Archive for ‘Pengetahuan Islam’

17 Agustus 2013

SUMBER ILMU

oleh alifbraja
Tafsir Surat Al Alaq Ayat 1-5
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Tentang Turunnya Ayat
Ayat ini adalah ayat yang pertama kali di turunkan kepada Rasulullah saw menurut sebagian besar ulama tafsir. Surat ini diturunkan kepada Nabi saw melalui malaikat Jibril as pada saat nabi sedang berada di gua Hira. Pada awalnya Jibril mengajarkan Nabi saw untuk menghafal lima ayat dari surat ini.

Pendapat ini adalah pendapat yang paling kuat, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah ra[1] bahwa wahyu yang pertama ditunjukkan kepada Nabi saw adalah ru’ya shadiqah (mimpi yang benar) datangnya malaikat kepada beliau dan membaca 5 ayat ini.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang diturunkan pertama kali adalah surat al mudatsir[2]. Ada pula yang berpendapat bahwa yang pertama kali diturunkan adalah surat al fatihah.[3] Namun menurut as suyuthi[4] pendapat pertamalah yang benar, kemudian beliau mengemukakan alasan-alasannya.
Keutamaan Ayat
Permulaan ayat yang diturunkan kepada Rasulullah saw ini  memberikan dalil bahwa Allah adalah sumber segala sumber ilmu serta  memberikan penilaian tertinggi akan pentingnya membaca dan menulis bagi ummat Islam. Hingga pada saatnya Beliau saw dengan pengajarannya memalingkan wajah kehidupan manusia dari kejahiliyahan khamar, maisir, menumpuk-numpuk harta dengan segala macam cara, dusta dalam berniaga serta syahwat wanita dan kekuasaan kepada kerja besar membangun peradaban dunia yang modern dengan kekuasaan yang berkeadilan, penghormatan akan hak laki-laki dan perempuan, serta kecintaan akan kebaikan yang sesuai fitrah kemanusiaan. Nilai-nilai yang bahkan hingga saat ini menjadi pertanyaan besar bagi budaya materialis yang kering kerontang dari nilai.
Muhammad Abduh[5] menggambarkan dalam tafsirnya betapa pentingnya ayat ini bagi ummat Islam,
فَإنْ لَمْ يَهْتَدُ المُسْلِمُونَ بِهَذَا الهُدَى وَ لَمْ ينبههم النظر فيه الى النهوض الي تمزيق تلك الحجب التى حجبت عن أبصار هم نور العلم و كسر تلك الأبواب التى غلقها عليهم رؤساؤهم و حبسوهم بها في ظلمات من الجهل و إن لم يسترشدوا بفاتحة هذا المكتاب المبين و لم يستضيئوا بهذا لبضياء الساطع فلا أرشدهم الله أبدا
Jika ummat Islam tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak memperhatikan jalan-jalan untuk maju, merobek segala macam hijab yang menutup penglihatan mereka selama ini terhadap cahaya ilmu pengetahuan atau memecahkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik kegelapan, sebab dikunci erat-erat oleh para pemimpin mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan kebodohan. Kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, niscaya tidaklah mereka akan bangkit (mencapai kejayaan) lagi selama-lamanya.
               
Sumber Ilmu dalam al Qur’an
Berbeda dengan berbagai pemikiran filsafat, Islam menegaskan bahwa Allah adalah sumber ilmu dan kebenaran. Pada ayat-ayat ini Allah menegaskan bahwa dirinya adalah Rabb, pencipta serta pengajar manusia hal-hal yang tidak mereka ketahui.
Allah memerintahkan manusia untuk membaca dengan menyebut nama-Nya. Membaca adalah pembuka cakrawala ilmu pengetahuan. Melalui membaca kegelapan kebodohan akan menjadi terang benderang karena pengetahuan & rahasia-rahasia yang terselubung akan terungkap.
Maha suci Allah yang memerintahkan manusia untuk menyebut nama-Nya ketika membaca, karena Dia lah sumber segala bahan bacaan, Dia lah pencipta semesta. Dengan demikian segala proses membaca — pendekatan, observasi, penelitian dan uji coba —  untuk menjalani kehidupan di dunia adalah karena hakikat yang tak terbantahkan manusia yaitu Allah. Inilah iman, ketika kita meyakini bahwa segala sesuatu bermula, berjalan, tertuju dan kembali kepada-Nya.
Sayyid Quthb berkata,[6]توجه الرسول- صلى الله عليه وسلم- أول ما توجه، في أول لحظة من لحظات اتصاله بالملأ الأعلى، وفي أول خطوة من خطواته في طريق الدعوة التي اختير لها..توجهه إلى أن يقرأ باسم الله” surat ini mengarahkan Rasulullah saw untuk pertama kalinya, pada detik pertama di antara saat-saat hubungannya dengan Sang Penguasa Tertinggi serta pada langkah awal diantara langkah-langkahnya meniti jalan da’wah yang dirinya dipilih untuk mengembannya itu dengan mengarahkannya membaca dengan menyebut nama-Nya.
Inilah awal mula perubahan besar dalam peradaban manusia, pada saatnya kelak sejarah yang menjadi romantisme milik para raja-raja dan bangsawan itu mencatatkan kegemilangan pembangunan peradaban dunia yang modern namun kaya akan nilai-nilai spiritual. Dan itu semua dimulai oleh gerakan yang dipelopori seorang nabi yang ummi dan sekelompok kecil sahabatnya yang miskin dan tertindas pada masa itu. Karena mereka melandasi langkah-langkahnya dengan menyebut nama Allah.
Bacalah dengan menyebut nama Allah, perintah ini mengisyaratkan pula bahwa antara ilmu pengetahuan dan keimanan kepada Allah haruslah seiring.  Dr. Yusuf al Qaradhawi[7] menegaskan pula pandangan ini, bahwa iman adalah pembungkus ilmu “أن العلم في الإسلام إنما هو علم في حضانة الإيمان، فالعلاقة بينهما علاقة التواصل والتلاحم ، لا التقاطع والتنافر ، علاقة التكامل، لا علاقة التعارض.”  Ilmu dalam Islam terbungkus oleh keimanan, hubungan antara keduanya merupakan hubungan langsung dan senyawa, bukan hubungan yang terputus dan terpisah, juga merupakan hubungan yang saling melengkapi dan tidak bertentangan.
Sebagai pencipta segala sesuatu, maka Allah adalah Zat pemilik seluruh pengetahuan tentang ciptaan-Nya. Demikian Sayyid Quthb[8] menegaskan dalam tafsirnya,
والله هو الذي خلق. وهو الذي علم. فمنه البدء والنشأة، ومنه التعليم والمعرفة.. والإنسان يتعلم ما يتعلم، ويعلم ما يعلم.. فمصدر هذا كله هو الله الذي خلق والذي علم.
Dialah Allah yang mencipta dan yang mengajarkan. Dari-Nyalah permulaan dan pertumbuhan. Dari-Nyalah pengajaran dan ilmu pengetahuan. Manusia bisa mempelajari apa yang dipelajarinya dan mengajarkan apa yang diajarkannya, namun sumber semuanya adalah Allah yang menciptakan dan mengajarkan.
Sa’id Hawwa mengutip perkataan al wasithy[9] tentang  makna kalimat rabb yaitu “هو الخالق ابتداءً و المربّي غذاءً و الغافر أنتهاءًRabb adalah Pencipta pada mulanya, Pemelihara setelah itu dan Pengampun pada akhirnya.
Dengan demikian sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pengampun, Dialah sumber awal segala ilmu, karena-Nyalah pengetahuan manusia meningkat secara bertahap. Lihatlah bagaimana pemberitahuan Allah atas penglihatan manusia yang terbatas tentang gunung yang disangkanya diam,
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” An naml 88
Demikian pula koreksi Allah atas fatamorgana kehidupan dunia yang menipu yang manusia sangka adalah hakikat,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” Fathir 5
Karunia Allah atas Manusia
Ayat-ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah telah memuliakan manusia dengan berbagai karunia yaitu, menjadikannya ciptaan yang sempurna dan berakal, berlaku lemah lembut serta memuliakannya dengan melimpahkan kepada manusia ilmu pengetahuan.
Al Qurthubi[10] menjelaskan bahwa maksud penyebutan manusia yang diciptakan dari ‘alaqah adalah wujud karunia Allah kepada manusia.  “أَرَادَ أَنْ يُبَيِّنَ قَدْرَ نِعْمَتِهُ عَلَيْهِ، بِأَنْ خَلَقَهُ مِنْ عَلَقَةٍ مَهِينَةٍ، حَتَّى صَارَ بَشَرًا سَوِيًّا، وَعَاقِلًا مميزا” menjelaskan kadar kenikmatan yang diberikan kepada manusia. Dari segumpal darah yang hina, kemudian menjadi manusia yang sempurna, berakal sempurna.
Lebih lanjut al Qurthubi[11] mengutip pendapat al kalby yang menjelaskan bahwa makna kata al akram adalah berasal dari kata al Haliim “الْحَلِيمُ عَنْ جَهْلِ الْعِبَادِ، فَلَمْ يُعَجِّلْ بِعُقُوبَتِهِمْ” yaitu lemah lembut terhadap ketidak tahuan hamba-Nya, hingga mereka tidak disegerakan hukumannya ketika melakukan kesalahan.
Karunia Allah selanjutnya adalah Allah melimpahkan pengetahuan kepada manusia dengan mengajarkan manusia segala yang tidak diketahuinya melalui ilmu penulisan. Al Qurthubi[12] menuliskan dalam tafsirnya tentang keutamaan menulis, “وَلَوْلَا هِيَ مَا اسْتَقَامَتْ أُمُورُ الدِّينِ وَالدُّنْيَا” tidak bisa tidak bahwa segala perkara kehidupan agama dan dunia tegak diatasnya.

Jika membaca merupakan pembuka cakrawala ilmu pengetahuan maka menulis adalah pengunci pengetahuan tersebut agar tidak hilang dan menjadi dasar pengembangan keilmuan selanjutnya. Bahkan ilmu pengetahuan itu akan bertambah-tambah jika di amalkan, sebagaimana sebuah atsar yang diriwayatkan dari Abdul Wahid bin Zaid,[13] ia berkata,”
مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ فَتَحَ اللهُ لَهُ مَا لَا يَعْلَمُ” barang siapa yang mengamalkan ilmunya maka Allah akam bukakan baginya apa-apa yang belum diketahuinya.
Demikianlah ayat-ayat yang diturunkan pertama kali ini merupakan pemberitaan besar akan hakikat Sang Penguasa Tertinggi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ia melimpahkan kasih sayangnya kepada manusia berupa pengajaran ilmu pengetahuan agar mereka selamat menjalani kehidupannya, yang dalam ayat-ayat lain disebutkan sebagai hamba dan khalifah-Nya.
Hasbunallah wa ni’mal wakil


[1] Lihat Al Bukhari : Shahih al Bukhari, Daar Thuuq an Najah, 1422 H, Juz 1, hlm 7 Lihat pula Muslim : Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya at Turats al ‘Arabi, tt, Juz 1, hlm 139.
[2] Lihat  Shahih al Bukhari, Juz 1, hlm 7. Lihat pula Shahih Muslim, Juz 1, hlm 143.
[3] Abu Bakar al Baihaqi: Dalaail an Nubuwwah, Beirut: Daar al Kutub al ‘Ilmiyyah, 1405 H, Juz 2, hlm 156.
[4] Lihat As Suyuthi : al Itqan fi Ulum al Qur’an, al Haiah al Mishriyah al A’mmah lil Kitab, 1394 H, Juz 1, hlm 91-100.
[5] Muhammad Abduh : Tafsir al Qur’an al Karim (juz ‘amma), Mesir : Mathba’atu Mishr, 1341 H, hlm 124.
[6]Sayyid Quthb : Fi Dzilal al Qur’an, Beirut : Daar asy Syuruq, 1412 H, jilid 6, hlm 3938.
[7]Dr. Yusuf al Qaradhawi : al Hayat ar Rabbaniyyah wal ‘Ilm, Qahirah : Maktabah Wahbah, 1416 H, hlm 54.
[8] Fi Dzilal al Qur’an, hlm 3939.
[9] Sa’id Hawwa : al Asas fi Tafsir, Daar as Salam : Yordania, 1405 H, Jilid 1, hlm 41.
[10]Syamsuddin al Qurthubi : al Jami’ li Ahkam al Qur’an, Qahirah : Daar al Kutub al Mishriyyah, 1384 H, Juz 20, hlm 119.
[11] idem
[12]ibid, hlm 120.
[13] Abu Na’im al Ashbahany: Hilyatul Auliya wa Thobaqot al Ashfiya,  Beirut: Daar al Kitab al ‘Araby, 1394 H, juz 6, hlm 163
24 April 2013

NASAB NABI MUHAMMAD SAW

oleh alifbraja

Dalam Kitab al Barzanji (judul aslinya “al ‘Aqdul Jauhar Fii Maulidinna

biyyil Azhar”) karya: Assayyid Ja’far bin Hasan bin Abdul Kariem bin Muhammad bin Rasul bin Abdussayyid al Barzanji, lahir tahun 1126 H, wafat tahun 1177 H
ditulis sebagai berikut: وَبَعْدُ فَأَقُوْلُ هُوَ سَيِّدُنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَاسْمُهُ شَيْبَةُ الْحَمْدِ، حُمِدَتْ خِصَالُهُ السَّنِيَّةُ، اِبْنِ هَاشِمٍ وَاسْمُهُ عَمْرُو بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ وَاسْمُهُ الْمُغِيْرَةُ الَّذِيْ يَنْتَمِي الْإِرْتِقَاءُ لِعُلْيَاهُ، اِبْنِ قُصَيٍّ وَاسْمُهُ مُجَمِّعٌ سُمِّيَ بِقُصِيٍّ لِتَقَاصِيْهِ فِيْ بِلَادِ قُضَاعَةَ الْقَصِيَّةِ إِلَى أَنْ أَعَادَهُ اللهُ تَعَالَى إِلَى الْحَرَمِ الْمُحْتَرَمِ فَحَمَى حِمَاهُ اِبْنِ كِلَابٍ وَاسْمُهُ حَكِيْمٌ، اِبْنِ مُرَّةَ، اِبْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ بْنِ فِهْرٍ وَاسْمُهُ قُرَيْشٌ وَإِلَيْهِ تُنْسَبُ الْبُطُوْنُ الْقُرَشِيَّةُ وَمَا فَوْقَهُ كِنَانِيٌّ كَمَا جَنَحَ إِلَيْهِ الْكَثِيْرُ وَارْتَضَاهُ، اِبْنِ مَالِكِ بْنِ النَّضْرِ بْنِ كِنَانَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ مُدْرِكَةَ بْنِ اِلْيَاسَ وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ أَهْدَى الْبُدْنَ إِلَى الرِّحَابِ الْحَرَمِيَّةِ وَسُمِعَ فِيْ صُلْبِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ اللهَ تَعَالَى وَلَبَّاهُ، اِبْنِ مُضَرَ بْنِ نِزَارِ بْنِ مَعَدِّ بْنِ عَدْنَانَ وَهَذَا سِلْكٌ نَظَمَتْ فَرَائِدَهُ بَنَانُ السُّنَّةِ السَّنِيَّةِ Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam:
bin Sayyid Abdullah
bin Abdul-Muth¬thalib (namanya Syaibatul Hamdi)
bin Hasyim (yang namanya Amr)
bin Abdu Manaf ( namanya Al-Mughirah)
bin Qushayy (namanya Mujammi’)
bin Kilaab (namanya Hakiem)
bin Murrah
bin Ka’b
bin Lu’ayy
bin Ghaa¬lib
bin Fihr ( namanya Quraisy dan menjadi cikal bakal nama suku Quraisy)
bin Maalik
bin An-Nadhr
bin Kinaanah
bin Khuzaimah
bin Mudrikah
bin Ilyaas
bin Mudhar
bin Nizaar
bin Ma’add
bin Adnaan Nasab berikutnya sebagaimana dalam kitab Tahqiiqul Maqaam ‘Alaa Kifaayatil ‘Awaamm Fii ‘Ilmil Kalaam, karya Syeikh Ibrahim al Baajuuri (lahir tahun 1198 H, wafat tahun 1277 H) halaman 85, cetakan al Ma’aarif Bandung: وَقَدْ ذَكَرَ الْعِرَاقِيُّ أَصَحَّهَا فِيْ أَلْفِيَةِ السِّيْرَةِ
وَحَاصِلُهُ أَنَّ عَدْنَانَ بْنُ أُدّ بْنِ أُدَدْ بْنِ مُقَوَّمِ بْنِ نَاحُوْرِ بْنِ تَيْرَخْ بْنِ يَعْرُبْ بْنِ يَشْجُبْ بْنِ نَابِتِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ (عَلَيْهِمَا السَّلَامُ)
اِبْنِ تَارَخْ بْنِ نَاحُورْ بْنِ شَارُوخْ بْنِ أَرْغُوْ بْنِ فَالَخْ بْنِ عَيْبَرْ قَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ سَيِّدُنَا هُوْدٌ (عَلَيْهِ السَّلَامُ)
اِبْنِ شَالَخْ بْنِ أَرْفَخْشَدْ بْنِ سَامْ بْنِ نُوْحٍ (عَلَيْهِ السَّلَامُ) وَاسْمُهُ عَبْدُ الْغَفَّارِ
اِبْنِ لَامَكْ بْنِ مَتُّوْ شَلْخَ بْنِ خَنُوخْ قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ إِنَّهُ إِدْرِيْسُ فِيْمَا يَزْعُمُوْنَ
اِبْنِ يَرْدَ بْنِ مَهْلَايِيْلَ بْنِ قَيْنَنْ بْنِ يَانُشْ بْنِ شِيْثٍ (عَلَيْهِ السَّلَامُ)
اِبْنِ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ. (Adnan)
bin Udd
bin Udad
bin Muqawwam
bin Naahuur
bin Tairakh
bin Ya’ruub
bin Yasyjub
bin Naabit
bin Nabi Isma’il ‘alaihissalaam
bin Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam
bin Taarakh
bin Naahuur
bin Syaaruukh
bin Arghuu
bin Faalakh
bin ‘Aibar (ada yang mengatakan beiau adalah Nabi Hud ‘alaihissalaam)
bin Syaalakh
bin Arfakhsyad
bin Saam
bin Nabi Nuh ‘alaihissalaam
bin Laamak
bin Mattuusyalkha
bin Khanuukh (ada yang mengatakan beliau adalah Nabi Idris ‘alaihissalaam)
bin Yard
bin Mahlaayiil
bin Qainan
bin Yaanusy
bin Nabi Syits ‘alaihissalaam
bin Nabi Adam ‘alaihissalaam Wallaahu A’lam

23 April 2013

shalawat akan melambungkan derajat dan kedudukan Rasulullah Saw?

oleh alifbraja

Shalawat kita kepada Rasulullah Saw memiliki sisi beragam yang akan kita singgung sebagian darinya berikut ini:

  1. Shalawat merupakan perintah Allah Swt dalam al-Quran yang menyatakan, “InnaLlaha wa malaikatahu yushalluna ‘ala al-nabi. Yaayyuhalladzina amanu shallu ‘alaihi wa shallu ‘alaihi wa sallimu taslima.” Artinya, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk nabi dan ucapkanlah salam serta tunduklah (kepada perintahnya).” (Qs. Al-Ahzab [33]:56) Oleh itu, hamba Allah Swt memiliki tugas untuk menaati perintah Allah Swt dan mengirimkan salam kepadanya.

  2. Shalawat dan salam pada hakikatnya adalah bentuk apresiasi dan ucapan terima kasih kita atas segala jerih payah dan usaha Rasulullah Saw dan Ahlulbaitnya yang selama bertahun-tahun lamanya hidup di tengah masyarakat dengan baik dan benar. Mereka rela menanggung seluruh kesusahan dan penderitaan demi memberi petunjuk kepada manusia dan menjadi teladan serta panutan manusia. Atas dasar itu, mereka tentu saja sangat layak menerima apresiasi dan ucapan terima kasih sedemikian sehingga bentuk rasa syukur yang paling minimal adalah menyampaikan shalawat kepada mereka. Bahkan apabila mereka tidak membutuhkan shalawat ini, kita sebagai orang yang menikmati hasil jerih payah mereka memiliki tugas untuk menyampaikan rasa syukur kita kepada mereka.

  3. Apa manfaat shalawat bagi keluarga Rasulullah Saw? Mereka tidak membutuhkan salam dan shalawat kita.

Allamah Thabathabai memberikan jawaban sublim kepada seseorang yang mengajukan pertanyaan seperti ini bahwa shalawat yang kita kirimkan pertama kita tidak memberikan sesuatu dari diri kita melainkan persembahkan kita kepada Allah Swt dan kita memohon kepada-Nya untuk melimpahkan rahmat khusus kepada Rasulullah Saw dan keluarganya. Kedua, meski keluarga ini tidak butuh kepada kita namun mereka membutuhkan Allah Swt dan emanasi Ilahi harus senantiasa tercurah ke atas mereka.  Kita dengan shalawat ini sejatinya ingin mendekatkan diri kita kepada keluarga ini. Setelah itu, Allamah Thabathabai mengimbuhkan, “Apabila seorang penjaga kebun bekerja pada sebuah taman (kebun) yang seluruh bunga dan buahnya dimiliki oleh pemilik kebun dan menerima gaji dari pemilik kebun, pada hari raya, tukang kebun itu menyiapkan setangkai bunga dari kebun dan mempersembahkannya kepada pemilik kebun apakah perbuatannya itu tidak akan mendekatkan penjaga kebun itu kepada pemilik kebun? Tentu saja iya. Perbuatan ini menunjukkan adab dan etika penjaga kebun. Shalawat juga mengukuhkan adab dan etika kita karena kalau tidak demikian kita tidak memiliki sesuatu dari diri kita. Kita memohon kepada Allah Swt untuk meninggikan derajat dan kedudukan mereka. Dan penghormatan ini bagi kita menyebabkan kedekatan kita kepada mereka dan kepada Allah Swt.[1]


[1]. Diadaptasi dari Faidah Shalawat atas Keluarga Rasulullah Saw; Manfaat Shalawat.

12 April 2013

Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya

oleh alifbraja

Redaksi-redaksi kunci dan sentral pada ayat yang dimaksud adalah “yahulu” dan “qalb”.

A.     Yahulu

Yahulu artinya merintangi, membatasi dan menghalangi. Kalimat ini derivasinya dari kata haûl (batas, rintangan, halangan). Dan makna-maknanya yang digunakan untuk kata ini adalah perubahan dan pergantian, mediasi antara dua hal.[1]

Sesuai dengan makna kedua; misalnya apabila matahari berada di antara bulan dan bumi kita berkata bahwa antara matahari terdapat dua penghalang dan pembatas. Tatkala ungkapan ihwal halangan (hâil) mengemuka artinya pertama, harus terdapat dua hal yang menjadi penghalang dan pembatas bagi hal yang ketiga dan memisahkan dua hal tersebut. Kedua, sesuai dengan kaidah dua hal tersebut jaraknya harus berdekatan sehingga hal ketiga menghalangi dan membatasi kedekatan dan kekerabatan ini.

B.      Qalb

Makna leksikal qalb (hati) adalah perubahan (inqilâb) dan pergolakan. Apabila indra tertentu manusia yang berada di bagian dada kiri disebut sebagi hati hal ini dikarenakan bahwa hati senantiasa mengalami perubahan dan usaha sehingga dengan gerakan teraturnya ia menata kehidupan manusia.[2]

Yang dimaksud dengan qalb (hati) dalam al-Qur’an adalah substansi abstrak dan transendental yang dengannnya kemanusiaan manusia bergantung. Serta kebanyakan kondisi ruh dan psikologis manusia disandarkan kepada hati. Misalnya pencerapan (idrâk), baik pencerapan presentif (hudhuri) atau perolehan (hushuli), atau cinta, benci dan sebagainya.

Bahkan ketika al-Qur’an menafikan pencerapan yang dilakukan hati, sejatinya al-Qur’an ingin menegaskan bahwa realitas ini yaitu hati bukan merupakan hati yang sehat (sâlim).[3]

Mengingat bahwa hati merupakan anggota sentral badan dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah badan itu sendiri atau asli wujud hati. Oleh itu, dalam budaya dan penggunaan al-Qur’an, orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan pandangan dapat dicirikan sebagai orang yang tidak memiliki hati. Allamah Thaba-thabai Ra berpandangan bahwa hati itu adalah jiwa manusia yang dengan dibekali dengan kekuatan dan pelbagai afeksi batin sehingga manusia menata kehidupannya.[4] Dan hati adalah sesuatu yang menghukumi, mencinta atau membenci.

Dengan kata lain, mengapa Allah Swt memilih sebuah hakikat yang bernama hati untuk menjadi pembatas di antara seluruh anggota badan manusia. Dan bercerita tentangnya, sementara Dia adalah pencipta manusia dan mendominasi satu demi satu anggota badannya. Dan dalam kondisi apa pun Dia dapat menguasainya, lalu menjadi pembatas antara manusia dan telinganya, antara manusia dan hatinya, yang bermakna anggota dari anggota badan material manusia dan sebagainya?

Jawab: Karena al-Qur’an bukan sekedar Kitab ilmiah semata, melainkan juga merupakan Kitab petunjuk. Dari sisi lain, jalan untuk sampai kepada maarif Ilahiah tidak semata bersandar pada jalan rasional dan pemikiran, akan tetapi melalui juga melalui jalan hati. Oleh karena itu, pada kebanyakan ayat-ayat, secara langsung berurusan dengan hati dan al-Qur’an sebagai kitab samawi bagi seluruh manusia pada setiap masa dan zaman serta setiap generasi, karena itu al-Qur’an lebih menghargai jalan hati dan fitrah melebihi jalan pikiran.

Terkadang manusia memiliki pikiran yang kuat sehingga dalam pancaran pemikiran, hati bergerak dan terkadang hati yang bergerak dan dalam siluet gerakan hati kemudian lahir pemikiran. Dan al-Qur’an meletakkan keduanya di hadapan kita. Akan tetapi asas tarbiyah manusia adalah bergantung pada hidup-matinya hatinya. Dan tatkala hati manusia berubah dan berpaling kepada Tuhan maka hati tersebut akan memiliki nilai.[5]

Dalam hal ini, Imam Ali As bersabda: “Hati-hati ini adalah media dan sebaik-baik hati adalah hati yang bersemayam padanya pengetahuan-pengetahuan tentang kebenaran dan berniat baik.” Sebagian periset berkata, hati adalah penyebab kemuliaan dan keutamaan manusia yang lantaran kemuliaan tersebut manusia memiliki keunggulan atas seluruh makhluk. Melalui perantara hati Tuhan berikut sifat-sifat-Nya dapat dikenal. Dan pada akhirnya siap untuk menjadi tempat bersemayam maarif Ilahiah.

Dengan demikian, sejatinya hati yang mengenal (‘âlim) Tuhan dan merupakan pelakasana bagi titah Tuhan dan berusaha meniti jalan menuju Tuhan. Hati sedemikian adalah hati yang mengenal dirinya dan karena ia mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhan. Apabila suatu waktu hati tidak mengenal Tuhan (jâhil) maka sesungguhnya ia jahil terhadap dirinya. Dan jahil ihwal dirinya adalah jahil terhadap Tuhan. Dan secara pasti, seseorang yang jahil terhadap dirinya maka ia akan lebih jahil terhadap selainnya. Dan kebanyakan manusia yang lalai terhadap hatinya dan menjadi pembatas antara hati dan dirinya.[6]

Sebagai hasilnya, ayat yang menjadi obyek pembahasan “Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya” maka manusia harus membina kedekatan dan kekerabatan dengan hatinya sehingga Tuhah menjadi perantara di antara keduanya.

Dengan demikian, tentu hati yang dimaksud di sini bukan makna lahirnya yaitu sanubari manusia. Karena itu pembatasan dan penghalangan di sini tidak bermakna material. Dan perkara ini merupakan perkara maknawi dan non-material. Sebagaimana tatkala Allah Swt berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (Qs. Al-Qaf [50]:16) kedekatan ini bukan merupakan kedekatan material melainkan perkara maknawi dan murni non-material. Terlebih, hati manusia merupakan media pencerapan, pemahaman, berpandangan, dan sejatinya keniscayaan hidup rasional manusia. Dan tanpanya kehidupan manusia hanya akan bercorak material dan lahiriya belaka.

Pada ayat yang difirmankan ini, Kami membatasi antara manusia dan media pencerapan dan pemahamannya. Apabila kita berkata bahwa hati manusia juga merupakan salah satu yang paling dekat kepada-Nya (sebagaimana urat nadi) maka Allah membatasi antara manusia dan sesuatu yang paling dekat kepada-Nya. Dalam bentuk ini, Tuhan dalam surah al-Qaf (50) ayat 16 ingin menjelaskan kehadiran-Nya dan pada ayat tersebut hendak mendeklarasikan dominasi dan kekuasaan-Nya.

Lebih dekat kepada urat nadi melebihi dekatnya manusia merupakan perlambang kehadiran Tuhan. Meski dengan alasan tirai yang dihasilkan oleh kelalaian sehingga kehadiran ini tidak kita rasakan. Dan menjadi medium antara manusia dan hatinya menujukkan kekuasaan Tuhan atas manusia dan hatinya. Dan kehadiran tersebut merupakan syarat utama atas kekuasaan dan dominasi ini. Oleh karena itu kita berada di bawah dominasi dan kekuasaan Tuhan.

Penafsiran lain yang dapat ditunjukkan atas pembatasan ini:

A.      Tuhan dengan kematian membatasi antara manusia dan hatinya. Dan lantaran kematian berada di tangan-Nya dan hal ini merupakan tanda kekuasaan-Nya setelah kematian, antara manusia dan hatinya Dia menjadi jarak dan membuat batasan. Boleh jadi kelanjutan ayat yang menyatakan: “Dan sesungguhnya kepada-Nya kalian dikumpulkan” menyiratkan kepada kematian ini dimana pertama: dengan kematian, antara manusia dan hatinya terbentang jarak dan batasan. Kedua manusia dengan kematian akan memasuki padang masyhar, hari kebangkitan dan alam akhirat.

B.      Karena kematian tidak mesti bermakna keluarnya ruh manusia dari badannya, melainkan segala sesuatu yang kematian niscaya baginya, adalah jenis kematian dan pada akhirnya menjadi jarak dan batasan antara manusia dan hatinya; misalnya kesesatan adalah jenis kematian. Sebagaimana petunjuk dan penerimaan seruan nabi merupakan jenis kehidupan dan bagian pertama ayat yang menjadi obyek bahasan, “Penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika ia menyerumu yang menghidupkanmu.” (Qs. Al-Anfal [6]:24) adalah mengisyaratkan bahwa petunjuk dan menyambut seruan nabi adalah jenis kehidupan. Tatkala seseorang tidak menyambut seruan Tuhan maka ia tidak memiliki kehidupan yang dihasilkan dari menjawab seruan Tuhan ini. Orang seperti ini terpuruk dalam jurang kesesatan dan sejatinya telah mati. Allah Swt juga mengunci mata-hati orang sedemikian, sebagaimana firman-Nya “Allah mengunci mata hati mereka.” (Qs. Al-Baqarah [2]:7) dan dengan demikian terbentang jarak, batasan dan hijab antara manusia dan hatinya.

Iya seluruh yang menolak petunjuk dan terpeleset ke dalam jurang kesesatan dan kelalaian sesungguhnya telah bersua dengan kematian. Sebagaimana orang-orang yang mendapat petunjuk meski secara lahir mati maka sesungguhnya mereka menjumpai kehidupan, “Mereka bahkan hidup dan mendapatkan rezki di sisi Tuhan mereka.” (Qs. Ali Imran [3]:169)

Adalah hal yang natural bahwa tatkala dengan kematian terbentang jarak antara manusia dan hatinya maka manusia sedemikian adalah hampa pemikiran, pandangan, rasionalitas, pemahaman dan pencerapan, “Pada mereka telinga tapi tidak untuk mendengar, dan pada mereka hati tapi tidak untuk memahami.” (Qs. Al-A’raf [7]:179)

C.      Orang yang melupakan Tuhan maka Tuhan menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri. Artinya lantaran mereka melupakan Tuhan telah menjadi sebab Tuhan membuat mereka melupakan diri mereka sendiri. Dan orang yang melupakan dirinya atau, dengan terma modernnya, teralienasi maka terbentang jarak dan batasan antara dirinya dan kekuatan pencerapan dan rasionalnya. Kemampuan mencerap dan memahami telah hilang dari dirinya, sesuai dengan firman Allah Swt, “Lalu mereka melupakan diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Hasyr [59]:19) dan terjerembab pada orang yang melupakan Tuhan. Iya, sedemikian ia terjerembab sehingga secara tidak sadar terjauhkan dari kehidupan tayyibah yang bersandar pada dzikruLlah dan mengingat Tuhan singkatnya mengikut, patuh dan taat kepada-Nya. Dan bukan saja ia melupakan Tuhan, bahkan ia juga telah melupakan dirinya sendiri.

D.      Sebagian nash-nash tentang pembatasan ini dimaknai sbagai pembatasan makna dan mereka berkata, “maksud dari “yahulu baina al-mar’i wa qalbihi adalah bahwa terkadang manusia mengambil keputusan untuk melakukan sebuah perbuatan, kemudian setelah itu Tuhan membuatnya menyesali perbuatan tersebut dan tidak membiarkan orang ini melanjutkan keputusan atau perbuatan tersebut.[7]

 

Makna ini kurang-lebih adalah makna tengah-tengah (mutawassith), akan tetapi apabila kita memiliki dalil rasional yang sesuai dengan ayat yang dimaksud dan terdapat dalil-dalil lainnya yang menyokong pandangan tersebut, maka tidak ada alasan bagi kita meninggalkan ayat ini secara lahir yang menyatakan : “Tuhan membatasi antara manusia dan dirinya.” Karena manusia bukan merupakan maujud yang berisi, melainkan laksana makhluk-makhluk kontingen (mumkin) lainnya yang ajwaf (tengahnya melompong). Sebagaimana Tsiqah al-Islam Kulaini menegaskan matlab ini dengan menukil sebuah riwayat dari Abu Ja’far As yang bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt menciptakan Bani Adam ajwaf.”[8]

Mengingat manusia adalah ajwaf dan tengahnya kosong maka antara manusia dan diri manusia terbentang jarak kekuasaan wujud Tuhan, oleh karena itu Tuhan dekat kepada segala sesuatu. Apabila Tuhan dekat maka Dia mendekat dengan segala sifat-sifatnya. Karena sifat-sifat dzati Tuhan adalah dzat-Nya itu sendiri dan apabila sifat-sifat dzati Tuhan hadir,[9] sifat-sifat perbutan juga mengikuti sifat-sifat dzati serta akan berpengaruh dan berlaku aktif (fa’âl).[10]

 

Hasil-hasil Pelbagai Pembatasan

1.       Kita tahu bahwa setiap halangan ke arah dua sisinya dari setiap sisi ke sisi yang lain adalah lebih dekat. Oleh itu, manusia lebih cepat dan lebih baik mengenal Tuhan dari hatinya sendiri. Dan dengan ilmu hudhuri, ia mencerap Tuhan. Sebagai hasilnya dalam menentukan instanta luaran (mishdaq) ia tidak menyimpang, tidak dapat meragukan dan mencari-cari dalih atas seruan Tuhan dan penyeru kebenaran kepada kalimat Tauhid.

2.       Mengingat Tuhan lebih mengetahui hati manusia daripada manusia itu sendiri, oleh itu manusia tidak dapat mendua (munafik) dalam menerima seruan tahuid dan para penyeru kepada kebenaran dan hanya menerimanya dalam bentuk lahir saja. Melainkan ia harus mentransfernya ke dalam lisan dan hatinya dan meyakini serta beriman kepadanya.

3.       Tatkala sifat terpuji disandarkan kepada manusia maka hal itu juga disandarkan kepada Tuhan tanpa perantara. Oleh itu, apabila manusia bersikap congkak terhadap niatnya yang tulus atau seluruh sifat-sifat terpuji maka sesungguhnya hal itu merupakan kesempurnaan kebodohannya.[11] Dan di antara kebodohan manusia adalah memandang dirinya sebagai mandiri dalam penguasaan hati dan beranggapan dirinya memiliki kekuasaan mutlak.

4.       Allah Swt dapat kapan saja Dia hendaki membuat manusia tidak dapat menikmati hatinya sehingga tidaklah demikian bahwa manusia senantiasa dapat menebus apa yang telah berlalu. Dengan demikian, ia harus sesegera mungkin melaksanan perintah Ilahi dan tidak menunda-nunda ketaatan kepada-Nya.

5.       Pembatasan ini menunjukkan kehadiran dan pengawasan Tuhan di setiap tempat dan penguasaan-Nya atas seluruh makhluk.[12]

Kekuatan dan kesuksesan bersumber dari-Nya, aktifitas akal dan juga ruh berada di tangan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat menyembunyikan sesuatu apa pun dari-Nya, melainkan dalam setiap kesempatan dan keadaan senantiasa memohon taufik dari-Nya dan menjadikan Allah sebagai penolong-Nya dan tidak mencari penolong selain-Nya.[13]

 

Sebagai penutup kami akan mengakhiri pembahasan ini dengan menyebutkan dua riwayat berikut ini.

Hisyam bin Salim menukil dari Imam Shadiq As, maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah menghalangi orang yang menemukan ilmu bahwa yang batil itu adalah kebenaran.[14]

Dalam riwayat yang lain disebutkan Imam Shadiq As bersabda: Demikianlah manusia melakukan sesuatu dengan telinga, mata dan tangan, pikiran, namun tatkala sesuatu itu datang kepadanya, hatinya mengingkarinya dan memahami bahwa sesuatu itu bukan kebenaran.[]

 

Untuk telaah lebih jauh:

Allamah Thaba-thabai,  Tafsir al-Mizân, jil. 9, hal. 24, surah al-Anfal

Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 4, hal. 25, surah al-Anfal

Ja’far Subhani, Mansyur-e Jâvid-e Qur’ân, hal. 295

Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 89.

 


[1]. Raghib Isfahani, al-Mufrâdât fii Gharib al-Qur’ân, hal. 137

[2]. Ja’far Subhani, Mansyur-e Jâvid-e Qur’ân, hal. 295.  

[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 89

[4]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Sayid Muhammad Baqir Musawi, jil. 9, hal. 58.   

[5]. Ayatullah Jawadi Amuli, Zan dar Aine Jalâl wa Jamâl, hal. 281.  

[6]. Muhsin Faidh Kasyani,  Mahajjatul Baidhâ, jil.5, hal. 3.

[7]. Majma al-Bayân, jil. 4, hal. 820

[8]. Muhammad Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 6, hal. 282)   

[9]. Bagian-bagian sifat-sifat Tuhan: 1. Sifat-sifat dzat: dimana dalam mengabstrasikannya cukup dengan memperhatikan dzat seperti sifat-sifat “Mengetahui (‘Alim), Berkuasa (Kudrat), Hidup (Hayat) dan sebagainya. Sifat-sifat perbuatan: Sifat ini adalah sifat yang dalam mengabstrasikannya tidak cukup sekedar memperhatikan dzat Ilahi namun dzat tersebut harus ditinjau pada tataran perbuatan dan penciptaan kemudian mengabstrasikannya. Misalnya sifat-sifat pencipta (Khâliq), Pengampun (Ghafur), Pemberi rezeki (Râziq) dan sebagainya.

[10]. Jawadi Amuli, Hikmat-e Ibadah, pembahasan ketujuh, hal. 213. link dengan no.89

[11]. Allamah Thaba-thabai, terjemahan Tafsir al-Mizân, jil. 9, hal. 58.  

[12]. Allamah Thab-thabai, Op cit, jil. 9, hal. 58

[13]. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 4, hal. 313.

[14]. Allamah Thaba-thabai, Op cit, jil. 9, hal. 62.

12 April 2013

Membedakan antara ujian dengan siksa atau azab Ilahi

oleh alifbraja

Secara tabiat jika manusia tidak memiliki satupun kesulitan khas yang menimpanya maka dia akan bangga dengan dirinya sendiri yang hal ini akan menjerumuskannya ke arah takabbur dan kesombongan. Dan kesombongan semacam inilah yang akan melalaikannya dari akibat-akibat yang akan timbul dikemudian hari karena perbuatan-perbuatannya sendiri. Untuk menghindarkan diri dari keburukan semacam ini, kebijakan Ilahi meniscayakan bahwa dalam kehidupan duniawinya manusia diperhadapkan pada kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan hambatan-hambatan alami atau sesuatu yang diciptakan sendiri oleh mereka. Dari sinilah sehingga peristiwa-peristiwa seperti sakit, kematian dan cacat, demikian juga dengan kefakiran, kekayaan, banjir, gempa bumi, angin topan, ledakan gunung berapi, serangga-serangga yang membahayakan serta binatang-binatang buas diletakkan melingkupi jasmani manusia sedangkan jiwanya dibatasi dengan akal, syahwat dan pembimbing-pembimbing Ilahi dari satu sisi, dan setan serta manusia-manusia setan dari sisi yang lain, juga adanya keterbatasan di dunia serta pentingnya ilmu dan iman terhadap gaib.

Bagaimana manusia menanggapi ketaksempurnaan jasmani dan jiwanya ini akan membentuk karakter pribadi dan identitasnya. Akal dan fitrah yang merupakan faktor dari dalam serta anbiya serta auliya Ilahi sebagai faktor dari luar merupakan pembimbing dan penunjuk ke arah bagaimana berperilaku dan bagaiamana bereaksi secara benar yang akan mengantarkan manusia meraih kesempurnaannya, sedangkan syahwat hewani dan kecenderungan serta harapan-harapan yang panjang sebagai faktor dari dalam, dan setan, jin serta manusia sebagai faktor dari luar merupakan penghambat jalan manusia dalam menggapai kebahagiaan dan menjauhkannya dari jalan yang seharusnya dia lalui, namun manusia tetap harus memilih jalannya karena keadilan Ilahi berada dalam kekuasaan mereka dan tidak ada manusia yang mampu menghindar dari persoalan ini.

Dari sini harus dikatakan bahwa seluruh alam keberadaan dengan segala nikmat dan musibahnya sebenarnya merupakan area uji bagi manusia, sementara bala serta musibah-musibah yang menimpanya pun pada dasarnya merupakan nikmat dan penyebab yang memungkinkannya untuk memilih dan selanjutnya akan mengantarkannya pada lompatan dan ketinggian jiwa baik di dunia maupun di akhirat, dan andai saja tidak ada hambatan-hambatan tersebut, maka lompatan dan kenaikan ini merupakan suatu hal yang sangat mungkin didapatkan oleh manusia.

Dalam masalah ini para auliyaullah lebih banyak mendapatkan dan menanggung sulitnya bala dan musibah, karena hal ini mereka butuhkan untuk mendukungnya mengalami lompatan dan kulminasi. Musibah-musibah yang datang menimpa para auliya akan menghasilkan beberapa persoalan di bawah ini:

 

1.       Memperkuat kehendak dan jiwa mereka dan memperluas lingkup eksistensinya serta memperkuat wilayah takwini dan penciptaan mereka;

2.       Mempertinggi derajat mereka di akhirat;[1]

3.       Membentuk kebencian mereka yang semakin mendalam kepada dunia dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan memberikan kedekatan dan kecintaan yang semakin banyak kepada akhirat, dan apa yang berada di dekat-Nya akan disediakan kepada mereka;

4.       Memperbanyak tadharu’ dan mengingat-Nya serta memacunya untuk mempersiapkan bekal yang lebih banyak untuk akhiratnya. Tentunya para auliya itu sendiripun menyambut musibah-musibah yang menimpanya dengan perasaan yang rela dan pandangan yang positif. Datangnya kesulitan-kesulitan ini justru akan menambah keyakinan, keimanan dan kerelaan mereka,dan akan membuat keinginan untuk bertemu dengan Tuhan menjadi semakin besar, karena di balik segala ujian ini akan diikuti dengan kenaikan maqam, sedangkan usia yang pendek di dunia beserta musibah-musibah yang menyertainya samasekali tidak bisa diperbandingkan dengan nikmat abadi yang terdapat di akhirat.

Jika kita sedikit memperhatikan apa yang terjadi di Karbala pada tahun 61 Hijriah maka kita akan mengetahuinya sebagai sebuah contoh yang jelas dari rasa kecintaan seperti ini.

Akan tetapi mereka yang memiliki kapasitas lebih sedikit, hanya akan diuji seukuran dengan kemampuan mereka, jika mereka menang dalam ujian ini barulah akan menghadapi ujian-ujian selanjutnya.

Poin yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa seluruh ujian tidak senantiasa berada dalam satu bentuk dan tingkatan. Pada seseorang kadangkala ujian diberikan dalam bentuk kefakiran sementara kepada yang lainnya dalam bentuk kekayaan, yang satu diuji dengan musibah sementara yang lainnya dengan kenikmatan, yang satu dengan keberadaannya anak sementara yang lainnya dengan ketiadaan menikmati kehadiran anak, yang satu dengan kesehatan sementara yang lainnya dengan penyakit dan barangkali yang satu dengan ilmu dan kesuksesan ilmunya sementara yang lain dengan kesuksesannya dalam beribadah. Mungkin pula seorang manusia kadangkala diuji dengan hal-hal seperti ini dan kadangkala dengan bentuk yang itu atau yang lainnya, dan hal ini bergantung pada sejauh mana dia mempersiapkan diri untuk menerima ujian. Tentu saja kesiapan ini merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebelumnya yang bisa jadi dirinya sendiri tidak menyadari akan hal ini.

Sebenarnya musibah-musibah dan bala-bala yang ada lebih luas dari apa yang telah kami sebutkan di atas. Dan setiap manusia senantiasa berhadapan dengan hal-hal tersebut dalam bentuknya sendiri-sendiri dan tidak ada jalan untuk menghindarkan diri darinya.[2]

Akan tetapi sebagian dari musibah-musibah terjadi dikarenakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia atau karena penyimpangan dan penentangan yang dilakukannya terhadap aturan-aturan Ilahi. Musibah seperti ini terjadi sebagai sarana untuk memberikan pelajaran supaya manusia sadar dengan kesalahan yang dilakukannya. Dan tentunya musibah jenis ini hanya akan ditemukan pada orang-orang yang tak maksum, karena orang-orang maksum terlepas dari segala kelalaian dan kesalahan, sehingga musibah-musibah yang menimpa mereka tidak bisa dimaknakan sebagai ampunan dan penebus dosa.

Sementara mengenai yang lainnya musibah-musibah ini akan terwujud dalam beberapa bentuk:

 

1.       Azab yang terputus dan pendek yang muncul untuk memberikan ibrah dan pelajaran kepada manusia, menghilangkan kesombongan dan takabbur serta mendorong mereka untuk berendah diri di hadapan Ilahi, mengajaknya untuk berdzikir dan mengingat-Nya, juga berguna untuk menyempurnakan hujjah atas mereka;[3]

2.       Azab dan siksa yang bertahap adalah untuk mereka yang membangkang dan membandel dan tidak berkehendak melepaskan dirinya dari kesombongan dan takabbur. Kelompok ini telah melupakan keberadaan Tuhan, hari kiamat, kematian dan kemuliaan-kemuliaan manusia karena tenggelam dalam kenikmatan duniawi;[4]

3.       Azab dan siksa istishal (yaitu siksa yang berkepanjangan), hal ini akan terjadi pada mereka yang berada di puncak kesombongan. Mereka akan diselimuti oleh siksa Ilahi dan sekaligus akan dimasukkan ke dalam jahannamnya alam barzakh, dan hingga kiamat pun mereka akan tetap berhubungan dan berteman akrab dengan azab ukhrawi.[5]

Bentuk pertama merupakan bagian dari kenikmatan itu sendiri, karena musibah semacam ini akan memeberikan kesadaran dan peringatan kepada manusia dan akan menjadi penjaganya dalam sepanjang hidupnya. Kesabaran manusia dalam menghadapi musibah-musibah semacam ini serta memperbanyak istighfar dan memohon ampunan akan segala dosa yang telah dilakukannya akan menyebabkan sirnanya kejelekan-kejelekan dan keburukan-keburukannya lalu akan mengubahnya ke dalam kebaikan-kebaikan dan meninggikan derajatnya di sisi-Nya, demikian juga akan menjauhkannya dari kelalaian dan ketaksadaran. Dan akhirnya hal ini akan melepaskannya dari murka Tuhan dan azab ukhrawi, bahkan akan mendekatkannya ke haribaan-Nya.

Akan tetapi dua bentuk azab yang lainnya merupakan azab Ilahi yang menjadi milik para perusak dan para pembuat kezaliman di dunia, meskipun secara lahiriah mereka menikmati kehidupannya di puncak kulminasi kesejahteraan dan kemakmuran.

Dengan ungkapan al-Quran dikatakan, Bahkan manusia itu mengetahui tentang keberadaan dirinya sendiri meskipun dia membuat-buat alasan.”[6] Dan sebenarnya seseorang lebih mengetahui dirinya sendiri dari pada orang lain dalam niat dan tujuan dari amal dan perbuatan yang dilakukannya. Jika dia memandang dengan sadar dan adil serta menghindarkan diri dari mencari alasan serta membebankan segala sesuatu kepada selainnya maka dia akan mampu mengetahui keburukan dan kebaikan yang ada dalam dirinya. Dari sinilah jika sebuah musibah mendatanginya seiring dengan niat tak baiknya atau kelalaian yang dilakukannya, hal ini menunjukkan bahwa Tuhan memberikan inayah dan perhatian-Nya kepadanya dan dengan ini sebenarnya Tuhan bermaksud menyadarkannya untuk meninggalkan tujuan dan niat tak baiknya tersebut, dimana jika dia bersyukur dengan nikmat yang diberikan ini (musibah dan hukuman) dan meninggalkan persoalan tak baiknya tersebut, maka rahmat dan nikmat-nikmat Ilahi akan melingkupunya dan kebaikan-kebaikan dan ilham-ilham Ilahi akan menghambat dan menghalanginya dari jalan-jalan yang tak layak dan dari perbuatan-perbuatan yang tak terpuji.[7] Akan tetapi jika dia tidak memberikan perhatian yang serius terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dan menyepelekan peringatan-peringatan dan hujah-hujah Tuhan, maka Tuhan pun akan meninggalkannya dan membiarkannya seorang diri sehingga dia tidak akan lagi mendapatkan peringatan maupun hukuman dari-Nya melainkan akan tenggelam dalam kesejahteraan dan kemakmuran sehingga secara bertahap dan secara sempurna dia akan mengambil jarak dari Tuhannya hingga akhirnya berhak untuk mendapatkan siksa abadi (secara bertahap).

Kesimpulannya: dunia dan kehidupan materi serta gemerlap sinar serta sekumpulan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan ujian dan musibah Ilahi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia supaya dengan reaksi yang benar dalam menghadapinya akan memberikan kekuatan karakter pribadi dan identitas manusia dan meningkatkan maqam insaniyahnya –jika kita mampu menanggapinya dengan benar akan mendapatkan manfaat dari persoalan-persoalan ini, dan dengan bimbingan dari para nabi kita akan memiliki reaksi dan perilaku yang benar dalam menghadapinya- sedangkan apabila terlanjur melakukan kesalahan maka, dia akan diperingatkan berkali-kali sehingga meninggalkan kebandelannya, akan tetapi jika tetap tidak berubah maka dia akan menerima azab secara terus menerus atau secara bertahap.

 

Literatur:

1.       Al-Quranul Karim.

2.       Berbagai tafsir dalam penjelasannya tentang ayat-ayat yang dimaksud yang tercantum dalam catatan kaki.

3.       Imam Khomeini, Syarh Cehel Hadits, hal. 236-246 dan hal. 589, Muasasah Tandzim wa Nasyr Atsar, Tehran, 1376.

4.       Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Ma’arif Quran (Roh wa Rohnamo Syenosi), jil. 4-5, hal. 115-153.


[1]. Rujuklah: Ideks: Makna Wilayah

2. QS. Muhammad: 31, Anbiya: 35, QS. Al-Baqarah: 155, dan …

[3]. QS. Al-A’raf: 68, 90-94.

[4]. QS. Al-Mukminun: 53-56. QS. Al-A’raf: 182-183.

[5]. QS. Al-Fushilat: 16, 27 dan 50.

[6]. Qs. Al-Qiyamah: 14-15.

[7]. Qs. Al-Anfal: 26, Qs. Al-Ankabut: 69, Qs. Al-Baqarah: 282.

12 April 2013

Agama pamungkas dapat ditetapkan merupakan agama sempurna

oleh alifbraja

 

Sebelum memasuki pada inti pembahasan kiranya perlu dijelaskan di sini apa yang dimaksud dengan Redaksi  “sempurna” (kâmil). Redaksi “sempurna” di sini secara lahir adalah kebalikan dari redaksi “cacat” (nâqish). Secara umum tatkala kita berkata agama sempurna; artinya agama yang tidak cacat. Dengan kata lain, artinya agama yang tidak memiliki kekurangan untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Dan memberikan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk kesempurnaannya.

Kunci untuk mengakses pada dalil-dalil mengapa Islam disebut agama sempurna terletak pada masalah kepamungkasan agama Islam. Artinya kepamungkasan Nabi Islam dan keyakinan bahwa selepasnya tiada lagi nabi yang akan diutus, sejatinya membimbing kita untuk menerima bahwa mengikut kaidah agama ini haruslah agama sempurna; karena apabila agama ini tidak sempurna maka wajib bagi Tuhan untuk mengirim agama lainnya untuk kesempurnaan petunjuk manusia. Sementara sesuai dengan kaidah rasional dan referensial kita ketahui bahwa Tuhan tidak mengirim lagi agama lain. Karena itu agama ini harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia hingga hari Kiamat dimana apabila tidak demikian adanya maka niscaya Tuhan dalam membimbing manusia tidak menuntaskan dalil-dalil dan hujjah-hujjah. Tentu saja hal sedemikian tercela (qabih) bagi Tuhan.

Karena itu, Anda perhatikan bahwa masalah kepamungkasan dan pembahasan sempurnanya agama atau dengan ungkapan lebih baik lebih sempurnanya agama Islam mirip dua gambar satu koin dan satu sama lain saling bertautan.

Dalam tulisan ini kami berada pada tataran menjawab pertanyaan yang diajukan di atas. Dan sejatinya kita akan menempuh pelbagai jalan yang digunakan untuk menetapkan dan membuktikan masalah kepamungkasan agama. Namun secara selintasan kita akan membahas masalah kesempurnaan agama Islam. Di bawah ini kami akan menjelaskan indicator yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam. Dan sebagai pendahuluan kami sebutkan bahwa: seluruh aturan Islam, senantiasa segar dan baru. Tidak ada agama yang menampilkan kesegaran dan kebaruan seperti yang dimiliki Islam.  Dan keterkinian aturan-aturan Islam senantiasa sejalan dan selaras dengan seluruh masa.

Artinya pada setiap masa dan zaman dan untuk setiap perbuatan Anda dapat temukan sebuah hukum dalam aturan-aturan Islam. Dan demikianlah Anda menjumpai agama ini memiliki hukum pada setiap masalah. Setiap masalah tidak didiamkan atau tidak indahkan begitu saja. Dari angle ini, sisi ini dapat menjadi salah satu sisi kesempurnaan agama Islam.

Agama Islam untuk dapat menjawab setiap persoalan di setiap masa memberdayakan salah satu media dan mekanisme yang tiada duanya dalam pelbagai sistem penetapan hukum. Berikut ini kami akan menyinggung beberapa dari media tersebut:

1.       Agama Islam menggunakan pelbagai aturan dan kaidah universal dimana kaidah-kaidah ini sejatiniya merupakan simbol dan formula ketercakupan dan kemenyeluruhan ajaran Ilahi ini. Akan tetapi supaya kaidah-kaidah universal ini dapat bercorak menyeluruh dan mencakup segala hal serta mampu memberikan solusi atas setiap persoalan maka seyogyanya kaidah tersebut diadopsi dari sumber-sumber khusus dan diberdayakan semaksimal dan seoptimal mungkin sebagaimana yang akan kami singgung beberapa hal berikut ini:

a.       Allah Swt memandang hujjah (argumen dan dalil) bahwa segala yang dihukumi oleh akal sehat dalam proses inferensi hukum-hukum syariat; misalnya hukum tercelanya menghukum seseorang tanpa adanya penjelasan hukum sebelumnya, atau hukum akal terhadap terpujinya keadilan dan tercelanya kezaliman dan sebagainya. Atas alasan ini, Anda simak perhatian Islam terhadap hukum-hukum akal sehat seperangkat kaidah universal menandaskan bahwa kaidah ini bercorak menyeluruh yang dapat diberdayakan dan dayagunakan pada setiap masa untuk menjawab setiap persoalan yang ada.

b.       Allah Swt menetapkan hukum-hukum mengikut kepada kemaslahatan dan kemudaratan. Sebagai contoh, setiap persoalan yang memiliki kemasalahatan yang lebih besar maka ia memiliki signifikansi dan preferensi yang lebih tinggi ketimbang persoalan yang setingkat di bawahnya.

c.       Adanya aturan-aturan universal dimana kaidah universal ini dapat menjadi pembatas sebagian hukum-hukum Ilahi lainnya. Di antaranya Allah Swt befirman, “Allah tidak menjadikan kesusahan bagimu dalam agama.” (Qs. Al-Hajj [28]:78) dimana aturan ini dapat membatasi hukum agama yang memberikan kesusahan bagi manusia dan merubahnya menjadi hukum yang lain. Karena itu, satu hukum agama dapat berubah dan berganti sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di lapangan. Misal lainnya dalam hal ini adalah kaidah idhtirar (dalam kondisi darurat) dan kaidah ikrah (paksaan).

d.       Aturan-aturan Islam selaras dan sejalan dengan fitrah manusia dan Tuhan menaruh perhatian terhadap nurani yang tidak berubah manusia ini dalam aturan-aturan Islam. Menjaga dan mengindahkan apa yang senada dengan tabiat sehat seorang manusia dan memilih jalan medium (i’tidal) dalam proses penetapan aturan dan hukum. Dengan kata lain, Allah Swt menaruh perhatian pada fitrah suci manusia dalam menetapkan aturan-aturan universal. Di antara aturan ini adalah aturan-aturan yang bertalian dengan pria dan wanita yang memiliki aturan-aturan khusus tersendiri.

e.       Ijtihad salah satu kaidah yang diterima (khususnya) dalam dunia Syiah dimana dengan penetapan dan kodifikasi ijtihad dalam agama Islam, sehingga ajaran Islam memiliki dimensi mencakupi dan menyeluruh. Misalnya mujtahid dengan memberdayakan kaidah-kaidah universal lau mencocokkannya dengan masalah-masalah baru. Dan demikianlah agama mampu memberikan solusi atas pelbagai persoalan setiap orang pada setiap masa.

Akhirnya dengan adanya sumber-sumber universal ini dimana Allamah Sya’rani bertutur tentang jalan-jalan ini: “Fikih Islam tidak cacat, melainkan kita memiliki kaidah-kaidah universal yang dapat kita gunakan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian pada setiap masa. Dan perkara ini adalah perkara yang telah berkembang pada masa Syaikh Thusi hingga masa kami.”[1]

2.       Salah satu media lainnya yang diberdayakan Islam untuk menunjukkan ketercakupan dan kemenyeluruhannya adalah keragaman dan bilangan hukum. Tatkala Anda menyaksikan dalam kitab fikih, Anda menyimak bahwa terdapat sebagian besar hukum-hukum Islam membahas masalah-masalah yang paling sederhana kehidupan manusia; misalnya makan dan minum hingga yang paling rumit hubungan sosial termasuk di antaranya adalah jual-beli, pemerintahan dan sebagainya. Karena itu, di samping ada kaidah-kaidah universal sebagaiman yang disebutkan pada bagian pertama di atas dan dapat menjadi problem solver (pemecah masalah), Islam secara partikulir dan kasus-per-kasus memiliki banyak hukum-hukum bagi kehidupan personal dan sosial manusia. Dan hal ini juga merupakan manifestasi yang lain dari universalitas, kemenyeluruhan dan kemencakupan Islam dan pada saat yang sama merupakan salah satu formula kesempurnaan agama Ilahi ini.

 

 

Hingga kini kita telah menyinggung salah satu dalil atas kesempurnaan agama Islam yaitu universalitas, kemenyeluruhan dan kemencakupan agama Ilahi ini. Sebagai kelanjutan pembahasan ini, untuk menjelaskan sisi sempurna agama Islam, kita juga dapat bersandar pada dalil-dalil lainnya sebagaimana berikut ini:

1.       Dengan mengkaji kasus-per-kasus hukum-hukum Islam dan membandingkannya dengan hukum-hukum yang serupa pada agama-agama Ilahi lainnya atau dengan sistem-sistem hukum dan perundangan yang ada di dunia saat ini, maka satu jalan lainnya akan muncul dan dapat menunjukkan keunggulan dan kesempurnaan hukum-hukum Islam. Misalnya hukum-hukum transaksi; apabila kita ingin membandingkan misalnya jual-beli dan pernikahan dalam Islam, Yahudi dan Kristen, keragaman dan keluasan penetapan hukum dalam Islam tiada bandingnya. Bahkan di antara aturan-aturan madani (civil laws) dunia saat ini, aturan madani Iran yang mengambil sumber dari fikih Syiah Ja’fari menurut pengakuan para profesional dan dosen terkemuka merupakan salah satu aturan madani yang termaju di dunia saat ini.

2.       Salah satu sisi lainya kesempurnaan agama Islam, dominasi akhlak Islam dan perilaku kenabian atas maktab-maktab lainnya (baik pada masa kemunculannya atau pun masa sekarang ini). Akhlak yang diajarkan dalam Islam termasuk pelbagai aturan-aturan praktis khususnya pada perilaku personal dan sosial yang memperhatikan tinjauan dunia dan akhirat. Hal ini berbeda dengan ajaran moral yang diajarkan dalam Kristen dan Yahudi yang dominan mendapat penegasan adalah perilaku yang lebih banyak condong ke dunia atau ke akhirat. Atau kebalikan dari maktab-maktab akhlak dunia saat ini yang tidak dapat menjawab lebih dari satu dimensi dari multi dimensi perilaku yang dimiliki manusia. Akan tetapi akhlak yan diajarkan dalam Islam di samping menghimpun pelbagai dimensi manusia dan menjawab pelbagai kebutuhan ini, ia mampu menyediakan tercapainya tujuan-tujuan transendental bagi kehidupan manusia dan hal itu tidak lain adalah kedekatan kepada Tuhan (qurb Ilahi).

3.       Di antara dalil ayat-ayat dan riwayat-riwayat terkait kesempurnaan agama Islam yang dapat disebutkan di sini adalah sebagai berikut:

Pertama, Sesungguhnya dalam (surah) ini benar-benar terdapat penyampaian yang jelas bagi kaum yang menyembah Allah. (Qs. Al-Anbiya [21]:106) Pada ayat ini, penyampaian jelas dan nyata bagi kaum yang menyembah Allah. Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menulis: Iblagh (penyampaian) bermakna terpenuhi dan genapnya sesuatu. Dan juga bermakna sesuatu yang dengannya harapan manusia terpenuhi.[2] Anda letakkan ayat ini di samping ayat “Telah Kusempurnakan bagimu agamamu.” (Qs. Al-Maidah [5]:5) maka Anda akan memahami bahwa Islam adalah agama sempurna yang melaluinya segala hajat dan harapan manusia yaitu kedekatan kepada Allah (qurb ilaLalah) terpenuhi.

Kedua, Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (Qs. Al-Taubah [9]:33) Kandungan ayat ini adalah kemenangan (Islam) atas seluruh agama dan bahwa tiada lagi agama yang akan datang selepasnya. Sekiranya adalagi agama yang akan diturunkan setelahnya maka niscaya ayat ini telah dianulir oleh ayat lainnya (sementara ayat ini tidak termasuk ayat yang dianulir). Dari sisi lain, lantaran apabila agama ini yang merupakan agama terakhir dan pamungksa bukan merupakan agama sempurna maka niscaya petunjuk manusia akan mengalami kecacatan (tidak sempurna) dan tentu saja hal ini tercela bagi Tuhan.

Ketiga, Sima’e menukil dari Imam Musa Kazhim As bahwa ia berkata kepada Imam, “Apakah Rasulullah Saw memenuhi segala sesuatu apa pada masanya? Imam menjawab, iya. Bahkan Rasulullah telah menghadirkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat hingga hari kiamat.[3]

Keempat,  Rasulullah Saw pada khutbah Hajjatulwida’ bersabda: “Ayyuhannas! Tidakklah sesuatu yang mendekatkanmu kepada surga dan menjauhkanmu dari neraka kecuali aku telah perintahkan kalian untuk melakukannya. Dan tidaklah sesuatu yang mendekatkanmu kepada neraka dan menjauhkanmu dari surga kecuali telah aku larang kalian untuk tidak melakukannya.”

Dalil-dalil ayat dan riwayat akhir kenabian juga merupakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang secara langsung menunjukkan atas kesempurnaan agama Islam.[]

 

Referensi untuk telaah lebih jauh:

1.       Husaini Qazwini, Âyâ Qawânin-e Islâm Irtjiâ’i ast?

2.       Kharrazi, Bidâyat al-Ma’ârif al-Ilahiyyah.

3.       Ayatullah Ja’far Subhani, Muhadhârat fii Ilahiyyah.

4.       Syirazi, Naqd wa Tarh Andisyeh-hâi dar Mabâni I’tiqâdi.

5.       Allamah Thabathabai, al-Mizân, jil. 28.

6.       Kulaini, al-Kâfi, jil. 1.

 


[1]. Muhsin Kharrazi, Bidâyat al-Ma’ârif, jil. 1, hal. 270, sesuai nukilan dari kitab Râh-e Sa’âdat, hal. 214.

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 28, hal. 186.

[3]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 57

12 April 2013

Maksud dengan Kitâb Mubîn, rutab, yabis dalam al-Qur’an

oleh alifbraja

Yang dimaksud dengan Kitâb Mubîn merupakan tingkatan dari ilmu Ilahi yang menjadi sebab munculnya perbuatan-perbuatan Tuhan. Kitab ini ada sebelum penciptaan, pada saat dan setelah penciptaan. Dan tingkatan-tingkatan sebelum munculnya setiap entitas dan pelbagai fenomena atasnya dan akibat yang muncul darinya setelah tiadanya seluruhnya dicatat, dijaga dan dipelihara di dalamnya.   Karena itu, Kitâb Mubîn ini juga terkadang disebut sebagai lauh mahfuzh, ummul kitâb, imam mubîn, kitâb hafîzh dan sebagainya yang masing-masing dari terminologi ini disebut dengan satu redaksi tertentu.

Dengan demikian, kendati pada sebagian ayat lainnya, disertai dengan redaksi “wahyu” dan “nuzul” dan sebagainya – Kitâb Mubîn adalah al-Qur’an itu sendiri. Akan tetapi, pada ayat ini (QS. Al-An’am [6]:59) dan semisalnya, yang dimaksud bukanlah al-Qur’an. Meski al-Qur’an itu sendiri dihasilkan dari Kitâb Mubîn ini.

Rutab” dan “yabis” adalah dua terminologi yang saling berlawanan (antonim) yang seluruh entitas pada tingkatan tertentu berjejer di bawah dua terminologi ini. Rutab (basah) dan Yabis (kering) adalah kata kiasan untuk segala sesuatu. Karena itu, ayat suci ini berada pada tataran menjelaskan keumuman ilmu Tuhan terhadap seluruh entitas dan eksisten baik sebelum dan setelah kemunculannya dan bahkan kemusnahannya secara lahir; Rutab (basah) dan yabis (kering) di sini tidak mengandung makna yang spesial.

Jawaban Detil

 

Ayat ini (al-An’am [6]:59) menyoroti masalah tingkatan-tingkatan pengetahuan Tuhan dan keumumannya. Pengetahuan Tuhan dan pelbagai tingkatannya merupakan masalah yang paling pelik dalam masalah teologi di kalangan para periset Islam sedemikian sehingga sebagian dari mereka memandang persoalan ini sebagai persoalan yang amat-sangat rumit. Karena itu, Mulla Shadra ra terkait dengan persoalan ini menulis, “Mengetahui ilmu Ilahi merupakan tingkatan tertinggi kesempurnaan manusia. Orang yang dapat mengakses pengetahuan ini akan membuat manusia mencapai derajat kesucian. Dan bahkan memasukkannya dalam golongan para malaikat. Mengingat kerumitan dan kepelikannya, sebagian ulama seperti Ibnu Sina dan Suhrawardi (Syaikh Isyraq) menempuh banyak jalan untuk memahami ilmu Ilahi ini; tatkala kondisi dua orang besar ini – dengan segala kecerdasan, kejeniusan, pengalamannya dalam bidang filsafat – sedemikian adanya, maka bagaimanakah kondisi orang-orang yang ahli dalam menuruti hawa nafsu, melakukan bidah, orang-orang yang suka berdialektika dalam ilmu kalam?[1]

 

Mengingat sangat sukar untuk mencapai kualitas dan tingkatan-tingkatan ilmu Ilahi, dalam hal ini kita harus bertekuk lutut dan mengakui ketidakmampuan untuk mengakses kedalaman zat dan sifat Ilahi ini. Bagaimanapun, apa yang dapat diperoleh dari ucapan-ucapan para periset dan peneliti (baca: teolog dan filosof), ilmu Ilahi dapat dibagi menjadi beberapa bagian dan tingkatan:

 

1.     Ilmu zat, sifat zatiyah dan asma zatiyah. (Tingkatan ghayb al-ghuyûb yang tidak dapat menjadi objek penyaksian [syuhud] oleh manusia).

 

2.     Ilmu zat terhadap muqtadiyât (tuntutan) zat. Ilmu ini disebut sebagai ilmu yang bersifat universal dan global terhadap seluruh makhluk sebelum penciptaan. Global di sini bermakna bahwa batasan, ukuran, ketentuan (takdir) belum lagi ditetapkan padanya dan satu dengan yang lainnya belum ada yang menonjol).

 

3.     Ilmu terhadap seluruh makhluk sebelum penciptaan secara detil semenjak awal penciptaan terus berlanjut hingga kiamat besar. Detil di sini bermakna bahwa telah ditetapkan batasan dan ketentuan atas seluruh makhluk, tingkatan-tingkatan penciptaan dan perubahannya.

 

4.     Ilmu khusus yang menjadi sebab munculnya perbuatan dan realisasinya. Ilmu ini sendiri menjadi sumber munculnya perbuatan (ilmu ‘inai).

 

5.     Ilmu terhadap seluruh makluk yang tercipta dan dominasi atas seluruh perubahan dan konsepsinya. Ilmu ini merekam dan mencatat seluruh perubahan yang terjadi atas makhluk yang telah dicipta tersebut. Ilmu ini tidak akan pernah dihinggapi sifat lupa, lalai, salah, dan tidak akan musnah.

 

6.     Ilmu yang merekam segala kondisi, perbuatan, dan pikiran manusia yang boleh jadi hilang dan ditutupi oleh iman setelah kekufuran, atau taubat setelah melakukan dosa. Atau mungkin sebaliknya, hilang karena kekufuran setelah iman, maksiat setelah ketaatan. Juga dengan kematian, catatan-catatan amal manusia akan ditutup kecuali ia memiliki amal shalih (baik) atau amal thalih (buruk) yang tetap tersisa efeknya setelah kematian. Sebagaimana setelah terjadinya perubahan dan reaksi seluruh makhluk, maka catatan-catatan perbuatan mereka akan tertutup yang kemudian menjadi bank data dan terpelihara.

 

 

 

Tidak diragukan bahwa setiap tingkatan bersumber dari tingkatan sebelumnya. Dan, seluruh tingkatan ini tidak lain kecuali menandaskan dominasi wujud dan eksistensi Tuhan atas seluruh entitas. Bukan berasal dari pengaruh seluruh entitas tersebut. Seluruh entitas dalam menyisakan pengaruh bagi yang lainnya dalam ilmu memerlukan media, wahana dan alat. Atau, pada tingkatan tertentu, ia dapat mengeluarkan dirinya dari dominasi ini dan tidak menjadi objek pengetahuan Tuhan. Karena itu, klasifikasi dan penggolongan ini, dikemukakan pada tataran pembelajaran mengingat terbatasnya bahasa untuk menyebutnya sehingga manusia mengetahui bahwa wujud, seluruh pikiran, kondisi dan perbuatannya berada dalam pengawasan Tuhan. Semua ini terekam dengan baik dan pada hari Kiamat akan dihadapkan kepadanya dalam bentuk catatan amal, sehingga dengan memerhatikan pandangan ini, ia bersikap waspada dan hati-hati terhadap perbuatannya dan menggembleng dirinya dengan bimbingan Ilahi sehingga ia mencapai makam khalifah Tuhan di muka bumi.

Bagaimanapun bagian pertama dan kedua dalam perspektif filosof Islam tergolong dalam bagian sifat zat, zat itu sendiri dan terjaga dari segala macam perubahan. Sedangkan bagian-bagian lainnya, termasuk dalam klasifikasi sifat fi’liyah dan ilmu fi’li yang memiliki pengaruh dalam terealisasinya seluruh entitas. Mengalami perubahan dan pergantian, semakin beragam jenisnya, semakin banyak kuantitasnya.[2] Ilmu Ilahi ini pada setiap tingkatan, syuhudi dan hudhuri, bersumber dari dominasi wujud dan eksistensi-Nya. Dengan demikian, bergantinya, terpengaruh dan bereaksinya ilmu fi’li tidak akan menjadi penyebab munculnya reaksi dan perubahan zat Ilahi.[3] Karena reaksi zati sebagai susulan dari perubahan ilmu berkaitan dengan entitas seperti manusia yang ilmunya pada umumnya lebih bersifat hushuli (perolehan) ketimbang hudhuri (kehadiran) dan syuhudi (penyaksian intuitif)!

Adapun ayat suci, Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak sebutir biji pun yang jatuh dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). (QS Al-An’am [6]:59)

Bagian pertama ayat yaitu, “Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri menyinggung dua bagian pertama klasifikasi ilmu Ilahi. Artinya, ilmu Tuhan bersifat zati yang tiada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan tiada seorang pun yang menjadi pembantu-Nya untuk memahami hal tersebut. Sebagaimana “khazâin” pada ayat 21, surah al-Hijr (15) dan enam ayat[4] yang serupa, ditafsirkan sebagai ilmu zati Tuhan maka yang dimaksud dengan khazanah-khazanah (khazâin) dan kunci-kunci semua yang gaib adalah tuntutan-tuntutan zat Ilmu Tuhan pada maqam zat.

Adapun kelanjutan ayat menyoroti masalah ilmu fi’li (perbuatan) Tuhan setelah penciptaan. Allah Swt berfirman terkait klasifikasi global seluruh makhluk dan entitas:

Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak sebutir biji pun yang jatuh dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). Sebagaimana hal ini juga disebutkan pada ayat 3, surah Saba, Tidak ada tersembunyi dari-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dan yang lebih besar dari itu, melainkan tersebut (tercatat dan terekam) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). [5]

Rutab dan yabis adalah dua terma yang saling berlawanan kata. Artinya setiap maujud dan entitas pada akhirnya berada berjejer di bawah dari dua terma ini. Satu entitas tidak dapat memiliki dua objek luaran (mishdaq). Karena itu, gabungan dari rutab dan yabis pada ayat ini merupakan kiasan dari seluruh makhluk.

Dari sisi lain, mengingat satu entitas terkadang basah dan terkadang kering, redaksi ayat ini boleh jadi menyinggung ilmu Ilahi pada seluruh perubahan dan pergantian yang terjadi di alam semesta. Mubîn bermakna nyata dan jelas tanpa secuil keraguan dan keburaman.

Mulla Shadra ra dalam mendefinisikan “kitâb” menulis: “Sesungguhnya kitâb disebut “kitâb” karena di dalamnya sebagian huruf dan kalimat-kalimat digabungkan satu dengan yang lain. Kitab misalnya pada kalimat katabat al-jaisy bermakna sekelompok laskar berkumpul.”[6]

Dalam mendefinisikan kedudukan ilmu, Mulla Shadra melanjutkan, “Yang benar adalah bahwa hal ini merupakan ilmu Ilahi terhadap segala sesuatu pada tingkatan zat. Sebuah ilmu yang sama sekali suci dan jauh dari karakteristik wujud kontingen dan rangkapan. Sedemikian sehingga seluruh entitas yang ada di alam kontingen (imkan) tersingkap dalam bentuk sempurna. Dan, hal ini berujung pada keberadaan entitas tersebut di alam luar dalam bentuk sempurna yang tidak memerlukan niat dan pikiran. Ilmu ini adalah ilmu yang bersifat basith (simpel) yang merupakan wâjib lidzatihi (wajib bagi diri-Nya) dan qâim bidzatihi (ada dengan sendiri-Nya) dan merupakan pencipta ilmu-ilmu secara detil (tafshili) dan rinci. Karena itu, ilmu ini berasal dari sisi Tuhan (dan bersumber dari zat-Nya) bukan pada zat Tuhan.”[7]

Penjelasan Mulla Shadra terkait ayat 39, surah al-Ra’ad (13) dimana yang serupa dengannya juga disebutkan pada ayat-ayat 1-4 surah Zukhruf (43). Akan tetapi redaksi “Ummul kitab” disertai dengan kalimat  “fii” (pada) dan “indahu” (di sisi-Nya) dimana Mulla Shadra menegaskan bahwa ilmu zati itu adalah “anhu” (di sisi-Nya) bukan “fi” (pada) karena keduanya berbeda satu dengan yang lain.

Dengan demikian, Kitâb Mubîn ini, Ummul Kitâb, Lauh Mahfuzh, Lauh mahw wa itsbat, imam mubîn dan redaksi-redaksi yang lainnya adalah menyinggung ilmu zati yang identik dengan Zat. Karena sesuai dengan penjelasan Mulla Shadra Ra, ilmu tersebut harus kosong dari segala corak kontingen, rangkapan, batasan dan ketentuan (taqdir), disertai dengan ekspresi “anhu” (di sisi-Nya) dan tidak boleh disertai dengan redaksi “fi” (pada). Sementara ayat-ayat ini, menyinggung seluruh entitas secara detil dan bahkan rontoknya dedaunan, basah dan keringnya seluruh entitas. Yang disertai dengan “indahu” dan “fi’.

Dalam hal ini, Allamah Thabathabai Ra memberikan penjelasan-penjelasan yang lebih akurat:

“Khazanah-khazanah gaib dan kitâb mubîn itu mencakup seluruh entitas, dalam hal ini tidak ada perbedaan dan demikian juga bahwa tidak terdapat entitas kecuali menjadi khazanah di sisi Allah Swt yang melaluinya seluruh entitas mendapatkan pertolongan, demikian juga tiada satu pun entitas kecuali telah tercatat dan terekam sebelum keberadaannya, pada saat keberadaannya dan setelah keberadaannya pada kitâb mubîn; kecuali bahwa kitâb mubîn merupakan salah satu khazanah yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, di sinilah makna ini menjadi jelas bagi setiap alim bahwa kitâb mubîn pada saat ia merupakan sebuah kitab (yang sebagian bergabung dengan sebagian lainnya) namun ia tidak berasal dari jenis kertas dan lauh (lempengan). Karena semakin besar kertas-kertas material, maka ia akan semakin tidak mampu mencatat seluruh entitas dan pelbagai fenomena.”[8]

Yang dimaksud dengan kitâb mubîn adalah sebuah perkara yang dalam kaitannya dengan seluruh entitas hubungannya laksana program kerja dibandingkan dengan kerja itu sendiri. Setiap entitas dalam kitab ini memiliki ukuran dan ketentuan. Hanya saja, kitab ini merupakan sebuah entitas yang ada sebelum segala sesuatu, pada saat terciptanya sesuatu dan akan tetap ada setelah musnahnya segala sesuatu. Entitas yang termasuk ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu adalah ilmu yang tidak mengenal lupa atau kehilangan.”[9] Pendeknya, kitab ini merupakan sebuah kitab himpunan seluruh entitas pada alam penciptaan dan memiliki semua yang dulu ada, ada dan akan ada, yang tiada secuil pun yang dialpakan dalam kitab tersebut.”[10]

“Kitab ini dalam firman Ilahi disebutkan dengan ragam nama: lauh mahfuzh atau kitab hafizh, ummul kitâb, kitâb mubîn, imâm mubîn yang masing-masing dari keempat nama ini memiliki daya tarik tersendiri. Dan, boleh jadi daya tariknya pada……imâm mubîn lantaran terkait dengan ketentuan-ketentuan pasti Ilahi… dan catatan amal perbuatan sebagaimana yang ditafsirkan pada surah Jatsiyah (ayat 29) diambil dari kitab tersebut..”[11]

Dalam lauh mahfuzh tercatat seluruh apa yang dulu ada, ada (sekarang) dan apa yang akan ada hingga hari Kiamat (dan tidak akan sirna).[12]

Lauh mahfuzh disebut sebagai ummul kitâb karena seluruh kitab samawi disimpulkan dari kitab tersebut.”[13] Disebut sebagai kitâb maknun karena lebih tinggi dan tersembunyi dari akal-akal manusia[14] dan pada kitab ini terkadang bentuk keluaran, ciptaan dan realisasinya segala urusan ditetapkan (itsbat) atau dihapus (mahw).[15] Atau melingkupi atau menutupi perbuatan-perbuatan manusia melalui pergantian metode dan caranya dengan ikhtiar manusia itu sendiri. Hal ini akan menjadi sebab yang pada akhirnya, buku catatan amal perbuatannya akan diambil naskahnya sesuai dengan usaha maksimalnya dan akan diserahkan kepadanya pada hari Kiamat. Meski pada kitab ini sendiri ketentuan-ketentuan yang bersifat pasti tidak dapat dihapus (mahw) dan ditetapkan (itsbat) seperti peristiwa-peristiwa penciptaan yang dialami oleh umat dan orang beriman atau pendosa sebelumnya. Demikian juga pelbagai tahapan penciptaan langit, bumi, manusia dan realisasi janji-janji Tuhan pada masa akan datang seperti keadilan universal dan digelarnya hari Kiamat dan sebagainya.

Dari beberapa persoalan yang dikemukakan di atas adalah jelas pada ayat-ayat ini bahwa yang dimaksud dengan “kitâb mubîn” bukan al-Qur’an yang dilafazkan dalam bahasa Arab atau sebuah kitab yang tertulis, melainkan al-Qur’an dan pewahyuannya secara gradual dan segala kejadian yang dikisahkan di dalamnya atau peristiwa yang akan terjadi, seluruhnya adalah sebagian dari “Kitâb Mubîn di sisi Allah” bukan semuanya. Bukan Al-Qur’an yang kini berada di tangan kita dan digunakan dalam kehidupan keseharian kita dan menjadi pedoman hidup kita. Akan tetapi, al-Qur’an yang satunya itu (kitâb mubîn) yang berada di luar jangkauan manusia. Adapun berita yang diperoleh para nabi, wasi dan wali adalah sesuai dengan izin Allah dan pengumuman Allah kepada mereka tidak lebih.[16]

Adapun pada sebagian ayat lainnya, seperti pada surah Qashash [28]: 2; asy-Syu’ara [26]: 2; an-Naml [27]: 1; al-Hijr [15]: 1, Yusuf [12]: 1; al-Maidah [5]: 15 dengan disebutkannya indikasi seperti wahyu, nuzul di samping “kitâb mubîn” yang dimaksud adalah al-Qur’an al-Karim yang ada di tangan kita sekarang yang dapat dipahami dan dijadikan sebagai petunjuk oleh setiap orang.

Dengan demikian, “kitâb mubîn” dalam al-Qur’an digunakan dalam dua bentuk. Bentuk pertama digunakan sebagai manifestasi ilmu fi’li Tuhan sebelum, pada waktu dan setelah penciptaan terhadap seluruh makhluk secara detil. Bentuk kedua adalah al-Qur’an itu sendiri yang dilafazkan dalam bahasa Arab yang menjadi sentral ilmu pengetahuan (yang berada di tangan kita sekarang). Tentu saja di antara dua hal ini tidak boleh dicampuradukkan satu dengan yang lainnya.

Yang perlu diingat adalah bahwa redaksi rutab dan yabis sesuai dengan riwayat disebutkan dengan contoh-contohnya seperti, janin yang gugur disebutkan sebagai contoh yabis dan bayi disebutkan sebagai contoh rutab. Atau hasil pertanian yang dipetik sebagai yabis dan apa yang belum lagi dipetik sebagai contoh dari rutab. Akan tetapi, secara lahir konteks ayat, menandaskan akan keumuman ilmu Tuhan terhadap segala makhluk dan entitas di alam semesta, kemajuan dan perubahannya.[17]

Dengan memerhatikan beberapa penjelasan di atas kini terdapat tiga kemungkinan:

Pertama, bahwa yang dimaksud dengan malakuti samawati dan bumi yang dipertontonkan kepada para wali Allah seperti Nabi Ibrahim As;[18] dan bahkan mikraj Nabi Saw pada alam-alam di atas,[19] berputar pada satu entitas yang disebut sebagai kitâb mubîn.

Kedua, ilmu gaib yang dimiliki oleh para maksum adalah diperoleh dari kitâb mubîn ini dan dari kitab ini ilmu mereka bertambah. Sebagian diberikan “ilmu al-kitâb[20] dan memiliki wilayah universal Ilahi dan sebagian lainnya diberikan “ilmu min al-kitâb[21] yang hingga batasan tertentu dapat memanfaatkan wilayah ini.

Ketiga, boleh jadi yang dimaksud dengan arsy dan kekuasaan atasnya (istila) adalah entitas (kitâb mubîn) dan makam ini. Karena itu, kekuasaan (istiwa) atas arsy adalah kiasan dari pengaturan alam semesta setelah penciptaan, sesuai dengan ilmu Ilahi yang tercatat pada kitâb mubîn.[22]

 

 

 

 Sumber Bacaan:

1.     Sayid Mahdi Amin, Ma’ârif Qur’ân dar al-Mizân, jil. 7, 10, 11, 17 dan 18, Sazeman-e Tablighat-e Islami, cetakan pertama, Teheran, 1370 S.

2.     Shadruddin Muhammad Syirazi (Mulla Shadra), al-Hikmah al-Mutâ’aliyah, jil. 6, hal. 110-118, 149 dan 306, jil. 2, hal. 299-311, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, cetakan keempat, Beirut, 1410 H.

3.     Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, Daftar-e Intisyarat-e Islami, Qum.

4.     Abi Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma al-Bayân, jil. 2, hal. 311, Maktabah al-Ilmiyah al-Islamiyah, Teheran.

5.     Sayid Abdulhusain Thayyib, Athyâb al-Bayân, Kitab Purusyi Islami, cetakan kedua, hal. 91-92.

6.     Muhammad bin Muhammad Ridha Qummi Mashyadi, Kanz al-Daqâiq, jil. 4, hal. 342-244, Muassasah Tab’e wa Nasyr (Wizarat-e Irsyad), cetakan pertama, Teheran, 1411 Q.

7.     Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif Qur’ân, jil. 1-3, Muassasah dar Rah-e Haq, cetakan kedua, Qum, 1368 S.

8.     Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 8, 9, 15, dan 18, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cetakan ke-17, Teheran, 1374 S.

 


[1] Muhammad Shadruddin Syirazi, al-Hikmah al-Mutâ’aliyah, jil. 6, hal. 179-180.  

[2] Silahkan lihat, Allamah Hilli, Bâb Hâdi ‘Asyar, Fashl Nafi al-Hawadits ‘anhu dan kitab-kitab teologi dan filsafat lainnya, terkait pembahasan Ilmu Ilahi.  

[3] Ibid.

[4] Qs. Al-An’am [6]:10; Qs. Hud [11]:31; Qs. Al-Isra [17]:100; Qs. Shad [38]:9; Qs. Thur [52]: 37; Qs. Al-Munafikun [63]:7; Silahkan lihat al-Mîzân, jil. 13, hal. 96-201.

[5] Dan juga Qs. Yunus [10]:61.

[6] Muhammad Shadruddin Syirazi, al-Hikmah al-Mutâ’aliyah, jil. 6, hal. 179-180.

[7] Ibid.  

[8] Sayid Amin Mehr, Ma’ârif Qur’an dar Al-Mîzân, hal. 224-225, nukilan dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 59 surah al-An’am. Dan juga pada kitab yang sama, hal. 229, yang menukil dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 58, surah al-Isra.

[9] Ibid.  

[10] Ibid.  

[11] Ibid, hal. 226.  

[12] Ibid, hal. 230, nukilan dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 4 surah Qaf.  

[13] Ibid, hal. 233, nukilan dari al-Mîzân, terkait dengan ayat 1-4 surah az-Zukhruf.   

[14] Ibid.

[15]. “Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:39)    

[16]. Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib, serta tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. (Qs. Al-An’am [6]:50); Dan aku tidak mengatakan kepadamu (bahwa) aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, aku tidak mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat.” (Qs. Al-Hud [11]:31)

[17]Silahkan lihat, Al-Mîzân, jil. 7, hal. 212; Kanz al-Daqâiq, jil. 4, hal. 342-344.  

[18]. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, (agar ia berargumentasi dengannya) dan termasuk orang-orang yang yakin. (Qs. Al-An’am [6]:75); Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi dan membutuhkan perlindungan (kepada siapa pun), jika kamu mengetahui?”(Qs. Al-Mukminun [23]:88)  

[19]. Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (Qs. Al-Isra [17]:1); Qs. Al-Najm [53]:1-18.  

[20]. Katakanlah, “Cukuplah Allah dan orang yang mempunyai ilmu al-Kitab (dan pengetahuan terhadap Al-Qur’an) menjadi saksi antara aku dan kamu.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:43)  

[21].  (Tetapi) seseorang yang mempunyai sebuah ilmu dari kitab (samawi) berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhan-ku untuk mencobaku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya).”  (Qs. Al-Naml [27]:40)

[22] Sayid Amin Mehr, Ma’ârif Qur’ân dar Al-Mîzân, hal. 177-184, al-Mîzân, terkait dengan surah al-Ma’arij

10 April 2013

Adab Lahir batin membaca al-Qur’an

oleh alifbraja

Pada adab lahir terdapat sekumpulan pendahuluan dan syarat-syarat yang harus dijalankan yang telah dijelaskan pada gilirannya sendiri.

Adab batin al-Qur’an dapat diperoleh dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an sendiri dan sebagian riwayat. Al-Qur’an menganjurkan dalam beberapa ayat kepada orang-orang yang membaca al-Qur’an untuk membaca al-Qur’an dengan tartil dan pendalaman. Al-Qur’an menyatakan, “Dan bacalah al-Qur’an dengan tartil (perlahan, tenang, teratur dan dengan pendalaman).”[1] Pada ayat lainnya, al-Qur’an menyatakan, “Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepada mereka, (lalu) mereka membacanya (baca: mempelajarinya) dengan sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya (nabi Islam). Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”[2]

Kedua ayat ini, dengan memperhatikan beberapa riwayat dan hadis-hadis, di samping menyinggung tentang adab lahir membaca al-Qur’an dan juga tentang adab batin.  Dalam sebuah hadis yang disebutkan sehubungan dengan ayat 121 surah al-Baqarah, Imam Shadiq As bersabda, “Orang-orang yang membaca al-Qur’an membacanya dengan sebenarnya adalah kami Ahlulbait.”[3]

Tentu saja, Imam Shadiq As menjelaskan tentang obyek ril dan faktual orang-orang yang membaca al-Qur’an dan boleh jadi terdapat banyak orang beriman yang dengan menjalankan adab-adab lahir dan batin membaca al-Qur’an sampai pada derajat para pembaca sejati al-Qu’an. Karena itu dalam menjelaskan ayat “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya”[4] Imam Shadiq As bersabda, “Yang dimaksud supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya adalah bacalah dengan seksama, pahamilah hakikat-hakikatnya, beramallah dengan hukum-hukumnya, berharaplah pada janji-janjinya, cemaslah dengan ancaman-ancamannya, ambillah pelajaran dari kisah-kisahnya, dan patuhilah perintah-perintah serta jauhilah larangan-laranganya, maka demi Allah yang dimaksud bukanlah menghafal ayat dan membaca huruf-huruf dan surah-surah, karena terdapat orang-orang yang menghafal huruf-huruf al-Qur’an namun mereka melanggar batasan-batasannya. Maksud dari ayat ini adalah berpikirlah pada ayat-ayat al-Qur’an dan beramallah dengan hukum-hukumnya sebagaimana Allah Swt berfirman, ““Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya”[5] Karena itu, dengan memperhatikan hadis penuh cahaya ini kita dapat menyebutkan adab-adab batin membaca al-Qur’an sebagaimana berikut ini:

  1. Tatkala tiba pada sebuah ayat yang mengandung janji maka berharaplah supaya kita juga dapat meraih janji tersebut dan manakala tiba pada ayat yang mengandung ancaman maka cemaslah jangan-jangan kita tergelincir dan termasuk dari orang-orang yang diancam oleh ayat tersebut. Karena itu, bilamana kita sampai pada ayat-ayat surga atau neraka, maka hendaknya kita berhenti sejenak dan memohon kepada Allah Swt untuk dianugerahkan surga dan berlindung kepada Allah Swt dari azab neraka.[6] Imam Ali As, sehubungan dengan karakter dan tipologi orang-orang beriman, bersabda, “Namun pada malam hari mereka bangun membaca al-Qur’an dengan adab-adabnya yang khusus. Tatkala sampai pada sebuah ayat yang memotivasi maka mereka menambatkan hatinya semoga dapat sampai padanya sedemikian gembira sehingga laksana seseorang terkasih yang akan datang kepadanya. Namun tatkala sampai pada ayat yang mencemaskan dan menakutkan mereka mencermatinya dengan penuh perhatian. Kulit badan mereka bergetar, hati mereka takut, dan badan mereka berguncang. Seolah neraka dan suara gemuruhnya dan benturan rantai-rantai api terdengar di telinga mereka terjatuh dan air mata mereka berlinangan, berlindung kepada Allah Swt untuk memperoleh keselamatan (dari azab ini).[7]
  2. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah memahami al-Qur’an, memikirkan ayat-ayatnya, mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum Ilahi. Imam Shadiq As meriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali As yang bersabda, “Ketauhilah membaca yang tidak terdapat tadabbur di dalamnya sama sekali tidak memberikan manfaat.”[8]
  3. Mencamkan bahwa al-Qur’an bukanlah kalam manusia dan mengagungkan Sang Pencipta; karena mengagungkan kalam bermakna mengagungkan mutakallim-nya (pembicaranya).
  4. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah tahliyah. Tahliyah artinya ia menyesuaikan dirinya dengan setiap ayat yang dibacanya. Apabila ia membaca kisah-kisah para nabi ia mengambil pelajaran darinya. Apabila ia membaca nama-nama dan sifat-sifat Ilahi maka ia akan mencermati pada obyek-obyek nama-nama dan sifat-sifat tersebut.[9]
  5. Takhliyah merupakan salah satu adab-adab batin membaca al-Qur’an bagi mereka yang ingin mempelajari al-Qur’an. Orang yang ingin merujuk pada al-Qur’an maka ia harus mengosongkan dirinya dari segala prajudis dan debu kesamaran pikiran sehingga tidak menyisakan pengaruh dalam pemahamannya terhadap al-Qur’an.[10]
  6. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah menyingkirkan sifat-sifat yang tidak terpuji khususnya sombong, riya (suka pamer),[11] hasud dan tamak karena selama manusia terkontaminasi dengan noda-noda ini maka makna kalam Ilahi tidak akan pernah memanifestasi (tajalli) dalam dirinya.
  7. Di antara adab-adab batin yang terunggul dalam membaca al-Qur’an adalah kesucian jiwa dan spiritual. Selama manusia belum lagi suci maka al-Qur’an tidak akan menunjukkan hakikatnya kepada manusia karena al-Qur’an sendiri menandaskan, “La yamussuhu illa al-mutahharun”[12] (Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang telah disucikan).
  8. Di antara adab-adab batin membaca al-Qur’an adalah bahwa pembaca memandang al-Qur’an bukan sebagai teks melainkan sebuah resep yang menyembuhkan dan harus berharap demikian. Dalam riwayat disebutkan bahwa orang-orang yang memandang dengan pandangan ini terhadap al-Qur’an dan berharap obat dari penyakit-penyakitnya maka Allah Swt berkat harapan para pembaca al-Qur’an seperti ini akan memberikan kesembuhan kepada mereka dari al-Qur’an, menjauhkan musibah dan musuh-musuh dari masyarakat serta mengucurkan hujan rahmat-Nya kepada mereka.[13] [iQuest]

 

 


[1]. (Qs. Al-Muzammil [73]:4)

وَ رَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتيلاً

[2]. (Qs. Al-Baqarah [2]:121)

اَلَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُوْنَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهِ وَ مَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُوْنَ

[3]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil.1, hal. 215, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.

[4].  (Qs. Shad [38]:29)

كِتابٌ أَنْزَلْناهُ إِلَيْكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آياتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبابِ

[5]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 432, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran 1374 S.

[6]. Muhammad Masyhadi, Tafsir Kanz al-Daqâiq wa Bahr al-Gharâib, jil 2, hal. 132, Sazeman Intisyarat Wizarat Irsyad, Teheran, 1368 S.

[7]. Nahj al-Balâghah, Subhi Shalih, hal. 304.

[8]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 36.

[9]. Mulla Husain Kasyifi Sabzewari, Jawâhir al-Tasfir, hal. 270, Daftar Nasyr Mirats Maktub, Teheran, Tanpa Tahun.

[10] . Ibid, dengan sedikit perubahan

[11]. Muhammad bin Hasan, Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 6, hal. 182, Ali al-Bait As, Qum, 1409 H.

إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ فُلَانٌ قَارِئٌ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيَطْلُبَ بِهِ الدُّنْيَا وَ لَا خَيْرَ فِي‏ ذَلِكَ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ لِيَنْتَفِعَ بِهِ فِي صَلَاتِهِ وَ لَيْلِهِ وَ نَهَارِهِ .

[12]. (Qs. Al-Waqiah [56]:79)

[13]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 627.

وَ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَوَضَعَ دَوَاءَ الْقُرْآنِ عَلَى دَاءِ قَلْبِهِ فَأَسْهَرَ بِهِ لَيْلَهُ وَ أَظْمَأَ بِهِ نَهَارَهُ وَ قَامَ بِهِ فِي مَسَاجِدِهِ وَ تَجَافَى بِهِ عَنْ فِرَاشِهِ فَبِأُولَئِكَ يَدْفَعُ اللَّهُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْبَلَاءَ وَ بِأُولَئِكَ يُدِيلُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ مِنَ الْأَعْدَاءِ وَ بِأُولَئِكَ يُنَزِّلُ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ الْغَيْثَ مِنَ السَّمَاءِ فَوَ اللَّهِ لَهَؤُلَاءِ فِي قُرَّاءِ الْقُرْآنِ أَعَزُّ مِنَ الْكِبْرِيتِ الْأَحْمَرِ .

 

2 April 2013

Maksud kisah fitnah dari arah timur (Najd)

oleh alifbraja

Dalam kitab-kitab induk dan muktabar (diakui kesahihannya) Ahlusunnah, di antaranya adalah Shahih al-Bukhâri, terdapat riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dimana sebagian ulama menafsirkannya dengan kemunculan kelompok Wahabiyah.

Dalam hadis yang perawinya adalah Abdullah bin Umar, putera khalifah kedua, Rasulullah Saw bersabda: “Ya Allah, jadikanlah daerah Syam itu penuh berkah bagi kami! Jadikanlah daerah Yaman itu penuh berkah bagi kami!”.

Beberapa orang sahabat beliau yang ketika itu hadir di sana berkata : “Ya Rasulallah, doakan pula daerah kami, Najd, agar dipenuhi berkah”. Tetapi Rasulullah Saw tidak memperhatikan permohonan mereka. Setelah mereka memaksa beliau sampai tiga kali, maka Rasulullah Saw berkata bahwa tempat itu (Najd) merupakan pusat kerusuhan dan kekacauan, dan tanduk setan akan muncul dari tempat itu.[1]

Para komentator (pensyarah) Shahih al-Bukhâri menafsirkan tanduk setan sebagai umat setan dan para pengikut setan.[2]

Dalam hadis lainnya dalam kitab Shahih al-Bukhâri, Rasulullah Saw memberikan isyarah bahwa  fitnah itu dimulai dari arah Timur (Masyriq). Dan ciri-ciri para penebar fitnah itu adalah bahwa mereka tekun membaca Al-Qur’an, tetapi pengaruh dan manfaat bacaan mereka itu hanya sampai di tenggorokan mereka saja (artinya bahwa bacaan Al-Qur’an mereka tidak membuat tingkah laku mereka itu baik). Ciri lainnya adalah: mereka biasa mencukur habis rambut mereka.[3]

Dengan memahami penjelasan di atas, maka perhatikanlah beberapa poin berikut ini:

1.  Riwayat di atas disebutkan dalam kitab hadis Ahlusunnah yang paling muktabar (diakui keabsahannya), sementara di dalam kitab-kitab induk Syi’ah tidak ditemukan. Adapun yang disebutkan dalam kitab-kitab sekunder Syi’ah tercantum sebagai nukilan dari kitab Ahlusunnah.[4] Karena itu, tidak mungkin kaum Syi’ah dapat dituduh telah membuat-buat riwayat semacam itu.

2.  Walaupun Najd bermakna dataran tinggi, tetapi mungkin saja berbagai daerah lainnya memiliki ciri khusus tersebut. Apabila kata tersebut (Najd) digunakan secara mandiri dan tidak dibarengi dengan qarinah (tanda-tanda) lainnya (sehingga bermakna dataran tinggi secara umum), maka para ahli teks sejarah tidak merasa ragu sedikitpun bahwa kata Najd yang dimaksudkan di dalam riwayat adalah daerah Saudi Arabia yang saat ini mempunyai ibu kota bernama Riyadh. Dan kota Barideh dan ‘Anizeh adalah  dua kota yang merupakan pusat gerakan Wahabiyah.

3.  Dalam sebagian riwayat, dijelaskan bahwa sumber fitnah ini berasal dari arah Timur dan pada riwayat lainnya dari Najd. Jika kita mengamati peta dunia, akan kita temukan bahwa daerah Najd itu terletak tepat di sebelah Timur kota Madinah yang merupakan tempat tinggal Rasulullah Saw.

4.  Menerapkan hadis tersebut kepada daerah Irak sama sekali tidak tepat. Karena Irak itu terletak di sebelah utara kota Madinah, sekalipun agak condong ke arah timur. Dengan kata lain Irak itu terletak di sebelah Timur Laut (Syimal Syarqi, Norhteast). Karena itu, merupakan kekeliruan jika seseorang mengatakan bahwa Irak itu terletak di sebelah timur kota Madinah.

5.  Sebagian ciri-ciri khusus yang terdapat pada riwayat di atas, seperti penekanan atas suara yang indah dalam membaca Al-Qur’an, tetapi tanpa tadabbur (merenungkan ayat dan maknanya), maka ciri ini memang terdapat pada kelompok Wahabiyah. Karena itu sebagian peneliti berpandangan bahwa fitnah yang disinggung pada riwayat di atas, tidak lain selain fitnah dan kejahatan Wahabiyah.

 

Kesimpulan:

Jawaban final kami atas pertanyaan Anda adalah: Sekalipun berdasarkan bukti-bukti dan tanda-tanda yang ada bahwa fitnah yang terdapat di dalam riwayat itu sesuai dengan kemunculan firqah Wahabiyah, akan tetapi kami tidak meyakininya secara pasti dan seratus persen bahwa fitnah itu adalah “Fitnah Wahabiyah”. Karena bisa jadi riwayat itu berkaitan dengan fitnah yang saat ini belum muncul.[IQuest]


[1]. Shahih al-Bukhâri,  jil. 2, hal. 23, Dar al-Fikr, Beirut.  

[2]. Ibnu Hajar al-Atsqalani, Mukaddimah Fathu al-Bâri, hal. 168, Dar al-Ma’rifah liththiba’ah wa al-nasyr, Beirut.   

[3]. Shahih al-Bukhâri, jil. 8, hal. 218. Rasulullah Saw bersabda: “Sekelompok manusia akan keluar dari arah timur, mereka membaca Al-Qur’an tetapi bacaan mereka itu tidak melewati tenggorokan mereka……….Dan ciri mereka adalah mencukup rambut”.   

[4]. Muhaddis al-Nuri, Mustadrak al-Wasâ’il, juz 10, hal. 207, hadis 11867, muassasah Al al-Bait, Qum, 1408 H.

14 Januari 2013

nabi Khidir – Al Kahfi 65-82

oleh alifbraja

Kisah nabi Khidir – Al Kahfi 65-82

[65] Lalu mereka dapati seorang dari hamba-hamba Kami yang telah kami kurniakan kepadanya rahmat dari Kami dan Kami telah mengajarnya sejenis ilmu; dari sisi Kami. [66] Nabi Musa berkata kepadanya: Bolehkah aku mengikutmu, dengan syarat engkau mengajarku dari apa yang telah diajarkan oleh Allah kepadamu, ilmu yang menjadi petunjuk bagiku? [67] Dia menjawab: Sesungguhnya engkau (wahai Musa), tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku. [68] Dan bagaimana engkau akan sabar terhadap perkara yang engkau tidak mengetahuinya secara meliputi? [69] Nabi Musa berkata: Engkau akan dapati aku, Insya Allah: Orang yang sabar; dan aku tidak akan membantah sebarang perintahmu.[70] Dia menjawab: Sekiranya engkau mengikutku, maka janganlah engkau bertanya kepadaku akan sesuatupun sehingga aku ceritakan halnya kepadamu.

[71] Lalu berjalanlah keduanya sehingga apabila mereka naik ke sebuah perahu, dia membocorkannya. Nabi Musa berkata: Patutkah engkau membocorkannya sedang akibat perbuatan itu menenggelamkan penumpang-penumpangnya? Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perkara yang besar.

[72] Dia menjawab: Bukankah aku telah katakan, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

[73] Nabi Musa berkata: Janganlah engkau marah akan daku disebabkan aku lupa (akan syaratmu) dan janganlah engkau memberati daku dengan sebarang kesukaran dalam urusanku (menuntut ilmu).

[74] Kemudian keduanya berjalan lagi sehingga apabila mereka bertemu dengan seorang pemuda lalu dia membunuhnya. Nabi Musa berkata Patutkah engkau membunuh satu jiwa yang bersih, yang tidak berdosa membunuh orang? Sesungguhnya engkau telah melakukan satu perbuatan yang mungkar!

75] Dia menjawab: Bukankah, aku telah katakan kepadamu, bahawa engkau tidak sekali-kali akan dapat bersabar bersamaku?

[76] Nabi Musa berkata: Jika aku bertanya kepadamu tentang sebarang perkara sesudah ini, maka janganlah engkau jadikan daku sahabatmu lagi; sesungguhnya engkau telah cukup mendapat alasan-alasan berbuat demikian disebabkan pertanyaan-pertanyaan dan bantahanku.

[77] Kemudian keduanya berjalan lagi, sehingga apabila mereka sampai kepada penduduk sebuah bandar, mereka meminta makan kepada orang-orang di situ, lalu orang-orang itu enggan menjamu mereka. Kemudian mereka dapati di situ sebuah tembok yang hendak runtuh, lalu dia membinanya. Nabi Musa berkata: Jika engkau mahu, tentulah engkau berhak mengambil upah mengenainya!

[78] Dia menjawab: Inilah masanya perpisahan antaraku denganmu, aku akan terangkan kepadamu maksud (kejadian-kejadian yang dimusykilkan) yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.

[79] Adapun perahu itu adalah ia dipunyai oleh orang-orang miskin yang bekerja di laut; oleh itu, aku bocorkan dengan tujuan hendak mencacatkannya, kerana di belakang mereka nanti ada seorang raja yang merampas tiap-tiap sebuah perahu yang tidak cacat.

[80] Adapun pemuda itu, kedua ibu bapanya adalah orang-orang yang beriman, maka kami bimbang bahawa dia akan mendesak mereka melakukan perbuatan yang zalim dan kufur.

[81] Oleh itu, kami ingin dan berharap, supaya Tuhan mereka gantikan bagi mereka anak yang lebih baik daripadanya tentang kebersihan jiwa dan lebih mesra kasih sayangnya.

[82] Adapun tembok itu pula, adalah ia dipunyai oleh dua orang anak yatim di bandar itu dan di bawahnya ada harta terpendam kepuyaan mereka dan bapa mereka pula adalah orang yang soleh. Maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka cukup umur dan dapat mengeluarkan harta mereka yang terpendam itu, sebagai satu rahmat dari Tuhanmu (kepada mereka) dan (ingatlah) aku tidak melakukannya menurut fikiranku sendiri. Demikianlah penjelasan tentang maksud dan tujuan perkara-perkara yang engkau tidak dapat bersabar mengenainya.