al Badzar dan Al Hakim).

Penjelasan hadits ini, bahwa dalam kalimat ‘malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis dzikir di dunia’ maksudnya berarti dzikir dalam hal ini adalah dzikir jahar yang dilakukan manusia. Karena malaikat hanya mengetahui dzikir jahar dan tidak mampu mengetahui dzikir khofi. Hal ini sebagaimana sabda Rasul: “Adapun dzikir yang tidak terdengar oleh malaikat yakni dzikir khofi atau dzikir dalam hati yakni dzikir yang memiliki keutamaan 70x lipat dari dzikir yang diucapkan” (HR. Imam Baihaqi dalam Kitab Tanwirul Qulub hal.509).

 

 

– HADITS KE EMPAT

Hadits yang dishohehkan oleh An Nasai dan Ibdu Majjah dari As Sa’ib dari Rasululah SAW, beliau bersabda: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata, ‘Perintahkanlah kepada sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suaranya di dalam takbir”(HR. Imam Ahmad Abu Daud At Tirmidzi).

Penjelasan hadits ini, bahwa sangat jelas tidak dilarangnya dzikir keras tetapi dianjurkan untuk melakukan dzikir jahar.

 

– HADITS KE LIMA

Didalam kitab Sya’bil Iman dari Abil Jauza’ ra. berkata :“Nabi Saw, bersabda, “Perbanyaklah dzikir kepada Allah sampai orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian).” (H.R.Baihaqi)

Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut “orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian).” Hadits ini menunjukan dzikir jahar karena dengan dzikir jahar (terdengar) itulah orang munafik akhirnya menyebutnya ria .

 

– HADIITS KE ENAM

Juga dalam kitab Sya’bil Iman yang di shohehkan oleh Al-Hakim dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., berkata :“Nabi Saw, bersabda,” Perbanyaklah dzikir kepada Allah kendati kalian dikatakan gila”. (H.R.Al-Hakim danAl-Baihaqi)

 

– HADITS KE TUJUH,

Dari Jabir bin Abdullahra, berkata :“Ada seorang yang mengeraskan suaranya dalam berdzikir, maka seorang berkata, “ semestinya dia merendahkan suaranya.” Rosulullah bersabda,” Biarkanlah dia,sebab sesungguhnya dia adalah lebih baik.“ (Al-Baihaqi). Dari Sa’id bin Aslam ra., katanya Ibnu Adra’ berkata, “ Aku menyertai Nabi Saw. Pada suatu malam, lalu melewati seseorang di mesjid yang mengeraskan suaranya, lalu aku berkata, “ Wahai Rosulullah, tidaklah ia termasuk orang ria ? “ Beliau menjawab, “ Tidak,tetapi dia pengeluh,” (H.R.Baihaqi).

 

 

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR JAHAR

Imam An-Nawawi berkata : Bahwa bacaan dzikir sir (samar) lebih utama apabila takut ria, atau khawatir mengganggu orang yang sedang sholat atau tidur. Sedangkan yang jahar (dzikir keras) lebih baik apabila tidak ada kekhawatiran tentang hal ini, mengingat amalan di dalamnya lebih banyak manfaatnya, karena ia dapat membangkitkan kalbu orang yang membaca atau yang berdzikir, ia mengumpulkan semangat untuk berfikir, mengalahkan pendengaran kepadanya, mengusir tidur, dan menambah kegiatan” (dalam Kitab Haqiqot Al-Tawwasulu wa Al-Wasilat Al-Adlow’il kitabi wa As-Sunnah).

Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih didalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang kepada Allah yang telah menjadikan hati jadi keras bagaikan batu, penghalangnya yaitu seperti sipat malas, sombong, ria, iri dengki dan sebagainya)

Imam Al-Ghozali r.a. mengatakan: “Sunnat dzikir keras (jahar) diberjemaahkan di mesjid karena dengan banyak suara keras akan memudahkan cepat hancurnya hati yang keras bagaikan batu, seperti satu batu dipukul oleh orang banyak maka akan cepat hancur”.

 

KENAPA MESTI DZIKIR KERAS?

Ulama ahli ma’rifat mengatakan bahwa untuk mencapai ma’rifat kepada Allah bisa diperoleh dengan kebeningan hati. Sedangkan kebeningan hati itu bisa dicapai dengan suatu thoriqoh (cara), diantaranya banyak berdzikir kepada Allah. Jadi, ma’rifattidak akan bisa diperoleh jika hati kita busuk penuh dengan kesombongan, ria, takabur, iri dengki, dendam, pemarah, malas beribadah dan lain-lain. Oleh sebab itu dzikir diantara salah satu cara (thiriqoh) untuk membersihkan hati.

Sebab, manusia sering menyalahgunakan fitrah yang diberikan Tuhan, sehingga hati mereka menjadi keras. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut, mendorong manusia memiliki hati yang keras melebihi batu. Hal tersebut sebagaimana kalimat yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 74: “tsumma qosat quluubukum minba’di dzaalika fahiya kal hijaaroti aw asyaddu qoswatun”, artinya “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,bahkan lebih keras lagi”.Dari ayat tersebut hati manusia yang membangkang terhadap Allah menjadikan hatinya keras bagaikan batu bahkan lebih keras daripada batu.

Maka, jalan keluarnya untuk melembutkan hati yang telah keras bagaikan batu sehingga kembali tunduk kepada Allah, sebagaimana Ulama ahli ma’rifat mengatakan penafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitab miftahu Ash-Sshudur karya Sulthon Awliya Assayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “fakamaa annal hajaro laa yankasiru illa biquwwatin dlorbil muawwil fakadzaalikal qolbu laayankasiru illa biquwwati ”, artinya “sebagaimana batu tidak pecah kecuali bila dipukul dengan tenaga penuh pukulan palunya, demikian hati yang membatu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan kuatnya suara dzikir. “liannadz dzikro laa yu’tsiru fiijam’i tsanaati qolbi shohibihi illa biquwwatin”, artinya “ Demikian pula dzikir tak akan memberi dampak dalam menghimpun fokus hati pendzikirnya yang terpecah pada Allah kecuali dengan suara keras”.

Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih di dalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang yang akan menghalangi kita dekat kepada Allah, seperti sifat-sifat jelek manusia: iri, dengki, sombong, takabur,dll yang disumberkan oleh hati yang keras).

 

CARA BERDZIKIR DENGAN KERAS YANG DIAJARKAN ROSUL

Dalam hadits shohihnya, dari Yusuf Al-Kaorani : “Sesungguhnya Sayyidina ‘Ali r.a. telah bertanya pada Nabi Saw. : Wahai Rosulullah, tunjukkanlah kepadaku macam-macam thoriqot (jalan) yang paling dekat menuju Allah dan yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama di sisi Allah, maka Nabi Saw menjawab: wajiblah atas kamu mendawamkan dzikkrullah: Sayyidina ‘Ali r.a bertanya lagi: Bagaimana cara berdzikirnya ya Rosulallah? Maka Nabi menjawab: pejamkan kedua matamu, dan dengarkan (ucapan) dariku tiga kali, kemudian ucapkan olehmu tiga kali, dan aku akan mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sedangkan Sayyidina ‘Ali r.a mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali, sedangkan Nabi Saw memdengarkannya”. (Hadits dengan sanad sahih, dalam kitab Jami’ul Ushul Auliya)

 

Dalam kitab Tanwirul Quluub dijelaskan cara gerakan dzikir agar terjaga dari datangnya Syetan, merujuk Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al’Arof ayat 17: “Demi Allah (kami Syetan) akan datang kepada manusia melalui arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kiri”. Ayat ini menunjukan arah datangnya syetan untuk menggoda manusia agar menjadi ingkar terhadap Allah. Jelas, sasarannya manusia melalui empat arah; 1. Depan 2.Belakang 3.Kanan 4.Kiri.Maka, dzikirnya pun harus menutup empat arah. Dalam kitab Tanwirul Qulub: ucapkan kalimat “LAA” dengan diarahkan dari bawah pusat tarik sampai otak hal ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah depan dan belakang. Adapun ditarik kalimat itu ke otak karena syetan mengganggu otak/pikiran kita sehingga banyak pikiran kotor atau selalu suuddzon. Dan “ILAA” dengan diarahkan ke susu kanan atas, dan kalimat “HA” diarahkan ke arah susu kanan bagian bawah adapun ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah kanan. Dan “ILLALLAH” diarahkan ke susu kiri yang bagian atas serta bawahnya, hal ini untuk menutup pintu syetan yang datangnya dari arah kiri, namun lapadz jalalah yaitu lapadz “ALLAAH”nya diarahkan dengan agak keras ke susu kiri bagian bawah sekitar dua jari, karena disanalah letaknya jantung atau hati (keras bagaikan batu) sebagaimana pendapat Imam Al-ghozali.

Syarat berdzikir menurut para Ulama Tasawuf:

1. Dengan berwudlu sempurna

2. Dengan suara kuat/ keras

3. Dengan pukulan yang tepat ke hati sanubari

 

 

 

MANA YANG PALING UTAMA, DZIKIR KERAS (JAHAR) ATAU DZIKIR HATI (KHOFI)?

Dalam kitab ulfatu mutabarikin dan kitab makanatu Adz-dzikri bahwasanya Rosul pernah bersabda: “sebaik-baik dzikir adalah dalam hati”. Dalam kitab tersebut dijelaskan hal itu bagi orang yang telah mencapai kelembutan bersama Allah, hati bersih dari penyakit, hati yang sudah lembut. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama bagi orang yang hatinya keras bagaikan batu, sehingga sulit untuk tunduk pada perintah Allah karena sudah dikuasai oleh nafsunya.

Dalam kitab Miftahu Ash-Shudur karya Sulthon Auliya As-Sayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “ Sulthon Awliya As-Sayyid Syekh Abu A-Mawahib Asy-Syadzili r.a. berkata: “Para ulama toriqoh berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, apakah dzikir sir (hati) atau dzikir jahar (keras), menurut pendapat saya bahwa dzikir jahar lebih utama bagi pendzikir tingkat pemula (bidayah) yang memang hanya dapat meraih dampak dzikir dengan suara keras dan bahwa dzikir sir (pelan) lebih utama bagi pendzikir tingkat akhir (nihayah) yang telah meraih Al-Jam’iyyah (keteguhan hati kepada Allah)” .

Imam Bukhori, dalam kitab Sahihnya bab dzikir setelah salat fardlu, berkata: “ Ishaq ibnu Nasr memberitahu kami, dia berkata’Amru memberitahu saya bahwa Abu Ma’bad, pelayan Ibnu Abbas, semoga Allah meridloi keduanya, memberitahu Ibnu Abbas bahwa “Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama’ah selesai dan shalat fardlu sudah biasa dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Ibnu Abbas berkata: “Aku tahu hal itu, saat mereka selesai shalat karena aku mendengarnya”. Sayyid Ahmad Qusyayi. Q.s., berkata: ”inilah dalil keutamaan dzikir keras (jahar) yang didengar orang lain, dengan demikian ia membuat orang lain berdzikir kepada Allah dengan dzikirnya kepada Allah“.

 

DZIKIR KERAS MERESAHKAN?

Dzikir keras tidak akan meresahkan atau mengganggu orang yang hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Dengan terdengarnya dzikir menjadi magnet (daya tarik) yang kuat bagi orang yang beriman, bahkan menjadi kenikmatan tersendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an QS.Al-Anfal ayat 2 :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” .

 

ALLAH TIDAK TULI

Ada anekdot dari seorang Ulama Tasawuf pengamal thoriqoh: suatu hari ada dialog antara mahasiswi dan ulama tasawuf. Mahasiswi bertanya: “Pak Kiai, kenapa dzikir mesti keras (jahar) padahal Allah itu tidak tuli?”. Ulama Tasawuf menjawab dengan membalikan pertanyaan: “yang bisa kena sifat tuli itu yang memiliki telinga atau tidak?”. Mahasiswi menjawab: “iya yang punya telinga”. Ulama Tasawuf kembali bertanya: “Kalau Allah punya telinga tidak?”. Mahasiswi menjawab: “tidak punya”. Ulama tasawuf kembali bertanya lagi: “apakah dengan suara keras makhluk akan merusak pendengaran Allah?”. Mahasiswi menjawab: “tidak Pak Kiai”.

Selanjutnya Ulama Tasawuf mengatakan: “oleh sebab itu istighfarlah dan bersyahadatlah dengan baik, bagaimanapun Allah tidak akan tuli dan tidak akan rusak pendengaran-Nya oleh suara kerasnya makhluk. Bagi-Nya suara keras maupun pelan terdengar oleh Allah sama. Hanya saja, hati manusia yang tuli akan perintah Allah. Jadi, dzikir keras bukan untuk Allah dan bukan ingin didengar oleh Allah karena Allah sudah tahu. Tapi tujuan dzikir keras itu diarahkan untuk hati yang tuli kepada Allah yang keras bagaikan batu sedangkan kita tahu batu itu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan yang kuat, begitupun hati yang keras bagaikan batu tidak akan hancur kecuali dengan suara pukulan dzikir yang kuat. Jadi, Allah tidak butuh akan dzikir kita, sebaliknya kitalah yang butuh akan dzikir kepada Allah supaya hati menjadi lembut, bersih dan ma’rifat kepada Allah.

27 Oktober 2012

SISTEMATIKA TASAWUF 3

oleh alifbraja

PERAN WIRID DALAM  KEHIDUPAN HATI

Sebagian kita mengartikan WIRID ; sebagai rangkaian doa dan zikir di amalkan seorang salik ,yang diberikan oleh seorang guru kepada murid.Dalam Ensiklopedia Tasawuf disebutkan ;Wirid berasal dari kata arab WIRID, jamaknya Awrad yang berarti kumpulan zikir dan do’a do’a kepada Allah.Pembacaan wirid sangat dianjurkan,wirid merupakan do’a do’a pendek atau formula formula untuk memuja Tuhan dan memuji Muhammad saw,dan membacanya dalam hitungan tertentu sekian kali,pada jam jam yang telah ditentukan yang dipercaya akan memperoleh keajaiban atau paling tidak akan mendatangkan manfaat.

 

Didalam Kamus Tasawuf juga disebutkan,WIRID jamaknya AURAD.Wirid adalah seruan yang mengandung permohonan tertentu kepada Allahswt.Wirid diartikan juga dengan do’a do’a yang diucapkan berulang ulang setiap hari.Dalam istilah tassawuf adalah doa yang diulang pada waktu tertentu saetiap hari biasanya sesudah shalat wajib.Rangkaian kalimat qurani,biasanya dibaca sejumlah seratus kali ataulebih.Kalimat kalimat tersebut merupakan pelatihan yang menumbuhkan konsentrasi keagamaan sehari hari.Kalimat kalimat wirid biasanya dibaca oleh kelompok kelompok thariqat dan juga kelompok lainya.Gaya dan model aurad sangat beragam,tetapi pada umumnya mengandung permohonan ampunan(istigfar), shalawat nabi, dan syahadah.

 

Menurut hemat kami pengertian pengertian tentang wirid tersebut diatas merupakn pengertian wirid yang sempit.Sebenarnya WIRID mempunyai arti yang lebih luas yaitu WIRID adalah amal amal kebaikan dalam islam termasuk do’a dan dzikir yang dilakukan oleh penempuh jalan menuju Allah ( salik).Jadi wirid tidak hanya membaca doa dan dzikir tapi melakukan amal ibadah ibadah lain juga bisa disebut WIRID.Seperti dijelaskan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al hasani dalam kitabnya : Iqazh al Himam fi Syarh al Hikam ;versi Indonesia :”Lebih dekat kepada Allah ” terjemahan :Abdul Halim S,Ag );bahwa WIRID menurut istilah adalah dzikir dan ibadah lainya yang ditetapkan seorang hamba kepada dirinya sendiri atau ditetapkan seorang guru kepada muridnya.

 

Syeikh Sa’id Hawa rahimaullah dalam kitabnya : Mudzakiraat fi manzilis shidiqien wa rabbaniyyin ;terjemahan : imran effendi menjelaskan panjang lebar tentang wirid .Wirid wirid harian adalah kehidupan hati,dengan wirid ,hati menjadi terang bersih dan tenteram,shalat adalah wirid khusus sementara amal amal dalam islam lainya merupakan wirid umum.Menurut syeikh ‘Athaillah rahimaullah: seorang arif tak pernah meninggalkan ibadah, maka padukanlah ibadah dengan ma’rifat, sebab orang yang hanya melakukan ibadah dan zuhud tanpa memperoleh ma’rifah akan surut semangat ibadahnya.Agar gambaran ma’rifah tak menyimpang maka beliau menjelaskan bahwa ma’rifah hakiki itu ada di akhirat, sedangkan keharusan kita didunia ini hanya memperhatikan ciptaanNYA dan menyelami sifat sifatNYA.

 

Wirid wirid harian diperlukan agar supaya hati seorang salik yang sedang menempuh perjalanan menuju Allah berada dalam kesadaran.Seperti kita ketahui bahwa ketika ruh dimasukan dalam jasad atau tubuh maka seketika itu pula ruh tersebut menjadi tawanan jasad atau tubuhnya,sehingga ruh terpengaruh oleh tuntutan tuntutan jasad.dan inilah yang mjenyebabkan dirinya terhijab (tertutup tabir).padahal azalnya hati ini telah mengenal Allah seperti difirmankan Allah swt :

 

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِى اَدَ مَ مِنْ ظُهُوْ رِهِمْ ذ ُرِّ يَّتَهُمْ وَاَشْـهَدَ هُـمْ عَلَي

 

اَنْفُــسِهِمْ اَلَسْتُ بِــرَبِّكُــمْ قاَ لُوْا بَلىَ شَــهِد ناَ اَنْ تَــقُــوْ لُــوْا يَـــوْمَ

 

الْقِيَــمَةِ اِناَّ كُــنَّا عَــنْ هَــذَا غَا فِلِــيْــنَ .

 

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak anak adam dari sulbi mereka Dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka(seraya berfirman):”BukanKah AKU ini Tuhanmu?”,mereka menjawab,”Betul (Engkau Tuhan kami),kami bersaksi (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan :’Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini ‘.” (Al ‘Araf(7):172 )

 

Akan tetapi ketika ruh sudah masuk kedalam raga maka beragam tuntutan jasadpun memberinya perubahan yang berpengaruh langsung kepada hati.Bila cahaya yang menyinari hati begitu kuat,maka sesorang dapat menangkis beragam desakan tubuh,tetapi jika sesorang melakukan dosa ,maka hatinya tertitik noda noktah hitam.

 

Oleh karena itu agar hati seseorang tetap dalam kondisi tertentu, maka ia harus menjaga beberapa hal tertentu.Karena itu ibadah disyariatkan kepada kita, baik wajib maupun yang sunat,agar dapat mengisi dan mewarnai keadaan yang ada diri seseorang.Hati bukan hanya satu, kondisi bukan hanya satu dan pengaruh yang membekaspun bukan hanya satu macam, karena ini dan hal lainya,maka disyari’atkan kepada kita hal hal yang wajib dan nafilah ( sunat yang sangat dianjurkan).Sebagian syariat nafilah itu diserahkan kepada kita agar seseorang dapat mengambil,sesuai dengan kapsitas dirinya,kebutuhan hatinya, dan keadaan yang meliputinya.Allah berfirman :

 

 
بَلِ الا ِنْـساَنُ عَــلَى نَــفْسِــهِ بَــصِيْــرَةً . وَلَوْ اَلْـقَى مَــعاَ ذِيـرَهُ .

 

“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri.Dan meskipun dia

Mengemukakan alasan alasannya.” (Al Qiyamah(75):14-15)

 

 

Orang yang hidup dalm lingkungan yang kacau harus lebih gencar mencuci hatinya katimbang orang yang hidup dalam lingkungan mesjid misalnya.dan inilah sebagian hikmah, mengapa hal hal yang nafilah (sunat) tidak terikat;karena faktor tertentu, maka tingkat kebutuhan sesorang berbeda, ada yang sedikit ada Pula yang banyak.maka setiap orang hemdaklah mengatur segala urusan agar hatinya tetap dalam kondisi tertentu.Jika ia tidak memperhatikan hal itu maka bisa jadi tiba tiba hatinya tertutup, lalu makin tebal,tapi tetap tidak merasa.Karena itu setiap hari seseorang harus mencuci hatinya, dan sholat dianggap alat pencuci yang utama.Setiap rukun islam mempunyai peran dalam pencucian hati,tetapi sholat yang kontinyu sangat ampuh sekali mengkilapkan/menjernihkan hati dan jiwa,lebih lebih bila sholat ditunaikan dengan segenap kesempurnaan.Allah berfirman :

 

 

….. اِنَّ الصَّــلَو ةََ َ تَـنْهىَ عَـنِ الْفَـحْـشَآ ءِ وَالمُـنْــكَرِ……

 

“…..Sesungguhnya sholat itu mencegah dari hal hal keji dan mungkar……

(al-Ankabut /29:45)

 

 

Selain sebagai penghalang nafsu dari melakukan kekejian dan kemungkaran, sholat juga sebagai juga senagai pembasuh ruhani, karena pada dasarnya sholat harus dilakukan dalam suasana ruhani tertentu.Pasti menyimpan hikmah kebaikan jika sholat itu diwajibkan pada malam issro’ mi’roj tepatnya ketika mi’raj.Dari sinilah para ahli perjalanan menuju Allah berpendapat bahwa ketika seorang menunaikan sholat rohaninya naik melambung ke alam arwah.

 

Orang yang setiap hari membawa ruhaninya naik melalui shalat shalatnya, maka ia akan menjadikan ruhaninya benar benar suci.Jika seorang benar benar berdiri menegakkan shalatnya,seraya memperhatikan makna makna yang terkandung didalamnya,seperti sujud, rukuk,sholawat kepada nabi,memuji Allah,berdoa beristighfar dan membaca al qur’an sesungguhnya ia telah membersihkan ruhaninya.Jika seseorang melaksanakan sholat wardu dengan sempurnadan rapih ,maka berarti ia mencuci ruhani jiwa dan hatinya sebanyak lima kali.Jika sholat wajib dipadu dengan sholat sholat sunat, seperti sunat rawatib, witir, qiyamul lail, sholat dhuha, maka tak pelak lagi hatinya akan menjadi bersih dan berkilau.Tanpa pencucian yang terus menerus dengan sholat ruhani akan bertanbah kotor,jiwanya makin kusam dan hatinya kian menjadi gelap.

Ari Ibnu Mas’ud rahimaullah, dia menuturkan, rosulullah bersabda :

” Kalian akan terbakar, kalian akan terbakar !namun jika kalian sholat subuh,makaAkan dicucinya.Kalian akan terbakar kalian akan terbakar,namun jika kalian sholat Dhuhur maka akan dicucinya.Kalian akan terbakar kalian akan terbakar namun jika kalian sholat as’ar maka akan dicucinya.Kalian akan terbakar kalian akan terbakar namun jika kalian sholat maghrib maka akan dicucinya.Kalian akan terbakar Kalian akan terbakar namun jika kalina sholat ‘isya’ maka akan dicucinya, kemudian kalian tidur maka tiada keawjiban bagi kalian hingga kalian bangun .” (HR Tabrani )

 

Apabila wirid yang kontinyu itu menyatu dengan sholat maka proses pencucian akan makin besar pengaruhnya.Raosulullah saw mempunyai berbagi wirid yang menyatu dengan sholat sholatnya dan sungguh betapa banyak sholat dan wirid beliau.Dalam satu rekaat saja rosulullah memmbaca surat al baqarah. Al imron, an nisa’.

Ibnu Umar berkata :

“Dalam satu majlis (saja) kami hitung Rosulullah melafalkan doa:Rabbighfirlii wa tub ‘alayya innaka antat tawwabur rohim (yaTuhanku ampunilah aku dan berilah aku taubat,sesungguhnyaEngkau maha pemberi taubat lagi penyayang ) “.(HR Abu dawud ,tirmidzi)

‘Aisyah berkata : “Rasulullah berdzikir kepada Allah dalam semua waktu “.

(HR Muslim)

Shalat, doa, dzikir selepas sholat, doa dan dzikir pada saat tertentu, doa dikala malam dan siang serta dzikir dzikir bebas semua itu bisa menopang pencucian dan pembersihan ruhani dan hati yang terus menerus.Namun jika melalaikan berarti tiada pembersihan,peringatan dan penerangan baginya hingga terkadang sampai kepada kekufuran.

Sesungguhnya sesorang yang menginginkan kesempurnaan ibadah dan ubudiyah, demi meraih hati yang tetap terang dan menerangi maka tiada jalan lain kecuali harus melazimkan wirid wirid harian yang dipadu dengan shalat.Seorang yang tidak punya pencucian harian yang kontinyu bagi hatinya, maka ia berada dalam bahaya.Maka setiap muslim hendaknya mengobati hatinya setiap hari, hingga ia selalu siap untuk berjumpa dengan Allah yang maha suci .Inilah keadaan yang kita warisi dari Rasulullah saw. Dan inilah yang harus dimiliki setiap Muslim khusunya yang ingin menempuh perjalanan menuju ALLAH.

27 Oktober 2012

CAHAYA ILLAHI

oleh alifbraja

CAHAYA ILLAHI KENDARAAN DAN TENTARA HATI

بِسْمِ الًّلهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيمِ

 

Setelah menjelaskan WARID secara umum,selanjutnya Syeikh Ibnu ‘Atha’illah rahimaullah menjelaskan lebih spesifik lagi dengan mengartikan WARID sebagai CAHAYA yang dituangkan dalam hati :

“Cahaya adalah tunggangan hati dan asrar(rahasia rahasia batin) cahaya adalah tentara hati,seperti kegelapan adalah tentara nafsu.Jika Allah ingin menolong hambaNYA,maka DIA menolongnya dengan pasukan cahaya,dan memutuskan sokongan kegelapan dan segala sesuatu selain Allah darinya “.

Syeikh Sa’id Hawa menjelaskan ; WARID jika dirinci lebih detail berarti ; cahaya atau cahaya yang dituangkan Allah ke dalam hati seseorang, merupakan akibat dari proses penghadapan seorang hamba kepada Allah atau merupakan pemberia-NYA.Sebagaimana dijelaskan Oleh Allah dalam surat Az zumar ;22 :

اَفَمَنْ شَرَّ حَ اللَّهُ صَدْ رَهُ لِِلاِْ سْلاَ مِ فَهُوَ عَلىَ نُوْ رٍ مِنْ رَبِهِ. . . .
Apakah orang orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya ( sama dengan orang yang hatinya membatu) (Az-zumar:22)

 

Juga Firman Allah dalam surat Muhammad:17 ;

وَ الَّذِ يْنَ اَهْتَدَ وْا زَا دَهُمْ هُدً وَ اَ تَهُمْ تَقْوَ هُمْ

“Dan orang yang mendapat petunjuk,Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwakanya ( Muhammad:22)

Dan Firman NYA dalam surat Al-Ankabut:69 :

وَالَّذِ ينَ جَا هَدُ وا فِيْناَ لَنَهْدِ يَنَّهُمْ سًبُلَنَا وَاِنَّ الَّلهَ لَمَعَ

الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang orang yang berjihad untuk(mencari keridlaan) KAMI,benar benar akan KAMI tunjukan kepada mereka jalan jalan KAMI”. (Al-Ankabut :69).

Kendaraan yang ditunggangi hati untuk menempuh perjalanan menuju Allah adalah cahaya ,sedang tentara hati dan jiwa yang denganya ia dapat mengalahkan tentara syetan,juga adalah cahaya.Ada dua peran yang dimainkan oleh cahaya dalam hati.Pertama sebagai tunggangan seorang dalam mengarungi perjalanan menuju Allah;bila seorang memiliki cahaya,maka ia akan mengendarai tungganganya dan berjalan menuju Allah.Kedua sebagai prajurit, bila memiliki cahaya, maka ia akan mengalahkan tentara lain yang ingin menyerahkannya kepada syetan atau dunia.Oleh karena itu kita juga harus meneliti tidak saja kepada hal hal yang mendatangkan WARID,tetapi juga harus mengamati apakah warid warid itu telah memainkan peranya dalam hati; apakah warid warid itu juga bisa menjadi kendaraan yang dapat dikemudikan untuk menuju akhirat dan untuk menentang dorongan dorongan syaitani.

Marilah kita bertanya pada dirikita masing masing;Apakah kita dapat menambah cahaya yang ada dalam hati kita masing masing?Jika mampu melakukannya,maka kita dapat dinyatakan lulus.Sebaliknya jika kita tak lulus.kita merugi.Dan semua itu kembali kepada Allah dan iradatNYA; bila Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, maka DIA menganugerahi WARID berupa cahaya, dan Allah menyelematkannya dari segala bentuk kegelapan dan dari berbagai macam benda ( dzat) selain Allah.

Apakah kita memiliki tanda tanda yang dapat kita gunakan untuk mengetahui apa yang Allah kehendaki pada diri kita ?Apakah Allah menginginkan kebaikan pada diri kita ?.tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan pada diri kita ,menurut syeikh Sa’id Hawa adalah ;menumbuhkan pemahaman agama NYA,seperti disinyalir oleh Nabi dalam sabdanya :

مَـنْ يـُرِ دِ الَـلَّهُ بِـِهِ خـَيـْرًا يــُفَــقِّهْـهُ فـــِى الــدِّ يــْنِ :
Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya ,maka DIA memberi pemahaman agama kepadanya
(HR Muslim ,Tirmidzi)

Jika kau jumpai seseorang yang dianugerahi pemahaman terhadap agama_NYA,itu adalah pertanda bahwa Allah menginginkan kebaikan bagi seorang itu.Maka seyogyanya ia senang dan melantunkan pujian kepada Allah.

Menurut syeikh Sa’id Hawa rahimaullah sebagian orang memasukan tema pembicaraan ini ke dalam kajian filsafat.Padahal sebenarnya tidak,karena ini adalah fitrah dan merupakan aspektertinggi dan terluhur dalam islam.Selama kita mengacu pada pengertian seperti ini, maka kita mengarah pada kebaikan.Namun bila kita terlalu banyak membaca dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu, sementara hati kita tidak di asah dan tak pernah diperhatikan hingga menjadi gelap,maka mesti menjadi peringatan bagi kita.karena bila kita tidak merasa lelah dan terus begitu, maka yang akan muncul dikalangan kita adalh filosof, dan bukan kaum RABBANI.

NUR atau cahaya ini amat penting.karena jika seseorang memiliki lampu senter,lalu pada malam dinyalakan,maka akan terlihat segala sesuatu yang ada disekelilingnya,Jika sesuatu itu terlihat,maka akal akan berperan untuk memutuskan,apakah sesuatu itu membahayakan atau bermanfaat,jelek atau baik,harus berbuat atau menahan diri,berjalan atau berhenti,dan seterusnya,

Untuk masalah akhirat kita mempunyai NUR (cahaya) BASHIRAH ( mata batin) dan punya kepastian.Dengan cahya akan terlihat segala sesuatu,dan cahaya pulalah yang membedakan cara pandang sang muslim dan si kafir dalm memandang sesuatu.Allah melukiskan dalam firmanNYA :

” Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya,Allah hilangkan cahaya(yang menyinari)mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,tak dapat melihat “.(Al-Baqarah :17).

Melalui cahaya seorang mukmin dapat menatap sesuatu dengan penglihatan imani yang lain dengan penglihatan orang kafir.Penglihatan orang kafir adalah penglihatan yang bersifat meterialistis melulu dilandasi oleh nafsu untuk kepentingan individual semata.Mereka (orang kafir) seharusnya melihat segala sesuatu dengan berdasarkan api tersebut, yang tak lain adalah (cahaya) syari’at.Namun Allah menghilangkan cahaya bagi mereka.Jadi ayat diatas mengabarkan bahwa ada yang bersemayam dalam hati,ang dengannya mesti melihat sesuatu menurut hakekatnya.

Setelah cahaya bisa diraih lalu bagaimana dengan BASHIRAH,suatu kurnia yang denganya sesorang menentukan hukum tentang apa yang wajib dilakukan.Allah berfirman :

” Sesungguhnya telah datang dari RABB-mubashaa’ir (bukti bukti yang terang ) kepada kalian “.(Al-An’am :104 ).

Al-Quran adalah BASHAA’IR jamak dari bashirah.dengan alQuran ini Allah memberimu bashirah yang melaluinya kita menghukumi segala sesuatu.Hukum bashirah adalah bila seorang muslim melihat tindak kemungkaran,maka ia harus memeranginya,dan bila menemukan perilaku kebaikan,maka ia mengokohkannya.demikian juga dengan hukum hukum yang lain.

Setelah Bashirah menetapkan,maka peran terakhir adalah hati,dimana ia bisa menerima untuk melakukan hukum itu, bisa pula meninggalkannya.Penerimaan hukum tersebut muncul lantaran cahaya yang dimiliki fungsional sebagai tentara hati,sedangkan penolakanya terjadi karena kegelapan yang ada telah menjalankan perannya sebagai tentara nafsu.Wirid wirid yang dilazimkan oleh sesorang adalah faktor menentukan untuk melahirkan kepatuhan hati ini.Karena itu ,para ahli suluk menginginkan agar seseorang terus menerus melakukan WIRID nya hingga mampu meraih kesempurnaan itu.Tapi jangan lupa ketika melakukan wirid pusatkan hati sepenuhnya kepada Allah.Tunaikan WIRID, karena dimana ada WIRID disitu pula ada WARID,meski kehadlirannya kadang dapat dirasakan,kadang tidak.

Warid warid yang dituangkan kedalam hati sesorang itu bukan hanya satu macam,walaupun memang pada akhirnya warid warid berupa cahaya,yang lahir lantaran rasa senang kepada Allah yang sekaligus sebagai anugerah Illahi.Cahaya itu terasa dalam bentuk dada yang lapang dan hati yang berbunga.Yang paling penting untuk diingat adalah,bahwa Warid Warid yang dicurahkan kedalam hati sesorang itu bervariasi.

Seseorang yang mengarungi perjalanan menuju Allah,lantas disusupi rasa teteram,lalu merasa bahwa dirinya mempunyai hati dan hati tersebut memiliki sensivitas dan kepekaan yang tinggi,itu sudah cukup menjadi WARID yang besar bagi sang pejalan menuju ALLAH.

25 Oktober 2012

Hakikat Basmalah Menurut Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi

oleh alifbraja

Dalam suatu hadits Nabi saw. Beliau bersabda, Setiap kandungan dalam seluruh kitab-kitab Allah diturunkan, semuanya ada di dalam Al-Qur’an. Dan seluruh kandungan Al-Qur’an ada di datam Al-Fatihah. Dan semua yang ada dalam Al-Fatihah ada di dalam Bismillnahirrahmaanirrahiim.”

 

Bahkan disebutkan dalam hadits lain, “setiap kandungan yang ada dalam Bismillahirrahmaanirrahiim ada di dalam huruf Baa’, dan setiap yang terkandung di dalam Baa’ ada di dalam titik yang berada dibawah Baa’”.

Sebagian para Arifin menegaskan, “Dalam perspektif orang yang ma’rifat kepada Allah, Bismillaahirrahmaanirrahim itu kedudukannya sama dengan “kun” dari Allah”.

 

Perlu diketahui bahwa pembahasan mengenai Bismillahirrahmaanirrahiim banyak ditinjau dari berbagai segi, baik dari segi gramatikal (Nahwu dan sharaf) ataupun segi bahasa (etimologis), disamping tinjuan dari materi huruf, bentuk, karakteristik, kedudukan, susunannya serta keistemewaanya atas huruf-huruf lainnya yang ada dalam Surat Pembuka Al-Qur’an, kristalisasi dan spesifikasi huruf-huruf yang ada dalam huruf Baa’, manfaat dan rahasianya.

 

Tujuan kami bukan mengupas semua itu, tetapi lebih pada esensi atau hakikat makna terdalam yang relevan dengan segala hal di sisi Allah swt, Pembahasannya akan saling berkelin dan satu sama lainnya, karena seluruh tujuannya adalah Ma’rifat kepada Allah swt.

 

Kami memang berada di gerbangNya, dan setiap ada limpahan baru di dalam jiwa maka ar-Ruhul Amin turun di dalam kalbunya kertas. Ketahuilah bahwa Titik yang berada dibawah huruf Baa’ adalah awal mula setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala. Sebab huruf itu sendiri tersusun darititik, dan sudah semestinya setiap Surat ada huruf yang menjadi awalnya, sedangkan setiap huruf itu ada titik yang menjadi awalnya huruf. Karena itu menjadi keniscayaan bahwa titik itu sendiri adalah awal dan pada setiap surat dan Kitab Allah Ta’ala.

 

Kerangka hubungan antara huruf Baa’ dengan Tititknya secara komprehensfih akan dijeaskan berikut nanti. Bahwa Baa’ dalam setiap surat itu sendiri sebagai keharusan adanya dalam Basmalah bagi setiap surat, bahkan di dalam surat Al-Baqarah. Huruf Baa’itu sendiri mengawali ayat dalam surat tersebut. Karena itu dalam konteks inilah setiap surat dalam Al-Qur’an mesti diawali dengan Baa’ sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seluruh kandungan Al-Qur’an itu ada dalam surah Al-Fatihah, tersimpul  lagi di dalam Basmalah, dan tersimpul lagi dalam Huruf Baa’, akhirnya pada titik.

 

Hal yang sama , Allah SWT dengan seluruh yang ada secara paripurna sama sekali tidak terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Titik sendiri merupakan syarat-syarat dzat Allah Ta’ala yang tersembunyi dibalik khasanahnya ketika dalam penampakkan-Nya terhadap mahlukNya.

 

Amboi, titik itu tidak tampak dan tidak Layak lagi bagi anda untuk dibaca selamanya mengingat kediaman dan kesuciannya dari segala batasan, dari satu makhraj ke makhraj lainya.

 

Sebab ia adalah jiwa dari seluruh huruf yang keluar dari seluruh tempat keluarnya huruf. Maka,camkanlah, dengan adanya batin dari Ghaibnya sifat Ahadiyah.

 

Misalnya anda membaca titik menurut persekutuan, seperti huruf Taa’ dengan dua tik, lalu Anda menambah satu titik lagi menjadi huruf Tsaa’, maka yang Anda baca tidak lain kecuali Titik itu sendiri. Sebab Taa’ bertitik dua, dan Tsaa’ bertitik tiga tidak terbaca,karena bentuknya satu, yang tidak terbaca kecuali titiknya belaka. Seandainya Anda membaca di dalam diri titik itu niscaya bentuk masing-masing berbeda dengan lainnya. Karena itu dengan titik itulah masing-masing dibedakan, sehingga setiap huruf sebenarnya tidak terbaca kecuali titiknya saja. Hal yang sama dalam perspektif makhluk, bahwa makhluk itu tidak dikenal kecuali Allah.

 

Bahwa Anda mengenal-Nya dari makhluk sesungguhnya Anda mengenal-Nya dari Allah swt. Hanya saja Titik pada sebagian huruf lebih jelas satu sama lainnya, sehingga sebagian menambah yang lainnya untuk menyempurnakannya, seperti dalam huruf-huruf yang bertitik, kelengkapannya pada ttik tersebut. Ada sebagian yang tampak pada kenyataannya seperti huruf Alif dan huruf-huruf tanpa Titik. Karena huruf tersebut juga tersusun dari titik-titik. Oleh sebab itulah, Alif lebih mulia dibanding Baa’,karena Titiknya justru menampakkan diri dalam wujudnya, sementara dalam Baa’ itu sendiri tidak tampak (Titik berdiri sendiri). Titik di dalam huruf Baa’ tidak akan tampak, kecuali dalam rangka kelengkapannya menurut perspektif penyatuan. Karena Titik suatu huruf Merupakan kesempurnaan huruf itu sendiri dan dengan sendirinya menyatu dengan huruf tersebut. Sementara penyatuan itu sendiri mengindikasikan adanya faktor lain, yaitu faktor yang memisahkan antara huruf dengan titiknya.

 

Huruf Alif itu sendiri posisinya menempati posisi tunggal dengan sendirinya dalam setiap huruf. Misalnya Anda bisa mengatakan bahwa Baa’ itu adalah Alif yang di datarkan Sedang Jiim, misalnya, adalah Alif dibengkokkan’ dua ujungnya. Daal adalah Alif yang yang ditekuk tengahnya.

 

Sedangkan Alif dalam kedudukan titik, sebagai penyusun struktur setiap huruf ibarat Masing-masing huruf tersusun dari Titik. Sementara Titik bagi setiap huruf ibarat Neucleus yang terhamparan. Huruf itu sendiri seperti tubuh yang terstruktur. Kedudukan Alif dengan kerangkanya seperti kedudukan Titik. Lalu huruf-huruf itu tersusun dari Alif sebagimana kita sebutkan, bahwa Baa’ adalah Alif yang terdatarkan.

 

Demikian pula Hakikat Muhammadiyyah merupakan inti dimana seluruh jagad raya ini diciptakan dari Hakikat Muhammadiyah itu. Sebagaimana hadits riwayat Jabir, yang intinya Allah swt. menciptakan Ruh Nabi saw dari Dzat-Nya, dan menciptakan seluruh alam dari Ruh Muhammad saw. Sedangkan Muhammad saw. adalah Sifat Dzahirnya Allah dalam makhluk melalui Nama-Nya dengan wahana penampakan Ilahiyah.

 

Anda masih ingat ketika Nabi saw. diisra’kan dengan jasadnya ke Arasy yang merupakan Singgasana Ar-Rahman. Sedangkan huruf Alif, —walaupun huruf-huruf lain yang tanpa titik sepadan dengannya, dan Alif merupakan manifestasi Titik yang tampak di dalamnya dengan substansinya — Alif memiliki nilai tambah dibanding yang lain. Sebab yang tertera setelah Titik tidak lain kecuali berada satu derajat. Karena dua Titik manakala disusun dua bentuk alif, maka Alif menjadi sesuatu yang memanjang. Karena dimensi itu terdiri dari tiga: Panjang, Lebar dan Kedalaman.

 

Sedangkan huruf-huruf lainnya menyatu di dalam Alif,seperti huruf Jiim. Pada kepala huruf Jiim ada yang memanjang, lalu pada pangkal juga memanjang, tengahnya juga memanjang. Pada huruf Kaaf misalnya, ujungnya memanjang, tengahnya juga memanjang namun pada pangkalnya yang pertama lebar. Masing-masing ada tiga dimensi. Setiap huruf selain Alif memiliki dua atau tiga jangkauan yang membentang. Sementara Alif sendiri lebih mendekati titik. Sedangkan titik , tidak punya bentangan. Hubungan Alif diantara huruf-huruf yang Tidak bertitik, ibarat hubungan antara Nabi Muhammad saw, dengan para Nabi dan para pewarisnya yang paripurna. Karenanya Alif mendahului semua huruf.

 

Diantara huruf-huruf itu ada yang punya Titik di atasnya, ada pula yang punya Titik dibawahnya,Yang pertama (titik di atas) menempatip osisi “Aku tidak melihat sesuatu sebelumnya) kecuali melihat Allah di sana”.

 

Diantara huruf itu ada yang mempunyai Titik di tengah, seperti Titik putih dalam lobang Huruf Mim dan Wawu serta sejenisnya, maka posisinya pada tahap, ”Aku tidak melihat sesuatu kecuali Allah didalamnya.” Karenanya titik itu berlobang, sebab dalam lobang itu tampak sesuatu selain titik itu sendiri Lingkaran kepada kepala Miim menempati tahap, “Aku tidak melihat sesuatu” sementara Titik putih menemptai “Kecuali aku melihat Allah di dalamnya.”

 

Alif menempati posisi “Sesungguhnya orang-orang yang berbaiat kepadamu sesungguhnya mereka itu berbaiat kepada Alllah.” Kalimat “sesungguhnya” menempati posisi arti “Tidak”, dengan uraian “Sesungguhnya orang-orang berbaiat” kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu tidaklah berbaiat kepadamu, kecuali berbaiat kepada Allah.”

 

Dimaklumi bahwa Nabi Muhammad saw. dibaiat, lalu dia bersyahadat kepada Allah pada dirinya sendiri, sesungguhnya tidaklah dia itu berbaiat kecuali berbaiat kepada Allah. Artinya, kamu sebenarnya tidak berbaiat kepada Muhammad saw.  tetapi hakikat-nya berbaiat kepada Allah swt. Itulah arti sebenarnya dari Khilafah tersebut.

 

Menurut Ibnu Araby dalam Kitab Tafsir Tasawufnya, “Tafsirul Qur’anil Karim” menegaskan, bahwa dengan (menyebut) Asma Allah, berarti Asma-asma Allah Ta’ala diproyeksikan yang menunjukkan keistimewaan-nya, yang berada di atas Sifat-sifat dan Dzat Allah Ta’ala. Sedangkan wujud Asma itu sendiri menunjukkan arah-Nya, sementara kenyataan Asma itu menunjukkan Ketunggalan-Nya.

 

Allah itu sendiri merupakan Nama bagi Dzat (Ismu Dzat) Ketuhanan. dari segi Kemutlakan Nama itu sendiri. Bukan dari konotasi atau pengertian penyifatan bagi Sifat-sifat-Nya, begitu pula bukan bagi pengertian “Tidak membuat penyifatan”.

 

“Ar- Rahman” adalah predikat yang melimpah terhadap wujud dan keparipurnaan secara universal. menurut relevansi hikmah. dan relevan dengan penerimaan di permulaan pertama.

 

“Ar-Rahiim” adalah yang melimpah bagi keparipurnaan maknawi yang ditentukan bagi manusia jika dilihat dari segi pangkal akhirnya. Karena itu sering. disebutkan, “Wahai Yang Muha Rahman bagi Dunia dan akhirat, dan Maha Rahim bagi akhirat”.

 

Artinya, adalah proyeksi kemanusiaan yang sempuma, dan rahmat menyeluruh, baik secara umum maupun khusus, yang merupakan manifestasi dari Dzat Ilahi. Dalam konteks, inilah Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Aku diberi anugerah globalitas Kalam, dan aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (menuju) paripurna akhlak”.

 

Karena. kalimat-kalimat merupakan hakikat-hakilkat wujud dan kenyataannya. Sebagaimana Isa as, disebut sebagai Kalimah dari Allah, sedangkan keparipurnaan akhlak adalah predikat dan keistimewaannya. Predikat itulah yang menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang terkristal dalam jagad kemanusiaan. Memahaminya sangat halus. Di sanalah para Nabi – alaihimus salam – meletakkan huruf-huruf hijaiyah dengan menggunakan tirai struktur wujud. Kenyataan ini bisa djtemukan dalam periode! Isa as, periode Amirul Mukminin Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah, dan sebagian masa sahabat, yang secara keseluruhan menunjukkan kenyataan tersebut.

 

Disebutkan, bahwa Wujud ini muncul dari huruf Baa’ dari Basmalah. Karena Baa’ tersebut mengiringi huruf Alif yang tersembunyi, yang sesungguhnya adalah Dzat Allah. Disini ada indikasi terhadap akal pertama, yang merupakan makhluk awal dari Ciptaan Allah, yang disebutkan melalui firman-Nya, “Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih Kucintai dan lebih Kumuliakan ketimbang dirimu, dan denganmu Aku memberi. denganmu Aku mengambil, denganmu Aku memberi pahala dan denganmu Aku menyiksa”. (Al-hadits).

 

Huruf-huruf yang terucapkan dalam Basmalah ada 18 huruf. Sedangkan yang tertera dalam tulisan berjumlah 19 huruf. Apabila kalimat-kalimat menjadi terpisah. maka jumlah huruf yang terpisah menjadi 22.

 

Delapan belas huruf mengisyaratkan adanya alam-alam yang dikonotasikannya dengan jumlahnya. 18 ribu alam. Karena huruf Alif merupakan hitungan sempurna yang memuat seluruh struktur jumlah. Alif merupakan induk dari seluruh strata yang tidak lagi ada hitungan setelah Alif. Karena itu dimengerti sebagai induk dari segala induk alam yang disebut sebagai Alam Jabarut, Alam Malakut, Arasy, Kursi, Tujuh Langit., dan empat anasir, serta tiga kelahiran yang masing masing terpisah dalam bagian-bagian tersendiri.

 

Sedangkan makna sembilan belas, menunjukkan penyertaan Alam Kemanusiaan. Walau pun masuk kategori alam hewani, namun alam insani itu menurut konotasi kemuliaan dan universalitasnya atas seluruh alam dalam bingkai wujud, toh ada alam lain yang memiliki ragam jenis yang prinsip. Ia mempunyai bukti seperti posisi Jibril diantara para Malaikat.

 

Tiga Alif yang tersembunyi yang merupakan pelengkap terhadap dua puluh dua huruf ketika dipisah-pisah, merupakan perunjuk pada Alam Ilahi Yang Haq, menurut pengertian Dzat. Sifat dan Af ‘aal. Yaitu tiga Alam ketika dipisah-pisah, dan Satu Alam ketika dinilai dari hakikatnya.

Sementara tiga huruf yang tertulis menunjukkan adanya manifestasi alam-alam tersebut pada tempat penampilannya yang bersifat agung dan manusiawi.

 

Dan dalam rangka menutupi Alam Ilahi, ketika Rasulullah saw, ditanya soal Alif yang melekat pada Baa’, “dari mana hilangnya Alif itu?” Maka Rasulullah saw, menjawab, “Dicuri oleh Syetan”.

 

Diharuskannya memanjangkan huruf Baa’nya Bismillah pada penulisan, sebagai ganti dari Alifnya, menunjukkan penyembunyian Ketuhanannya predikat Ketuhanan dalam gambaran Rahmat yang tersebar. Sedangkan penampakannya dalam potret manusia, tak akan bisa dikenal kecuali oleh ahlinya. Karenanya, dalam hadist disebutkan, “Manusia diciptakan menurut gambaran Nya”.

 

Dzat sendiri tersembunyikan oleh Sifat, dan Sifat tersembunyikan oleh Af’aal. Af’aal tersembunyikan oleh jagad-jagad dan makhluk.

Oleh sebab itu, siapa pun yang meraih Tajallinya Af’aal Allah dengan sirnanya tirai jagad raya, maka ia akan tawakkal. Sedangkan siapa yang meraih Tajallinya Sifat dengan sirnanya tirai Af’aal, ia akan Ridha dan Pasrah. Dan siapa yang meraih Tajallinya Dzat dengan terbukanya tirai Sifat, ia akan fana dalam kesatuan. Maka ia pun akan meraih Penyatuan Mutlak. Ia berbuat, tapi tidak berbuat. Ia membaca tapi tidak membaca “Bismillahirrahmaanirrahiim”.

 

Tauhidnya af’aal mendahului tauhidnya Sifat, dan ia berada di atas Tauhidnya Dzat. Dalam trilogi inilah Nabi saw, bermunajat dalam sujudnya, “Tuhan, Aku berlindung dengan ampunanmu dari siksaMu, Aku berlindung dengan RidhaMu dari amarah dendamMu, Aku berlindung denganMu dari diriMu”.

 

Tafsir ini dikutip dari Tafsirul Qur’anil Karim, karya Ibnu Araby

23 Oktober 2012

hal jabariyah lahaulawalaku wata illa billah

oleh alifbraja

Untuk ubudiyahnya,  aku .. disandarkan kepada,  lahaulawalaku wata illa billah….(tiada daya dan upayaku…) bagi yang belum mentajalikan asma (belum mengenal nama ke-100) …  makanya  adab ibadah ubudiyahnya ada istigpar.. subhanallah 33x, alhamdulillah 33x, allahu akbar, 33x  berjumlah 99, dan tambah  lagi satu nama yang Asli (nama yang ke-100), nama yang Rahasia,, nama yang tidak dinyaringkan. 

Sedangkan, kesimpulan makrifat (yang sudah tahu nama yang ke-100) iaitu adalah perhimpunan kesempurnaan (dzat, sifat, asma dan afaal) pada  nama Rahasia itu.  Mustahil kenal pangkat (Tuhan) dan jabatan (Allah), tetapi tidak kenal nama Aslinya (Rahsianya) …..anak-anak  juga tau..

(Berkaitan pertanyaan ante itu) Betul masih jabariyah..ibarat sekolah tidak ada ijazah..apa lagi belum pernah digurukan..Firman Allah: Tuhan mengajarkan kalam dan apa yang kita tidak ketahui.

Jadi yang tidak diketahui disuruh cari (carilah nama Rahasia itu).

(Perhatian: Nama Rahasia adalah sama dengan Ismu al Adzim, nama Asli Dzat dan nama yang ke-100)

19 Oktober 2012

FITNAH DAN SIKSA KUBUR

oleh alifbraja

maksud FITNAH KUBUR adalah cobaan, ujian dan kebingunga

n akan pertanyaan dua malaikat dalam kubur
sedang yang dimaksud SIKSA KUBUR adalah penghimpitan tanah, kesengsaraan dan kegelapan dalam kubur.

Siksa kubur terkadang bermula dari fitnah kubur seperti saat seseorang kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan dua malaikat kemudian ia disiksa tapi terkadang tidak bermula dari fitnah kubur, seperti saat ia dapat menjawab dengan benar namun kemudian ia disiksa sebab sembrono dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.

من مات مرابطا في سبيل الله آمنه الله من فتنة القبر ) التحير في سؤال الملكين

“Barangsiapa meninggal dalam keadaan berkaitan dijalan Allah, maka ia terselamatkan dari fitnah kubur” artinya selamat dari kebingungan dalam pertanyaaan dua Malaikat.
At-Taysiir Bi Syarh al-Jaami’ as-Shaghiir II/589

وفي حديث الكسوف [ وإنَّكم تُفْتَنُون في القبور ] يُريد مَسْألة مُنكَر ونَكِير من الفِتْنة : الامْتِحانِ والاخْتِبار . وقد كَثُرت اسْتِعاذتُه من فِتْنَة القَبْر وفِتْنَة الدَّجّال وفِتْنَة المَحْيا والممَات وغير ذلك

Dan tersebutkan dalam hadits al-Kusuuf “Dan sesungguhnya kalian mendapatkan ‘fitnah’ didalam kubur” yang dikehendaki adalah pertanyaan munkar dan nakiir bagian dari fitnah, cobaan dan hjian.
An-Nihaayah Fii Ghoriib al-Atsaar III/777

من فتنة القبر وعذاب النار أي امتحان السؤال فيه أو من أنواع عذابه من الضغطة والظلمة وغيرهما

Dari fitnah kubur dan siksa kubur” artinya fitnah kubur dari ujian pertanyaan dalam kubur atau dari siksa kubur artinya dari penghimpitan tanah, kesengsaraan dan kegelapan dalam kubur.
‘Umdah al-Mafaatih Syarh al-Miskaah V/425

( ومن فتنة القبر ) الحيرة في جواب الملكين ( وعذاب القبر ) عطف عامّ على خاص فعذابه قد ينشأ عن فتنته بأن يتحير فيعذب وقد يكون لغيرها بأن يجيب بالحق ثم يعذب على تفريطه في مأمور أو منهي

(Dan dari fitnah kubur) artinya kebingungan dalam menjawab pertanyaan dua malaikat
(Dan dari siksa kubur) terdapat athaf ‘Aam pada khash sebab siksa kubur terkadang timbul dari fitnah kubur seperti saat seseorang kebingungan menjawab pertanyaan kemudian ia disiksa dan terkadang ia dapat menjawab dengan benar namun kemudian ia disiksa sebab sembrono dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
At-Taysiir Bi Syarh al-Jaami’ as-Shaghiir I/431

( ما من مسلم يموت يوم الجمعة أو ليلة الجمعة الا وقاه الله فتنة القبر ) بأن لا يسئل في قبره لما يفاض في يومها وليلتها من عظائم الرحمة

“Tidak mati seorang muslim dihari jumat atau malamnya kecuali Allah menyelamatkannya dari fitnah kubur” artinya dengan tidak mendapatkan pertanyaan dalam kubur karena dihari dan malam jumah tercurahkan rahmat Allah yang terbesar.
At-Taysiir Bi Syarh al-Jaami’ as-Shaghiir II/712

Wallaahu A’lamu Bis Shpwaab

18 Oktober 2012

Mensucikan Allah dari Tempat dan Arah

oleh alifbraja

Imam Besar Ahlussunnah Wal Jama’ah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-MaturidiMensucikan Allah dari Tempat dan Arah

قال إمام أهل السنة أبو الحسن الأشعري (324 هـ) رضي الله عنه ما نصه : ” كان الله ولا مكان فخلق العرش والكرسي ولم يحتج إلى مكان، وهو بعد خلق المكان كما كان قبل خلقه ” اهـ أي بلا مكان ومن غير احتياج إلى العرش والكرسي. نقل ذلك عنه الحافظ ابن عساكر نقلا عن القاضي أبي المعالي الجويني.[تبيين كذب المفتري (ص/ 150).]

Pimpinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, Imam Abu Hasan al-Asy’ari (W 324 H) mengatakan sebagai berikut : ” Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia menciptakan ‘Arsy dan Kursi dan Dia tiada membutuhkan kepada tempat. Dan setelah tempat tercipta Dia ada seperti sebelum tercipta makhlukNya, ada tanpa tempat”. Tabyin Kadzib al-Muftari, S.150

 

 وقال إمام أهل السنة أبو منصور الماتريدي (333 هـ) رضي الله عنه ما نصه : “إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال والاستحالة” اهـ. .[كتاب التوحيد (ص/ 69).]

Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah , Imam Abu Manshur al-Maturidi (W 333 H) mengatakan sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tempat adalah makhluk, memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan. Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah tempat tercipta Dia tetap ada tanpa tempat. Dia Maha Suci (mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah (dari satu keadaan kepada keadaan lain).” Kitab at-Tauhid, S.69

 قال في كتابه “التوحيد”  : “فإن قيل: كيف يرى؟ قيل: بلا كيف، إذ الكيفية تكون لذي صورة، بل يرى بلا وصف قيام وقعود واتكاء وتعلق، واتصال وانفصال، ومقابلة ومدابرة، وقصير وطويل، ونور وظلمة، وساكن ومتحرك، ومماس ومباين، وخارج وداخل، ولا معنى يأخذه الوهم أو يقدره العقل لتعاليه عن ذلك “اهـ.[كتاب التوحيد (ص/ 85).]

Masih dalam kitab karyanya diatas “Kitab at-Tauhid”, beliau menuliskan tentang rukyatullah sebagai berikut : “Jika ada yang berkata Bagaimanakah Allah nanti dilihat ? Jawab : Dia dilihat dengan tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah). Karena Kayfiyyah itu hanya terjadi pada sesuatu yang memiliki bentuk. Allah dilihat bukan dalam sifat berdiri, duduk, bersandar, atau bergantung. Tanpa adanya sifat menempel, terpisah, berhadap-hadapan, atau membelakangi. Tanpa pada sifat pendek, panjang, sinar, gelap, diam, gerak, dekat, jauh di luar atau di dalam.  Hal ini tidak boleh dikhayalkan dengan prakiraan-prakiraan atau dipikirkan oleh akal , karena Allah maha suci dari itu semua”. Kitab at-Tauhid, S.85

وقال أيضا: “وأما رفع الايدي إلى السماء فعلى العبادة، ولله أن يتعبد عباده بما شاء، ويوجههم إلى حيث شاء، وإن ظن من يظن أن رفع الأبصار إلى السماء لأن الله من ذلك الوجه إنما هو كظن من يزعم أنه إلى جهة أسفل الأرض بما يضع عليها وجهه متوجها في الصلاة ونحوها، وكظن من يزعم أنه في شرق الأرض وغربها بما يتوجه إلى ذلك في الصلاة، أو نحو مكة لخروجه إلى الحج، جل الله عن ذلك “. انتهى باختصار.[كتاب التوحيد (ص/ 75- 76).]

Dan masih dalam kitab yang sama beliau mengatakan : “Adapun mengangkat tangan ke arah langit dalam berdo’a maka hal itu sebagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya (bukan berarti Allah di langit). Allah berhak memilih cara apapun untuk dijadikan praktek ibadah para hamba kepada-Nya, dan juga berhak menyuruh mereka untuk menghadap ke arah manapun sebagai praktek ibadah mereka kepada-Nya. Jika seorang menyangka atau berkeyakinan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit karena Allah berada di arah sana, maka ia sama saja dengna orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di arah bawah karena di dalam shalat wajah seseorang dihadapkan ke arah bumi untuk beribadah kepadaNya, atau sama saja dengan orang yang berkeyakinan bahwa Allah ada di arah barat atau di arah timur sesuai arah kiblatnya masing-masing dalam shalat saat beribadah, atau juga sama saja orang tersebut dengan yang berkeyakinan bahwa Allah berada di arah Mekah, karena orang-orang dari berbagai penjuru yang hendak melaksanakan haji untuk beribadah kepada-Nya menuju arah Mekah tersebut. Allah Maha Suci dari keyakinan semacam ini semua (berarah, bertempat)”. Kitab at-Tauhid, S.75-76.

Dengan demikian dalam aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah sangatlah jelas bahwa Allah tiada membutuhkan atau tiada bertempat pada Arsy, kursi dan tempat, sebagaimana apa yang dituliskan oleh kedua ULAMA SALAF tersebut yang mana beliau dikenal sebagai seorang yang teguh dalam membela aqidah Rasulullah SAW dan membantah kesesatan golongan-golongan di luar Ahlussunnah seperti Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij, dan lainnya. Kegigihan beliau dalam membela aqidah dan menghidupkan syari’at menjadikan beliau digelari dengan Imam Ahlussunnah wal Jama’ah. Imam golongan yang selamat.

فالحمد لله الذي هدانا لهذا وما كنا لنهتدي لو لا أن هدانا الله

17 Oktober 2012

Manifestasi Makrifat

oleh alifbraja

Berbagai pilihan AMAL ADALAH KARENA BERBAGAI-BAGAI AHWAL (HAL-HAL)

 

Ini dalam membicarakan tentang makrifat tentang gambaran makrifat tetapi tidak dikatakan makrifat dan tidak diuraikan secara terus terang sebaliknya dikatakan sebagai ahwal. Ahwal adalah jamak untuk kata hal. Hikmat ini membawa arti hal membentuk keadaan amal. Amal adalah perbuatan atau perilaku lahiriah dan hal adalah suasana atau perilaku hati. Amal terkait dengan “lahiriah” manakala hal terkait dengan “batiniah.” Karena hati menguasai sekalian anggota maka kelakuan hati yaitu hal menentukan bentuk amal yaitu perbuatan lahiriah.

Dalam pandangan tasawuf, hal diartikan sebagai pengalaman rohani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat. Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan makrifatullah (pengenalan tentang Allah). Karena itu, tanpa hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh makrifat. Ahli ilmu membangun makrifat melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasauf bermakrifat melalui pengalaman lansung tentang hakikat.

Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli spiritual terlebih dahulu memperoleh kasyaf yaitu terbuka kegaiban kepadanya. Ada orang mencari kasyaf yang dapat melihat makhluk gaib seperti jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting. Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya setan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini. Kasyaf yang mengakui sesuatu, walau apa rupa yang dihadapi, penting bagi pengembara kerohanian. Rasulullah saw sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibril as dalam rupanya yang asli dua kali saja, meskipun pada setiap kali Jibril as menemui Rasulullah saw dengan rupa yang berbeda, Rasulullah saw tetap mengenalinya sebagai Jibril as Kasyaf yang seperti inilah yang diperlukan agar seseorang itu tidak tertipu dengan tipu daya setan yang menjelma dalam berbagai rupa yang hebat dan menawan sekalipun, seperti rupa seorang yang tampak alim dan wara ‘.

 

AL-ALIM.

Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan hal atau zauk yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan. Hal tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu. Sebelum ini pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang makrifat. Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai hampir dengan pintu gerbangnya. Ketika sampai di situ seseorang hanya menanti karunia Allah, semata-mata karunia Allah yang membawa ma’rifat kepada hamba-hamba-Nya. Karunia Allah yang mengandung makrifat itu dinamakan hal. Allah memancarkan Nur-Nya ke dalam hati hamba-Nya dan akibat dari pancaran itu hati akan mendapat sesuatu pengalaman atau terbentuk satu suasana di dalam hati. Misalnya, pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal bahwa Allah Maha Perkasa. Apa yang terbentuk di dalam hati itu tidak dapat digambarkan tetapi efeknya dapat dilihat pada tubuhnya yang menggigil sampai dia jatuh pingsan. Pancaran Nur Ilahi membuat hati mengalami hal atau zauk atau merasakan keperkasaan Allah dan pengalaman ini dinamakan hakikat, yaitu hati mengalami hakikat keperkasaan Allah Pengalaman hati tersebut membuatnya berpengetahuan tentang maksud Allah Maha Perkasa. Jadi, pengalaman yang diperoleh dari zauk hakikat melahirkan pengetahuan tentang Tuhan. Pengetahuan itu disebut makrifat. Orang yang terkait dikatakan bermakrifat terhadap keperkasaan Allah Jadi untuk mencapai makrifat seseorang itu haruslah mengalami hakikat. Inilah jenis makrifat yang tertinggi. Makrifat tanpa pengalaman hati adalah makrifat secara ilmu. Makrifat secara ilmu bisa didapat dengan belajar, sementara secara zauk tersedia tanpa belajar (laduni). Ahli tasawuf tidak berhenti sejauh makrifat secara ilmu malah mereka mempersiapkan hati mereka agar sesuai menerima kedatangan ma’rifat secara zauk.

Ada orang yang memperoleh hal sekali saja dan dikuasai oleh hal dalam tempuh tertentu dan ada juga yang berkelanjutan di dalam hal. Hal yang berkelanjutan atau berkelanjutan dinamakan wisal yaitu penyerapan hal menerus, permanen atau baqa. Orang yang mencapai wisal akan terus hidup dengan cara hal yang terkait. Hal-hal (ahwal) dan wisal bisa dibagi lima jenis:

1: Abid:

Abid adalah orang yang dikuasai oleh hal atau zauk yang membuat dia merasakan secara bersangatan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, kemampuan, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang dari Allah Semuanya itu adalah karunia-Nya semata. Allah sebagai Pemilik yang sebenarnya, ketika Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali setiap waktu yang dikehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah sehingga jika dia melepaskan cadangan itu dia akan jatuh, tidak berdaya, tidak bisa bergerak, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah swt Hal atau suasana yang menguasai hati abid itu akan melahirkan amal atau kelakuan sangat kuat beribadah, tidak memperdulikan dunia dan isinya, tidak mengambil bagian dalam urusan orang lain, sangat takut berjauhan dari Allah dan gemar sendirian. Dia merasakan apa saja yang selain Allah akan menjauhkan dirinya dari Allah

2: Asyikin:

Asyikin adalah orang yang mendapat asyik dengan sifat Keindahan Allah Rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah di dalamnya. Amal atau perilaku asyikin adalah gemar merenung alam maya dan memuji Keindahan Allah pada apa yang disaksikannya. Dia bisa duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan titikan hujan memukau pandangan hatinya. Semua yang terlihat adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah Orang yang menjadi asyikin tidak memperdulikan lagi adab dan aturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam ini. Dia memiliki alamnya sendiri yang di dalamnya hanyalah Keindahan Allah

3: Muttakhaliq:

Muttakhaliq adalah orang yang mencapai yang Haq dan berubah sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana qurbi Faraidh atau qurbi nawafil. Dalam qurbi Faraidh, muttakhaliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah menjadi Pengguna alat. Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang mau terjadi pada kelakuan dan perbuatannya. Dia menjadi orang yang berpisah dari dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengendalikan atau mempengaruhinya. Hal qurbi Faraidh adalah dia melihat bahwa Allah melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah, dan diamnya ini adalah gerakan Allah Orang ini tidak memiliki kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti kata dan perbuatan, terjadi secara spontan. Perilaku atau amal qurbi Faraidh adalah bercampur-campur antara logika dengan tidak logis, menurut adat dengan merombak adat, perilaku alim dengan jahil. Dalam banyak hal penjelasan yang bisa diberikannya adalah, “Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki “.

Dalam suasana qurbi nawafil, pula muttakhaliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah yang menguasai bakat dan kemampuan pada sekalian anggotanya dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal qurbi nawafil adalah berbuat dengan izin Allah karena Allah mengaruniakan kepadanya kemampuan untuk berbuat sesuatu. Contoh qurbi nawafil adalah perilaku Nabi Isa as yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah, juga perilaku beliau as menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa as melihat sifat-sifat Allah yang diizinkan menjadi bakat dan kemampuan beliau as, sebab itu beliau as tidak ragu-ragu untuk menggunakan bakat tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah SWT

4: muwahhid:

Muwahhid fana dalam zat, zatnya lenyap dan Zat Mutlak yang menguasainya. Hal bagi muwahhid adalah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan sekalian maujud. Perilaku atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Ahmad, dan jika ditanya kepadanya di mana Ahmad, maka dia akan menjawab Ahmad tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke’Ahmad-an ‘dan benar-benar dikuasai oleh ke’Allah-an’. Ketika dia dikuasai oleh hal dia terlepas dari beban hukum. Dia mungkin meneriakkan, “Akulah Allah! Maha Suci Aku! Sembahlah Aku! “Dia telah fana dari ‘aku’ dirinya dan dikuasai oleh keberadaan ‘Aku Hakiki’. Akan tetapi sikap dan perilakunya dia tetap dalam ridha Allah Bila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi anggota syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal tidak bisa dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak bisa menahannya. Ahli hal karam dalam perbuatan Allah s.w.t. Kapan dia meneriakkan, “Akulah Allah!” Bukan berarti dia mengaku telah menjadi Tuhan, tetapi dirinya telah fana, apa yang terucap melalui lidahnya sebenarnya adalah dari Allah Allah yang mengatakan Dia adalah Tuhan dengan menggunakan lidah muwahhid yang sedang fana itu.

Berbeda pula kaum Mulhid. Si Mulhid tidak dikuasai oleh hal, tidak ada zauk, tetapi berkelakuan dan berbicara seperti orang yang di dalam zauk. Orang ini dikuasai oleh ilmu tentang hakikat bukan mengalami hakikat secara zauk. Si Mulhid membuang syariat serta beriman berdasarkan ilmu semata. Dia puas berbicara tentang iman dan tauhid tanpa beramal menurut tuntutan syariat. Orang ini berbicara sebagai Tuhan sedangkan dia di dalam kesadaran kemanusiaan, masih gelojoh dengan keinginan hawa nafsu. Orang-orang sufi sepakat mengatakan bahwa barangsiapa yang mengatakan, “Ana al-Haq!” Sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!

5: Mutahaqqiq:

Mutahaqqiq adalah orang yang setelah fana dalam zat turun kembali ke kesadaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di atas muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurus. Dalam kesadaran zat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak bisa dijadikan pemimpin. Dia harus turun ke kesadaran sifat barulah dia bisa memimpin orang lain. Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang ditunjuk oleh Allah menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhai Allah Orang inilah yang menjadi anggota makrifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, anggota tarekat yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Rabbani. Insan Rabbani tingkat tertinggi adalah para nabi-nabi dan Allah karuniakan kepada mereka maksum, sementara yang tidak menjadi nabi ditunjuk sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.

Ahwal (hal-hal) yang menguasai hati nurani berbeda, dengan itu akan mencetuskan kelakuan amal yang berbeda. Ahwal harus dipahami dengan sebenarnya oleh orang yang memasuki pelatihan tarekat spiritual, supaya dia mengetahui, dalam amal yang bagaimanakah dia mendapat kedamaian dan mencapai maksud dan tujuan, apakah dengan shalat, zikir atau puasa. Dia harus berpegang sungguh-sungguh kepada amal yang dicetuskan oleh hal tadi, agar dia cepat dan selamat sampai ke puncak.

————————–

1: Penjelasan, memori, tarik dan keinginan terhadap benda-benda alam seperti harta, wanita, pangkat dan lain-lain.

2: Kehendak atau syahwat yang mengarahkan perhatian kepada apa yang diinginkan.

3: Kelalaian yang menutup ingatan terhadap Allah

4: Dosa yang tidak dicuci dengan taubat masih mengotori hati.

Diri manusia tersusun dari anasir

i.tanah,

ii.air,

iii.api dan

iv.angin.

Ia juga diresapi oleh unsur-unsur alam seperti mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, setan dan malaikat. Setiap anasir dan unsur itu menarik hati kepada diri masing-masing. Tarik menarik itu akan menimbulkan kekacauan di dalam hati. Kekacauan itu pula menyebabkan hati menjadi keruh. Hati yang keruh tidak dapat menerima sinar nur yang melahirkan iman dan tauhid. Mengobati kekacauan hati adalah penting untuk membukakannya untuk menerima informasi dari alam malakut. Hati yang kacau itu bisa distabilkan dengan cara menundukkan semua anasir dan unsur tadi kepada syariat. Syariat menjadi tali yang dapat mengikat musuh-musuh yang mencoba menawan hati. Penting bagi seorang murid yang menjalani jalan spiritual menjadikan syariat sebagai payung yang mengharmoniskan perjalanan anasir-anasir dan daya-daya yang menyerap ke dalam diri agar cermin hatinya bebas dari gambar-gambar virtual. Bila cermin hati sudah bebas dari gambar-gambar dan atraksi tersebut, hati dapat menghadap ke Hadrat Ilahi.

Selain atraksi benda-benda alam, hati bisa juga tunduk kepada syahwat. Syahwat bukan saja rangsangan nafsu yang rendah. Semua bentuk kehendak diri sendiri yang berlawanan dengan kehendak Allah adalah syahwat. Kerja syahwat adalah mengajak manusia supaya lari dari hukum dan aturan Allah serta membangkang takdir Ilahi. Syahwat membuat manusia tidak reda dengan keputusan Allah Seseorang yang mau menuju Allah harus melepaskan dirinya dari belenggu syahwat dan keinginan diri sendiri, lalu masuk ke dalam benteng Aslim yaitu berserah diri kepada Allah dan reda dengan takdir-Nya.

Hal berikutnya yang yang dikatakan sebagai ilmu hikmatialah junubbatin tidak suci dan dilarang melakukan ibadah atau memasuki masjid. Orang yang berjunub batin pula tertegah dari memasuki Hadrat Ilahi. Orang yang di dalam junub batin yaitu default hati, posisinya seperti orang yang berjunub lahir, di mana amal ibadatnya tidak diterima. Allah mengancam untuk menjatuhkan orang yang shalat dengan default (dalam kondisi berjunub batin) ke dalam neraka wil. Begitu hebat sekali ancaman Allah kepada orang yang menghadap-Nya dengan hati yang lalai.

Mengapa begitu hebat sekali ancaman Allah kepada orang yang lalai? Bayangkan hati itu berupa dan berbentuk seperti rupa dan bentuk kita lahir. Hati yang khusyuk adalah umpama orang yang menghadap Allah dengan mukanya, duduk dengan tertib, berbicara dengan sopan santun dan tidak berani mengangkat kepala di hadapan Kaisar Yang Maha Agung. Hati yang lalai pula adalah umpama orang yang menghadap dengan belakangnya, duduk secara biadab, bertutur kata tidak tentu ujung pangkal dan perilakunya sangat tidak sopan. Perbuatan demikian adalah satu penghinaan terhadap martabat ketuhanan Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Jika raja didunia murka dengan perbuatan demikian maka Raja kepada sekalian raja-raja lebih berhak melemparkan kemurkaan-Nya kepada hamba yang biadab itu dan layaklah jika si hamba yang demikian dicampakkan ke dalam neraka wil. Hanya hamba yang khusyuk, yang tahu bersopan santun di hadapan Tuhannya dan mengagungkan Tuhannya yang layak masuk ke Hadrat-Nya, sementara hamba yang lalai, tidak tahu bersopan santun tidak layak mendekati-Nya.

Yang ke empat adalah dosa-dosa yang belum ditebus dengan taubat. Ia mencegah seseorang dari memahami rahasia-rahasia yang halus-halus. Pintu ke Perbendaharaan Allah yang tersembunyi adalah taubat! Orang yang telah menyuci-bersihkan hatinya hanya mampu berdiri di luar pintu Rahasia Allah selagi dia belum bertaubat, samalah seperti orang yang mati syahid yang belum menjelaskan hutangnya terpaksa menunggu di luar surga. Jika dia mau masuk ke dalam Perbendaharaan Allah yang tersembunyi yang mengandung rahasia yang halus-halus wajib bertobat. Taubat itu sendiri merupakan rahasia yang halus. Orang yang tidak memahami rahasia taubat tidak akan mengerti mengapa Rasulullah yang tidak pernah melakukan dosa masih juga memohon ampunan sedangkan sekalipun beliau berdosa semuanya diampuni Allah Apakah Rasulullah saw tidak yakin bahwa Allah mengampuni semua dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan beliau (jika ada)?

Maksud taubat adalah kembali, yaitu kembali kepada Allah Orang yang melakukan dosa tercampak jauh dari Allah Meskipun orang ini sudah berhenti melakukan dosa malah dia sudah melakukan amal ibadat dengan banyaknya namun, tanpa taubat dia tetap tinggal berjauhan dari Allah Dia telah masuk ke dalam golongan hamba yang melakukan amal salih tetapi yang berjauhan bukan berdekatan dengan Allah Taubat yang lebih halus adalah pengayatan kalimat:

“Laa Hau la wala quwata illa billah.”

Tiada daya dan upaya melainkan anugerah Allah

“Inna Lillillahi wa-inna ilai-irajiun”

Kami datang dari Allah dan kepada Allah kami kembali.

Segala sesuatu datangnya dari Allah, baik kehendak maupun perbuatan kita. Sumber yang mendatangkan segala sesuatu adalah Uluhiyah (Tuhan) dan yang menerimanya adalah ubudiyah (hamba). Apa saja yang dari Uluhiyah adalah sempurna dan apa saja yang terbit dari ubudiyah adalah tidak sempurna. Uluhiyah memberikan kesempurnaan tetapi ubudiyah tidak dapat melaksanakan kesempurnaan itu. Jadi, ubudiyah berkewajiban mengembalikan kesempurnaan itu kepada Uluhiyah dengan memohon ampunan dan bertobat sebagai menampung cacat. Segala urusan dikembalikan kepada Allah s.w.t. Semakin tinggi makrifat seseorang hamba semakin kuat ubudiyahnya dan semakin sering dia memohon ampunan dari Allah, mengembalikan setiap urusan kepada Allah, sumber datangnya segala urusan.

Bila hamba mengembalikan urusannya kepada Allah maka Allah sendiri yang akan mengajarkan Ilmu-Nya yang halus-halus agar kehendak hamba itu sesuai dengan Iradat Allah, kuasa hamba sesuai dengan Kudrat Allah, hidup hamba sesuai dengan Hayat Allah dan pengetahuan hamba sesuai dengan Ilmu Allah, dengan itu jadilah hamba mendengar karena Sama ‘Allah, melihat karena Basar Allah dan berkata-kata karena Kalam Allah Setelah semuanya berkumpul pada seorang hamba maka jadilah hamba itu Insan Sirullah (Rahasia Allah).

MAHA SUCI ALLAH YANG MENUTUPI RAHASIA KEISTIMEWAAN (PARA WALI) DENGAN diperlihatkan SIFAT KEMANUSIAAN BIASA bagi masyarakat dan TERNYATA KEBESARAN KETUHANAN ALLAH SWT DALAM memperlihatkan sifat kehambaan (PADA WALI-NYA). Orang yang jahil dan lemah imannya mudah terlintas sangkaan saat menghadapi kejadian yang luar biasa yang terzahir dari seseorang manusia. Nabi Ia as dilahirkan secara luar biasa, dan padanya terzahir mukjizat yang luar biasa, menyebabkan sekelompok manusia menganggap beliau as sebagai anak Tuhan. Uzair yang ditidurkan oleh Allah selama seratus tahun dan dijagakan di kalangan generasi yang sudah melupakan Taurat, lalu Uzair membacakan isi Taurat dengan lancar. Penonton pun menganggap Uzair sebagai luar biasa, lalu mengangkatnya sebagai anak Tuhan. Orang sering mengagungkan manusia yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Terkadang cara pengagungan itu sangat keterlaluan sehingga orang yang diagungkan itu didudukkan pada taraf yang melebihi standar manusia. Selain dianggap sebagai anak Tuhan, ada juga yang dianggap sebagai penjelmaan Tuhan. Timbul juga penabalan sebagai Imam Mahadi yang dijanjikan Tuhan. Efek pemujaan sesama manusia banyak terdapat di lembaran sejarah. Pemujaan yang demikian dianggap Allah sebagai menyembah makhluk. Hal ini terjadi karena salah menafsirkan kejadian luar biasa yang terzahir pada orang tersebut, meskipun mereka tidak meminta diagungkan. Hal luar biasa yang terjadi pada nabi-nabi disebut mukjizat dan yang terjadi pada wali-wali dinamakan keramat. Mukjizat menjadi bagian dari bukti atau argumen kepada publik tentang kebenaran kenabian. Fungsi utama mukjizat adalah memperkuat keyakinan publik kepada seseorang nabi itu. Sesuai dengan fungsinya mukjizat terjadi secara terbuka dan diketahui publik. Keramat pula merupakan karunia khusus kepada para wali. Tujuan utamanya adalah untuk menambahkan keyakinan wali itu sendiri. Tidak dimaksudkan untuk membuktikan posisi wali itu kepada orang banyak. Kekeramatan banyak terjadi pada zaman akhir ini, jarang terjadi pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat, sedangkan para sahabat beliau adalah aulia Allah yang agung. Sebagian dari mereka telah dinyatakan sebagai anggota surga ketika mereka masih hidup lagi. Mereka sudah memiliki iman yang sangat teguh, tidak perlu ke kekeramatan untuk menguatkannya. Jaminan surga yang diberikan oleh Rasulullah saw tidak membuat mereka mengurangi layanan bakti mereka kepada Allah Umat ​​yang terakhir ini tidak memiliki hati sebagaimana umat pada zaman Rasulullah saw Umat ​​zaman akhir ini membutuhkan kekeramatan sebagai penawar yang menguatkan hati mereka. Karena kekeramatan itu lebih berguna untuk diri sendiri, maka ia lebih banyak terjadi secara tersembunyi, hanya sejumlah kecil yang menyaksikannya atau kadang-kadang tidak ada yang melihatnya. Sifat kewalian ditampakkan kepada wali Allah itu sendiri sedangkan pada orang ditampakkan sifat manusia biasa, sehingga masyarakat tidak mengetahui posisinya yang sebenarnya. Dengan demikian seseorang wali Allah itu diberi layanan sebagai manusia biasa. Dia harus hidup dan mengelola kehidupan seperti orang. Perilakunya yang memakai kemanusiaan biasa menjadi contoh kepada masyarakat, bagaimana mau menjalani kehidupan di dunia dengan mentaati Allah Rasulullah menjalani kehidupan sebagai manusia biasa di mana beliau terpaksa mengikat perut dengan kain untuk menahan lapar, padahal dengan hanya berdoa kepada Allah beliau bisa menjadi kenyang tanpa makan. Para nabi dan para wali adalah manusia yang menjadi model untuk diikuti oleh orang banyak. Jika mereka hidup secara khusus seperti bergerak secepat kilat dan kenyang tanpa makan, sudah tentu tidak ada manusia yang dapat mengikuti mereka. Jadi ketika Allah memakaikan sifat kehambaan seperti orang kepada para nabi dan para wali-Nya itu adalah untuk kebaikan manusia umum. Orang bisa mengikuti contoh yang mudah dan tidak timbul pemujaan sesama manusia yang bisa membawa kepada syirik.