Posts tagged ‘agama islam’

12 April 2013

Agama pamungkas dapat ditetapkan merupakan agama sempurna

oleh alifbraja

 

Sebelum memasuki pada inti pembahasan kiranya perlu dijelaskan di sini apa yang dimaksud dengan Redaksi  “sempurna” (kâmil). Redaksi “sempurna” di sini secara lahir adalah kebalikan dari redaksi “cacat” (nâqish). Secara umum tatkala kita berkata agama sempurna; artinya agama yang tidak cacat. Dengan kata lain, artinya agama yang tidak memiliki kekurangan untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia. Dan memberikan apa saja yang dibutuhkan manusia untuk kesempurnaannya.

Kunci untuk mengakses pada dalil-dalil mengapa Islam disebut agama sempurna terletak pada masalah kepamungkasan agama Islam. Artinya kepamungkasan Nabi Islam dan keyakinan bahwa selepasnya tiada lagi nabi yang akan diutus, sejatinya membimbing kita untuk menerima bahwa mengikut kaidah agama ini haruslah agama sempurna; karena apabila agama ini tidak sempurna maka wajib bagi Tuhan untuk mengirim agama lainnya untuk kesempurnaan petunjuk manusia. Sementara sesuai dengan kaidah rasional dan referensial kita ketahui bahwa Tuhan tidak mengirim lagi agama lain. Karena itu agama ini harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia hingga hari Kiamat dimana apabila tidak demikian adanya maka niscaya Tuhan dalam membimbing manusia tidak menuntaskan dalil-dalil dan hujjah-hujjah. Tentu saja hal sedemikian tercela (qabih) bagi Tuhan.

Karena itu, Anda perhatikan bahwa masalah kepamungkasan dan pembahasan sempurnanya agama atau dengan ungkapan lebih baik lebih sempurnanya agama Islam mirip dua gambar satu koin dan satu sama lain saling bertautan.

Dalam tulisan ini kami berada pada tataran menjawab pertanyaan yang diajukan di atas. Dan sejatinya kita akan menempuh pelbagai jalan yang digunakan untuk menetapkan dan membuktikan masalah kepamungkasan agama. Namun secara selintasan kita akan membahas masalah kesempurnaan agama Islam. Di bawah ini kami akan menjelaskan indicator yang menunjukkan kesempurnaan agama Islam. Dan sebagai pendahuluan kami sebutkan bahwa: seluruh aturan Islam, senantiasa segar dan baru. Tidak ada agama yang menampilkan kesegaran dan kebaruan seperti yang dimiliki Islam.  Dan keterkinian aturan-aturan Islam senantiasa sejalan dan selaras dengan seluruh masa.

Artinya pada setiap masa dan zaman dan untuk setiap perbuatan Anda dapat temukan sebuah hukum dalam aturan-aturan Islam. Dan demikianlah Anda menjumpai agama ini memiliki hukum pada setiap masalah. Setiap masalah tidak didiamkan atau tidak indahkan begitu saja. Dari angle ini, sisi ini dapat menjadi salah satu sisi kesempurnaan agama Islam.

Agama Islam untuk dapat menjawab setiap persoalan di setiap masa memberdayakan salah satu media dan mekanisme yang tiada duanya dalam pelbagai sistem penetapan hukum. Berikut ini kami akan menyinggung beberapa dari media tersebut:

1.       Agama Islam menggunakan pelbagai aturan dan kaidah universal dimana kaidah-kaidah ini sejatiniya merupakan simbol dan formula ketercakupan dan kemenyeluruhan ajaran Ilahi ini. Akan tetapi supaya kaidah-kaidah universal ini dapat bercorak menyeluruh dan mencakup segala hal serta mampu memberikan solusi atas setiap persoalan maka seyogyanya kaidah tersebut diadopsi dari sumber-sumber khusus dan diberdayakan semaksimal dan seoptimal mungkin sebagaimana yang akan kami singgung beberapa hal berikut ini:

a.       Allah Swt memandang hujjah (argumen dan dalil) bahwa segala yang dihukumi oleh akal sehat dalam proses inferensi hukum-hukum syariat; misalnya hukum tercelanya menghukum seseorang tanpa adanya penjelasan hukum sebelumnya, atau hukum akal terhadap terpujinya keadilan dan tercelanya kezaliman dan sebagainya. Atas alasan ini, Anda simak perhatian Islam terhadap hukum-hukum akal sehat seperangkat kaidah universal menandaskan bahwa kaidah ini bercorak menyeluruh yang dapat diberdayakan dan dayagunakan pada setiap masa untuk menjawab setiap persoalan yang ada.

b.       Allah Swt menetapkan hukum-hukum mengikut kepada kemaslahatan dan kemudaratan. Sebagai contoh, setiap persoalan yang memiliki kemasalahatan yang lebih besar maka ia memiliki signifikansi dan preferensi yang lebih tinggi ketimbang persoalan yang setingkat di bawahnya.

c.       Adanya aturan-aturan universal dimana kaidah universal ini dapat menjadi pembatas sebagian hukum-hukum Ilahi lainnya. Di antaranya Allah Swt befirman, “Allah tidak menjadikan kesusahan bagimu dalam agama.” (Qs. Al-Hajj [28]:78) dimana aturan ini dapat membatasi hukum agama yang memberikan kesusahan bagi manusia dan merubahnya menjadi hukum yang lain. Karena itu, satu hukum agama dapat berubah dan berganti sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang di lapangan. Misal lainnya dalam hal ini adalah kaidah idhtirar (dalam kondisi darurat) dan kaidah ikrah (paksaan).

d.       Aturan-aturan Islam selaras dan sejalan dengan fitrah manusia dan Tuhan menaruh perhatian terhadap nurani yang tidak berubah manusia ini dalam aturan-aturan Islam. Menjaga dan mengindahkan apa yang senada dengan tabiat sehat seorang manusia dan memilih jalan medium (i’tidal) dalam proses penetapan aturan dan hukum. Dengan kata lain, Allah Swt menaruh perhatian pada fitrah suci manusia dalam menetapkan aturan-aturan universal. Di antara aturan ini adalah aturan-aturan yang bertalian dengan pria dan wanita yang memiliki aturan-aturan khusus tersendiri.

e.       Ijtihad salah satu kaidah yang diterima (khususnya) dalam dunia Syiah dimana dengan penetapan dan kodifikasi ijtihad dalam agama Islam, sehingga ajaran Islam memiliki dimensi mencakupi dan menyeluruh. Misalnya mujtahid dengan memberdayakan kaidah-kaidah universal lau mencocokkannya dengan masalah-masalah baru. Dan demikianlah agama mampu memberikan solusi atas pelbagai persoalan setiap orang pada setiap masa.

Akhirnya dengan adanya sumber-sumber universal ini dimana Allamah Sya’rani bertutur tentang jalan-jalan ini: “Fikih Islam tidak cacat, melainkan kita memiliki kaidah-kaidah universal yang dapat kita gunakan untuk menjawab persoalan-persoalan kekinian pada setiap masa. Dan perkara ini adalah perkara yang telah berkembang pada masa Syaikh Thusi hingga masa kami.”[1]

2.       Salah satu media lainnya yang diberdayakan Islam untuk menunjukkan ketercakupan dan kemenyeluruhannya adalah keragaman dan bilangan hukum. Tatkala Anda menyaksikan dalam kitab fikih, Anda menyimak bahwa terdapat sebagian besar hukum-hukum Islam membahas masalah-masalah yang paling sederhana kehidupan manusia; misalnya makan dan minum hingga yang paling rumit hubungan sosial termasuk di antaranya adalah jual-beli, pemerintahan dan sebagainya. Karena itu, di samping ada kaidah-kaidah universal sebagaiman yang disebutkan pada bagian pertama di atas dan dapat menjadi problem solver (pemecah masalah), Islam secara partikulir dan kasus-per-kasus memiliki banyak hukum-hukum bagi kehidupan personal dan sosial manusia. Dan hal ini juga merupakan manifestasi yang lain dari universalitas, kemenyeluruhan dan kemencakupan Islam dan pada saat yang sama merupakan salah satu formula kesempurnaan agama Ilahi ini.

 

 

Hingga kini kita telah menyinggung salah satu dalil atas kesempurnaan agama Islam yaitu universalitas, kemenyeluruhan dan kemencakupan agama Ilahi ini. Sebagai kelanjutan pembahasan ini, untuk menjelaskan sisi sempurna agama Islam, kita juga dapat bersandar pada dalil-dalil lainnya sebagaimana berikut ini:

1.       Dengan mengkaji kasus-per-kasus hukum-hukum Islam dan membandingkannya dengan hukum-hukum yang serupa pada agama-agama Ilahi lainnya atau dengan sistem-sistem hukum dan perundangan yang ada di dunia saat ini, maka satu jalan lainnya akan muncul dan dapat menunjukkan keunggulan dan kesempurnaan hukum-hukum Islam. Misalnya hukum-hukum transaksi; apabila kita ingin membandingkan misalnya jual-beli dan pernikahan dalam Islam, Yahudi dan Kristen, keragaman dan keluasan penetapan hukum dalam Islam tiada bandingnya. Bahkan di antara aturan-aturan madani (civil laws) dunia saat ini, aturan madani Iran yang mengambil sumber dari fikih Syiah Ja’fari menurut pengakuan para profesional dan dosen terkemuka merupakan salah satu aturan madani yang termaju di dunia saat ini.

2.       Salah satu sisi lainya kesempurnaan agama Islam, dominasi akhlak Islam dan perilaku kenabian atas maktab-maktab lainnya (baik pada masa kemunculannya atau pun masa sekarang ini). Akhlak yang diajarkan dalam Islam termasuk pelbagai aturan-aturan praktis khususnya pada perilaku personal dan sosial yang memperhatikan tinjauan dunia dan akhirat. Hal ini berbeda dengan ajaran moral yang diajarkan dalam Kristen dan Yahudi yang dominan mendapat penegasan adalah perilaku yang lebih banyak condong ke dunia atau ke akhirat. Atau kebalikan dari maktab-maktab akhlak dunia saat ini yang tidak dapat menjawab lebih dari satu dimensi dari multi dimensi perilaku yang dimiliki manusia. Akan tetapi akhlak yan diajarkan dalam Islam di samping menghimpun pelbagai dimensi manusia dan menjawab pelbagai kebutuhan ini, ia mampu menyediakan tercapainya tujuan-tujuan transendental bagi kehidupan manusia dan hal itu tidak lain adalah kedekatan kepada Tuhan (qurb Ilahi).

3.       Di antara dalil ayat-ayat dan riwayat-riwayat terkait kesempurnaan agama Islam yang dapat disebutkan di sini adalah sebagai berikut:

Pertama, Sesungguhnya dalam (surah) ini benar-benar terdapat penyampaian yang jelas bagi kaum yang menyembah Allah. (Qs. Al-Anbiya [21]:106) Pada ayat ini, penyampaian jelas dan nyata bagi kaum yang menyembah Allah. Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menulis: Iblagh (penyampaian) bermakna terpenuhi dan genapnya sesuatu. Dan juga bermakna sesuatu yang dengannya harapan manusia terpenuhi.[2] Anda letakkan ayat ini di samping ayat “Telah Kusempurnakan bagimu agamamu.” (Qs. Al-Maidah [5]:5) maka Anda akan memahami bahwa Islam adalah agama sempurna yang melaluinya segala hajat dan harapan manusia yaitu kedekatan kepada Allah (qurb ilaLalah) terpenuhi.

Kedua, Dia-lah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama (Qs. Al-Taubah [9]:33) Kandungan ayat ini adalah kemenangan (Islam) atas seluruh agama dan bahwa tiada lagi agama yang akan datang selepasnya. Sekiranya adalagi agama yang akan diturunkan setelahnya maka niscaya ayat ini telah dianulir oleh ayat lainnya (sementara ayat ini tidak termasuk ayat yang dianulir). Dari sisi lain, lantaran apabila agama ini yang merupakan agama terakhir dan pamungksa bukan merupakan agama sempurna maka niscaya petunjuk manusia akan mengalami kecacatan (tidak sempurna) dan tentu saja hal ini tercela bagi Tuhan.

Ketiga, Sima’e menukil dari Imam Musa Kazhim As bahwa ia berkata kepada Imam, “Apakah Rasulullah Saw memenuhi segala sesuatu apa pada masanya? Imam menjawab, iya. Bahkan Rasulullah telah menghadirkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat hingga hari kiamat.[3]

Keempat,  Rasulullah Saw pada khutbah Hajjatulwida’ bersabda: “Ayyuhannas! Tidakklah sesuatu yang mendekatkanmu kepada surga dan menjauhkanmu dari neraka kecuali aku telah perintahkan kalian untuk melakukannya. Dan tidaklah sesuatu yang mendekatkanmu kepada neraka dan menjauhkanmu dari surga kecuali telah aku larang kalian untuk tidak melakukannya.”

Dalil-dalil ayat dan riwayat akhir kenabian juga merupakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat yang secara langsung menunjukkan atas kesempurnaan agama Islam.[]

 

Referensi untuk telaah lebih jauh:

1.       Husaini Qazwini, Âyâ Qawânin-e Islâm Irtjiâ’i ast?

2.       Kharrazi, Bidâyat al-Ma’ârif al-Ilahiyyah.

3.       Ayatullah Ja’far Subhani, Muhadhârat fii Ilahiyyah.

4.       Syirazi, Naqd wa Tarh Andisyeh-hâi dar Mabâni I’tiqâdi.

5.       Allamah Thabathabai, al-Mizân, jil. 28.

6.       Kulaini, al-Kâfi, jil. 1.

 


[1]. Muhsin Kharrazi, Bidâyat al-Ma’ârif, jil. 1, hal. 270, sesuai nukilan dari kitab Râh-e Sa’âdat, hal. 214.

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 28, hal. 186.

[3]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 57

27 Oktober 2012

CAHAYA ILLAHI

oleh alifbraja

CAHAYA ILLAHI KENDARAAN DAN TENTARA HATI

بِسْمِ الًّلهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيمِ

 

Setelah menjelaskan WARID secara umum,selanjutnya Syeikh Ibnu ‘Atha’illah rahimaullah menjelaskan lebih spesifik lagi dengan mengartikan WARID sebagai CAHAYA yang dituangkan dalam hati :

“Cahaya adalah tunggangan hati dan asrar(rahasia rahasia batin) cahaya adalah tentara hati,seperti kegelapan adalah tentara nafsu.Jika Allah ingin menolong hambaNYA,maka DIA menolongnya dengan pasukan cahaya,dan memutuskan sokongan kegelapan dan segala sesuatu selain Allah darinya “.

Syeikh Sa’id Hawa menjelaskan ; WARID jika dirinci lebih detail berarti ; cahaya atau cahaya yang dituangkan Allah ke dalam hati seseorang, merupakan akibat dari proses penghadapan seorang hamba kepada Allah atau merupakan pemberia-NYA.Sebagaimana dijelaskan Oleh Allah dalam surat Az zumar ;22 :

اَفَمَنْ شَرَّ حَ اللَّهُ صَدْ رَهُ لِِلاِْ سْلاَ مِ فَهُوَ عَلىَ نُوْ رٍ مِنْ رَبِهِ. . . .
Apakah orang orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya ( sama dengan orang yang hatinya membatu) (Az-zumar:22)

 

Juga Firman Allah dalam surat Muhammad:17 ;

وَ الَّذِ يْنَ اَهْتَدَ وْا زَا دَهُمْ هُدً وَ اَ تَهُمْ تَقْوَ هُمْ

“Dan orang yang mendapat petunjuk,Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwakanya ( Muhammad:22)

Dan Firman NYA dalam surat Al-Ankabut:69 :

وَالَّذِ ينَ جَا هَدُ وا فِيْناَ لَنَهْدِ يَنَّهُمْ سًبُلَنَا وَاِنَّ الَّلهَ لَمَعَ

الْمُحْسِنِيْنَ

“Dan orang orang yang berjihad untuk(mencari keridlaan) KAMI,benar benar akan KAMI tunjukan kepada mereka jalan jalan KAMI”. (Al-Ankabut :69).

Kendaraan yang ditunggangi hati untuk menempuh perjalanan menuju Allah adalah cahaya ,sedang tentara hati dan jiwa yang denganya ia dapat mengalahkan tentara syetan,juga adalah cahaya.Ada dua peran yang dimainkan oleh cahaya dalam hati.Pertama sebagai tunggangan seorang dalam mengarungi perjalanan menuju Allah;bila seorang memiliki cahaya,maka ia akan mengendarai tungganganya dan berjalan menuju Allah.Kedua sebagai prajurit, bila memiliki cahaya, maka ia akan mengalahkan tentara lain yang ingin menyerahkannya kepada syetan atau dunia.Oleh karena itu kita juga harus meneliti tidak saja kepada hal hal yang mendatangkan WARID,tetapi juga harus mengamati apakah warid warid itu telah memainkan peranya dalam hati; apakah warid warid itu juga bisa menjadi kendaraan yang dapat dikemudikan untuk menuju akhirat dan untuk menentang dorongan dorongan syaitani.

Marilah kita bertanya pada dirikita masing masing;Apakah kita dapat menambah cahaya yang ada dalam hati kita masing masing?Jika mampu melakukannya,maka kita dapat dinyatakan lulus.Sebaliknya jika kita tak lulus.kita merugi.Dan semua itu kembali kepada Allah dan iradatNYA; bila Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba, maka DIA menganugerahi WARID berupa cahaya, dan Allah menyelematkannya dari segala bentuk kegelapan dan dari berbagai macam benda ( dzat) selain Allah.

Apakah kita memiliki tanda tanda yang dapat kita gunakan untuk mengetahui apa yang Allah kehendaki pada diri kita ?Apakah Allah menginginkan kebaikan pada diri kita ?.tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan pada diri kita ,menurut syeikh Sa’id Hawa adalah ;menumbuhkan pemahaman agama NYA,seperti disinyalir oleh Nabi dalam sabdanya :

مَـنْ يـُرِ دِ الَـلَّهُ بِـِهِ خـَيـْرًا يــُفَــقِّهْـهُ فـــِى الــدِّ يــْنِ :
Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan padanya ,maka DIA memberi pemahaman agama kepadanya
(HR Muslim ,Tirmidzi)

Jika kau jumpai seseorang yang dianugerahi pemahaman terhadap agama_NYA,itu adalah pertanda bahwa Allah menginginkan kebaikan bagi seorang itu.Maka seyogyanya ia senang dan melantunkan pujian kepada Allah.

Menurut syeikh Sa’id Hawa rahimaullah sebagian orang memasukan tema pembicaraan ini ke dalam kajian filsafat.Padahal sebenarnya tidak,karena ini adalah fitrah dan merupakan aspektertinggi dan terluhur dalam islam.Selama kita mengacu pada pengertian seperti ini, maka kita mengarah pada kebaikan.Namun bila kita terlalu banyak membaca dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu, sementara hati kita tidak di asah dan tak pernah diperhatikan hingga menjadi gelap,maka mesti menjadi peringatan bagi kita.karena bila kita tidak merasa lelah dan terus begitu, maka yang akan muncul dikalangan kita adalh filosof, dan bukan kaum RABBANI.

NUR atau cahaya ini amat penting.karena jika seseorang memiliki lampu senter,lalu pada malam dinyalakan,maka akan terlihat segala sesuatu yang ada disekelilingnya,Jika sesuatu itu terlihat,maka akal akan berperan untuk memutuskan,apakah sesuatu itu membahayakan atau bermanfaat,jelek atau baik,harus berbuat atau menahan diri,berjalan atau berhenti,dan seterusnya,

Untuk masalah akhirat kita mempunyai NUR (cahaya) BASHIRAH ( mata batin) dan punya kepastian.Dengan cahya akan terlihat segala sesuatu,dan cahaya pulalah yang membedakan cara pandang sang muslim dan si kafir dalm memandang sesuatu.Allah melukiskan dalam firmanNYA :

” Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya,Allah hilangkan cahaya(yang menyinari)mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan,tak dapat melihat “.(Al-Baqarah :17).

Melalui cahaya seorang mukmin dapat menatap sesuatu dengan penglihatan imani yang lain dengan penglihatan orang kafir.Penglihatan orang kafir adalah penglihatan yang bersifat meterialistis melulu dilandasi oleh nafsu untuk kepentingan individual semata.Mereka (orang kafir) seharusnya melihat segala sesuatu dengan berdasarkan api tersebut, yang tak lain adalah (cahaya) syari’at.Namun Allah menghilangkan cahaya bagi mereka.Jadi ayat diatas mengabarkan bahwa ada yang bersemayam dalam hati,ang dengannya mesti melihat sesuatu menurut hakekatnya.

Setelah cahaya bisa diraih lalu bagaimana dengan BASHIRAH,suatu kurnia yang denganya sesorang menentukan hukum tentang apa yang wajib dilakukan.Allah berfirman :

” Sesungguhnya telah datang dari RABB-mubashaa’ir (bukti bukti yang terang ) kepada kalian “.(Al-An’am :104 ).

Al-Quran adalah BASHAA’IR jamak dari bashirah.dengan alQuran ini Allah memberimu bashirah yang melaluinya kita menghukumi segala sesuatu.Hukum bashirah adalah bila seorang muslim melihat tindak kemungkaran,maka ia harus memeranginya,dan bila menemukan perilaku kebaikan,maka ia mengokohkannya.demikian juga dengan hukum hukum yang lain.

Setelah Bashirah menetapkan,maka peran terakhir adalah hati,dimana ia bisa menerima untuk melakukan hukum itu, bisa pula meninggalkannya.Penerimaan hukum tersebut muncul lantaran cahaya yang dimiliki fungsional sebagai tentara hati,sedangkan penolakanya terjadi karena kegelapan yang ada telah menjalankan perannya sebagai tentara nafsu.Wirid wirid yang dilazimkan oleh sesorang adalah faktor menentukan untuk melahirkan kepatuhan hati ini.Karena itu ,para ahli suluk menginginkan agar seseorang terus menerus melakukan WIRID nya hingga mampu meraih kesempurnaan itu.Tapi jangan lupa ketika melakukan wirid pusatkan hati sepenuhnya kepada Allah.Tunaikan WIRID, karena dimana ada WIRID disitu pula ada WARID,meski kehadlirannya kadang dapat dirasakan,kadang tidak.

Warid warid yang dituangkan kedalam hati sesorang itu bukan hanya satu macam,walaupun memang pada akhirnya warid warid berupa cahaya,yang lahir lantaran rasa senang kepada Allah yang sekaligus sebagai anugerah Illahi.Cahaya itu terasa dalam bentuk dada yang lapang dan hati yang berbunga.Yang paling penting untuk diingat adalah,bahwa Warid Warid yang dicurahkan kedalam hati sesorang itu bervariasi.

Seseorang yang mengarungi perjalanan menuju Allah,lantas disusupi rasa teteram,lalu merasa bahwa dirinya mempunyai hati dan hati tersebut memiliki sensivitas dan kepekaan yang tinggi,itu sudah cukup menjadi WARID yang besar bagi sang pejalan menuju ALLAH.

10 Oktober 2012

Sholat Istisqo’

oleh alifbraja

stisqo’ diambil dari kata اِسْتَسْقَى يَسْتَسْقِي اِسْتِسْقَاء yang secara bahasa artinya minta siraman air. Adapun secara istilah artinya meminta siraman air kepada Allah dengan turunnya hujan ketika terjadi kemarau panjang.

Meminta hujan kepada Alloh merupa­kan perkara yang disyari’atkan dalam agama Islam tanpa ada perbedaan pen­dapat di kalangan ulama.

CARA MEMINTA HUJAN

Cara yang paling sempurna dalam meminta hujan kepada Alloh ialah sebagaimana yang di­contohkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu berdo’a kepada Alloh Ta’ala disertai sholat. Sholat itulah yang terke­nal dengan sebutan sholat Istisqo’.

Berikut penjelasan singkat tentang tata cara sholat Istisqo’.

  1. Kaum muslimin keluar bersama imamnya ke tanah lapang dalam keadaan tawadhu’, khusyu’, dan berpakaian sederhana (bukan paka­ian mewah), menampakkan butuhnya kepada Alloh.

Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika ditanya tentang sholat Istisqo’-nya Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menjawab:

خَرَجَ‏ ‏مُتَبَذِّلاً ‏ ‏مُتَوَاضِعًا ‏ ‏مُتَضَرِّعًا ‏ ‏حَتَّى أَتَى الْمُصَلَّى

“Beliau keluar rumah dengan berpakaian seder­hana (tanpa berhias), tawadhu’ dan khusyu, sam­pan beliau tiba di tempat sholat (tanah lapang).” (HR. Abu Dawud 1165)

  1. Setelah berkumpul di tanah lapang, semuanya melaksanakan sholat dua roka’at seperti sholat hari raga (roka’at pertama bertak­bir sebanyak tujuh kali, roka’at kedua lima kali).

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kelanju­tan hadits di atas:

وَصَلَّ رَكْعَتَيْنِ كَمَا كَانَ يُصَلَِي في الْعِيْدَ

“Dan beliau sholat dua rokaat seperti beliau sholat di hari raya. ” (HR. Abu Dawud 1165)

  1. Selesai melaksanakan sholat, imam berkhutbah, memberikan nasihat kepada kaum mus­limin, serta memperbanyak do’a meminta hujan kepada Alloh Ta’ala

Para ulama kita berbeda pendapat mengenai waktu imam berkhutbah. Ada yang mengatakan setelah sholat, dan ada yang mengatakan sebelum sholat. Penganut pendapat pertama berpegang pada beberapa dalil, di antaranya:

Abdulloh bin Zaid al-Mazini radhiyallahu ‘anhu berkata:

خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ  إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِيْنَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ قَالَ إِسْحَاقُ فِي حَدِيْثِهِ وَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا

“Rosululloh keluar menuju tempat sholat, lalu berdo’a meminta hujan dan membalik selendang­nya ketika menghadap kiblat. Ishaq berkata di dalam haditsnya: Beliau mengawali dengan sholat sebelum berkhotbah, kemudian berdo’a menghadap kiblat” (HR. Ahmad 4141)

Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu berkata:

خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ  يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللهَ

“Pada suatu hari Rosululloh keluar untuk berdoa minta hujan. Beliau sholat dua roka’at bersama kami tanpa adzan dan iqomah, lalu berkhutbah dan berdo’a kepada Allah ….. “ (HR. Ahmad 2/326)

Adapun penganut pendapat kedua, mereka  berdalil dengan hadits Abbad bin Tamim dari pamannya dia berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ  يَسْتَسْقِي فَتَوَجَّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ يَدْعُو وّحَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعتَيْنِ جَهَرَ فِيْهِمَا بِالْقِرَاءَةِ

“Rosululloh keluar untuk berdoa minta hujan. Maka beliau berdoa menghadap kiblat, membalik selendangnya, lalu sholat dua rokaat. Beliau mengeraskan bacaan pada dua rokaat tersebut.” (HR. al-Bukhori 1024 dan Muslim 894)

Kalau kita perhatikan, dua pendapat di  atas masing-masing memiliki dasar atau pegangan dalil. Maka sebagian ulama ada yang menggabungkan keduanya. Mereka mengatakan bahwa waktu berkhotbah perkaranya bebas, boleh. dilakukan sebelum atau sesudah sholat. Semuanya ada contohnya dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

  1. Memperbanyak do’a ketika berkhotbah, meminta dengan sungguh-sungguh kepada Alloh Ta’ala seraya berdiri menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi sambil membalik  selendang. Demikian pula para jama’ah, mereka mengangkat tangan-tangan mereka.

Abdulloh bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ ‏ ‏ ‏ ‏خَرَجَ بِالنَّاسِ يَسْتَسْقِي لَهُمْ فَقَامَ فَدَعَا اللَّهَ قَائِمًا ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَ الْقِبْلَةِ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ فَأُسْقُوا ‏

“Sesungguhnya Nabi keluar bersama manusia memintakan hujan untuk mereka. Maka beliau berdiri, berdo’a kepada Alloh seraya menghadap kiblat, lalu membalik selendangnya, lalu hujan pun turun.” (HR. al-Bukhori 1023)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ ‏ ‏ ‏ ‏لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي ‏ ‏الاِسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ ‏

“Tidaklah Rosululloh bersungguh-sungguh mengangkat kedua tangannya (ketika berdo’a) kecuali ketika berdo’a meminta hujan. Beliau mengangkat tangannya tinggi-tinggi sampai kelihatan putih ketiaknya.” (HR. al-Bukhari 1031 dan Muslim 895)

MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏كَانَ ‏ ‏يَسْتَسْقِي هَكَذَا ‏ ‏يَعْنِي وَمَدَّ يَدَيْهِ وَجَعَلَ بُطُونَهُمَا مِمَّا ‏ ‏يَلِي ‏ ‏اْلأَرْضَ حَتَّى رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبِطَيْهِ ‏

 “Sesungguhnya seperti inilah Rosulullah berdo’a minta hujan, yakni beliau mengangkat kedua tangannya dan menjadikan perut kedua telapak tangannya menghadapi ke tanah (ke bawah).” (HR. Abu Dawud 1171)

Imam Nawawi rahimahullah berkata: Ulama berkata: Setiap do’a yang ditujukan untuk menghilangkan bala’ (musibah), Cara yang sesuai sunnah ialah dengan mengangkat kedua tangan, yaitu menjadikan punggung dua telapak tangan ke arah langit. Namun apabila do’a itu bersifat meminta sesuatu untuk didapatkan. maka (cara yang sesuai sunnah ialah) menjadikan dua telapak tangan menengadah ke langit.

Ulama yang lain berkata : Hikmah di balik menghadapkan punggung telapak tangan ke arah langit ketika minta hujan kepada Alloh ialah untuk menumbuhkan optimisme, yaitu harapan agar keadaan yang ada di balik oleh Alloh sebagaimana di baliknya kedua telapak tangan ketika meminta hujan. Demikian Pula hikmah di balik membalik selendang. (Fathul Bari 3/601)

LAFAZH DO’A ISTISQO’

Di antara do’a yang diajarkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika minta hujan ialah :

‏ ‏اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا ‏ ‏مُغِيثًا ‏ ‏مَرِيئًا ‏ ‏مَرِيعًا ‏ ‏نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ عَاجِلاً غَيْرَ آجِلٍ

“Ya Alloh, turunkanlah hujan kepada kami, hujan yang merata, yang menyenangkan dan menyuburan, yang bermanfaat, tidak membahayakan, yang disegerakan, tidak diundur-undur.” (HR. Abu Dawud 1169)

‏اللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ وَأَحْيِ بَلَدَكَ الْمَيِّتَ

“Ya Alloh, Berilah minum hamba-hamba Mu, bi­natang-binatang ternak-Mu., sebarlah rohmat-Mu dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati. “(HR. Abu Dawud 1176)

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلاَغًا إِلَى حِينٍ

{Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maka Penyayang. Yang menguasai Hari Pembalasan}. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Alloh. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki. Ya Alloh, Engkaulah sembahan yang tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Engkau. Engkaulah Dzat yang Maha kaya dan kami adalah orang-orang yang miskin. Tu­runkanlah hepada kami hujan dan jadihanlah apa yang Engkau turunkan itu sebagai kekuatan buat kami dan mengantarkan kami sampai waktu ter­tentu. (HR. Abu Dawud 1173)

BERDO’A TANPA SHOLAT

Ada cara lain yang dicontohkan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meminta hujan kepada Alloh Ta’ala yaitu berdo’a tanpa disertai sholat Istisqo’. Di antara cara tersebut ialah:

  1. Berdo’a meminta hujan kepada Alloh Ta’ala ketika khutbah Jum’at.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ جُمُعَةٍ وَرَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏قَائِمٌ يَخْطُبُ فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏قَائِمًا ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ اْلأَمْوَالُ وَانْقَطَعْتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُغِيثُنَا فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا …

“Sesungguhnya ada seorang lelaki yang masuk masjid pada hari Jum’at ketika Rosululloh sedang berdiri berkhutbah. Maka lelaki tersebut berdiri menghadap Rosululloh lalu berkata: `Wahai Rosululloh, harta benda telah. binasa dan jalan-jalan telah terputus. Berdo’alah kepada Alloh agar menurunkan hujan kepada kami.’ Lalu Rosululloh mengangkat kedua tangannya ser­aya berdo’a: Ya Alloh, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Alloh, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Alloh, turunkanlah hujan kepada kami….” (HR. al-Bukhori 1014 dan Muslim 897)

  1. Berdo’a minta hujan di luar masjid. Misalnya ketika berada di rumah, kebun, sawah, atau tempat yang lainnya.

أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ ‏‏ ‏يَسْتَسْقِي عِنْدَ ‏ ‏أَحْجَارِ الزَّيْتِ ‏ ‏قَرِيبًا مِنْ ‏ ‏الزَّوْرَاءِ ‏ ‏قَائِمًا يَدْعُو يَسْتَسْقِي رَافِعًا يَدَيْهِ قِبَلَ وَجْهِهِ لاَ يُجَاوِزُ بِهِمَا رَأْسَهُ ‏

Dari Umair, maula bani al-Lahm, sesungguhnya dia melihat Rosululloh berdo’a meminta hujan di samping bebatuan yang seakan berminyak yang terletak di dekat Zauro’ (Hama tempat di Madi­nah). Beliau berdo’a meminta hujan sambil berdiri menganghat kedua tangannya sejajar dengan wa­jahnya, tidak melampaui kepalanya. (HR. Abu Dawud 1168)

YANG DISUNNAHKAN KETIKA HUJAN

  1. Berdo’a

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ‏كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ ‏ ‏اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا ‏

“Sesungguhnya Rosululloh. apabila melihat hu­jan, beliau berdo’a: ‘Ya. Alloh, turunkanlah hujan yang bermanfaat. “‘(HR. al-Bukhori 1032)

  1. Mengeluarkan sebagian anggota tubuhnya agar terkena siraman hujan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata (artinya): “Ketika kami, sedang bersama Rosululloh hujan turun me­nimpa kami. Lalu Rosululloh menyingsinglzan bajunya sehingga terkena hujan. Lalu kami ber­tanya: Wahai Rosululloh., kenapa engkau mela­kukan ini?’Beliau menjawab: ‘Karena air hujan itu baru saja diciptakan oleh Robbnya. “‘(HR. Muslim 898)

22 September 2012

JALAN KELUAR DARI FITNAH

oleh alifbraja

PENGERTIAN FITNAH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
KESYIRIKAN
Seperti firman Alloh didalam QS.AL-BAQOROH : 193 dan AL-BURUJ : 10.
Fitnah dalam surat ini(Al-Buruj:10) ditafsirkan dengan penyiksaan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin,yang bertujuan agar kaum mukminin terkena fitnah (lari) dari agama islam.
COBAAN ATAU UJIAN DARI ALLOH KEPADA HAMBA-NYA DENGAN KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN
Firman Alloh didalam QS.Al-A’rof:155
Contohnya: fitnah antara sahabat yaitu Ali dengan mu’awiyyah, para pasukan perang jamal dan shiffin,dll
PEMBAGIAN FITNAH
IBNU QOYYIM mengatakan bahwa fitnah terbagi menjadi 2 macam yaitu Fitnah Syubhat dan Fitnah Syahwat.
1. Fitnah Syubhat
Fitnah Syubhat disebabkan oleh lemahnya seseorang akan ilmu dan kurangnya pengetahuan agama. Fitnah ini fitnah ini dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran dan kemunafikan serta timbul dari orang-orang munafik dan ahli bid’ah sesuai dengan tingkatan bid’ah mereka. Kunci agar selamat dari fitnah syubhat adalah kita secara murni mengikuti Rosululloh SAW dan menerima segala keputusan Beliau.
Diantara jalan-jalan timbulnya Fitnah Syubhat yaitu :
1.Pemahaman yang salah
2.Pengambilan dalil yang tidak shohih(penukilan dari orang-orang dusta)
3.Kebenaran yang samar-samar(kurangnya ilmu)
4.Niat yang buruk terhadap ISLAM dan mengikuti hawa nafsu

2. Fitnah Syahwat
Ftnah Syahwat berupa nafsu ataupun hal-hal duniawi seperti harta benda,anak,istri,dll. Ftnah Syahwat timbul akibat dari mengedepankan atau mengutamakan hawa nafsu dari akal sehat.
Fitnah syubhat dapat diantipasi dengan keyakinan (kesempurnaan ilmu) sedangkan Fitnah Syahwat dengan kesabaran.
PERINGATAN DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH TERHADAP FITNAH
 QS.AL-ANFAL:25
QS.AL-ANFAL:28
 Dari Abu Hurairah Rosululloh SAW bersabda:” bersegeralah untuk mengerjakan amal sholeh sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan-potongan malam,dimana seorang beriman di waktu pagi kemudian menjadi kafir di sore hari, ataupun seorang beriman di waktu sore kemudian menjadi kafir di pagi hari. Dia menjual agamanya demi kepentingan dunia. (HR.MUSLIM)
BENTUK-BENTUK FITNAH
1. FITNAH PERPECAHAN
2. FITNAH MUSUH-MUSUH ISLAM BERSEKONGKOL DENGAN KAUM MUSLIMIN
3.FITNAH PEMBUNUHAN DAN KEKACAUAN

4.FITNAH MERAJALELANYA ZINA
5.FITNAH HARTA
JALAN KELUAR DARI FITNAH
1.Menyibukkan diri dengan ibadah
2.Menuntut ilmu syar’i
3.Menjahui tempat dan sebab munculnya fitnah
4.Mengembalikan persoalan kepada pemerintah dan ulama

5 Tetap bersatu dalam barisan kaum muslimin diatas manhaj yang haq
6.Menahan diri dari berbicara dan tidak menerima isu-isu yang berkambang
7.Memohon perlindungan kepada Alloh

wassalam

1 September 2012

belajar Islam secara keseluruhan

oleh alifbraja

Tingkatan syariat, tarekat, hakikat dan makrifat
itu adalah idiom-idiom yang biasa digunakan kalangan tasawwuf atau ahli tarekat.
Apa yang mereka ajarakan itu sebagiannya ada yang benar, namun tidak ada jaminan
semuanya benar.

Sebab kalangan ahli taawwuf dan tarikat itu sendiri
ada banyak ragamnya. Dari yang paling bersih hingga yang paling kotor. Paling
bersih maksudnya adalah bersih dari beragam bentuk bid’ah dan syirik. Di mana
semua yang diajarkannya selalu dilandaskan kepada riwayat dan sunnah-sunnah
Rasulullah SAW dan masih konsekuen dengan hukum-hukum syariah.

Namun tidak sedikit di antaranya yang justru sudah
menginjak-injak syariah itu sendiri serta sulit menghindarkan diri dari khurafat,
bid’ah dan fenomena syirik. Bahkan boleh dibilang sudah keluar dari syariah
Islam yang telah ditetapkan oleh para ulama. Sehingga idiom syariah, tarekah,
makrifat dan hakikat itu hanya sekedar pemanis di bibir. Namun pada hakikatnya
tidak lain merupakan sebuah pengingkaran terhadap syariah serta merupakan
penyimpangan dari manhaj salafus shalih.

Kalau syariah diletakkan paling rendah, akan muncul
kesan bahwa demi kepentingan tarekah, makrifat dan hakikat, syariah bisa
dikesampingkan. Dan paham seperti ini berbahaya bahkan sesungguhnya merupakan
bentuk pengingkaran terhadap agama Islam.

Jangan sampai ada anggapan bahwa bila orang sudah
mencapai derajat makrifat apalagi hakikat, lalu dia bebas boleh tidak shalat,
tidak puasa atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat itu sendiri.
Kalau ajaran yang Anda tanyakan itu cenderung berpikiran seperti itu, ketahuliah
anda telah salah dalam memilih ulama. Kalau makrifat dan hakikat boleh menyalahi
syariah, maka ulama yang Anda sebut itu tidak lain adalah syetan yang datang
merusak ajaran Islam.

Sebab Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan
makrifat dan hakikat, beliau hanya meninggalkan Al-Quran dan Sunnah sebagai
pedoman dalam menjalankan syariah. Dan tidaklah seseorang bisa mencapai derajat
makrifah dan hakikah, manakala dia meninggalkan syariah.

Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu ‘alakum
warahmatullahi wabarakatuh

23 Agustus 2012

Petikan Serat Darmogandul

oleh alifbraja

Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal mulanya bagaimana sehingga orang Jawa meninggalkan agama Buddha dan masuk agama Islam?”

Ki Kalamwadi lantas bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang yang tidak tahu bisa mengerti.” Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya negara Majalengka. Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang belum tahu riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah namanya sejak semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya.Waktu itu sang Prabu sedang susah hati. Sang Prabu kawin dengan Putri Campa, padahal Putri Campa tadi beragama Islam. Kalau sedang berkasih-kasihan, ia selalu bercerita kepada sang raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap bertemu selalu memuji agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam.

Sang Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istrinya Putri Cina, anak tersebut lahir di  Palembang dan diberi nama Raden Patah. Menurut aturan leluhur dari ayahandanya yang beragama Jawa Buddha, putra raja yang lahir si gunung, namanya adalah Bambang. Jika menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun jika orang Arab sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta pertimbangan sang Patih, menurut sang Patih maka putra sang Prabu tersebut dinamai Bambang, akan tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah artinya lahir di negara lain, negeri Majalengka.

Pada suatu hari Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya bala. Patih memberi laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung Kertasana. Isi surat memberi tahu bahwa negeri Kertasan sungainya kering. Sungai yang dari Kediri alirannya menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi bunyinya begini, “Disebelah barat laut Kediri, beberapa dusun-dusun rusak. Semua itu terkena sabda ulama dari Arab, namanya Sunan Bonang. Mendengar kata Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah. Patih kemudian diutus ke Kertasana, memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan hasil bumi yang diterjang air bah? Serta diperintahkan memanggil Sunan Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Patih, orang Arab yang di tanah Jawa diusir pergi, karena membuat kerepotan negara, hanya di Demak dan Ampelgading yang boleh melestarikan agamanya. Selain dua tempat diperintahkan kembali ke negerinya. Jika tidak mau pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab Patih, “Gusti ! benar perintah Paduka itu, karena ulama Giripura sudah tiga tahun juga tidak menghadap dan tidak mengirim upetti. Mungkin maksudnya hendak menjadi raja sendiri, tidak merasa makan minum di tanah Jawa. Berarti santri Giri hendak melebihi wibawa Paduka. Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi, Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti. Dalam bahasa Jawa sama dengan kata Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya dimiliki Yang Maha Kuasa, maha melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu Satmata, kecuali hanya Batara Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta.”

Mendengar kata Patih, kemudian Sang Prabu memerintahkan untuk memerangi Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat menanggulangi amukan prajurit Majapahit. Sunan Giri lari ke Bonang, mencari bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan , kemudian perang lagi musuh orang Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk agama Islam, orang-orang pesisir utara sudah beragama Islam. Adapun yang di selatan masih tetap memakai agama Buddha. Sunan Bonang sudah mengakui kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka. Maka kemudian pergi dengan Sunan Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian memanggil Adipati Demak, diajak menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada Adipati Demak, “Ketahuilah, sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur, umurnya sudah seratus tiga tahun”.  Dari penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa, menggantikan tahta raja hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan cara halus, jangan sampai kelihatan.

Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi siapkan senjata perang, nanti kalau semua sudah berkumpul, para sunan dan para bupati dan prajuritnya yang sudah Islam, pasti menurut kepada kamu. Adipati Demak berkata, “Saya takut menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya kecuali kesetiaan. Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuh ayah dan raja, tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Sunan Bonang yang sudah dipuji orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh ayah raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir. Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu, seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu itu sia-sia kepada kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah? Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai ketahuan.  Dalam bathin Sunan Bonang berkata, “Sesaplah darahnya, remuklah tulangnya.”

Singkat cerita, tidak lama kemudian para Sunan dan para Bupati sudah berdatangan semua. Kemudian mereka bermusyawarah untuk memperbesar masjid. Setelah jadi, kemudian mereka melakukan shalat berjamaah di Masjid. Setelah selesai shalat kemudian mereka menutup pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan Bonang, bahwa adipati Demak akan menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus ditaklukkan. Mereka semua terbujuk oleh Sunan Bonang yang sangat piawai berbicara itu. Para sunan dan para Bupati sudah mufakat semua, hanya satu yang tidak sepakat, yaitu Syekh Siti Jenar, Sunan Bonang marah, maka Syekh Siti Jenar dibunuh. Adapun yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Syekh Siti Jenar dipenggal kepalanya hingga tewas. Sebelum Syekh Siti Jenar tewas, ia meninggalkan suara, “Ingat-ingat ulama Giri, kamu tidak kubalas di akhirat, tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa bersama orang tua, saat itulah lehermu akan kupenggal.”

Sang Prabu Brawijaya mendengar laporan Patih sangat terkejut, berdiri mematung seperti tugu. Mengapa putranya dan para ulama datang hendak merusak negara. Sang patih juga tidak habis mengerti, karena tidak masuk akal orang diberi kebaikan kok membalas kejahatan. Semestinya mereka membalas kebaikan juga, Ki patih tak habis berpikir.Singkat cerita, setelah pasukan Majapahit dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah yang juga Putra Prabu Brawijaya, para ulama dan para bupati, kemudian perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian berhenti dipinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang dihadapannya hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.

Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil ketemu dengan sang Prabu diperjalanan, lalu Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada apa ? Apa perlunya mengikuti aku ?” Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus paduka untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada paduka di manapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya sampai lancang berani merebut tahta paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah para bupati. Sang Prabu Brawijaya bersabda, “Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi tidak aku gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini.”

Setelah mendengar sabda Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa bersalah karena ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku akan beri tahu tingkah Si Raden Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Sunan Kalijaga sangat prihatin, ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang islam tertumpas dalam peperangan. Mendengar kemarahan sang Prabu yang tak tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata kerisnya dengan berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa menjijikan ini. Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkan Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air”.

Sunan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka memperlakukan sia-sia kepada paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namun lebih baik jika paduka berkenan berganti syariat Rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah, toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.

Akhirnya, setelah Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah agama Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam Lahir bathin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir bathin, maka rambutnya bisa dipotong. Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu berdua kuberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Buddha.

Lalu Sado Palon berkata sedih, “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Hamba jika tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka kelak, kata Wikuutama disambut halilintar bersahutan. Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi Randanunut, dan (3) padi Mriyi.

Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulallah dan nama Allah yang sejati!”

Sabdo Palon berkata sedih, “Paduka masuklah sendiri, hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak hukum, menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang Maha Lebih. Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak. Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”.

Sang prabu berkata,”Aku akan muksa dengan ragaku”. Sabdo Palon tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad.

Sang Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa”.

Sabdo Palon berkata, “Akhirat, surga, sudah paduka bawa kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana, nanti tersesat lho! Bila mau hamba ingatkan jangan sampai paduka mendapatkan kemelaratan seperti pengadilan negara. Jika salah menjawab tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng artinya berat sekali, Enggi artinya kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak celaka! Paduka jangan sampai pulang akhirat, jangan sampai masuk surga, malah tersesat, banyak binatang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya bekerja dengan paksaan, paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Saya tidak tahan dekat apalagi paduka, Kandjeng Nabi musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah, maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya yang meliputi semua mahluk. Paduka bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya berasal dari nutfah menghadap Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang baru tidak bolak-balik, itulah hidup-mati.”

Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan yang Sejati?”. Sabdo Palon berkata, “Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya, paduka wujud sifat suksma, sejatinya tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini”.

“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?” Sabdo Palon berkata sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon!”

“Bagimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi dan langit.”

“Iya sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan, kata Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya.Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo Palon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata Putri Campa, yang mengatakan bahwa agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir. Saddo Palon berkata sambil meludah, ” Sejak jaman kuno,bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya wadah, tidak berwewenang memulai kehendak”. Sabdo Palon banyak-banyak mencaci kepada Sang Prabu. Sabdo Palon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan kemana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.

Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong, tetapi dua orang tadi kemudian musnah.Sang Prabu menyesal dan meneteskan air matanya, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besok negara Blambangan gantilah dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdo Palon ke Tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam gaib. Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan bubarkan orang sekerejaan hanya dengan karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancurannya tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu wali delapan atau sunan delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak, mereka semua memberontak dengan licik.

 

Ramalan Sabdo Palon & Noyo Genggong

1.Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong.

2.Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.”

3.Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.

4.Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.

5.Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

6.Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

7.Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

8.Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

9.Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10.Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal.

11.Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia.

12.Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.

13.Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

14.Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.

15.Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia.

16.Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi.

22 Agustus 2012

WALI SONGO DAN FAHAM AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH

oleh alifbraja

 

A. WALI SONGO DAN ISLAM DI INDONESIA
Walisongo atau Walisango dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanahJawa pada abad 15 – 16.Mereka tinggal ditiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya, Gresik, Lamongan (Jatim), Demak, Kudus, Muria (Jateng) dan CirebonJawa Barat.

 

Era Walisongo adalah era berahirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan bentuk akulturasi-asimilasi kebudayaan Islam-Nusantara. Mereka adalah simbol penyebaran Islam Indonesia khususnya Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang berperan, namun mereka yang sangat berperan besar dalam mendirikan kerajaan dan peradaban di Jawa dan Nusantara pada umumnya. Pengaruhnya terhadap kebudayaan dan peradaban masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung yang seiring dengan kebutuhan pada pencerahan masyarakat pada masa itu, membuat para Walisongo lebih banyak disebut dan dikenal dibanding yang lainnya.

 

Walisongo Sebagai Pembawa Rahmat Nusantara
Para walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Nusantara terutama Jawa mulai dari bidang pendidikan, kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan hingga kepemerintahan.

 

Apa yang telah diukir Walisongo di Nusantara merupakan hasil sejarah. Sejarah bukanlah penggalan waktu yang diam. Sejarah merupakan rangkaian waktu yang saling mempengaruhi. Masa kini dipengaruhi masa lalu, sedangkan masa depan dipengaruhi masa kini dan masa lalu. Islam bisa besar saat ini, tentu karena perjuangan panjang di masa lalu. Islam juga akan tetap besar di masa mendatang, jika mulai sekarang kita torehkan tinta emas. Ingat..! Sejarah yang bernilai adalah sejarah yang menjadi mata air generasi, tak akan lapuk oleh waktu dan tak akan usang oleh zaman. Nah, sebagai proses menumbuhkan kesadaran bersejarah, mari kita menengok sebentar sejarah dan pola penyebaran Islam di Nusantara oleh Para Walisongo.
  1. Masuknya Islam ke Indonesia
Dalam litelatur sejarah, proses penyebaran Islam di Nusantara berbeda dengan kawasan-kawasan lainnya, seperti Timur Tengah, Afrika, Eropa, dsb. Yang banyak diwarnai oleh kekerasan dan bahkan peperangan yang silih berganti dan berkepanjangan. Proses penyebaran Islam di Nusantara berlangsung dengan damai dan sukarela.

 

Para Mubalighin (Walisongo) yang mula-mula sebagian besar mrangkap sebagai pedagang, menyampaikan Islam dengan penuh keramahan, kedamaian dan kebijaksanaan, kemudian diterima oleh penduduk kawasan ini dengan sukarela, tanpa perlawanan – apalagi kekerasan. Mungkin hal ini disebabkan karena mereka tidak mempunyai kepentingan untuk menolak agama baru ini, bahkan cenderung berkepentingan menerimanya untuk meningkatkan kualitas diri mereka sebagai manusia.
Kedamaian dan kesukarelaan ini yang menyebabkan Islam yang berkembang di Indonesia menemukan wajahnya kembali secara utuh sebagai agama Rahmatan Lil ’Alamin, sebagaimana firman Allah SWT :

 

Sungguh, Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) , kecuali sebagai rahmat (cinta kasih) bagi seluruh alam”. (Q. Al-Anbiya’. 107).

 

Rosulullah pernah bersabda :

 

المسلم من سلم الناس من يده ولسانه

 

Seorang muslim (yang baik) adalah orang yang orang lain selamat dari (kerugian yang timbul karena) tangannya (perbuatan) dan lisannya (kata-katanya)”.

 

Dalam sejarah Indonesia, tidak pernah terjadi peperangan yang benar-benar karena agama. Kalau toh terjadi tindak kekerasan antar pemeluk agama yang berbeda, biasanya karena sebab-sebab di luar agama (yang kemudian diagamakan).

 

Islam yang Rahmatan Lil ’Alamin inilah yang merata dianut oleh kaum muslimin Indonesia sejak awal, berabad-abad yang lalu. Sampai sekarang, pada dasarnya kaum muslimin Indonesia berwatak seperti itu. Kalau ada penyimpangan, maka hal itu hanyalah bersifat sementara karena adanya semacam gangguan sporadis.
  1. Pola Penyebaran Islam di Indonesia.
Penerimaan Islam di Indonesia yang bernuansa damai ini disebabkan pola dan pendekatan para penyebarnya (Walisongo). Berbicara pola penyebaran Islam oleh Walisongo, ada beberapa bentuk yang dapat diketahui, sebagaimana berikut :

 

  1. Pola Ekonomi
Dilihat dari awalnya, para pedagang muslim hanya memiliki misi ekonomi. Namun, setelah melihat Indonesia yang belum tersentuh ajaran Islam, para pedagang muslim ini terpanggil untuk berdakwah. Satu persatu masyarakat pribumi tertarik Islam. Sehingga, dalam waktu yang relatif singkat kawasan pesisir menjadi pusat perdagangan yang berbasis muslim. Hal ini, dapat diterima dan berkembang dikarenakan :

 

    • Ajaran Islam sangat luwes, sehingga dapat diterapkan pada semua kebutuhan dan kondisi.
    • Ajaran Islam sejalan dengan semangat perdagangan.
    • Islam menjadi wadah baru yang mempersatukan perniagaan mereka (komunitas perdagangan).
  1. Pola Sosiologis.

 

Pola pendekatan sosiologis ini bisa dilihat dari proses sosialisasi para mubalig yang notabene adalah pedagang. Para mubalig ini, memilih pendekatan secara emosional dengan penduduk pribumi dengan lewat pernikahan, anjangsana dan penabiban serta membangun komunitas (perkampungan) . Lewat jalur inilah yang dinilai sangat berhasil karena merupakan pola pendekatan yang sangat kompromistik, humanis dan jauh dari konflik dan pertikaian.

 

  1. Pola Budaya

 

Pada masa-masa awal penyebaran Islam, seni merupakan salah satu media yang cukup efektif dalam berdakwah. Alasan penggunaan seni sebagai media dakwah diantaranya :

 

    • Kesenian sudah mengakar di masyarakat tanpa mengenal status sosial, sehingga Islam menjadi lebih akrab dalam keseharian masyarakat.
    • Bahasa seni merupakan bahasa yang simpel dan fleksibel (luas-luwes), sehingga dakwah mudah dicerna oleh masyarakat.
    • Masyarakat tidak tercerabut dari akar budayanya, sehingga Islam diterima dengan terbuka karena ajaran Islam dirasakan akomodatif, toleran dan cocok terhadap adat istiadat yang sudah mengakar di masyarakat.

 

  1. Kontribusi Walisongo

 

Para Walisongo melakukan dakwahnya dengan sangat tekun dan berwawasan Rohmatan Lil ’Alamin, sehingga mereka mampu memahami kondisi sosial dan kultur masyarakat Nusantara. Dibawah ini adalah beberapa bentuk budaya lama yang diakomodasi oleh para wali sebagai khazanah budaya yang agung dan luhur untuk dilestarikan dan sebagai bahan perenungan kita bersama, misalnya :
  1. Pembakaran kemenyan yang semula menjadi sarana dalam upacara penyembahan para dewa tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga. Namun, fungsinya hanya sebatas sebagai pengharum ruangan ketika seorang muslim berdo’a dengan harapan do’a dapat dilaksanakan dengan lebih khusu’.
  2. Dalam bidang aqidah, Sunan Kudus melarang penyembelihan lembu bagi masyarakat muslim di Kudus. Larangan ini sebagai bentuk toleransi terhadap adat istiadat serta watak masyarakat setempat yang sebelumnya menganut agama hindu. Dalam keyakinan Hindu, lembu termasuk binatang yang dikramatkan.
  3. Dalam bidang seni bangunan, para wali mengadopsi bentuk atap masjid yang tersusun tiga, yang merupakan peninggalan tradisi hindu. Namun, para wali memberi pemaknaan baru terhadap bentuk atap tersebut sebagai simbolisasi iman, islam dan ihsan.
  4. Para Walisongo menghargai, menghormati dan bahkan melestarikan seni-budaya dengan tetap memasukkan unsur-unsur ajaran Islam sebagai nilai dan nafasnya., Semisal wayang oleh Sunan Kalijaga dan para wali lainnya menciptakan gamelan dan gending-gending jawa.
  5. Dalam bidang pendampingan dan pemberdayaan masyarakat bawah, semisal kursus-kursus bagi para pedagang, nelayan dan masyarakat kecil lainnya dilakukan oleh Sunan Muria. Dll. Wallahu A’lam Bisshowab.
  1. FAHAM ISLAM AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH DAN HALUAN BERMADHAB
Islam adalah agama Allah SWT, yang diwahyukan (disampaikan sebagai wahyu) kepada Nabi Muhammad Rasulallah SAW kemudian diteruskan kepada para Sahabat, dengan dua perwujudan: Al-Quran dan Al-Hadist. Sahabat adalah generasi pertama penganut Islam yang menerima ajaran, bimbingan, dan pengawasan melaksanakan ajaran-ajaran tersebut – langsung dari Rasulallah SAW bersama para Sahabat, sebagaimana disebut dalam sebuah hadist:
مَا اَنَا عَلَيْهِ وَ اَصْحَابِ
Apa yang aku bersama para sahabatku berada diatasnya”
(atau dengan kata lain : ajaran dan pengamalan Sahabatnya) adalah yang paling sempurna. Maa Ana ’Alaihi Wa Ash-habii itulah ajaran Assunah Wal Jama’ah, yang para penganutnya disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Jelas, bahwa para Sahabat adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian, bagaimana kaum muslimin sesudah zaman Sahabat yang tidak berada pada zaman maa ana ’alaihi wa ash-habii?. Menganai hal ini, kita kembali kepada dasar keyakinan (keimanan) kita bahwa Islam adalah agama yang sempurna, benar dan lengkap. Segala hal diatur oleh Islam, meskipun tidak selalu rinci dan kaku. Bahkan kesempurnaan Islam terletak pada keluwesannya, kelenturannya mengatur segala sesuatu :
  1. ada yang diatur dengan ketat dan rinci
  2. ada yang diatur dengan longgar dan lentur, dengan kadar kelenturan dan kelonggaran yang berbeda.
Umumnya, hal –hal yang bersifat ibadah mahdlah (ritual) diatur secara ketat dan rinci, sedang hal-hal yang bersifat mu’amalah (sosial) diatur secara lentur – sekali lagi dengan kadar ketaatan dan kelenturan yang berbeda.
Islam pada era Rasulallah SAW dan para Sahabat, ana ’alaihi wa ash-habii itu adalah Islam yang standar, yang baku. Tetapi karena Islam itu untuk seluruh umat manusia dan untuk sepanjang zaman, maka yang standart, yang baku itu, sebagian harus dapat dikembangkan secara terkendali supaya tidak kehilangan standar, tidak kehilangan kebakuan.
Tentu pengembangan secara terkendali itu sangat tidak mudah, memerlukan persayaratan yang berat, baik mengenai pelaku pengembangannya maupun proses, prosedur dan metode yang dipergunakan. Pengembangan terkendali itulah yang lazim disebut dengan istilah ijtihad, pegerahan daya-fikir untuk menemukan pendapat agama tentang hal-hal baru yang tidak disebut secara jelas dan tegas (sharih) di dalam Al-Quran dan Al-Hadist, tetapi tetap selalu pada garis ajaran Al-Quran dan Al-Hadist.
Rasulallah SAW pernah menguji Sahabat Mu’adz bin Jabal RA, ketika akan diutus ke Yaman untuk mengajar umat Islam di sana.
Berdasarkan apa, ajaran yang akan anda sampaikan?”
berdasarkan kitabullah” jawab Sahabat Mu’adz.
kalau anda tidak menemukan dasarnya dikitabullah?”
dengan dasar Sunnatu Rasulillah”
kalau anda tidak menemukan dasarnya di Sunnah Rasulillah?”
saya akan berijtihad dengan pikiranku”.
Rosulullah SAW membenarkan jawaban-jawaban Sahabat Mu’ad tersebut. Ingat, yang dibenarkan ijtihad adalah tokoh yang setingkat sahabat Mu’ad, tidak sembanrangan orang. Memang, ijtihad adalah satu-satunya pintu pengembangan ajaran Islam, tetapi tidak semua orang mampu melewatinya.
Sejak zaman Sahabat sampe pada Tabi’in dan Tabi’uttabi’ian banyak muncul tokoh-tokoh yang mampu berijtihad, meskipun tingkat ijtihad mereka berbeda-beda. Ada yang mampu berijtihad mengenahi satu dua masalah saja, ada yang mampu berijtihad untuk merinci hasil ijtihad tokoh lain, ada yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang diciptakan oleh mujtahid lain,dsb.
Yang tertinggi tingkatnya diantaranya para mujtahid itu adalah tokoh mujtahid yang mampu berijtihad dengan menggunakan metode dan prosedur yang diciptakan (dirumuskan) sendiri. Mujtahid setingkat ini, lazim disebut dengan istilah Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Mujtahid setingkat ini tidak banyak jumlahnya. Yang paling terkenal karena metode ijtihadnya dan hasil-hasilnya dicatat dengan baik oleh para murid dan pengikutnya adalah Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan Hambali – meskipun mujtahid mutlaq tidak hanya empat Imam tersebut. Banyak tokoh-tokoh lain yng setingkat, tetapi tidak seterkenall mereka karena methode dan hasil-hasil iktihadnya tidak setertib yang empat itu dicatat oleh para murid dan pengikutnya.
Para Mujtahid Mutlaq Mustaqil itulah yang disebut Pendiri Madhab, yang artinya juga yang merumuskan ”metode” memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mengambil kesimpulan (istinbath) dari keduanya. Sebagai perwujudan sikap hati-hati (ihtiath) Pesantren mayoritas yang ada di Nusantara (Pesantren Nahdlatul Ulama’) sebagai representasi generasi Walisongo memilih salah satu dari empat madzhab yang dibangun oleh Imam Madzhab tersebut.
Bermadzhab dalam arti mengikuti metode pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk mendapat kesimpulan pendapat (istinbath) adalah satu-satunya kendali di dalam pengembangan ajaran Islam yang baku dan standart tersebut supaya hasil ijtihadnya dapat menjadikan Islam sebagai agama untuk seluruh umat manusia sepanjang zaman, tanpa menyimpang dari garis standart itu.
Bermadzhab yang semula berarti mengkuti metode ijtihad itu berkembang berarti juga mengikuti hasil-hasil ijtihad tokoh Mujtahid tertentu. Dalam konteks ini, maka muncul istilah yang dikenal dengan ”Bermadzhab Manhaji” dengan arti mengikuti metode ijtihad dalam istinbath hukum, dan istilah ”Madzhab Qouli” dalam arti mengikuti qoul (pendapat) atau hasil ijtihad untuk refrentif istinbath selanjutnya.
Sesungguhnya setiap orang itu bermadzhab, baik manhaji maupun qouli, menurut kemampuannya masing-masing. Kalau tidak bermadzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi atau Hambali, mungkin bermadzhab Wahabi, Moh Abduh, Fadlur Rohman atau lain-lain.
Barangkali, betapa mustahilnya kalau seseorang akan melakukan sholat, harus membuka dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang bagaimana niat, adab, tata cara sholat dsb. Yang praktis (mungkin dilaksanakan) adalah bersholat dengan mengikuti rumusan tata cara sholat yang termaktub dalam kitab/ buku. Kebanyakan penyusun buku petunjuk sholat inipun belum sampai ke tingkat mujtahid – dia hanya m mengikuti pendapat guru-gurunya atau kiai-kiainya.
Bermadzhab dengan baik adalah sesuatu yang alami, yang thabi’i, yang wajar dilakukan oleh semua orang. Bermadzhab bukan martabat yang rendah. Bermadzhab tidak selalu harus dipertentangkan dengan berijtihad. Dua-duanya berangkai dengan proporsional.
Faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Islam yang standar yang harus dikembangkan untuk menjadi panutan manusia di mana saja dan kapan saja. Pintu mengembangkan itu adalah Ijtihad yang terkendali dan kendali itu adalah Haluan Bermadzhab.
Mayoritas Ulama, Indonesia berpendirian bahwa Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah harus diterapkan dalam tatanan kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter sebagaimana berikut ini :
  1. Sikap Tawassuth dan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Dengan sikap dasar ini Pesantren dan Ulama’nya akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
  1. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
  1. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmat, menyerasikan kepada Allah SWT, khidmat kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidup. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.
  1. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna dan bermanfa’at bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Sikap- sikap dasar (tawasuth, i’tidal, tawazun dan tasamuh) serta dorongan amar ma’ruf nahi mungkar sebagai bentuk kepekaan sosial ini dirasa sangat penting bagi Pesantren dan Ulama’nya sebagai pewaris Walisongo. Sikap ini bersumber dari ajaran Islam dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia pada umumnya. Wallahu A’lam Bissowab.
  1. BID’AH DALAM PANDANGAN ULAMA’
Diskursus bid’ah seakan-akan menjadi momok dalam sepanjang sejarah Islam yang dimulai dari adanya firqoh-firqoh dalam Islam sampai sekarang ini. Sehingga perkembangan keberagamaan belakangan ini masih menunjukkan begitu tingginya tensi tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu dengan dalih bahwa kelompok yang tidak sepaham dengannya adalah agen pelaku bid’ah, sehingga mereka tersesat dan berhak masuk neraka. Sementara yang lain juga menuding justru kelompok lainlah yang mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apa sebetulnya bid’ah itu? Dan apakah benar bid’ah itu selalu berkonotasi negatif, sehingga harus dihilangkan dari muka bumi ini?.
Menurut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam, bid’ah adalah :
البدعة فعل مالم يعهد فى عصر رسول الله صلى الله عليه و سلم (قواعد الاحكام فى مصالح الانام .ج ص )
Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rosulullah SAW”. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II hal. 172).
Dalam khazanah pemahaman literatur fiqih, bid’ah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayi’ah (jelek). Lebih lanjut Al-Imam Abu Muhammad Izzuddin bin Abdissalam secara terperinci menjelaskan bahwa sebagian besar Ulam’ membagi bid’ah menjadi lima macam, yaitu :
  1. Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’, seperti mempelajari ilmu Nahwu, Shorof dan Balagoh. Sebab, hanya dengan mempelajari ilmu-imlu inilah seseorang dapat memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits secara sempurna.
  2. Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tidak pernah dilakukan pada masa Rosulullah SAW. Misalnya sholat tarawih secara berjama’ah, mendirikan pesantren dan madrasah.
  3. Bid’ah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah sholat dan makan-makanan yang lezat.
  4. Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’.
  5. Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan. (Qowa’id Al-Ahkam Fi Masholih Al-An’am, Juz II. Hal. 173).
Sedangkan secara garis besar , Ulama’ membagi bid’ah menjadi dua bagian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i :
المحدثات ضربان ما احدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهده بدعة الضلال و ما أحدث من الخير لايخالف شيأ من ذلك فهى محدثة غير مدمومة (فتح البارى,ج. ص )
Susuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, atsar Sahabat atau ijma’ Ulama’. Semacam ini dinamakan Bid’ah Dlalallah (sesat). Kedua, Jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan dan tidak menyalahi sedikitpun dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Atsar Sahabat dan Ijma’ para Ulama’ maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak sest (Bid’ah Hasanah). (Fathul Al-Bari’, Juz XVII, h. 10).
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua bagian. Yaitu : pertama , Bid’ah Hasanah, yakni bid’ah yang tidak terlarang dalam agama, karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah dan bid’ah mubahah. Dalam konteks inilah fatwa Sayyidina Umar bin Khotob ra. Tentang jama’ah sholat tarawih yang beliau laksanakan :
نعمة البدعة هذه. (تاموطأ, رقم 231)
Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (yakni sholat tarawih dengan berjama’ah)”. (Al-Muwaththa’, h. 231)
Selain fatwa Syyidina Umar tentang sholat tarawih berjama’ah yang termasuk sebagai kategori bid’ah khasanah adalah khutbah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia , membuka sesuatu acara dimulai dengan membaca basmalah dibawah seorang komando, menambah bacaan Subhanallahu Wata’ala yang disingkat dengan SWT setiap ada kalimat Allah, dan Sholallahu ’Alaihi Wassallam yang disingkat SAW setiap ada kata Muhammad serta bentuk perbuatan lain yang belum pernah ada pada masa Rosulullah SAW, namun tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Kedua, Bid’ah Sayyiah (Bid’ah Dlolalah), yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah Muharromah dan Makruhah dapat digolongkan pada bagian kedua ini. Inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
عن عائسة رضي الله عنها قالت ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من عمل عملا ليس عليه امرنا فهورد. (صحيح مسلم, رقم 243)
Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rosulullah Saw bersabda : ”Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tida perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak”. (Shohih Muslim, h. 243).
Dengan pembagian ini, dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang agama. Sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan sendi-sendi agama Islam. Sedangkan amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang. Bahkan untuk saat ini sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman yang makin kompleks, sehingga agama Islam akan relevan disetiap waktu dan tempat. Meminjam istilah Gus Dur ”Islam dapat membumi” tidak melangit, sehingga Islam tidak ditinggalkan oleh umatnya. Wallahu A’lam Bisshowab.
  1. PENERAPAN HUKUM FIQIH DALAM KONTEKS KE-INDONESIAAN
Muslim Indonesia dilihat dari latar sejarah dan latar budayanya berbeda jauh dengan Mslam ala Timur Tengah dan lainnya. Muslim-Indonesia hidup bersama dalam bingkai pluralitas atau kemajemukan yang penuh menjunjung tinggi toleransi dan kebhenekaan dalam payung Pancasila. Tatanan hukumnya juga berdasarkan pada hukum yang berdasarkan asas Pancasila dan UUD 45. Dalam konteks ini, Muslim Indonesia menerapkan dan mengikuti sistem hukum ganda. Dalam tatanan hukum pemerintahan mengikuti tatanan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai wujud keta’atan warga negara yang nasionalis dan patriotis yang ta’at pada hukum sebagai manifestasi jihah wathoniyah (ta’at li ulil ’amri), sedangkan dalam tatanan hukum agama, Muslim Indonesia mengikuti tatanan hukum syari’ah sebagaimana haluan madzhab yang diikutinya.
Dengan demikian, setiap muslim mukallaf (baligh dan berakal) dituntut untuk melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Namun, kita sadari bahwa setiap masing-masing orang mempunyai kekuatan dan kelemahan baik fisik maupun keimanannya, bagaimanakah penerapan hukum agama melihat kenyataan seperti itu?
وكما لايجوز لنا الطعن فيما جاءت به الأنبياء مع اختلاف شرائعهم فكذلك لايجوز الطعن فيما إستنبطه الائمة المجتهدون بطريق الاجتهاد والاستحسان ويوضح لك ذلك أن تعلم ياأخى أن شريعة جاءت من حيث الأمر والنهى على مرتبتى تحفيف وتشديد لاعلى مرتبة واحدة كما سيأتى إيضاحه فى الميزان فإن جميع المكلفين لايخرجون عن القسمين: قوى وضعيف من حيث ايمانه اوجسمه فى كل عصر وزمان. فمن قوى منهم خوطب بالتشديد والاخذ بالعزائم ومن ضعف منهم خوطب بالتخفبف والاخذ بالرخص (الميزان الكبر ص 3)
Sebagaimana tidak diperbolehkan mencela perbedaan diantara syari’at-ayari’at yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak diperbolehkan mencela pendapat-pendapat yang dicetuskan para Imam Mujtahid, baik dengan metode ijtihad maupun ihtihsan, Saudaraku !! lebih jelasnya engkau perlu mengerti, bahwa syari’at itu dilihat dari perintah dan larangannya dikembalikan pada dua kategori yaitu ringan dan berat. Lebih jelasnya hal itu dicantumkan dalam Al-Mizan. Dengan demikian orang-orang mukallaf itu dipandang dari segi keimanan dan fisiknya, dalam setiap zamannya, tidak terlepas dari dua kategori, yaitu orang yang lemah dan kuat. Dan barangsiapa tergolong kuat, maka ia mendapatkan khitob berupa qaul yang galak (berat), sedangkan bagi yang tergolong lemah, maka ia mendapatkan khitoh berupa qaul yang gampil (ringan). (Al-Mizanul Al-Kubro, h. 3).
Penerapan hukum yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi semacam ini, akan mencerminkan penerapan hukum yang memberikan solusi problem umat dan berwawasan rahmatan lil alamin sebagai bentuk manifestasi “perbedaan Ulama’ adalah rahmat”. Wallahu A’lam Bisshowab.
9 Agustus 2012

Kenabian Pamungkas dan Syariat Islam

oleh alifbraja

Pertanyaan mendasar yang juga dapat dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah, mengapa kenabian dan syariat berakhir dengan agama Islam? Dengan kata lain, apa filsafat dan rahasia dari khâtamiyyah?

Filsafat dan rahasia khâtamiyyah berada pada kesempurnaan agama dan syariat Islam; yakni syariat Islam merupakan puncak dari suatu rentetan syariat yang turun dari sisi Tuhan. Secara teoritis, sistem syariat Ilahi akan mencapai suatu titik akhir dimana paling sempurnanya ushul, parameter, dan prinsip wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia telah tersusun dan tertetapkan. Dan perkara ini adalah mungkin (possible) serta tidak diragukan perealisasiannya berada dalam cakupan ilmu dan kudrat Ilahi. Di samping itu, dalil-dalil khatamiyyah juga menguatkan atas asumsi dan teori ini. Oleh karena itu, sebagai natijahnya filsafat dan rahasia khatamiyyah adalah kesempurnaan syariat.

Sebelumnya kami telah jelaskan makna dari khâtamiyyah baik secara semantik maupun secara istilah. Di samping itu kami juga telah paparkan beberapa pertanyaan dan isykal mendasar terhadap konsep dan teori ini beserta jawabannya. Sekarang beberapa pembahasan urgen lainnya di seputar tema khatâmiyyah kenabian dan syariat Islam ini akan coba kami paparkan sebagai kelanjutan dari  tulisan sebelumnya. 

Hikmah Khatamiyyah

Pertanyaan mendasar yang juga dapat dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah, mengapa kenabian dan syariat berakhir dengan agama Islam? Dengan kata lain, apa filsafat dan rahasia dari khâtamiyyah?

Filsafat dan rahasia khâtamiyyah berada pada kesempurnaan agama dan syariat Islam; yakni syariat Islam merupakan puncak dari suatu rentetan syariat yang turun dari sisi Tuhan. Secara teoritis, sistem syariat Ilahi akan mencapai suatu titik akhir dimana paling sempurnanya ushul, parameter, dan prinsip wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia telah tersusun dan tertetapkan. Dan perkara ini adalah mungkin (possible) serta tidak diragukan perealisasiannya berada dalam cakupan ilmu dan kudrat Ilahi. Di samping itu, dalil-dalil khatamiyyah juga menguatkan atas asumsi dan teori ini. Oleh karena itu, sebagai natijahnya filsafat dan rahasia khatamiyyah adalah kesempurnaan syariat.

Berdasarkan ini, sebagian ulama (khususnya ulama Irfan) dalam mendefinisikan khâtam (baca; khâtim) mengatakan, khâtam, yakni nabi khâtam adalah nabi yang melewati seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu tingkatan pun yang tidak dilewatinya sehingga dengan perantaraan orang lain jalan itu akan terlewati, dan dia juga mengajarkan kepada manusia jalan dan cara melewatinya.[1] Dalam definisi ini tidak hanya dijelaskan bahwa khâtamiyyah adalah tidak akan datang lagi nabi dan syariat sesudahnya (sesudah nabi akhir Rasulullah Saw), tetapi juga disebutkan ‘sebab’ mengapa tidak akan datang lagi nabi pemilik syariat baru. Menurut Syahid Muthahari, jika yang akan diberitakan kepada manusia tidak tersisa lagi, tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati semua, yakni seluruh tingkatan dalam bagian ini sudah mencapai final maka dengan sendirinya nubuwwah juga mencapai puncak dan akhirnya.[2]

Oleh karena itu, ‘sebab’ mengapa khatamiyyah tidak terjadi di awal pengutusan para nabi serta mengapa ia terjadi di zaman Rasulullah Saw, jawabannya dapat dianalisa dari dua dimensi. Pertama, berhubungan dengan pembawa syariat dan penerima wahyu dari sisi Tuhan; yakni para nabi As dan kedua, berhubungan dengan masyarkat yang menerima wahyu dan syariat; yakni manusia secara umum. Kedua dimensi tersebut memestikan prinsip kebertahapan dalam kesempurnaan; yakni mesti mukaddimah dan tahap demi tahap terlewati sampai tersedia syarat-syarat yang layak bagi diturunkan dan disampaikannya syariat akhir -dimana ia adalah paling sempurnanya kitab syariat Ilahi bagi masyarakat manusia-. Meskipun akal dan pengetahuan manusia yang terbatas tidak dapat mempersepsi seluruh dimensi dari masalah ini, tetapi apa yang sudah diungkapkan sebagai analisa dan penjelasan global terhadapnya, menurut akal, pengetahuan, dan pengalaman manusia, dapat diterima secara baik. Yakni meskipun kita tidak sanggup mengutarakan analisa rasional kesempurnaan syariat secara detail dan dalam seluruh makrifat-makrifat serta hukum-hukumnya; tetapi kita tetap dapat memaparkan berbagai  analisa dan kajian dari sebagian prinsip-prinsip syariat Islami dalam aspek akidah dan amal sehingga filsafat dan rahasia khatamiyyah menjadi lebih jelas.[3]

Monoteisme Qur’ani

Salah satu inti dakwah para nabi As adalah tauhid. Akan tetapi tauhid yang al-Qur’an tampilkan dan jelaskan, kendatipun dalam bentuk penjelasan dan tafsiran yang simpel, mengandung penafsiran dan pemahaman yang sangat tinggi dan dalam. Tauhid Qur’ani mengandung seluruh tingkatan-tingkatan tauhid (tauhid dzat, sifat, penciptaan, pengaturan, dan ibadah) dan memandang bahwa sumber semua itu adalah ke-basith-an dzat suci Tuhan dan ketakterbatasan kesempurnaan-Nya. Yakni ketunggalan Tuhan bukan dari jenis kesatuan angka, komprehensi, dan mahiyah; akan tetapi Tuhan adalah eksistensi murni dan tidak ada jalan sedikitpun bagi keterbatasan mahiyah dan kefakiran esensial kepada-Nya.

Sebagai bukti dari klaim ini adalah, al-Qur’an sesudah menjelaskan keesaan Tuhan, dia lantas menyebutkan sifat Qahhariyyat-Nya; yakni Tuhan sama sekali tidak memiliki keterbatasan serta tidak maqhûr (terkalahkan) sedikitpun dari batasan dan faqr wujudi (kefakiran eksistensial).[4] Oleh karena itu, menurut al-Qur’an, Tuhan adalah eksistensi murni dan kesempurnaan tidak terbatas. Berasaskan ini, asumsi dualisme atau politeisme merupakan asumsi yang mustahil (kontradiksi dengan monoteisme); sebab asumsi ini memestikan setiap dari keduanya memiliki keterbatasan eksistensial dan keberangkapan dari dimensi keberadaan dan ketiadaan; sementara selain dari ini, tidak mungkin dikonsepsi bentuk lain dari keberadaan dualisme dan politeisme. Natijah dari ini, asumsi ke-bashit-an dzat dengan keberangkapan dzat adalah saling kontradiksi dan tidak sesuai (sementara pembuktian tauhid memiliki burhan yang kokoh dan kebenarannya tidak tergoyahkan).

Oleh karena itu, gambaran tentang tauhid tidak dapat diperoleh dari ajaran agama lain dan tidak dapat diasumsikan lebih sempurna dan lebih tinggi sebagaimana yang dikandung dan dijelaskan oleh al-Qur’an.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari imam Zainul Abidin yang menegaskan bahwa tauhid Qur’ani memiliki kandungan yang sangat dalam dimana hanya sesuai dengan starata pemikiran dan akal manusia dalam priode akhir sejarah manusia. Dalam hadits tersebut disebutkan, karena Tuhan mengetahui di akhir zaman akan datang manusia-manusia yang mempunyai kedalaman pandangan dan pemikiran maka Tuhan menurunkan surah Tauhid dan ayat-ayat awal surah Hadid. Jika seseorang menginginkan beranjak lebih tinggi dari tingkatan makrifat ketuhanan dari ini maka dia akan hancur;[5]sebab lebih tinggi dari ini, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, akan berakhir pada kontradiksi.

Eskatalogi Qur’ani

Pengajaran al-Qur’an dalam masalah eskatalogi juga merupakan pengajaran yang paling sempurna dari seluruh pengajaran yang ada dan yang dapat diasumsikan dalam masalah ini. Al-Qur’an memandang maad manusia dalam dua dimensi jasmani dan ruhani; yakni kedua-duanya akan mahsyur (dikumpulkan dan dibangkitkan) di hari kiamat. Balasan dan siksaan ukhrawi juga sebagian berhubungan dengan kelezatan dan penderitaan badan dan sebagian berhubungan dengan kelezatan dan penderitaan ruh. Asumsi-asumsi lain selain dari pandangan ini, akan berakhir pada pengingkaran prinsip maad atau penggambaran tentangnya yang salah dan kurang sempurna. Oleh karena itu, dalam masalah eskatologi, tidak akan ditemukan konsepsi yang lebih sempurna dari apa yang diungkapkan oleh al-Qur’an.

Sistem Moralitas Dalam Al-Qur’an

Suatu sistem moralitas yang ideal mesti mengandung pengajaran yang mengarahkan individu-individu manusia kepada kepemilikan sifat-sifat sempurna akhlaki dan terpuji serta menghilangkan dan menjauhkan mereka dari sifat-sifat tercela dan tidak terpuji akhlaki. Untuk mencapai kepada tujuan ini dibutuhkan; pertama, amal dan kedua, motiv serta tujuan. Apa yang berhubungan dengan amal tidak lain adalah  melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela. Cara  ini mesti  dilakukan secara kontinyu dan permanen; sebab pelatihan jiwa dalam melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk yang berkesinambungan akan menyebabkan keutamaan dan kebaikan mengakar dan malakah dalam jiwa manusia.

Salah satu keutamaan manusia dibanding dengan maujud-maujud lainnya. dia memiliki kemampuan berikhtiar dalam perbuatannya. Karena itu,  manusia dalam mengambil keputusan untuk mengerjakan suatu perbuatan senantiasa berasaskan motiv dan tujuan yang dirancang dan dipilihnya. Sementara motiv dan tujuan dalam akhlak mempunyai pengaruh yang sangat asas dan mendasar bagi bentuk dan sistem moralitas yang akan ada.

Secara pokok terdapat tiga macam motiv dan tujuan yang bisa diutarakan:

1. Motif dan tujuan duniawi; yakni upaya untuk meraih kecintaan dan kepopuleran masyarakat sebagai sarana untuk mendapatkan manfaat-manfaat duniawi. Sistem moralitas materialis tidak punya pilihan selain menawarkan bentuk peraihan manfaat duniawi sebesar-besarnya; sebab ia tidak memiliki landasan teologis dan eskatologis yang mengarahkan manusia di samping peraihan manfaat duniawi juga pencapaian manfaat ukhrawi dalam bentuk  keselamatan dan kebahagiaan abadi.

2. Motif dan tujuan ukhrawi; yakni harapan untuk memperoleh balasan perbuatan baik bagi pelakunya yang akan diberikan kepadanya di hari kiamat. Sistem akhlak ini lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan dengan sistem akhlak sebelumnya; tetapi tetap terlihat dalam sistem ini nuansa manusia sentris dalam bentuk maknawi yang langgeng, tidak dalam bentuk materialis yang tidak langgeng.

3. Motif dan tujuan Ilahi: yakni memandang bahwa keagungan, kemuliaan, keutamaan, dan kekuatan yang hakiki hanya milik Allah Swt. Karena itu, manusia dalam seluruh perbuatannya, baik itu perbuatan-perbuatan baik untuk mendapatkan kemuliaan dan keutamaan maupun menjauhi perbuatan-perbuatan buruk untuk tetap aman dari kekuatan yang lebih tinggi darinya, mesti senantiasa berpikiran mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak mencari perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Berasaskan ini maka tidak ada tempat sekecil apapun dari sifat riya, cari popularitas, takut dari selain Tuhan, berharap kepada selain Tuhan, dan sifat-sifat rendah akhlak lainnya bagi jiwa yang terpatri dengan akidah ini.          

Dari dua metode terakhir yang disebutkan, metode paling akhir yang merupakan kekhususan dari al-Qur’an. Dan adapun metode kedua, telah diutarakan agama-agama wahyu sebelumnya dan menjadi subyek dakwah para nabi As, karena itu al-Qur’an juga menegaskan metode kedua ini. Sebagaimana terpahami dari ayat-ayatnya bahwa ia (al-Qur’an) di samping membenarkan kitab-kitab wahyu sebelumnya, juga menjadi muhaimin atas mereka: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya,….” (Qs. al-Maidah[5]: 48) Jadi al-Qur’an menyempurnakan sistem syariat-syariat sebelumnya dan menawarkan sistem akhlak yang paling sempurna. Oleh karena itu, al-Qur’an tidak menghapuskan metode akhlak yang kedua, bahkan ia menjadikannya berada dalam kevertikalan metode ketiga; sebab al-Qur’an mengetahui secara benar perbedaan manusia dalam memahami makrifat-makrifat tinggi tauhid serta mengambil paedah dan manfaat darinya.[6]

Dasar dan Prinsip Kemasyarakatan Dalam Al-Qur’an

Dasar dan prinsip yang al-Qur’an tawarkan dalam bidang hubungan kemasyarakatan, juga merupakan dasar dan prinsip yang paling sempurna yang diketahui oleh manusia. Dengan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan sistem keluarga, hak-hak madani, masalah-masalah ekonomi, hak-hak individu dan sosial, sistem pemerintahan, sistem politik, dan masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dengan undang-undang dan aturan manusia yang paling maju dalam masalah ini, maka dapat dipahami secara jelas kebenaran akan klaim ini.

Undang-undang kemasyarakatan Islam tegak berasaskan keadilan dan keutamaan; yakni hubungan kemasyarakatan dalam Islam diatur dan dijaga dalam bentuk sedemikian hingga yang memelihara prinsip keadilan dan keutamaan insani. Di samping itu kepentingan dan maslahat umum dikedepankan ketimbang kepentingan dan manfaat pribadi. Berasaskan ini, kecintaan dan persahabatan, kedamaian dan ketentraman, ketenangan dan keamanan, menjadi tujuan strategis dan mendasar Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan jalan untuk mencapainya hanya dengan cara menjaga keadilan dan keutamaan akhlaki. Adapun sarana yang menopang bagi terealisasinya tujuan tersebut, adalah sistem pemerintahan, pengaturan, dan pengawasan secara umum yang terlaksana lewat prinsip ‘memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran’.

Dalam hal ini kami menghindari untuk menjelaskan secara panjang lebar dan detail prinsip dan dasar Islam ini dengan menyebutkan dalil dan nash al-Qur’an serta riwayat-riwayatnya, sebab penguraian seperti itu tidak masuk dari tujuan penulisan ini.

Oleh karena itu, untuk mencukupkan kajian filsafat khâtamiyyah ini, kami kembali bawakan pandangan Syahid Muthahari dalam masalah ini. Sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, Syahid Muthahari dalam mengomentarai definisi khâtam, yaitu  khâtam adalah nabi yang melewati seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu tingkatan pun yang tidak dilewatinya… menyatakan, jika yang akan diberitakan kepada manusia tidak tersisa lagi, tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati semua, yakni seluruh tingkatan-tingkatan sudah mencapai final seluruhnya maka dengan sendirinya nubuwwah juga mencapai puncak dan akhirnya. Yakni Syahid Muthahari lewat komentarnya terhadap definisi ini mengungkapkan filsafat dari khâtamiyyah, yaitu dikarenakan tidak ada matlab yang perlu diberitakan dan disampaikan kepada manusia lewat wahyu dan ilham lagi (dikarenakan seluruh tingkatan telah terlewati dan matlab telah disampaikan seluruhnya) maka tidak dibutuhkan lagi kedatangan seorang nabi  dan syariat baru sesudah kedatangan Nabi Islam Muhammad Saw dan syariat yang dibawanya. Di samping itu, definisi ini juga meliputi makrifat-makrifat ketuhanan, aturan-aturan moralitas, hukum-hukum individual yang berkenaan ibadah, dan hukum-hukum kemasyarakatan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid, makrifat Ilahiyyah, dan makrifat rububiah mempunyai tingkatan-tingkatan dan semua tingkatan-tingkatan ini dijelaskan dalam al-Qur’an. Sementara itu kekhususan moralitas manusia; yakni habungan manusia dengan dirinya dan kebagaimanaan mengatur instink dan syahwatnya, telah dijelaskan dalam al-Qur’an dalam bentuk sistem akhlak yang paling tinggi. Demikian pula prinsip dan hubungan di antara manusia yang mesti tercipta dalam masyarakat dan yang mesti ditiadakan di dalamnya, juga  terkandung dalam konsep kemasyarakatan Qur’ani; karena itu, sesuatu yang menjadi tanggung jawab wahyu dan mesti disampaikan kepada masyarakat dengan perantaraannya, sudah tersampaikan semuanya. Dengan kata lain tidak tersisa lagi satu matlab pun yang akan diberitakan kepada manusia lewat wahyu dan ilham.

Rahasia Islam sebuah agama yang hidup dan lestari, pengajarannya yang  tidak dapat dibandingkan dan digantikan dengan pengajaran lain dalam setiap aspek kehidupan manusia; sebab agama ini tidak memberikan bentuk pengajaran yang bersifat parsial dan temporer sehingga hanya berhubungan dengan zaman dan wilayah khusus. Melainkan ia menawarkan pengajaran yang bersifat universal dan meliputi seluruh zaman dan tempat. Oleh karena itu, prinsip dan tujuan yang terungkap dalam revolusi agama tauhid ini tidak terkhususkan pada suatu zaman dan tempat tertentu, tetapi ia mengatasi seluruh zaman dan tempat. Hakikat bahwasanya hanya Tuhan yang mesti disembah, tidak terkhususkan bagi zaman dan tempat khusus dan juga tidak terkhususkan bagi suatu bagnsa dan suku khusus. Syiar tauhid Qur’ani yang mengajak penafian segala bentuk tuhan selain Allah dengan pernyataannya: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya…” (Qs. al-Baqarah[2]:255), senantiasa hidup dan baru dan selamanya tidak akan usang dan mati.

Demikian pula pengajaran Islam tentang maad dan eskatologi. Syiar al-Qur’an dengan seruan: Wahai manusia! Engkau merupakan suatu maujud yang hakikat dan identitasmu akan kembali kepada Tuhan, perbuatan dan amalmu tidak akan hilang serta realitas dan eksistensimu tidak akan musnah: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya.” (Qs. an-Najm[53]: 39-42)  “…sesungguhnya Kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Qs. al-Baqarah[2]: 156)

Dari sudut pandang Islam, bekerja dan berusaha adalah ibadah, karena itu bermalas-malasan, menganggur, dan menjadikan diri benalu bagi orang lain adalah sesuatu yang dicela dalam agama ini. Prinsip ini tentunya bersifat langgeng dan tidak akan terhapus, sebab sesuai dengan tabiat manusia yang memuji kerja dan mencela kemalasan. Selain itu, prinsip saling menolong dan persaudaraan, merupakan salah satu prinsip kemasyarakatan Islam yang juga bersifat lestari dan tidak akan terhapus. Dengan prinsip hubungan kemasyarakatan ini akan terciplah suasana aman dan tentram dalam masyarakat, sebab setiap muslim merasakan dirinya menjadi bagian dari saudara-saudara muslim lainnya.

Dasar dan prinsip yang telah disebutkan dan prinsip-prinsip serta aturan-aturan Islam lainnya, sedemikian hingga didesain oleh Tuhan sehingga tidak berhubungan dengan hanya kebudayaan, bangsa, suku, zaman, dan tempat khusus, tetapi bersifat universal dan berlaku selamanya.

Tafsiran Terhadap Khâtamiyiyyah

Pandangan dan penafsiran para cendekiawan mazhab-mazhab Islam terhadap khâtamiyyah dan syariat Islam –dari awal hingga kini-, bahwa syariat ini merupakan syariat Ilahi paling akhir dan sampai dunia ini berakhir ia akan menjadi agama hak Ilahi dan menjadi landasan serta neraca akidah, akhlak, dan amal perbuatan mereka.

Tidak diragukan, dalam setiap priode sejarah manusia dimana manusia mesti mengikuti syariat Ilahi dalam priode itu, mereka juga harus tetap menggunakan akal dan pengetahuannya. Sebab wahyu dan syariat diturunkan bukan untuk mengenyampingkan akal, pengetahuan, dan pengalaman manusia; akan tetapi ia diturunkan malah untuk mengangkat dan meluaskan horizon pemahaman dan pandangan teoritis manusia serta menjelaskan kepada manusia dimensi-dimensi yang lebih tinggi dari jangkauan akal dan eksperimennya. Meskipun kadar dan ukuran kebutuhan manusia kepada hidayah wahyu disepanjang sejarah adalah tidak sama, tetapi yang pasti prinsip kebutuhan manusia kepada makrifat dan hidayah wahyu tidak terbatas kepada zaman dan priode khusus dan manusia selamanya butuh kepada sumber ini untuk menapaki jalan menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.

Berasaskan ini, maksud dari khâtamiyyah tidak berarti bahwa manusia dikarenakan telah mencapai kemekaran akal dan ilmu maka sesudah ini mereka tidak butuh lagi kepada hidayah dan bimbingan wahyu. Tidak berarti dengan minus wahyu mereka dengan kemampuan akal dan ilmunya sanggup memecahkan segala kebutuhan-kebutuhannya dalam kehidupan individu dan sosial, kehidupan materi dan spiritual, dan sanggup menyelesaikan seluruh masalah yang berhubungan dengan keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Dalam hadits-hadits dijelaskan bahwa halal dan haram dalam agama khâtam ini berlaku hingga hari kiamat dan tidak akan menerima perubahan serta tidak akn dikarantinakan, yakni tidak akan datang syariat baru yang akan menghapusnya dan menggantikannya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Zurarah bertanya kepada Imam Shadiq As tentang halal dan haramnya Tuhan; Imam Shadiq As berkata: Halalnya Muhammad Saw, halal selamanya hingga hari kiamat dan haramnya, haram selamanya hingga hari kiamat, tidak akan ada selainnya dan tidak akan datang selainnya.[7] Di samping riwayat ini masih banyak riwayat-riwayat lain yang berkenaan masalah ini dalam kitab-kitab hadits Syiah dan Sunni yang kami serahkan kepada pembaca untuk merujuknya.   

Tafsiran Lain Terhadap Khâtamiyyah

Dalam masalah khâtamiyyah ini terdapat tafsiran lain dari sebagian ilmuan dan pemikir Islam kontemporer yang menurut kami perlu dicermati, ditelaah, dan jika perlu dikritik. Menurut mereka, khâtamiyyah agama dan syariat adalah, manusia dikarenakan dari segi akal dan ilmu berada pada suatu kondisi zaman dimana mereka dengan sendirinya mampu mengenal jalan kehidupannya maka mereka tidak butuh kepada bimbingan kenabian dan hidayah wahyu lagi. Sebagaimana bentuk tafsiran ini dapat kita lihat dari ungkapan dan pernyataan Doktor Abdul Karim Sorush salah seorang pemikir kontemporer muslim dari Iran. Dalam salah satu tulisannya dia menyatakan, hal yang jelas dapat dilihat, manusia menemukan ketidakbutuhannya dari para nabi dan pengajaran-pengajaran mereka. Dan itu menggambarkan bahwa terkadang nisbah manusia dengan maktab para nabi telah berganti dan kekuasaan yang dimiliki maktab para nabi dalam priode-prioede yang telah lalu atas manusia, sekarang ini semakin melemah.

Penyebab Ketidakbutuhan manusia sekarang ini dari para nabi adalah pengajaran-pengajaran mereka yang masuk ke dalam akal manusia terhitung  perkara-perkara yang badihi. Berperang dengan penyembah berhala yang ketika itu butuh kepada (pengajaran-pengajaran para nabi) dan upaya-upaya mengantisipasinya, sekarang ini ketidakbenarannya (ketidakbenaran penyembahan berhala) merupakan perkara badihi bagi manusia berperadaban dan jadid (baru). Keberhasilan para nabi tadinya adalah nilai-nilai moralitas seperti keadilan, amanat, dan lainnya mereka jadikan sebagai perkara-perkara badihi kebudayaan manusia, dan sekarang manusia tidak butuh lagi kepada peringatan-peringatan mereka.”[8]

Seirama dengan tafsiran di atas, sebelumnya seorang pemikir terkenal muslim berkebangsaan Pakistan Muhammad Ikbal menyatakan, Nabi Islam Saw berada antara alam qadim (lama) dan alam jadid (baru); yakni sampai batas matlab yang berhubungan dengan sumber wahyu dan ilham adalah dia maka wujudnya berhubungan dengan alam qadim dan tempat yang menjadi subyek berhubungan dengan ruh wahyu dan ilham adalah dia  maka bergantung dengan alam baru….

Permasalahan kenabian dalam Islam sampai pada suatu kedudukan dimana ia memperoleh batas kesempurnaannya dan kenabian mencapai akhirnya. Peristiwa ini meliputi makna ini bahwa dari sini hingga kemudian, bidang-bidang kehidupan tidak boleh berada dalam tangan orang-orang tertentu dan khusus, dan manusia untuk dapat secara sempurna menggunakan sumber-sumber nurani dan kesadaran puncaknya, mesti menyerahkan ikhtiyarnya kepada dirinya.

Realitas perkara, bahwa al-Qur’an anfusi dan âfâqi dipandang sebagai sumber-sumber pengetahuan dan makrifat dan ini adalah tanggung jawab manusia megaplikasikan seluruh dimensi-dimensi dan tingkatan-tingkatan yang membuahkan potensi dan kelayakannya.

… terdapat kecenderungan dalam sistem kehidupan yang menyediakan kondisi perasaan dan kemandirian kepada aktivitas dan mujahadah ruhani dan maknawi. Dan dengan perantaraan penciptaan akidah ini akan melahirkan pemahaman bahwa priode kekuasaan dan kelebihan pemilik-pemilik kekuatan individual yang mengklaim memiliki kedudukan matafisika, telah berakhir dalam sejarah manusia.[9]

Mencermati bentuk tafsiran terhadap khâtamiyyah ini maka dapat dikemukakan beberapa isykal dan kritik terhadapnya:

Kritik dan Isykal Terhadap Pandangan Abdul Karim Sorush

Kritik terhadap pernyataan Abdul karim Sorush ini dapat diungkapkan dalam bentuk beberapa poin:

1. Menyalahi hadits-hadits Nabi Saw yang dengan jelas menyebutkan kelanggengan hukum-hukum Islam dan memandang bahwa kebutuhan manusia terhadap agama merupakan suatu perkara yang berlaku selamanya. Seperti hadits berikut ini: Imam Baqir As meriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: Wahai manusia! Kehalalanku, halal hingga hari kiamat dan keharamanku, haram sampai hari kiamat.[10] Demikian pula pandangan ini tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan khâtamiyyah. Seperti ayat berikut ini: “…pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu….” (Qs. al-Maidah[5]: 3) Ayat-ayat yang berkenaan khâtamiyyah menegaskan bahwa kitab al-Qur’an merupakan kitab hidayah dan pengingat bagi manusia dan agama Islam yang sempurna telah menjadi agama yang diridai Tuhan yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, bagaimana bisa diterima bahwa sesudah ini (khâtamiyyah) maka manusia tidak butuh lagi kepada agama, hidayah, dan peringatan-peringatan al-Qur’an?!

2. Penyembahan berhala, hatta dalam bentuknya yang tua dan sangat awal, hari ini masih terdapat dalam masyarakat manusia. Jadi berdasarkan alasan penyembahan berhala merupakan perkara badihi bagi manusia sekarang maka semestinya mereka tidak butuh lagi kepada pengajaran para nabi, jelas sekali tertolak dengan bukti masih adanya masyarakat manusia yang menyembah berhala dalam bentuknya yang awal. Tambahan pula, bentuk baru penyembahan berhala di era sekarang ini lebih kabur dan lebih banyak dapat menyesatkan masyarakat manusia ketimbang dari bentuknya yang tua dan awal.

3. Mengapa kita memandang bahwa karena akhlak di dalam agama didasari oleh perkara-perkara badihi maka manusia tidak butuh kepada peringatan-peringatan agama? Memangnya agama terbangun dengan beberapa prinsip akhlak badihi saja? Pada dasarnya prinsip dan dasar berbagai makrifat dan pengetahuan, baik itu teoritis dan amali, senantiasa terbangun dari hal dan perkara badihi, dan pengetahuan terhadap ini tidak terkhususkan bagi manusia baru saja. Jika kebadihian perkara-perkara tersebut menjadi dalil ketidakbutuhan manusia baru atas agama maka natijah dari ini pengingkaran terhadap prinsip agama dan kenabian, sebagaimana sebagian pengingkar kenabian dan agama menyandarkan kepada matlab seperti ini.                

Kritik Ustad Syahid Muthahari Atas Pandangan Muhammad Iqbal

Ustad Syahid Muthahari mengutarakan beberapa poin kritikan penting atas pandangan Muhammad Iqbal tentang filsafat kepamungkasan kenabian -yang telah kami sebutkan di atas-. Berikut ini kami bawakan ringkasan kritikannya:

1. Filsafat ini, jika benar, ia adalah filsafat keberakhiran keberagamaan, bukan filsafat kepamungkasan kenabian. Dan kerja wahyu Islami (dalam hal ini) hanya memberitahukan berakhirnya priode agama dan mulainya priode akal dan ilmu. Matlab ini adalah menyalahi kedarurian Islam.

2. Teori tersebut juga menyalahi pandangan Muhammad Iqbal sendiri; sebab dia berusaha menetapkan matlab ini bahwa kebutuhan manusia kepada agama dan keimanan mazhab, seukuran kebutuhannya kepada ilmu. Dia dengan jelas mengungkapkan bahwa kehidupan butuh pada ushul yang tetap dan furu’ yang berubah, dan kerja ijtihad Islami adalah menyingkap kesesuaian furu’ atas ushul.[11]

3. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa kepamungkasan kenabian sama sekali tidak bermakna pengalaman internal (batini) –yang menurut keyakinannya dari segi kualitatif tidak berbeda dengan pengalaman kenabian-; yakni ilham dan mukasyafah serta karamah para wali Tuhan tidaklah berakhir. Kendatipun ilham, mukasyafah, dan karamah para wali itu tidak memiliki hujjiyyah dan mesti seperti setiap kejadian yang lain berada dalam koridor pengamatan rasionalitas.[12] 

Tafsiran dari khâtamiyyah tersebut tidak sesuai dengan pandangan ini; sebab dia memandang perkara-perkara ini sejenis instink, dan instink adalah suatu hidayah yang berada di luar suatu maujud dan bukan merupakan suatu pilihan; tetapi akal (rasionalitas) adalah suatu pengalaman dan hidayah dari dalam dan muncul dari pilihan.

Akan tetapi harus diketahui bahwa wahyu bukanlah dari jenis instink. Instink adalah suatu persepsi yang tidak lebih tinggi dari persepsi indra, imajinasi, dan akal, sementara wahyu merupakan persepsi yang lebih tinggi dari persepsi indra, imajinasi dan akal.

4. Muhammad Iqbal, sangat menentang pandangan sebagian ilmuan barat yang memandang ilmu sebagai pengganti iman; tetapi pandangannya tentang filsafat kepamungkasan kenabian natijahnya berakhir dengan pandangan tidak benar ini; yakni ilmu menjadi pengganti dari iman.

5. Pandangan Muhammad Iqbal, juga tidak sesuai dengan penafsiran para urafa tentang kepamungkasan kenabian, padahal dia sangat memuja urafa dan pandangan-pandangannya. Urafa menafsirkan khâtamiyyah bahwa seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan telah terjalani dan terlewati dengan perantara Nabi Islam Saw; yakni Nabi Khâtam Saw telah melewati seluruh jalan-jalan dan menjadikan seluruh hakikat-hakikat berada dalam ikhtiar manusia, karena itu tidak ada lagi kebutuhan terhadap kedatangan nabi lain. Para urafa memandang khâtamiyyah dengan pengertian kesempurnaan kenabian dan agama, tetapi penafsiran yang Muhammad Iqbal ungkapkan tentang khâtamiyyah, yakni khâtamiyyah bermakna kesempurnaan rasionalitas individual manusia.[13]

Agama Bersifat Tetap dan Kebutuhan Manusia Berubah

Hal yang menjadi pertanyaan penting dalam bab Khâtamiyyah agama adalah bagaimana dapat dipertemukan antara khâtamiyyah dan ketidak berubahan agama, serta jawaban permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan manusia yang senantiasa berubah? Dari satu sisi, kehidupan manusia senantiasa bergerak dan berubah dan setiap hari muncul permasalahan baru dimana agama mesti memberikan jawaban hukum atasnya, sementara dari sisi lain, hukum-hukum agama telah dijelaskan di era sebelumnya yang sesuai dengan syarat-syaratnya dimana syarat-syarat tersebut secara total sudah mengalami perubahan di era sekarang. Dalam konteks ini, bagaimana bisa syariat yang tetap menjadi jalan penyelesaian hukum dan pemberi jawaban hukum terhadap masalah-masalah yang berubah?

Dalam memecahkan masalah ini, kita harus memperhatikan dua permasalahan berikut ini:

a.      Sistem penetapan undang-undang dan penetapan hukum Islam sedemikian hingga, sehingga dalam keberadaannya yang tetap dan permanen dapat disinkronkan dengan pergerakan dan perubahan sejarah dan kemasyarakatan. Dan juga dapat disesuaikan dengan syarat-syarat zaman dan tempat yang beragam serta menawarkan jalan kehidupan agamis dalam setiap zaman, tempat, priode, dan bagi setiap generasi.

b.     Meskipun zaman secara zat berganti dan berubah dan syarat-syarat serta kemestiannya beragam; tetapi tidaklah demikian bahwa seluruh hakikat-hakikat yang berkuasa dalam alam natural dan alam manusia mesti mengalami pergantian dan perubahan. Di alam yang senantiasa bergerak dan berubah ini terdapat serentetan hakikat-hakikat yang bersifat tetap dan tidak berubah dan selamanya tidak tersentuh oleh keusangan dan kehancuran. Apakah dengan berlalunya zaman maka landasan pemikiran rasional seperti prinsip non-kontradiksi, huwiyyah, dan kausalitas menjadi terhapus dan tidak berlaku lagi? Apakah ungkapan ini, anak cucu Adam ibaratnya anggota-anggota satu tubuh, dikarenakan telah berusia berabad-abad maka terhapus dan tidak dapat lagi diamalkan? Apakah prinsip keadilan, amanah, dan kebaikan, dikarenakan telah berusia ribuan tahun maka sudah menjadi usang dan kehilangan maknanya di zaman sekarang? Tentu kita semua dengan hanya mengkonsepsi secara benar subyek permasalahan ini maka akan memberikan jawaban negative terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pilar-pilar Dinamis Syariat Khâtam

Sekarang kita akan berusaha menyingkap mekanisme dan sistem kerja khusus yang ada dalam sistem penetapan undang-undang Islam dan dengan itu kita dapat menunjukkan hubungan timbal balik antara dua konsepsi ‘tetap’ dan ‘berubah’ dalam bab agama dan kehidupan manusia.

1. Hukum-hukum awwaliyyah dan tsanawiyyah

Dalam syariat Islam terdapat dua bentuk aturan dan hukum: sekelompok aturan dan hukum yang berhubungan dengan syarat-syarat biasa dan lazim kehidupan manusia yang disebut hukum-hukum awwaliyyah (primer) dan sekelompok aturan dan hukum lainnya yang berhubungan dengan syarat-syarat terpaksa dan tidak biasa yang disebut hukum-hukum tsanawiyyah (sekunder). Hukum-hukum tsanawiyyah mengawasi hukum-hukum awwaliyyah dan dalam syarat-syarat yang tidak biasa dan terpaksa, ia akan merubahnya atau mencabutnya secara keseluruhan. Misalnya kewajiban berpuasa dalam bulan ramadhan merupakan salah satu hukum awwaliyyah yang berhubungan dengan syarat-syarat biasa. Akan tetapi jika berpuasa di bulan itu akan menimbulkan dharar dan bahaya bagi kesehatan dan keselamatan seseorang maka dalam hal ini hukum tsanawi yaitu kaidah menghilangkan dharar yang akan berkuasa (berlaku), dan kewajiban berpuasa bagi orang yang dharar dan berbahaya baginya untuk itu menjadi terangkat (tidak diwajibkan). Demikian juga jika seseorang apabila berpuasa maka akan membahayakan orang lain; seperti perempuan yang lagi mengandung atau ibu yang lagi menyusui bayinya dan baginya berpuasa akan membahayakan kandungannya atau bayinya.

Hukum ini juga berlaku pada kondisi dimana berpuasa akan menyebabkan kesulitan yang sangat, yaitu kesulitan yang berada di luar batas yang lazim dalam mengerjakan taklif ini, kendatipun kesulitan tersebut tidak sampai pada tahap mencelakakan badan.

Hukum-hukum tsanawi bentuk ini juga berlaku dalam ibadah-ibadah lainnya dan bahkan juga berlaku dalam maslah-masalah muamalah serta fungsinya adalah mengubah hukum awwali atau mencabutnya secara keseluruhan.[14]

Sebagai contoh lain dalam masalah ini, hukum awwaliyyah memakan daging dan makanan-makanan lainnya yang memiliki kehalalan (yakni hukumnya mubah). Akan tetapi jika memakannya akan menimbulkan bahaya serius terhadap badan maka memakannya akan menjadi haram, sebagaimana jika meninggalkannya akan membawa bahaya bagi badan dan memakannya menjadi daruri bagi kehidupan manusia maka memakannya dalam hal ini adalah wajib. Di sini hukum tsanawi ‘dharar’ mengubah hukum awwali, tapi pada saat yang sama hukum awwali tidak dinasikh dan untuk selamanya tetap ada.

2. Tasyri’ ijtihad dalam Islam

Ijtihad dalam peristilahan ulama ushul fikh adalah usaha dan upaya untuk melakukan instinbat hukum-hukum syar’i dengan merujuk kepada kitab al-Qur’an, sunnah, dan kaidah-kaidah akal. Dan sebutan mujtahid diberikan bagi seseorang yang memiliki kemampuan melakukan instinbat hukum-hukum syar’i yang tentunya setelah mempelajari cara menginstibat dengan merujuk kepada dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, dan kaidah-kaidah akal. Malakah atau kekuatan berijtihad, meskipun merupakan suatu hakikat yang basith dan tidak mempunyai bagian-bagian; akan tetapi memiliki tingkatan-tingkatan serta derajat-derajat lemah dan kuat, karena itu terdapat kemungkinan dalam ijtihad berdimensi tajazzi (mempunyai kemampuan berijtihad dalam satu bab hukum atau lebih, tetapi tidak dalam seluruh bab-bab hukum).[15]

Para mujtahid, pada hakikatnya mereka adalah kelompok ahli dalam masalah pengetahuan hukum-hukum agama. Di samping itu terdapat juga kelompok ahli dalam bidang-bidang ilmu agama lainnya, seperti dalam bidang sejarah, tafsir al-Qur’an, akidah Islam, perawi hadits-hadits (ilmu rijal), pengenalan teks-teks hadits, dan bidang ilmu agama lainnya. Para mujtahid ini merupakan orang-orang yang menguasai bidang pengetahuan hukum-hukum Islami tentang perbuatan dan tindakan mukallaf dalam ibadah dan muamalah. Bidang keilmuan inilah yang membentuk ilmu fikh; dan para fuqaha (ahli fikh) serta para mujtahid merupakan orang-orang ahli dalam disiplin ilmu ini. Oleh karena itu, sebagaimana merupakan kemestian terdapatnya pakar dan ahli dalam masalah-masalah teoritis dan praktis dalam masyarakat manusia maka keberadaan ahli dan pakar dalam hukum-hukum syar’i juga merupakan suatu keniscayaan serta meragukannya tidak lain adalah suatu bentuk sophisme.

Sejarah ijtihad dalam dunia Islam, kembali kepada zaman Nabi Islam Saw. Di zaman itu, di antara para sahabat Nabi Saw terdapat orang-orang yang dikenal sebagai ilmuan agama. Perbedaan para sahabat dalam memahami hadits-hadits yang mereka dengar dari Nabi Saw, menimbulkan perbedaan awal dalam hadits-hadits. Pangkal dari itu adalah kelupaan atau kelalaian dari sebagian kekhususan-kekhususan dan kait-kait yang terdapat dalam suatu hadits dan yang tidak terdapat dalam hadits lainnya, atau penukilan kait dan kekhususan dalam suatu hadits dan ketiadaan penukilannya dalam hadits lainnya serta hal-hal semacam itu. Adanya perkara dan kondisi seperti inilah yang kemudian menjadi faktor timbulnya ijtihad di antara para sahabat-sahabat Nabi saw. Dalam bentuknya, seperti membandingkan hadits-hadits antara satu dengan lainnya, melakukan takhsis terhadap yang umum dan melakukan pengkaitan terhadap yang mutlak, atau melakukan campur tangan terhadap lahiriah hadits dengan bersandar kepada karinah hâliyyah (kondisi) dan karinah maqâliyyah (pengungkapan).

Cara dan metode ini  yang tidak lain adalah ijtihad mustalah dalam hukum syar’i, pada dasarnya telah dilakukan para sahabat di zaman Nabi Saw dan beliau tidak melarangnya, karena itu metode ijtihad ini dapat dikatakan mendapatkan legalitasnya sejak itu dan tetap berlanjut setelah beliau Saw wafat. Bahkan, dikarenakan penyebaran dan perluasan jangkauan agama Islam dan perbauran yang tak terhindari dengan bangsa-bangsa yang beragam beserta budaya-budaya mereka dan bermunculannya hadits-hadits buatan serta semacamnya maka kebutuhan kaum muslimin terhadap ijtihad semakin bertambah kuat.[16]

Berdasarkan itu, tasyri’ (pelegalisasian) ijtihad dalam syariat Islami, mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi kelayakan fikhi Islami sebagai pemberi jawaban dan pemberi solusi hukum terhadap masalah-masalah baru yang muncul di dunia Islam. Dan sebagai natijah dari itu adanya kesesuaian Khâtamiyyah syariat Islam dengan perubahan syarat-syarat kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan baru umat manusia.

Mesti kita ketahui bahwa ijtihad tidaklah berarti pengubahan kaidah-kaidah dan ushul-ushul global syariat; akan tetapi penerapan dan penjabaran kaidah-kaidah atas misdak-misdak, subyek-subyek khusus dan baru. Diriwayatkan bahwa aimmah As berkata: Kami yang menjelaskan kaidah-kaidah dan ushul-ushul global (syariat dan hukum) dan kamu yang melakukan istinbat furu’ dari ushul-ushul ini.[17]  Berdasarkan ini, kaidah-kaidah dan ushul-ushul syariat terbatas dan bersifat tetap; akan tetapi cabang-cabang (furu’) tidak terbatas dan berubah-ubah. Tentunya furu’ yang terjadi di zaman para imam As, telah dijelaskan hukum-hukumnya oleh para imam As sendiri. Tetapi furu’ yang tidak muncul di zaman mereka dan tidak ditanyakan kepada mereka hukumnya maka jawaban hukum terhadap furu’ itu diserahkan tanggung jawabnya kepada para mujtahid.

Sekarang jelaslah bahwa ijtihad sahih merupakan kekuatan penggerak yang dinamis atas Islam, ia dapat menberikan jalan solusi hukum di antara ketidak mungkinan terhapusnya hukum-hukum Islam dan ketidak berubahan  sesuatu yang halal dan haram dalam Islam dengan  berbagai masalah-masalah baru yang muncul. Pergerakan dan perubahan zaman melahirkan masalah-masalah baru  yang harus ditangani para mujtahid, sementara itu kaidah-kaidah dan ushul-ushul Islami tidak mengalami perubahan dan bersifat tetap. Oleh karena itu, tugas para mujtahid untuk memperoleh hukum masalah-masalah baru dengan jalan ijtihad sahih dan sebagai natijah dari ini, hukum-hukum tsâbit (tetap) dan syariat khâtam dapat memberikan jawaban dan solusi hukum terhadap masalah-masalah baru ummat manusia dalam segala zaman dan tempat.[18]

Seorang faqih dan mujtahid yang mengenal zaman dan tempat beserta kemestian-kemestiannya, dengan kaidah-kaidah kulli hukum dan ushul-ushul syariat yang tetap, dapat meluaskan penerapan dan penjabaran hukum-hukum terhadap masalah-masalah yang baru muncul. Istinbat hukum-hukum yang berhubungan dengan subyek-subyek baru, seperti transfusi darah, penggantian ginjal dan anggota-anggota badan lainnya, pembuahan sperma di luar rahim, cloning, transaksi bank dan asuransi, jual-beli mata uang dan saham, dan berbagai hukum yang berhubungan dengan masalah-masalah baru lainnya serta pengenalan berbagai furu’ yang berhubungan dengan mereka  dari ushul-ushul awwaliyyah syar’i –tanpa menggunakan subyek-subyek tsanawi seperti kemestian ‘usr wa haraj (kesusahan dan kesempitan)- bukti kekuatan syariat dalam memberikan solusi hukum terhadap kebutuhan-kebutuhan baru zaman.

Hal yang menimbulkan tanda tanya dan kritik terhadap kesempurnaan dan khâtamiyyah agama adalah kediaman syâri’ dinisbahkan dengan hukum sebagian dari subyek-subyek baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, atau dengan kata lain tertutupnya pintu ijtihad. Dengan keluasan hukum-hukum syar’i dan kelanggengan istinbat fikhi maka pancaran syariat ibaratnya cahaya mentari dan sinaran bulan yang selalu memancar dan bersinar atas seluruh fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa (yang ada dalam masyarakat di setiap zaman dan tempat).[19]

3. Parameter Hukum dan kaidah ‘Aham wa Muhim’

Salah satu kaidah yang berlaku dalam ushul fikh imamiyah adalah kaidah aham wa muhim (lebih penting dan penting). Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap kali terjadi tabrakan dalam maqam aplikasi dua taklif syar’i dikarenakan keterbatasan-keterbatasan zaman dan semacamnya; yakni mukallaf tidak mampu menjalankan dua taklif sekaligus, dalam bentuk ini maka mukallaf mesti menjalankan taklif yang nilai urgensinya lebih besar dari yang lainnya serta melebihkan yang ‘aham’ atas yang ‘muhim’. Misalnya dalam kasus tidak boleh menduduki atau menggunakan milik orang lain tanpa keridaan dan izin pemiliknya. Sekarang apabila jiwa seorang mukmin dalam milik orang itu berada dalam bahaya dan untuk mendapatkan keridaan dan izinnya, adalah tidak mungkin atau bahaya itu sangat serius dan harus segera ditangani dan melambatkan atau mengakhirkan dalam melakukan tindakan penyelamatan terhadap mukmin tersebut akan menyebabkan kehancuran dan kematiannya, dalam bentuk ini, mesti menduduki atau menggunakan milik itu dan menyelamatkan mukmin dari bahaya kehancuran.

Kaidah fikhi akli ini berpijak pada suatu landasan teologis bahwa syariat adalah perbuatan Tuhan Yang Maha Bijaksana dan perbuatan pelaku yang bijaksana tanpa tujuan adalah sesuatu yang tidak bijaksana (karena itu pasti perbuatan pelaku bijaksana mempunyai tujuan). Tujuan tersebut yang kembali kepada para mukallaf sendiri –bukan kepada Tuhan- adalah milâk (tolok ukur) hukum syar’i. Dari dimensi inilah maka ulama ushul fikh mengatakan: Hukum-hukum syar’i mengikuti tolok ukur nyata, maslahat, dan mafsadat nafsul amri.[20]

Setiap kali milak hukum-hukum yang merupakan sebab-sebab final hukum-hukum itu dihasilkan, maka dalam bentuk ini, dalam kondisi dan peristiwa terjadinya tazâkhum (bertabrakan dua hukum) maka taklif yang mempunyai milak lebih penting harus dilebihkan. Dan mengerjakannya menjadi keharusan dan kemestian.

Para mujtahid dalam ilmu ushul, telah berusaha menguraikan pembahasan yang luas dan panjang lebar tentang perkara-perkara dan misdak-misdak tazâkhum. Dalam hal ini secara global untuk mengetahui yang mana nilai urgensi hukumnya melebihi yang lainnya dapat diperoleh dari salah satu cara berikut ini:

1.      Kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam dalil-dalil hukum;

2.     Mempelajari kesesuaian yang ada antara hukum dan subyek;

3.     Teliti dan akurat dalam milak hukum-hukum syar’i.[21]

Perlu diketahui pekerjaan menentukan ‘aham wa muhim’ subyek-subyek dan misdak-misdak hukum merupakan sesuatu yang pelik, karena itu perbedaan kaidah fikhi ‘aham wa muhim’ ini dibandingkan dengan kaidah fikhi nakli, seperti kaidah ‘nafi dharar’ dan kaidah ‘nafi haraj’ dan semacamnya adalah bahwa penentuan misdak-misdak kaidah seperti ‘nafi dharar’ dan ‘nafi haraj’ berada dalam tanggung jawab urf atau ahli seperti dokter dan lainnya. Akan tetapi menentukan yang mana nilai urgensi hukum sesuatu melebihi nilai urgensi hukum lainnya merupakan pekerjaan yang rumit dan membutuhkan ketelitian yang galibnya berada dalam tanggung jawab faqih dan mujtahid. Yakni di sini penentuan hukum dan subyek hukum keduanya dilakukan dengan perantara mujtahid.

Di samping tiga bentuk pilar-pilar syariat khâtam yang kami sebutkan di atas, juga terdapat pilar-pilar lainnya, yaitu peranan akal dalam ijtihad dan tanggung jawab serta ikhtiar seorang pemimpin pemerintahan Islami yang dalam hal ini disebut pemerintahan wilayat faqih terhadap berbagai masalah yang berhubungan dengan sosial dan pemerintahan Islam. Dikarenakan menyebutkan tiga pilar-pilar syariat khâtam tersebut telah memadai untuk memahami bagaimana syariat khâtam ini dalam kondisinya tetap dan permanen, tetap mempunyai nilai aplikasi yang dinamis dan antisipasif terhadap berbagai perkembangan dan perubahan zaman maka kami tidak menyempatkan diri lagi untuk menguraikan pilar-pilar lainnya. 


[1]. Syahid Muthahari, Khâtamiyyat, Hal. 57.

[2]. Ibid, Hal. 58.

[3]. Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi  (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 115-116.

[4]. Tafsir al-Mizan, Jld 6, hal. 86-91.

[5]. Syekh Shaduq, Kitab Tauhid, Bab 40, hadits 2.

[6]. Merujuk: Tafsir al-Mizan, Jld. 1, Hal. 354-360.

[7]. Kulainy, Ushul Kafi, Jld. 1, Kitab fadhlul Ilm, bab 17, hadits 19.

[8]. Majalah Kyân, makalah (Nagâhi beh Kârnâmeh Kâmyâb-e Anbiya), Nawesyteh Abdul Karim Sorush.

[9]. Gulam Reza Saidi, Andisyehâ-ye Iqbal Lahore, Hal. 199-200.

[10]. Amily, Wasail as-Syiah, Jld. 18, Hal. 124. 

[11]. Syahid Muthahari, Ehyây-e Fekr-e Diny dar Islâm, Hal. 168-169.

[12]. Ibid, Hal. 146-147.

[13]. Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi  (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 126.

[14]. Tentang kaidah nafi dharar dan aplikasinya, merujuk pada kitab Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Bejnurdy, Jld. 1, Hal. 176-208.

[15]. Muhakkik Hurasany, Kifayatul Ushul, Jld. 1, Hal. 422.

[16]. Muhammad Husain Kasyiful Githa, Aslu Syi’ah wa ushuluha, hal. 146-148.

[17]. Wasâil as-Syiah, Jld. 18, Hal. 41.

[18]. Syahid Muthahari, Khâtamiyyat, Hal. 133-140.

[19]. Jawadi Amuly, Syariat dar Ayineh Makrifat, hal. 203-204.

[20]. Ali Rabbani Gulfaigani, Kalam-e Tathbiqi  (Nubuwwat, Imamat wa Maad), Hal. 135.

[21]. Ibid, Hal. 136.

 

7 Agustus 2012

MENGENAL JATI DIRI 2

oleh alifbraja
 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
 

Dan hal tersebut diatas sesuai dengan petunjuk Al Qur’an nulkarim yang menyatakan :

 
“Fa aqimis sholata inna sholaata kaanat’alan mu’miniin kataaban manguuta”
Artinya:
“Kerjakan sholat sesungguhnya sholat itu suatu kuwajiban yang ditentukan kepada yang mengaku agama islam”, maka karena itu sungguh wajiblah kiranya apabila kita benar mengaku sebagai bangsa yang beragama Islam dan ingatlah oleh anda bahwa sewaktu-waktu kita diberi peringatan atau cobaan, diri bisa menyatakan ganjaran diri, yang ditumpahkan kepada pribadi kita tetapi pada umumnya hal ini dinyatakan sebagai cobaan Allah.
 
Justru kita sadari padahal sesungguhnya Allah menyiksa atau menghukumnya karena Allah maha Suci. Karena itu sangatlah wajib kita saling mengintropeksi diri atau relius atau melihat kedalam agar kita tidak sering menyalahkan Allah sakit susah tidak adil Allah dan sebagainya apabila kita berfikir dengan hati yang bersih sesungguhnya Allah tiada yang diharapkan dari hambanya, cobalah anda renungkan baik-baik bahkan Allah dijadikan pelbak dipakai joget dipakai zikir dan dipakai tempat meyalahkan dan permintaan.
 
Manusia yang tidak sadar akan dirinya cobalah perhatikan pada dirinya yang pasti akan kita temui dalam perjalanan masing-masing misalnya saja sewaktu berusaha sesuatu lantas mengalami kegagalan kadang-kadang sampai ada mengakhiri dengan bunuh diri bukan ataupun hal-hal lain anda dengan sendirinya timbul suatu pertanyaan apakah dengan jalan bunuh diri persoalan selanjutnya dianggap selesai? Mungkin soal kehadapan saya selesai itu hanyalah masalah lahiriah saya, tetapi yang sekarang yang dihadapi oleh si Aku belum selesai mengapa demikian ! oleh karena pada hakekatnya bunuh diri itu merupakan suatu perbuatan mengingkari kekuasaan Allah Lillahi Rabbi dan tergolong orang yang sesat.
 
Oleh karena perbuatan semacam ini sesungguhnya ialah didominir olah unsur raga atau saya padahal unsur raga itu tetap binasa pula setelah terjadi perpisahan antara unsur Aku dan unsur saya, tetapi harus diingat bahwa si Aku itu adalah abadi yang harus menanggung resiko atau beban dari perbuatan kita dikala masih hidup, jadi apabila demikian halnya yang jelas beban oleh unsur si Aku itu akan semakin berat karena suatu pengingkaran diri dari kenyataan hidup ataupun kuasa hidup, ataupun kekuasaan Allah. Sebenarnya adapun surga ataupun neraka itu milik Allah semata justru terserah wewenang dan keridhoaanya.
 
Saudara para jemaah Majelis Mudzakaroh Warga Kekeluargaan (MMWK) kaum muslimin dan muslimat, para remaja penerus bangsa yang berbahagia yang selalu menjadi dambaan Negara hendaknya berupaya untuk menjadi insane yang berfaedah bagi nusa dan bangsa kelak nanti sesuai dengan kemampuan masing-masing dan tuntullah kesempurnaan berfikir dan terkuatlah lahir dan bhatin dalam mengemban hidup dan kehidupan dialam semesta ini gunakanlah pula pikiran yang baik dan saya ingin mengajak anda melalui blog ini mari kita mengemban amanat Allah Subhanahu wata’ala dengan penuh pengertian yang patut kita jadikan landasan dalam melaksanakan yaitu :
 
  1. 1.   Iman dan taqwa kita jadikan dasarnya.
  2. 2.   Berbuat amal dan kebijakan atau amal sholeh adalah dengan buktinya.
  3. 3.   Tolong-menolong sesame insane sebagai siarnya.
  4. 4.   Bersabar dan menerima atas dasar ketentuan Allah adalah sandaran
  5. 5.   Berhubungan kepada diri sendiri bukti taqwa kepada Allah ta’ala.
Nah oleh karena itu bagi kita yang mengaku yang beragama islam hukumnya wajib melaksanakan agar dapat mempercayakan diri kita masing-masing dan apabila tersebut diatas telah kita kerjakan dengan sepenuh hati dan baik Insyah Allah akan memperolah bukti yang nyata serta pengertian yang lebih sempurna didalam menjalankan tugas hidup, yang sehingga dapat mengalami benar sistimatik petunjuk dari yang dikatakan Aku sebagai mana metode telah digariskan yaitu petunjuk dari Allah diterima melalui di Aku tersebut dan oleh siAku diteruskan kepada siSaya dan mengekspresikan petunjuk itu, menjadi satu rangsangan yang perlu mendapat respond an alam merespon tersebut akan berbentuk suatu perbuatan nyata.
 
Atau tindakan yang mungkin saya dalam merespon petunjuk itu bisa terjadi pula tidak dilaksanakan sebab ada kemungkinan petunjuk tersebut  tidak sesuai dengan aspek saya atau lahiriah, dan apabila factor lahiriyah yang lebih dominan akan menolaknya petunjuk darisiAku atau yang disebut utusan tadi, jadi yang berarti ketidak sesuaian dari si hawa nafsu.
 
Karena tidak dapat dikembalikan jelasnya diumbar siSaya kemungkinan sekali ptunjuk yang dari dalam itu dapat melangsungkan dilaksanakan karena sudah ada kesadaran dari hawa nafsu itu sendiri yang berarti telah terkendali, nah inilah masalah yang sangat penting bagi kita untuk diketahui agar didalam mengamalkan pelaksanaanya di kerjakan oleh kita dapat diperhatikan terlebih dahulu demi keselamatan dunia dan akhirat kelak.
 
Dan mari kita sama-sama memperhatikan penjelasan selanjutnya hal yang berhubungan dengan pengertian untuk dapat mengerjakan keikhlasan dalam melaksanakan kebajikan pada sesamanya selama kita hidup di alam semesta ini sebab banyak contohnua dan apabila mengalami suatu kegagalan bahwa itu merupakan guru yang sangat berharga dalam upaya mencapai sukses ialah dengan kesadaran yang tinggi serta mau menerima kenyataan hidup dengan melalui penyerahan diri nudah ke akhirat Lillahi rabbi juga mau menoleh dan dan menerima atau memperhatikan kedalam diri, sehingga untuk itu dapat ditekan semaksimal mungkin sudah dengan sendiri tidaklah terlalu memberatkan siAkunya jadi adapun benar dan salahnya suatu perbuatan itu, sebaiknya diserhakan saja kepada yang sangat berwenang yaitu Allah subhanahu wata’ala.
 
Justru itu kelak untuk melaksanakan suatu perbuatan ikhlas kita perlu mempelajari mekanis diri kita sendiri, oleh karena itu pada sesungguhnya katifitas diri  itu dalam bentuk lahiriah sebenarnya cukup banyak hal  yang mengandung pelajaran yang sangat berguna ataupun baik bagi kehidupan kita walaupun mungkin kelihatanya sangat sepele bahkan seolah-olah terlihat oleh kita tidak ada manfaatnya, namun apabila secara jujur dan terbuka tidaklah akan pernah kita membicarakan persoalan buang air besar (berak), sebab dihubungi dengan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari dan pula jika kita lihat dalam pengertian berak itu, yang normalnya suatu ucapan yang menjijikan atau jorok kedengaranya. Tetapi dibalik kejorokan yang menjijikan sesungguhnya terdapat mutiara ikhlas, dan cobalah anda renungkan sejenak apa yang diuraikan diatas dan secara tegas pernahkah anda berupaya untuk tidak buang air ataupun tidak mau berak mengingat yang dimakan oleh anda adalah barang makanan yang kita makan itu mahal harganya tetapi saja akan kita buang melalui buang air tersebut bahkan dengan lapang dada malah anda mau melihat lagi dengan segala senang hati itulah yang terdapat dalam penegrtian kata ikhlas dalam kehidupan kita, karena telah banyak contoh oaring yang 2-3 tidak bisa buang airrasanya kebingungan maka adalah merupakan simpanan penyakit dalam tubuh, oleh sebab itu walaupun suatu rejeki yang dapat dari hasil kita sendiri maka perlu kita sedekahkan.
 
Pada yang benar-benar menerimanya dengan sepenuh hati ke ikhlasan hati tak menharapkan kembali, inilah contoh penegrtian tentang keikhlasan dalam berbuat kebajikan kepada sesama
.
Dan selanjutnya mari kita perhatikan hal-hal yang lain, yang bisa dijadikan keyakinan dari masing-masing renungkanlah apakah yang sebenarnya akan dating nanti dari harapan kita tersebut, adalah yang pasti ialah senang dan susah seperti sakit dan bingung, putus asa dan gelisah atau demam hati, itulah suatu perbuatan kebajikan yang dilandasi pamrih jadi yang jelas itu perbuatan yang mengharap imbalan. Hendakna suatu perbuatan yang bersifat agama tentu disertai keikhlasan karena tidak menharapkan imbalan apapun yang ia kerjakan, demi agama diserhakan saja kepada Allah subhanahu wataala, andaikan demikian pula itikat baik kita itu bisa rusak, oleh karena harapan akan banyak kemungkinan yang masih bisa timbul dan jelaslah sudah barang tentu yang tadi kita anggap sepele belumlah pasti mempunyai nilai dan arti yang sepele juga kemungkinan lain.
 

Saudara muslim dan muslimat serta para generasi penerus terutama jemaah MMWK yang berbahagia dengan sesuatu kesadaran yang tinggi dalam diri pribadi, malah kita akan lebih menyadari bahwasanya kita ini merupakan ciptaan Allah yang segala sesuatunya mengatur ketentuan itu, adalah Allah sendiri dan dengan demikian apa yang dilakukan dengan pengertian yang berlandaskan dogma (bod) diadakan keberadaan kita diatur dan ditentukan oleh Allah Yang Maha Kuasa dan sebaiknya kita berbuat jangan seenak perut sendiri ataupun sekehendak diri saja,…   

Mengenal Jati Diri (lanjutan) KLIK   DISINI

6 Agustus 2012

Tiga Inti Ajaran Islam

oleh alifbraja

Diiringi panjatan do’a dan sanjungan serta pujian hanya bagi Alloh semata atas segala kenikmatan serta ma’unah(pertolongan) yang tercurah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya. Kemudian diiringi panjatan sholawat bagi baginda Rosululloh Muhammad bin Abdulloh, bagi keluarga, para sahabat, serta seluruh pengikut beliau yang tulus setia meniti jalan hidup beliau dan menaati ajaran beliau sampai hari kiamat.

Pada majelis kita kali ini kami mengajak sidang pembaca untuk membahas “tiga inti ajaran Islam” yang merupakan salah satu karakteristik Islam yang paling pokok. Kami berharap semoga dengan mengenal serta mengilmui ketiganya kita bisa meluruskan pemahaman sekaligus amalan kita sebagai wujud ukhuwwah (persaudaraan) dan kebersamaan di bawah naungan panji agama Islam.

Pertama:

Berserah Diri Kepada Alloh Dengan Mentauhidkan-Nya

Inti ajaran Islam pertama adalah berserah diri sepenuh jiwa dan raga hanya kepada Alloh yang didasari kemurnian tauhid kepada-Nya semata. “Berserah diri” di sini bermakna menghinakan dan merendahkan diri disertai ketundukan yang tulus dari setiap hamba kepada penciptanya. Sehingga secara utuh maknanya seorang hamba berserah diri, patuh lagi tunduk kepada Alloh untuk meninggikan keesaan-Nya dalam hak-hak berkehendak dan berbuat yang melazimkan keesaan-Nya dalam hak-hak peribadahan. Inilah hakikat mentauhidkan Alloh, yaitu yang disebut tauhid ibadah, bermakna diunjukkannya seluruh peribadahan hamba hanya kepada-Nya semata.

Ketahuilah, mentauhidkan Alloh dengan seluruh peribadahan merupakan hal yang paling besar dalam ajaran Islam. Keagungan peribadahan ini tersirat dari penyebutannya di dalam Kitabulloh (al-Qur’an) dan dalam hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan perintah Alloh yang pertama dan seruan awal para rosul utusan-Nya kepada manusia, bahkan para rosul itu diutus demi tujuan tauhid ibadah tersebut.[1] Demikian juga tidaklah didapati fi’il[2] yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an selain peribadahan kepada-Nya[3]. Dan tidaklah Alloh memerintah manusia dengan fi’il amr[4] yang pertama kali disebutkan di dalam al-Qur’an selain fi’il amr untuk beribadah kepada-Nya[5]. Ini hanya sebagian hikmah Alloh yang mengisyaratkan pada keutamaan ketundukan seorang hamba dengan tauhid ibadah kepada-Nya semata.

Alloh menyebutkan bahwa tauhid adalah millah[6] Nabi Ibrohim alaihis salam, dan kita diwajibkan untuk menitinya. Sebagaimana Alloh menyebutkan teladan dalam berserah diri kepada-Nya pada diri Nabi Ibrohim dan anak-anak serta pengikutnya sehingga kita harus meneladaninya dan tidak membencinya.[7]

Berserah diri, tunduk, dan merendah yang dilakukan oleh seorang muslim merupakan kewajiban yang telah diperintahkan untuk senantiasa dilakukan selama hayat masih dikandung badan[8], dan dia harus melakukan seluruh ritual peribadahannya kepada Alloh disebabkan cinta dan rindunya yang mendalam kepada-Nya. Sebagaimana dia harus merendahkan diri serta menundukkan keangkuhannya di hadapan Alloh dengan harapan yang tinggi lagi besar kepada ridho dan rohmat-Nya serta dengan perasaan takut, cemas, dan khawatir akan murka dan siksa-Nya. Alloh telah berfirman:

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (QS. al-Anbiya’ [21]: 90)

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa berserah dirinya seorang muslim kepada Alloh harus terwujud dalam bentuk amalan sholih dan kebaikan yang didasari keikhlasan hanya kepada-Nya semata. Itulah sesungguhnya hakikat khusyu’, yaitu sikap merendah seorang hamba di hadapan penciptanya yang ia yakin akan kebesaran dzat-Nya dan ketinggian serta keagungan sifat-Nya.

Nampak jelaslah bahwa berserah diri kepada Alloh yang dimaksudkan di sini tidak sama dengan berserah diri kepada taqdir; bila seseorang telah menerima taqdir Alloh—apapun bentuk dan cita rasanya—maka berarti ia telah berserah diri kepada-Nya. Bukan itu maksudnya! Akan tetapi, seseorang dikatakan telah berserah diri kepada Alloh bila ia telah mencurahkan waktu, daya, dan upayanya untuk beramal ibadah kepada Alloh semata, bahkan selama hayat masih dikandung badan ia harus melakukannya. Maka pahamilah wahai kaum!

Kedua:

Mewujudkan Ketaatan Atas Segala Perintah Alloh dan Menjauhi Larangan-Nya

 

Mengapa Islam memerintahkan manusia untuk taat kepada perintah Alloh dan Rosul-Nya, apa faedah yang akan didapati oleh mereka yang taat, apa pula celakanya bila mereka tidak taat? Pertanyaan seperti ini mungkin yang sering menutupi fithroh suci setiap orang yang enggan untuk taat.

Ada satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu bahwa Alloh telah mengutus para rosul kepada seluruh umat, bahkan tiada suatu umat pun melainkan Alloh telah mengutus kepada mereka seorang rosul. Alloh juga menyebutkan tujuan diutusnya mereka guna menyampaikan kabar gembira sekaligus peringatan serta ancaman. Alloh berfirman:

Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Fathir [35]: 24)

Kabar gembira dan peringatan tersebut disampaikan kepada seluruh umat ini, yaitu kabar gembira bagi umat yang taat dan peringatan serta ancaman bagi mereka-mereka yang enggan.

Ketahuilah, ketaatan apapun yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri dan bukan untuk membahagiakan Alloh dengan ditaati-Nya.[9] Sungguh, ketaatan manusia kepada Alloh dan rosul-Nya merupakan kebutuhan asasi disebabkan butuhnya mereka kepada rohmat Alloh, penciptanya. Oleh sebab itu, Alloh memerintahkan manusia untuk taat kepada-Nya dan taat kepada rosul-Nya, yaitu agar mereka dirohmati oleh Robb seru sekalian alam. Ini adalah sebagian kabar gembira yang dibawa oleh para rosul. Alloh berfirman:

Dan taatilah Alloh dan rosul, supaya kamu diberi rohmat. (QS. Ali Imron [3]: 132)

Telah kita ketahui bahwa Alloh telah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita—sebagai umat terakhir—sebagaimana Dia pun telah menurunkan al-Qur’an bersama beliau. Seperti halnya para rosul sebelum beliau, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun diutus dengan membawa kabar gembira sekaligus peringatan bagi kita.[10] Maka perhatikanlah firman Alloh sebagai kabar gembira bagi kaum yang taat (yang artinya):

… barangsiapa taat kepada Alloh dan Rosul-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (QS. an-Nisa’ [4]: 13)

Di dalam ayat selanjutnya Alloh berfirman tentang ancaman bagi mereka-mereka yang lalim lagi durhaka (yang artinya):

Dan barangsiapa yang mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Alloh memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. an-Nisa’ [4]: 14)

Mungkin ada yang mengatakan ancaman tersebut sekedar ancaman, sebagaimana kabar gembira itu hanya sekedar janji. Aduhai, sungguh besar kecelakaan dan sungguh gelap jalan mereka, yakinlah bahwa tiada seorang pun yang mengatakan demikian melainkan ia sangat jahil bahkan telah tersesat di lembah hitam kekufuran.

Sudahkah mereka belajar dari umat-umat yang terdahulu? Sudahkah mereka tahu bahwa Alloh pun telah memerintahkan supaya kita mengambil pelajaran dari umat-umat yang terdahulu?[11]

Ingatlah kesudahan kaum ‘Ad yang mengerikan, mengapa angin yang sangat dingin lagi sangat kencang menerpa mereka selama tujuh hari delapan malam sehingga mereka binasa sama sekali dan tidak menyisakan seorang pun? Ingatlah kesudahan kaum Tsamud yang celaka, mengapa petir yang sangat besar dengan suara mengguntur yang memekakkan lagi mematikan membinasakan mereka? Ingatlah pula kesudahan kaum Nabi Luth alaihis salam yang menjijikkan, gerangan apa sebabnya negeri tempat tinggal mereka dibalikkan sedangkan hujan batu yang panas membakar menerpa mereka hingga binasa? Sejarah telah menjadi saksi bahwa kaum ‘Ad telah durhaka kepada Nabi Hud alaihis salam, kaum Tsamud tidak taat kepada Nabi Sholih alaihis salam, sementara kaum Nabi Luth alaihis salam enggan dan berpaling dari seruan beliau.[12]

Ingatlah juga kapal penyelamat Nabi Nuh alaihis salam, bagaimana air telah menenggelamkan seluruh manusia dan tiada tersisa seorang pun di muka bumi ini selain yang taat mengikuti Nabi Nuh alaihis salam dan menumpang di atas kapal yang Alloh perintahkan Nabi Nuh alaihis salam untuk membuatnya?[13] Sungguh ini adalah keterangan yang nyata, maka ambillah pelajaran wahai kaum![14] Akankah kesombonganmu tetap mengalahkan fithrohmu?

Maka jelaslah bahwa hanya mereka yang enggan taat lantaran sombonglah yang menolak kejelasan perkara yang terang-benderang—laksana matahari di siang hari—ini. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan kejelasan masalah ini dalam sabda beliau:

“Seluruh umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan!” Para sahabat bertanya: “Siapa orang yang enggan (masuk surga), wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku niscaya akan masuk surga, dan siapa saja yang mendurhakaiku dialah orang yang enggan (masuk surga).” Dalam riwayat lain beliau bersabda: “… dan siapa saja yang mendurhakaiku niscaya akan masuk neraka.”[15]

Setelah semuanya jelas, kini ketahuilah bahwa “ketaatan” itu disebut “ketaatan” apabila berupa ketekunan melaksanakan perintah seiring dengan senantiasa waspada untuk meninggalkan larangan. Bila seseorang hanya melaksanakan perintah saja, dia masih belum dikatakan taat sehingga dia juga meninggalkan larangan. Demikian juga, bila seseorang hanya meninggalkan larangan namun tidak melaksanakan perintah tidaklah disebut orang yang taat sehingga dia menegakkan perintah-perintah.

Ketahuilah bahwa perintah yang paling awal, paling agung, dan paling utama adalah mentauhidkan Alloh dengan seluruh peribadahan sebagaimana hal ini telah jelas pada inti ajaran Islam yang pertama. Sebaliknya, larangan yang paling besar dan paling utama untuk ditinggalkan adalah menduakan Alloh dengan makhluk-Nya sebagai pemilik hak peribadahan, ialah dosa syirik, mempersekutukan Alloh dengan makhluk-Nya. Maka ketaatan seorang muslim yang paling utama ialah ia mengesakan Alloh dengan seluruh macam ibadah seiring dengan ia tinggalkan kesyirikan serta para pelakunya. Lebih lanjut hal ini akan kita pahami pada inti ajaran Islam yang ketiga berikut ini.

Ketiga:

Berlepas Diri dari Kesyirikan dan Pelakunya

Kewajiban awal bagi setiap muslim adalah bertauhid yang murni lagi tulus seiring dengan berlepas diri dan cuci tangan dari kesyirikan. Perhatikanlah apa yang telah Alloh perintahkan dan dari apa yang kita dilarang-Nya dalam ayat berikut:

Ibadahilah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun…. (QS. an-Nisa’ [4]: 36)

Di sini Alloh subhanahu wata’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya dan melarang mereka dari mempersekutukan-Nya. Hal ini mengandung penetapan hak peribadahan hanya bagi-Nya semata. Sehingga siapa yang tidak beribadah kepada-Nya maka ia kafir lagi congkak, dan siapa yang beribadah kepada Alloh disertai peribadahan kepada selain-Nya maka ia kafir lagi musyrik, sedangkan siapa saja yang hanya beribadah kepada-Nya semata ialah muslim yang mukhlish.[16]

Ketahuilah, berlepas diri dari kesyirikan itu mengharuskan berlepas diri dari para pelakunya. Tatkala seseorang berusaha menyucikan diri dari kesyirikan maka usahanya itu mengharuskannya membersihkan diri dari hubungan baik dengan para pelaku kesyirikan di atas kesyirikan mereka. Sungguh Alloh telah menunjuk teladan yang baik dalam masalah ini pada diri Nabi Ibrohim alaihis salam dan kaumnya.[17]

Akhirnya, semoga Alloh menuntun kita semua meniti jalan-Nya yang lurus dalam ber-Islam yang sesuai dengan kehendak-Nya.


[1] Lihat QS. al-Anbiya’ [21]: 25.

[2] Fi’il: kata kerja

[3] Fi’il yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Fatihah ayat 4, yaitu kata na’budu yang berarti “kami beribadah”. Dan tidak ada kata kerja lainnya yang mendahuluinya dalam surat tersebut yang merupakan surat pertama dalam al-Qur’an sesuai urutan dalam Mushhaf Utsmani.

[4] Fi’il amr dalam bahasa Indonesia disebut “kata perintah”.

[5] Fi’il amr yang pertama kali disebutkan dalam al-Qur’an terdapat dalam surat al-Baqoroh ayat 21, yaitu kata u’budu yang berarti “beribadahlah kalian”. Dan tidak ada kata perintah lainnya yang mendahuluinya dari ayat-ayat sebelumnya sampai awal al-Qur’an.

[6] Millah: agama atau jalan hidup

[7] QS. al-Baqoroh [2]: 130–132

[8] QS. al-An’am [6]: 162–163

[9] QS. Fushshilat [41]: 46

[10] QS. al-Baqoroh [2]: 119

[11] QS. Yusuf [12]: 109

[12] Lihat QS. Hud [11]: 50–83, QS. al-Haqqoh [69]: 4–8.

[13] Lihat QS. Hud [11]: 25–49.

[14] Lihat QS. al-Hajj [22]: 46.

[15] Hadits shohih riwayat Bukhori, kitab al-I’tishom bil Kitab was Sunnah bab al-iqtida’ bi sunani Rosulillah shallallahu ‘alaihi wasallam.

[16] Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Muhammad al-Utsaimin, hlm. 42. Mukhlish artinya yang tulus ibadahnya hanya untuk Alloh subhanahu wata’ala.

[17] Lihat QS. al-Mujadilah [58]: 22 dan QS. al-Mumtahanah [60]: 4.