Posts tagged ‘umat islam’

14 Januari 2013

Pemahaman Kalimat Syahadat

oleh alifbraja

Kalimat syahadatain adalah kalimat yang tidak asing lagi bagi umat Islam. Kita senantiasa menyebutnya setiap hari, misalnya ketika shalat dan azan. Kalimat syahadatain sering diucapkan oleh umat Islam dalam pelbagai keadaan. Kita menghafal kalimat syahadah dan dapat menyebutnya dengan fasih. Namun, demikian sejauh manakah makna kalimat ini dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari kaum Islam?

Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan realitas yang ada. Tingkah laku umat Islam yang terpengaruh dengan budaya jahiliyah atau cara hidup Barat, memberi gambaran bahwa syahadah tidak cukup memberi pengaruh. Terbukti tidak sedikit dari umat Islam yang masih melakukan perkara-perkara yang dilarang Allah dan meninggalkan perintah-Nya, memberi kesetiaan bukan kepada kaum muslimin, atau tidak mensyukuri sesuatu yang diberikan kepada mereka. Itu adalah contoh dari wujud seseorang yang tidak memahami syahadah yang dibacanya dan tidak mengerti makna yang sebenarnya dari syahadah.

Kalimat syahadah merupakan asas utama dan landasan penting bagi rukun Islam. Tanpa syahadah, rukun Islam lainnya akan runtuh. Begitu juga dengan rukun iman. Tegaknya syahadah dalam kehidupan individu akan menegakkan ibadah dan dien dalam hidup kita. Dengan syahadatain terwujudlah sikap ruhani yang akan memberikan motivasi kepada tingkah laku jasmaniah dan akal pikiran, serta memotivasi kita untuk melaksanakan rukun Islam lainnya.

Tegaknya Islam mesti didahului oleh tegaknya rukun Islam; dan tegaknya rukun Islam mesti didahului oleh tegaknya syahadah. Rasulullah saw. mengisyaratkan bahwa Islam itu bagaikan sebuah bangunan. Untuk berdirinya bangunan Islam itu harus ditopang oleh 5 (lima) tiang pokok, yaitu syahadatain, shalat, saum, zakat, dan haji ke Baitulllah.

Di zaman Nabi saw., kalangan masyarakat Arab memahami betul makna syahadatain ini. Terbukti dalam suatu peristiwa dimana Nabi saw. mengumpulkan para pemimpin Quraisy dari kalangan Bani Hasyim, Nabi saw. bersabda, “Wahai saudara-saudara, maukah kalian aku beri satu kalimat, dimana dengan kalimat itu kalian akan dapat menguasai seluruh jazirah Arab?” Kemudian Abu Jahal menjawab, “Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat berikan kepadaku.” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Ucapkanlah laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah.” Abu Jahal pun menjawab, “Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Penolakan Abu Jahal kepada kalimat ini bukan karena dia tidak paham akan makna dari kalimat itu. Justru sebaliknya. Dia tidak mau menerima sikap yang mesti tunduk, taat, dan patuh kepada Allah swt. saja Dia sadar betul jika ia bersikap seperti itu, maka semua orang akan tidak tunduk lagi kepadanya. Abu Jahal ingin mendapatkan loyalitas dari kaum dan bangsanya. Penerimaan syahadah bermakna menerima semua aturan dan segala akibatnya. Penerimaan inilah yang sulit bagi kaum jahiliyah untuk mengaplikasikan syahadah.

Sebenarnya, apabila mereka memahami bahwa loyalitas kepada Allah itu juga akan menambah kekuatan bagi diri mereka. Mereka yang beriman semakin dihormati dan semakin dihargai. Mereka yang memiliki kemampuan dan ilmu akan mendapatkan kedudukan yang sama apabila ia sebagai muslim (Abu Jahal adalah tokoh di kalangan Arab jahiliyah dan ia memiliki banyak potensi, diantaranya ia sebagai Abu Amr (ahli hukum). Setiap individu yang bersyahadah, maka ia menjadi khalifatullah fil Ardhi.

Kalimat syahadah mesti dipahami dengan benar karena di dalamnya terdapat makna yang sangat tinggi. Dengan syahadah, kehidupan kita akan dijamin bahagia di dunia ataupun di akhirat. Syahadah sebagai kunci kehidupan dan tiang dien (agama Islam). Oleh karena itu, marilah kita bersama memahami syahadatain ini.

Syahadat adalah Pintu Masuk ke dalam Islam

Sahnya iman seseorang adalah dengan menyebutkan syahadatain. Kesempurnaan iman seseorang bergantung kepada pemahaman dan pengamalan syahadatain. Syahadatain membedakan manusia kepada muslim dan kafir. Pada dasarnya setiap manusia telah bersyahadah Rububiyah di alam arwah, tetapi ini saja belum cukup. Untuk menjadi muslim, mereka harus bersyahadah Uluhiyah dan syahadah Risalah di dunia.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

Rasulullah bersabda kepada Muadz bin Jabal saat mengutusnya ke penduduk Yaman, “Kamu akan datang kepada kaum ahli kitab. Jika kamu telah sampai kepada mereka, ajaklah mereka agar bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima shalat setiap siang dan malam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan sedekah (zakat) yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada orang-orang miskin. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, hati-hatilah kamu terhadap kemuliaan harta mereka dan waspadalah terhadap doanya orang yang dizalimi, sebab antaranya dan Allah tidak ada dinding pembatas.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berikut ini pernyataan Rasulullah saw. tentang misi Laa ilaha illallah dan kewajiban manusia untuk menerimanya.

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan hal itu, terperiharalah darah dan harta benda mereka kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pentingnya mengerti, memahami, dan melaksanakan syahadatain. Manusia berdosa akibat melalaikan pemahaman dan pelaksanaan syahadatain.

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” [QS. Muhammad (47): 19].

Kalimat “dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” menunjukan bahwa ketidakkonsistenan sikap seseorang dengan pernyataan tauhidnya (Laa ilaaha illallah) adalah perbuatan dosa. Karena pernyataan tersebut pada hakikatnya adalah pernyataan ikrar kecintaan, ketaatan, dan rasa takut hanya kepada Allah semata. Maka, bila seseorang muslim tidak menunaikan shalat, tidak menutup aurat, dan atau terlibat dalam pergaulan bebas antar lawan jenis, hal itu merupakan sikap tidak konsisten dengan pernyataan Laa ilaaha illallah. Karena dengan sikap seperti itu, cinta, taat, dan rasa takutnya tidak diarahkan kepada Allah, tetapi kepada hawa nafsunya sendiri.

Manusia menjadi kafir karena menyombongkan diri terhadap Laa ilaha illallah dan tidak mau mengesakan Allah.

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), mereka menyombongkan diri.” [QS. As-Shaffat (37): 35].

Yang dimaksud menyombongkan diri ketika diperdengarkan kalimat ”Laa ilaaha illallah” tidak semata-mata karena tidak mau mengucapkan atau mendengarkannya, tetapi yang yang dimaksud adalah substansinya, yaitu hanya taat, takut dan cinta kepada Allah. Karena itu kesombongan diri dalam ayat ini maksudnya adalah sikap tidak mau taat dan tunduk kepada perintah Allah, seperti tidak mau mengerjakan shalat, tidak menutup aurat, tidak menjauhi pergaulan bebas, berkhalwat dengan yang bukan mahramnya, dan sebagainya.

Yang dapat bersyahadat dalam arti sebenarnya adalah hanya Allah, para malaikat, dan orang-orang yang berilmu, yaitu para nabi dan orang yang beriman kepada mereka.

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan; para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu): tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Ali Imran (3): 18].

Manusia bersyahadah di alam arwah sehingga fitrah manusia mengakui keesaan Allah. Ini perlu disempurnakan dengan syahadatain sesuai ajaran Islam.

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mMereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” [QS. Al-A’raf (7): 172].

Syahadat adalah Ringkasan Ajaran Islam

Pemahaman muslim terhadap Islam bergantung kepada pemahamannya terhadap syahadatain. Sebab, seluruh ajaran Islam terdapat dalam dua kalimat yang sederhana ini.

Ada 3 hal prinsip syahadatain :

A. Pernyataan Laa ilaha illallah merupakan penerimaan penghambaan atau ibadah kepada Allah saja. Melaksanakan minhajillah (way of life yang ditetapkan Allah) merupakan ibadah kepada-Nya.

B. Menyebut Muhammad Rasulullah merupakan dasar penerimaan cara penghambaan itu dari Muhammad saw. Dan Rasulullah adalah tauladan dalam mengikuti Manhaj Allah.

C. Penghambaan kepada Allah meliputi seluruh aspek kehidupan. Ia mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dan dengan masyarakatnya.

Makna Laa ilaha illa Allah adalah penghambaan kepada Allah [QS. Al-Anbiya’ (21): 25], dan Rasul diutus dengan membawa ajaran tauhid.

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” [QS. Al-Baqarah (2): 21].

Manusia diciptakan untuk menghambakan dirinya kepada Allah semata.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” [QS. Az-Dzariyat (51): 56].

Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” [QS. Al-Anbiya’ (21): 25].

Muhammad saw. adalah tauladan dalam setiap aspek kehidupan [QS. Ali Imran (3): 31], dan aktifitas hidup orang yang beriman kepada Allah, hendaknya mengikuti ajaran Muhammad saw.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzab (33): 21].

Meneladani Rasulullah menjadi parameter keimanan dan kecintaan seseorang kepada Allah. Bukti cinta kepada Allah adalah dengan mengikuti ajaran Rasulullah saw.

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Ali Imran (3): 31].

Seluruh aktivitas hidup manusia secara individu, masyarakat dan negara mesti ditujukan kepada mengabdi Allah swt. saja.

“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162).

Islam adalah satu-satunya syariat yang diridhai Allah dan tidak dapat dicampur dengan syariat lainnya.

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” [QS. Ali Imran (3): 19].

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” [QS. Ali Imran (3): 85].

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Jatsiyah (45): 18].

“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalannya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” [QS. Al-An’am (6): 153].

Syahadat adalah Dasar Sebuah Perubahan

Syahadatain mampu mengubah manusia dalam aspek keyakinan, pemikiran, maupun jalan hidupnya. Perubahan itu juga meliputi berbagai aspek kehidupan manusia secara individu atau masyarakat.

Ada perbedaan penerimaan syahadatain pada generasi pertama umat Muhammad dengan generasi sekarang. Perbedaan tersebut disebabkan perbedaan derajat kepahaman terhadap makna syahadatain secara bahasa dan pengertian, dan sikap konsisten terhadap syahadah tersebut dalam pelaksanaan ketika menerima maupun menolak.

Umat terdahulu langsung berubah ketika menerima syahadatain. Sehingga mereka yang tadinya bodoh menjadi pandai, yang kufur menjadi beriman, yang bergelimang dalam maksiat menjadi takwa dan abid, yang sesat mendapat hidayah. Masyarakat yang tadinya bermusuhan menjadi bersaudara di jalan Allah.

Syahadatain dapat merubah masyarakat dahulu, maka syahadatain pun dapat mengubah umat sekarang menjadi baik.

Penggambaran Allah tentang perubahan yang terjadi pada para sahabat Nabi, yang dahulunya berada dalam kegelapan jahiliyah kemudian berada dalam cahaya Islam yang gemilang.

“Dan apakah orang yang sudah mati (maksudnya ialah orang yang telah mati hatinya yakni orang-orang kafir) kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. Al-An’am (6): 122].

Perubahan individu contohnya terjadi pada Mush’ab bin Umair yang sebelum mengikuti dakwah Rasul merupakan pemuda yang paling terkenal dengan kehidupan yang glamour di kota Mekkah. Tetapi setelah menerima Islam, ia menjadi pemuda sederhana yang dai, duta Rasul untuk kota Madinah, kemudian menjadi syuhada Uhud. Saat syahidnya, Rasulullah membacakan ayat ini.

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” [QS. Al-Ahzab (33): 23].

Reaksi masyarakat Quraisy terhadap kalimat tauhid [QS. Al-Buruuj (85): 6-10], reaksi musuh terhadap keimanan kaum mukminin kepada Allah [QS. Al-Kahfi (18): 2], musuh memerangi mereka yang konsisten dengan pernyataan Tauhid [QS. Al-Anfal (8): 20].

Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: Laa ilaaha illallah (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah), mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, “Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya). [QS. As-Shaffat (37): 35-37].

“Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” [QS. Al-Buruj (85): 6-10].

“Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” [QS. Al-Kahfi (18): 2].

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” [QS. Al-Anfal (8): 30].

Syahadat adalah Hakikat Dakwah Para Rasul

Setiap rasul, semenjak Nabi Adam a.s. hingga Nabi Muhammad saw., membawa misi dakwah yang satu, yaitu syahadah. Apa yang diwahyukan kepada Rasulullah sama dengan apa yang diwahyukan kepada nabi-nabi sebelumnya. Allah berfirman,

“Sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan kami berikan Zabur kepada Daud.” [QS. An-Nisa’(4): 163].

Mereka semua mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah semata dan hanya menyembah kepada-Nya. Seperti yang diserukan Nuh a.s. kepada kaumnya.

Sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), Aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” [QS. Al-A’raf (7): 59].

Nabi Ibrahim berdakwah kepada masyarakat untuk membawa mereka menuju kepada pengabdian Allah saja serta membebasakan diri dari kesyirikan.

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya; ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sesungguhnya Aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan Aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat, dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” [QS. Al-Mumtahanah (60): 4].

(Catatan: Nabi Ibrahim pernah memintakan ampunan bagi bapaknya yang musyrik kepada Allah: Ini tidak boleh ditiru, karena Allah tidak membenarkan orang mukmin memintakan ampunan untuk orang-orang kafir. Lihat surat An-Nisa ayat 48).

Para nabi membawa dakwah bahwa ilah yang satu yaitu Allah saja.

Katakanlah, “Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa.” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” [QS. Al-Kahfi (18): 110].

Syahadat adalah Kalimat dengan Ganjaran Yang Besar

Banyak ganjaran yang diberikan oleh Allah dan dijanjikan oleh Nabi Muhammad saw. Di antaranya seseorang akan dimasukkan ke dalam surga dan dikeluarkan dari neraka seperti sabda Rasulullah saw.

عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ

Ubadah bin Shamit meriwayatkan dari Nabi saw., beliau bersabda, “Barangsiapa mengatakan tiada ilah selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya dan Rasul-Nya, bahwa Isa adalah hamba dan utusan-Nya, kalimat-Nya yang dicampakkan kepada Maryam dan ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah hak serta neraka itu hak. Allah akan memasukkannya ke surga, apapun amal perbuatannya.” (Bukhari).

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ وَيَخْرُجُ مِنْ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَفِي قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ

Dari Anas, Nabi saw. bersabda, “Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah dan di hatinya ada seberat rambut kebaikan. Keluar dari neraka orang yang mengucapkan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat gandum kebaikan. Dan keluar dari neraka orang yang mengatakan la ilaha illallah sedang di hatinya ada seberat zarrah kebaikan.” (Bukhari).

Orang yang mengikrarkan syahadat akan mendapatkan syafaat Rasulullah di hari Kiamat. Seperti sabda beliau,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafaatmu di hari Kiamat?” Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah mengira, ya Abu Hurairah, bahwa tidak ada seorang pun yang tanya tentang hadits ini yang lebih dahulu daripada kamu, karena aku melihatmu sangat antusias terhadap hadits. Orang yang paling bahagia dengan syafaatku di hari Kiamat adalah yang mengatakan la ilaha illallah secara ikhlas dari hatinya atau jiwanya.” (Bukhari).

2 Oktober 2012

WUJUD YANG MAHA PENCIPTA

oleh alifbraja

Kewujudan Yang Maha Pencipta di terangkan oleh Allah di dalam Al-Quran melalui firmanNya Al Insan ayat 1 Maksudnya: Bukankah telah berlalu kepada manusia satu ketika dari masa yang beredar sedang ia (insan) belum ujud lagi, zaman itu tidak dapat untuk di-sebut-sebut mengikut perhitungan masa, mengapa kaum musyrik itu engkar? Mengikut ju mhur ulamak zaman yang di sebut oleh Allah swt di atas adalah zaman yang hanya ujud ialah Zat Allah semata-mata dan makhluk Allah yang lainpun belum lagi ujud, akan tetapi Allah yang kita kenali sekarang sebagai Tuhan yang wajib di sembah itu dan di kenali sebagai (Dialah yang awal, Dialah yang Akhir, Dialah yang Zahir dan Dialah yang Batin) telahpun sedia ujud, Yang di katan yang Awal itu kerana Dia bersifat Qidam, iaitu sifat yang mutlak bagi diriNya, dan tiada di dahului oleh sesuatu jugapun, demikianlah juga dengan sifat Akhir dengan tiada berkesudah an, kerana ia memiliki sifat mutlak yang Baqo, ini bererti Dia memerintah, mentadbir, Mengurus, Menguasai semua makhluk ciptaaNya daripada awal sehingga ke akhir, sementra siafat ZahirNya ia menunjukkan kepada jelas dan terangnya segala apa yang berlaku atas bergerak dan diamnya segala alam ciptaanNya adalah dari kerja urusanNya, ia juga di kenali sebagai Af’al Tuhan atau kerja buat urusan yang senantiasa menjalankan urusanNya sebagaimana firmanNya menyatakan Maksudnya: Semua makhluk yang berada di langit dan di bumi sentiasa Berhajat dan bermohon kepadaNya, tiap-tiap masa Dia didalam urusanNya (Mencipta dan mentadbir makhlukNya) (Ar Rahman 29) Ayat yang di atas mengukuhkan lagi kefahaman umat islam bahawa segala yang bergerak dari sekalian makhlukNya adalah ditadbir dan disebabkan oleh kuasa dan kehendak Allah swt, dengan kuasa tadbir itu bermakna takdir seluruh makhluk itu adalah di bawah kuasa gerak daripada Ke Esaan Tuhan secara mutlak dan di tentukan oleh Allah swt, mengikut nafsu semasa makhluk tersebut, inilah suatu rahsia takdir daripada Tuhan terhadap makhlukNya, dan di-sinilah kekaburan manusia tentang ilmu qadha dan qadar Allah swt sehingga membawa kepada pertengkaran yang tiada berkesudahan, ini bererti sekalian makhlukNya tiada mempunyai pilihan daya dan keupayaan setelah di nilai taraf kehendak nafsu seseorang tersebut sebelum takdir di timpakan oleh Allah swt kepadanya, ini bererti ke EsaanNyalah yang sepatutnya di fahami oleh sekalian makhluk terutama manusia yang memiliki akal lagi mampu berfikir secara waras, dengan kenyataan di atas jugalah kita di fahamkan bahawa Tuhan itu sentiasa menjalankan urusanNya tanpa berhenti-henti dan tanpa batas waktu dan masa, ertinya setiap bergeraknya makhluk itu adalah datang dari takdir ke Esaan Tuhan, demikian jugalah dengan sifat wal Batinu Tuhan yang sememan gnya tidak dapat di lihat dengan mata yang zahir, hanya dapat di yakini oleh mata basirah iaitu mata hati manusia kerana itulah juga manusia wajib tahu dan meng enal fungsi mata hatinya di samping mengenalinya dengan sempurna, terutama mengenal kekuasaan Tuhan secara yang menyeluruh sebagaimana firmanNya Maksudnya: Dialah Allah,yang tiada tuhan melainkan Dia,yang mengetahui perkara-perkara yang ghaib dan yang nyata, Dialah yang amat pemurah dan amat mengasihani,Dialah Allah,yang tiada tuhan melainkan Dia, yang menguasai, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang melimpahkan Keamanan, yang Maha Mengawal dan Mengawasi, yang Maha Kuasa, yang Maha Kuat, yang melengkapi segala Kebesaran, Maha suci Allah dari segala yang mereka sekutukan, Dialah Allah, yang mencipta sekalian makhluk, yang mengada kan, yang membentuk rupa, (mengikut kehendakNya) baginyalah nama yang sebaiknya dan semulia-mulianya, bertasbih segala apa yang berada di langit dan di bumi, Dialah yang tiada tolok bandingnya, lagi amat Bijaksana (Al-Hasyar 22, 23, 24) Ayat yang di atas adalah merupakan ayat akidah yang wajib di percayai oleh semua manusia yang beriman kepada kuasa Ketuhanan yang menjadikan sekalian alam-alam ciptaanNya, dan ayat yang diatas menunjukkan kekuasaanNya yang menyeluruh terhadap alam tersebut, oleh kerana itu manusia wajib mengenali Tuhan secara menyeluruh sama ada Zatnya, Asmaknya, Sifatnya dan juga Af’alnya, yang ke semuanya bergerak serentak tanpa ada yang mendahulu atau terkemudian

2 Oktober 2012

AS-SAWADU AL- A’DZAM

oleh alifbraja
As-Sawadul A’dzom adalah para Ulama yang sangat agung dan mulia, mereka adalah para Ulama Ummat Islam Mayoritas pengikut 4 Imam Madzhab Mu’tabaroh.Berikut ini adalah penjelasan tentang As Sawadu Al A’dzom, semoga bermanfaat untuk memperluas cakrawala pengetahuan anda di tengan gonjang-ganjing perpecahan Ummat Islam. Ingat pesan Nabi kita, jika terjadi perpecahan Ummat Islam ikutilah As Sawad Al A’dzom yaitu para Ulama yang diikuti oleh Mayoritas Ummat islam di seluruh dunia…..
 

AS-SAWAD AL-A’DZAM (السواد الأعظم): ULAMA AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH PANUTAN UMAT ISLAM SEDUNIA

oleh KH Thobary Syadzily
=================================================================
Di dalam kitab “Ar-Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim, pendiri pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan sekaligus pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU), halaman 14-15 menerangkan sebagai berikut:
Artinya:
=====
Apabila engkau mengetahui yang telah disebutkan di atas, maka yang benar adalah pendapat orang-orang salaf yang berpegang teguh pada garis-garis yang telah dijalani oleh ulama-ulama salaf shaleh. Karena, sesungguhnya, mereka adalah “As-Sawad Al-A’dzam” (golongan ulama yang agung). Mereka selalu berkesesuaian (sepakat) dengan ulama Haramain (ulama Mekkah dan Madinah) yang mulia dan ulama Al-Azhar yang menjadi panutan umat, teladan dan pengikut kebenaran. Selain itu, masih banyak ulama-ulama lain yang tidak bisa terhitung jumlahnya. Mereka tersebar di seluruh penjuru dunia, sebagaimana tidak bisa menghitung jumlahnya bintang di langit. Rasulullah SAW bersabda:

ان الله لا يجمع أمتي على ضلالة , و يد الله على الجماعة , من شد شد الى النار , رواه الترمذي , زاد ابن ماجه : فاذا وقع الاختلاف , فعليك بالسواد الأعظم , مع الحق و أهله , و فى الجامع الصغير , ان الله قد أحار أمتي أن تجتمع على ضلالة

ARTINYA:
======
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyesatkan umatku secara keseluruhan. Kekuasaan Allah berada pada Jama’ah (kelompok). Barangsiapa yang keluar (berpisah dari jama’ah), maka ia akan terjerumus ke dalam api neraka. Imam Ibnu Majah menambahkan: “Jika terjadi perbedaan (di antara kalian), maka hendaklah kalian berpegang tegung pada “As-Sawad Al-Adhzam” (ulama yang agung), beserta yang benar (hak) dan yang ahlinya. Dan dalam kitab “Al-Jami’us Shagir” diterangkan bahwa Allah telah menyelamatkan umatku dari kesesatan yang dilakukan secara sepakat oleh jama’ah”.
Mayoritas ulama yang agung tersebut adalah para ulama pengikut madzhab yang empat, termasuk Imam Bukhari (ahli hadits) adalah pengikut madzhab Syafi’i. Ia mempelajarinya dari Imam Humaidi, Za’faroni, dan Karabisi. Begitupula, Imam Khuzaimah, dan Imam Nasa’i. Imam Junaidi adalah pengikut Imam Ats-Tsauri. Imam Syubuli adalah pengikut madzhab Maliki. Mengikuti madzhab yang jelas hakekatnya adalah memperkokoh, lebih mendekatkan kepada pengetahuan, dan lebih mendorong kepada kebenaran, serta lebih mudah mendapatkannya. Melalui jalan inilah dalam rangka melaksanakan sikap dan perilaku para ulama salaf shaleh serta para guru terdahulu. Semoga Allah meridoi mereka !
Khususnya kami mengajak kepada saudara-saudara kami muslim yang awam, agar mereka benar-benar bertaqwa kepada Allah SWT, dan tidak mati kecuali dalam keadaan muslim, juga agar mendamaikan permusuhan, melakukan silaturrahmi, menjaga hubungan baik dengan tetangga, kerabat dan teman, dan mengetahui hak-hak kedua orangtua, menyayangi orang-orang lemah dan rakyat kecil,menjauhkan perilaku saling angkuh dan saling bermusuhan, memutuskan silaturrahmi, iri hati, memecah belah dan berbeda-beda dalam agama. Kami menghimbau agar mereka selalu bersaudara, saling tolong menolong dalam kebaikan, berpegang teguh pada hukum Allah, bersatu, mengikuti Al-Qur’an dan Al-Hadits, serta selalu mengikuti perilaku para ulama, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah meridhoi mereka !
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa keluar dari madzhab adalah sesuatu yang terlarang. Umat Islam hendaknya berpaling (menentang) kepada jama’ah (organisasi) yang berbeda dengan para ulama salaf shaleh. Rasulullah SAW bersabda:

و انا امركم بخمس امر نى الله بهن : السمع و الطاعة و الجهاد و الهجرة و الجماعة , فان من فارق الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة الاسلام عن عنقه , و قال عمر بن الخطاب رضي الله عنه : عليكم بالجماعة , و اياكم و الفرقة , فان الشيطان مع الواحد , و هو مع الاثنين أحد , من أراد بحبوحة الجنة فليلزم الجماعة

ARTINYA:
======
“Aku perintahkan kepada kalian lima perkara sebagaimana Allah perintahkan kepadaku, yaitu: mendengar,mentaati, berjihad, hijrah, dan tetap berada dalam jama’ah (organisasi). Sesungguhnya, orang yang melepaskan diri dari jama’ah sejengkal saja, maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya”. Dan Umar bin Al-Khattob berkata: ” Tetaplah kalian berada dalam jama’ah ! Dan janganlah kalian berpecah belah ! Karena, setan selalu berada pada orang yang sendirian, dan setan akan lari bilamana dua orang sepakat / bersama. Barangsiapa ingin hidup enak di dalam surga, maka hendaklah selalu berada dalam jama’ah !”
21 September 2012

Mu’tazilah

oleh alifbraja

Definisi
Dalam buku Al Milal wa Al Nihal Mutazilah disebut kelompok ahl al adl wa at tauhid, dan Juga disebut Qaddaryyah atau Adliyyah. Qaddaryyah memiliki dua arti: pertama dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar, Adliyyah dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah. Namun sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orang yang buta hatinya, karena

Nabi SAW bersabda:

” Al Qaddariyyah adalah majusinya umat (islam) ini.”

Dalam Sabda Nabi yang lain menyebutkan :

“Qadddriyyah adalah musuh-musuh Allah tentang takdir Allah.”

Yang dimaksud dengan musuh Allah disini adalah musuh mengenai takdir Allah, karena takdir Allah terdiri dari kebaikan dan kejahatan demikian juga perbuatan manusia terdiri dari dua macam ialah baik dan buruk. Yang demikian itu tidaklah* tergambar bagi orang yang bertawakal dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah, yang rela menerima ketentuan yang sudah ditetapkan Allah, karena orang Mutazllah tidak menerima yang seperti ini, karena semua macam perbuatan yang terjadi adalah dari manusia. (Asy-Syahrastani, alih bahasa: Prof. Asywadte Syukur Lcy4/ Milal wa Al N ikal: Aliran*Al iron Teologi dalam Sejarah Umat Manusia (Buku I), PT Bina Ilmu, Surabaya, hal: 37-38.)

Sumber lain menyebutkan alasan kelompok ini disebut Mu’tazilah karena nama itu merupakan pecahan dari kata yang menggambarkan munculnya paham ini, menurut ulama yang mengatakan bahwa munculnya ketika washil ibn *Atha’ mengasingkan diri (i’tazala) dari forum Hasan al Bashri.

Sebagian orientalis berpendapat bahwa mereka dinamai Mutazllah karena mereka terdiri dari orang-orang yang menjaga harga diri, sulit ekonominya dan menolak hidup bersenang-senang. Kata Mutazllah menunjukkan bahwa orang yang menyandang predikat itu adalah mereka yang hidup zuhud terhadap dunia.

Almarhum Dr. Ahmad-Amin dalam bukunya Fajr Al-Islam berkata: “Menurut kami ada kemungkinan lain dalam menamai mereka dengan Mutazllah yang kami temukan dari catatan-catatan al-Maqrizi, bahwa diantara sekte Yahudi yang berkembang waktu itu dan sebelumnya, ada satu sekte bernama Forsyem, yang artinya Mu’tazilah (mengasingkan diri). Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa sekte itu membicarakan masalah al-Qadr dan berpendapat bahwa tidak semua perbuatan manusia diciptakan mnusia sendiri. Jadi, bisa saja Mutazllah dipakaikan kepada sekelompok orang yang memeluk Islam karena melihat adanya persamaan diantara keduanya.”

Diantara Mutazllah Yahudi dan Mutazllah Islam terdapat persamaan yang besar, yaitu pertama menafsirkan Taurat sesuai dengan logika filsafat, sedangkan yang kedua mena’wilkan semua sifat-sifat (Tuhan) yang disebutkan dalam Al Qur’an sesuai dengan filsafat logika juga. Tentang Forsyem yang mereka namai dengan Mu’tazilah, al-Arqizi berkata “Mereka memahami apa yang terdapat dalam Taurat sesuai dengan penafsiran para filosof pendahulu mereka. (Zahrah, imam Muhammad Abu, Prof. Dr. Aliran Politik dan Aqidah dalam lslam, Logos, Jakarta: 1996, hal: 150)

Kelahiran dan Perkembangannya

Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dengan aliran teologi lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliyah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. (Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve (Jilid:), Jakarta: 1994, hal: 290.)

Ada beberapa pendapat tentang awal mula munculnya aliran Mu’tazilah. Ada yang berpendapat aliran Ini muncul dari kalangan pengikut Ali. Mereka mengasingkan diri dari masalah-masalah politik dan beralih ke masalahaqidah ketika Hasan turun dari jabatan khalifah untuk digantikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. (Zahrah, Imam Muhammad Abu, Prof. Dr., Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Logos, Jakarta: 1996, hal: 149)

Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenal orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu tetap sebagai mukmin, bukan kafir. (Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve (Jilid:), Jakarta: 1994, hal: 290.)

Tetapi sebagian besar beranggapan tokoh utama Mutazilah adalah Washil ibn ‘Atha’. Yang merupakan salah satu murid Hasan al Bashri seorang ulam terkenal di Basra. Sikap Washil dan Hasan berbeda dalam menanggapi permasalahan tersebut. Menurut Washil pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir, tapi diantara keduanya.

Golongan ini muncul pada pemerintahan Bani Umayyah, tetapi semakin menghebohkan pemikiran keislaman pada pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup panjang. Pada awal perkembangannya kelompok Mutazllah tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mutazllah yang bersifat rasionalis dan filosofis itu. Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dari kalangan intelektual, pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun penguasa Abbasiyah (198-218 H/ 813-833 M). Kedudukan Mutazllah menjadi kokoh yaitu setelah al-Ma’mun menyatakannya sebagai mahzab resmi negara. Hal ini disebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Mereka memaksakan ajarannya kepada kelompok lain yang dalam sejarahnya dikenal sebagai peristiwa Mihrah (pengujian terhadap aparat pemerintah) tentang keyakinan mereka pada paham ini. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mutazllah,’ seperti al-Khuzzai dan al-Buwaiti. Peristiwa ini sangat menggoneang umat Islam lalu diteruskan oleh pemerintahan al-Wasiq (228-232 H/842-847 M) karena al-Ma’mun berwasiat untuk meneruskannya dan baru berakhir setelah pemerintahan al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M). Di masa al-Mutawakkil, domonasi Mutazllah semakin menurun dan semakin tidak simpatik dikalangan masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mahzab Mutazllah sebagai mahzab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.

5 Prinsip dalam ajaran Mu’tazilah)

Abu Hasan al-Khayyat dalam bukunya al Inthisar mengatakan: ‘Tidak seorang pun berhak mengaku sebagai penganut Mutazilah sebelum ia mengakui al-Ushul al-Khamsah (lima dasar), yaitu at-tauhid, al-adl, ah wa’d wa al-wa’id, al-manzilah bain al-manzilatain dan al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy’an al-munkar. Semua orang hanya mengakui sebagian dari paham itu dan tidak mengikuti metode berpikirnya, tidaklah termasuk kelompok mereka dan tidak pula memikul dosanya, serta tidak terkena akibat-akibat negatif dari paham itu.

a. At Tauhid (Ketuhanan)
At Tauhid ( Peng Esaan Tuhan) merupakan inti paham Mutazllah. Ajaran pertama Mutazllah ini meyakini sepenuhnya bahwa Allah SWT yang Maha Esa. Dia merupakan Zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Golongan Mutazilah menganggap konsep Tauhid mereka paling mumi, sehingga mereka senang disebut sebagai ahl at-tauhid (pembela tauhid). Dalam mempertahankan faham keesaan Allah SWT, golongan Mutazilah menafikkan segala sifat, sehingga mereka sering juga disebut sebagal golongan Nafy as Sifat. Yang dimaksud dengan peniadaan sifat-sifat Allah adalah bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang berdiri diluar Zat-Nya, karena itu dapat membawa pada adanya yang qadim selain Allah. Semua yang dimaksudkan oleh golongan Mu’tazilah sebagai sifat-sifat yang melekat pada Zat Allah, bagi golongan Mutazilah disebut bukan sifat Allah. Tegasnya, kaum Mutazilah enggan mengakui adanya sifat Allah dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Zat Allah. Kalau Allah dikatakan mempunyai sifat Maha Mengetahui, bagi mereka yang Maha Mengetahui itu bukan sifat-Nya melainkan Zat-Nya.

b. Al Adl(Keadilan)
Paham keadilan ini menyatakan paham keadilan Allah dalam ajaran mereka bahwa Allah wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat Zalim kepada hamba-Nya. Dari sini timbul ajaran as-salah wa ah aslah. Maksudnya, Allah wajib berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia, diantaranya Allah tidak boleh memberi beban yang terlalu berat kepada manusia. Allah wajib mengirimkan rasul dan nabi-nabi untuk menuntun kehidupan manusia di muka bumi, dan Allah wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

c. Al Wa’d wa Al Walid ( Janji dan Ancaman)
Menurut Mutazilah, Allah wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam surga dan menepati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir dan orang berdosa besar ke dalam neraka. Meskipun Allah sanggup untuk memasukkan orang-orang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka, namun Allah mustahil melakukan hal itu karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Paham ini erat kaitannya dengan pandangan mereka bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya melalui daya yang diciptakan Allah dalam dirinya. Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika manusia memilih untuk beriman dan berbuat baik maka kepadanya dijanjikan pahala masuk surga, sedangkan kalau mereka ingkar dan berbuat dosa, Allah mengancam dengan neraka.

d. Al Manzilah baln Al-Manzilatain (Posisi Diantara Dua Posisi)
Paham iini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir dikalangan Mutazilah. Paham ini timbul terjadi setelah peristiwa antara Washil ibn ‘Atha’ dan Hasan al Bashri di Basra. Bagi Mutazilah, orang yang berdosa bersar bukan termasuk kafir juga bukan mukmin, melainkan diantara keduanya, yang disebut Fasik. Orang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam, sementara itu pula belum dapat dikatakan kafir karena masih mempercayai Allah SWT dan rasul-Nya. Jika orang-orang yang mendapat predikat fasik meninggal tanpa sempat bertaubat, maka mereka akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir.

e. Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahyi’an Al Munkar ( Menyuruh Berbuat Baik dan Melarang Kemungkaran)
Dalam prinsip Mutazllah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang makruf serta menjauhi perbuatan yang munkar. Berpegang pada ajaran ini kaum Mu’tazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan ajaran agama kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa Mihnah, dan memaksakan pendapatnya bahwa Al Qur’an tidak Qadim. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. Karena menurut Mutazllah itulah salah satucara menegakkan amar ma’ruf wa an-nahyi an al munkar.

Sekte-sekte dalam aliran Mu’tazilah

1. Al-Washiliyyah Aliran yang memilih pemikiran-pemikiran Washil ibn Atha, Al Gazzal al-Altsag (80 H/ 699 M – 131 H/748 M) seorang tokoh Mutazilah yang paling menonjol. Washil belajar ilmu fisika dan hadits kepada hasan al Bashri. Dia hidup pada masa pemerintahan khalifah Abd al Malik ibn Marwan, Hisyam ibn Abd al-Malik, ajaran Washil diantaranya:

  • Pertama, menolak adanya sifat-sifat Allah seperti Ilmu, Qudrat, Iradat dan Hayat. Menurutnya mustahil ada dua Tuhan yang Qadim dan Azali.
  • Kedua, tentang takdir, mereka sepakat.dengan Ma’bad al Jauhari (80 H) dan Ghillan al-Damisqi. Tapi pendapat Washil dalam hal ini melebihi pendapatnya tentang sifat, katanya: “Allah adalah hakim yang adil, karenanya tidak mungkin disandarkan kepada-Nya keburukan dan kedzhaliman, tidak mungkin Allah menghendaki dari manusia sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diperintahKan-Nya.”
  • Ketiga, tentang orang yang terlibat dalam perang Jamal dan Shiffin, menurutnya salah satu kelompok memang tersalah, demikian juga dengan orang yang membunuh dan menghina Utsman ibn Affan. Katanya:”Salah satu kelompok jelas ada yang berbuat fasik demikian juga pada berlaku pada orang-orang yang saling mengutuk (li’an), namun tidak diketahui persis kelompok mana. Karena itu minimal hukum yang dikenakan pada dua kelompok tersebut, bahwa persaksiannya tidak diterima seperti tidak diterimanya persaksian Ali ibn Abi Thallib, Jubair, Talhah dan mungkin juga yang tersalah abalah Utsman ibn Affan.

2. Al-Huzailiyyah: Murid-murid Abu al-Hudzail al-xAllaf, seorang tokoh Mu’tazilah abad kedua (135-226 H) yang merupakan salah seorang tokoh dan pengonsep Mutazilah. Ia belajar dengan seorang bernama Utsman ibn Khalid ibn Thawil sedang Utsman ibn Khalid pernah belajar dengan Whasil ibn ‘Atha’ yang menerima ajaran itu dari Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn Hanafiah.

  • Pendapat Abu Huzail diantaranya: Menurutnya Iradah Allah tidak ada tempatnya, Allah hanya menghendakinya. Huzail lah yang pertama mengemukakan masalah ini dan kemudian dikembangkan lalu diikuti oleh orang lain, selain itu ia juga berpendapat ada sebagian Kalam Allah yang tidak mempunyai tempat seperti “kun” dan ada sebagian Kalam Allah yang mempunyai tempat seperti amar, nahi, berita dan sebagainya. Menurutnya amar (perintah) seharusnya menciptakan bukan amar Taklif(perintah pembebanan).

3. An-Nazhzhamiyyah: Pengikut pendapat Ibrahim ibn Yasar al-Nazham (185-231 H), seorang murid Abu al-Hudzail. Dia banyak mempelajari buku-buku filsafat sehingga pendapatnya tidak jauh berbeda dengan Mu’tazilah tetapi ada sedikit perbedaan yaitu ia berpendapat bahwa Allah tidak berkuasa untuk menciptakan keburukan dan maksiat karena hal itu tidak termasuk dalam kehendak (qudrah) Allah.

4. Al-Khatabiyyah dan al-Hadidiyyah: Pendirinya terdiri dari dua orang yaitu Ahmad ibn Khabith (232 H) dan Al-Fadhal al-Haditsi (257 H). Dua tokoh ini termasuk murid An-Nazhzham sehingga pendapatnya hampir serupa hanya ada sedikit perbedaan yaitu keduanya mengakui bahwa Isa al Masih memang Tuhan sebagaimana dianggap oleh orang Nasrani, yang menurutnya pada hari kiamat nanti dia menghitung segala amal perbuatan manusia. Keyakinan ini diperkuat dengan beberapa ayat Al Qur’an diantaranya:
dan datanglah Tuhan mu,  sedang malaikat berbaris-baris” (Q.sAI Fajr: 22)

5. Al-Bisyariyyah: Pengikut Bisyar ibn al-Mu’tamar (226 H). Ia berpendapat bahwa warna, rasa, bau, dan apa saja yang dapat dicapai melalui panca indera termasuk penglihatan dan pendengaran, dan apa saja yang terjadi pada manusia dari akibat gerak tak langsung, disandarkan pada manusia karena terjadinya dari perbuatan manusia.

6. Al Mu’ammariyah: Pengikut Mu’amar ibn Ubbad al-Salma (220 H), yamg tergolong tokoh penting yang menentang adanya sifat bagi Allah. Pendapatnya yang penting adalah tentang kepercayaannya pada hukum alam. Ia mengatakan bahwa Allah menciptakan benda-benda materi, adapun al-Arad atau accidents (sesuatu yang datang dari benda-benda) itu adalah hasil hukum alam. Misalnya: jika sebuah batu dilempar ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Allah.

7. Al-Mardariyyah: Pendiri ajaran ini adalah ‘Isa ibn Shabih (226 H) yang dijuluki Abu Musa atau Mardar, ia berpendapat manusia mampu saja membuat kalimat yang sefasih Al Qur’an, pendapatnya sangat berlebihan yaitu Al Qur’an adalah ciptaan Allah dan mengkafirkan orang yang berpendapat bahwa Al Qur’an itu Qadim (kekal), Ia juga menolak bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat.

8. Al-Tsumamah: Pendirinya adalah ats-Sumamah ibn Asyras namir (213 H). Ia berpendapat orang kafir, musyrik, penganut majusi, nasrani, yahudi zindiq, dan atheis pada hari kiamat nanti akan menjadi tanah seperti juga binatang dan anak orang yang tidak beriman. Selain itu ia juga berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya telah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunnya wahyu dapat mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk, Jadi wahyu turun hanya untuk memberikan konfirmasi.

9. Al-Hisyamiyyah: Pendirinya adalah Hisyam ibn Amr al-Fuwathi (226 H). Ia menolak penyandaran suatu perbuatan kepada Allah, sekalipun hal itu dengan jelas ditegaskan dalam Al Qur’an, Menurut pendapatnya Allah tidak mempersatukan kaum Muslimin, namun kaum muslimin sendiri yang mempersatukan hati mereka. Padahal dalam Al Qur’an ditegaskan:
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka….” (Q.s Al Anfaal: 63)
Penduduk Madinah terdiri dari suku Aus dan Khazraj selalu bermusuhan sebelum nabi Muhammad SAW hujrah ke Madinah; di kemudian hari mereka masuk Islam, dan permusuhan itupun hilang.
Ia juga berpendapat apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang, alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.

10. Al-Jahizhiyyah: Pendirinya adalah Amr ibn Bahr Abi Utsman al-Jahiz. Ia termasuk tokoh Mutazilah dan pengarangbuku-buku Mahzab Mu’tazilah, ia hidup pada pemerintahan Khalifah Al Muthasim dan Al Mutawakkil. Menurutnya penghuni neraka tidak akan kekaldisiksa dalam neraka karena penghuni neraka akan berubah menjadi bagian dari neraka itu. Ia juga menyatakan dalam tulisannya Al Jahiz Abu Usman ibn Bahr dijumpai paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum Mutazilah disebut sunnah Allah

11. Al-Khayatiyyah dan Al-Ka’biyyah:Pendirinya adalah Abu Husain ibn Abi Amr al-Khayyath (300 H). Ia berpendapat bahawa jika Allah dikatakan berkehendak maka kehendak Allah itu bukanlah sifat yang melekat pada Zat Allah dan bukan pula diwujudkan melalui Zat-Nya. ft Al-Juba’iyyah dan Al Bahsyaniyyah; Pendirinya Bahsyaniyyah adalah Abu Ali Muhammad ibn Abd al-Wahab al-Jubal (295 H) dan Abu Hasyim Abd as-Salam (321 H). Keduanya berpendapat manusia tidak melihat Zat Allah di akhirat dan semua perbuatan yang lahir dari manusia dan maksiat semuanya mengetahui yang baik dan yang burukserta mengetahui kewajiban berbuat yang baik dan meninggalkan yang buruk. Pendapat ini menjadi ajaran Mutazilah yang penting.

Posisi Mu’tazilah dalam Penilaian zamannya

Alasan dibalik penentangan para Fuqaha dan Muhadittsin terhadap Mutazllah disebabkan beberapa hal sebagal berikut:
1. Dalam memahami aqidah menyimpang dari metode yang diterapkan oleh ulama salaf yang memahami bahwa Al Qur’an adalah sumber utama dan semua yang hendak memahami bahwa Al Qur’an adalah sumber utama dan semua yamg hendak memahami sifat-sifat Allah harus merujuk pada Al Qur’an dan sunnah nabi dan wajib diimani, jika ada ayat Al Qur’an yang tidak dimengerti mereka mencari pemecahannya melalui uslub (gaya bahasa) jika masih sulit memahami maknanya mereka tawaqquf (menghentikan usaha memahaminya) dan menyerahkannya pada Allah agar tidak menimbulkan fitnah. Menurut Mutazilah hal itu tidak dapat diterima bagi mereka, akal lah yang menjadi tolok ukur segalanya dan landasan pembahasan mereka.
2. Dalam menemukan pemikiran Aqidahnya Mutazilah menggunakan metode logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nash-nash Al Qur’an, jika ada pertentangan antara paham mereka dengan nash Al Qur’an mereka menta’wilkan nya sehingga tidak bertentangan dengan paham mereka dan dengan makna Al Qur’an
3. Kelompok Mutazilah menyatakan bahwa Al Qur’an adalah mahluk (diciptakan), dan menafikkan sifat Al Qalam dari Allah karena menurut mereka sifat itu termasuk sifat yang baru, huruf yang dibaca dan makna yang difahami adalah diciptakan oleh Allah. Jika al Qur’an itu dikatakan Qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah, sedang para Fuqaha dan Muhadittsin sepakat bahwa Al Qur’an adalah kalamuliah, huruf dan maknanya merupakan manifestasi dari kata-kata Allah.

11 September 2012

Firqatun Naajiyah (Golongan yang selamat) ?

oleh alifbraja

judul buku tersebut, yaitu “Al-Fiqrqatun An-Naajiyah” yang artinya golongan yang selamat.

Kata firqah dan naajiyah mengacu kepada sabda Rasulullah yang mengabarkan bahwa umat Islam akan berpecah kepada 73 golongan (sekte), sebagaimana mana kaum Nashrani dan Yahudi yang berpecah ke dalam 71 atau 72 golongan.

Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa semua golongan umat Islam tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan. Selanjutnya, banyak kaum cendekia muslim yang mengatakan bahwa nominal 71, 72, atau 73 tersebut menunjukkan makna banyak. Artinya, ada kemungkinan sebenarnya golongan umat Islam yang saling berbeda pendapat itu banyak sekali. Bahkan saya sendiri mendapat kabar ada yang mengatakan di Indonesia saat ini hampir ada ribuan kelompok (sekte) umat Islam. Di antara ribuan itu saling ada perbedaan pemahaman, tetapi ada yang tajam sekali dan ada yang tidak.

Sebagaimana telah saya tulis sebelumnya, bahwa kata firqah mengandung konotasi pandangan bahwa golongan saya atau kami benar dan golongan orang lain salah. Berbeda dengan istilah madzhab yang berkonotasi pandangan bahwa saya atau kami benar dan mungkin yang lain juga benar. Selain itu, firqah mengandung makna bahwa perbedaan adalah “laknat”, sedangkan madzhab mengandung makna perbedaan adalah “rahmat”. Dengan demikian al-Firqah an-Naajiyah mengandung makna hanya satu golongan yang paling benar dan akan masuk surga, sedangkan golongan lain pasti salah dan masuk neraka. Namun masalahnya, siapa atau apa yang termasuk golongan selamat itu? Di sinilah akhirnya kembali terjadi konflik kepentingan antar golongan yang saling mengklaim dirinya atau golongan dirinya yang benar. Tambah-tambah ada bumbu yang menambah tajamnya konflik tersebut, di antaranya kepentingan politik penguasa. Akhirnya pertentangan kelompok yang misalnya disebabkan perbedaan fikih (paktik ibadah) dapat menjadi pemicu adanya konflik baik vertikal (antara umat dan penguasa) maupun horizontal (antara umat dengan umat).

Di tengah kondisi umat yang sudah kondusif dalam memahami perbedaan paham, sudah selayaknya kita membuang jauh-jauh ta’assub (fanatisme) kelompok tanpa dasar yang kuat. Sudah sewajarnya para ulama mulai melakukan usaha untuk menghilangkan penyebab terpecahnya umat, di antaranya terpecahnya atau kurang silaturahmi-nya antarulama (atau ustadz). Menurut saya, kini akan lebih elok jika seorang ustadz berkata di depan pendengarnya tentang kelebihan (kebaikan) ustadz lain daripada membicarakan kekurangan (kesalahan) mereka. Jika hal ini dilakukan umat tidak akan bingung dalam mencari ilmu kepada setiap ustadz yang dianggap layak diambil ilmunya. Kini pun saya merindukan para ustadz sebulan sekali berkumpul di satu forum untuk diskusi atau belajar bareng. Misalnya, bulan pertama berkumpul di seorang ustadz yang ahli di bidang tafsir atau hadits, bulan berikutnya di tempat ustadz yang ahli di bidang bahasa Arab, teknologi, dan lain-lain. Saya setuju pendapat Astri Ivo yang mengatakan keteladanan lebih bernilai dari 1000 nasihat.

Oleh karena itu selayaknya para ustadz jangan hanya meminta umat untuk mengaji, tetapi para ustadz juga harus terus belajar agar ilmunya semakin bertambah. Bukankah, mencari ilmu itu wajib sejak lahir sampai meninggal dunia?

25 Agustus 2012

Makkah Sebagai Pusat Bumi

oleh alifbraja

Makkah—juga disebut Bakkah—tempat di mana umat Islam melaksanakan haji itu terbukti sebagai tempat yang pertama diciptakan. Telah menjadi kenyataan ilmiah bahwa bola bumi ini pada mulanya tenggelam di dalam air (samudera yang sangat luas).

Kemudian gunung api di dasar samudera ini meletus dengan keras dan mengirimkan lava dan magma dalam jumlah besar yang membentuk ‘bukit’. Dan bukit ini adalah tempat Allah memerintahkan untuk menjadikannya lantai dari Ka’bah (kiblat). Batu basal Makkah dibuktikan oleh suatu studi ilmiah sebagai batu paling purba di bumi.

Jika demikian, ini berarti bahwa Allah terus-menerus memperluas dataran dari tempat ini. Jadi, ini adalah tempat yang paling tua di dunia.

Adakah hadits yang nabawi yang menunjukkan fakta yang mengejutkan ini? Jawaban adalah ya.
Nabi bersabda, ‘Ka’bah itu adalah sesistim tanah di atas air, dari tempat itu bumi ini diperluas.’ Dan ini didukung oleh fakta tersebut.

Menjadi tempat yang pertama diciptakan itu menambah sisi spiritual tempat tersebut. Juga, yang mengatakan nabi yang tempat di dalam dahulu kala dari waktu menyelam di dalam air dan siapa yang mengatakan kepada dia bahwa Ka’bah adalah pemenang pertama yang untuk dibangun atas potongan dari ini tempat seperti yang didukung oleh studi dari basalt mengayun-ayun di Makkah?

Makkah Pusat Bumi

Prof. Hussain Kamel menemukan suatu fakta mengejutkan bahwa Makkah adalah pusat bumi. Pada mulanya ia meneliti suatu cara untuk menentukan arah kiblat di kota-kota besar di dunia.

Untuk tujuan ini, ia menarik garis-garis pada peta, dan sesudah itu ia mengamati dengan seksama posisi ketujuh benua terhadap Makkah dan jarak masing-masing. Ia memulai untuk menggambar garis-garis sejajar hanya untuk memudahkan proyeksi garis bujur dan garis lintang.

Setelah dua tahun dari pekerjaan yang sulit dan berat itu, ia terbantu oleh program-program komputer untuk menentukan jarak-jarak yang benar dan variasi-variasi yang berbeda, serta banyak hal lainnya. Ia kagum dengan apa yang ditemukan, bahwa Makkah merupakan pusat bumi.

Ia menyadari kemungkinan menggambar suatu lingkaran dengan Makkah sebagai titik pusatnya, dan garis luar lingkaran itu adalah benua-benuanya. Dan pada waktu yang sama, ia bergerak bersamaan dengan keliling luar benua-benua tersebut. (Majalah al-Arabiyyah, edisi 237, Agustus 1978).

Gambar-gambar Satelit, yang muncul kemudian pada tahun 90-an, menekankan hasil yang sama ketika studi-studi lebih lanjut mengarah kepada topografi lapisan-lapisan bumi dan geografi waktu daratan itu diciptakan.

Telah menjadi teori yang mapan secara ilmiah bahwa lempengan-lempengan bumi terbentuk selama usia geologi yang panjang, bergerak secara teratur di sekitar lempengan Arab. Lempengan-lempengan ini terus menerus memusat ke arah itu seolah-olah menunjuk ke Makkah.

Studi ilmiah ini dilaksanakan untuk tujuan yang berbeda, bukan dimaksud untuk membuktikan bahwa Makkah adalah pusat dari bumi. Bagaimanapun, studi ini diterbitkan di dalam banyak majalah sain di Barat.

Allah berfirman di dalam al-Qur’an al-Karim sebagai berikut:

‘Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya..’ (asy-Syura: 7)

Kata ‘Ummul Qura’ berarti induk bagi kota-kota lain, dan kota-kota di sekelilingnya menunjukkan Makkah adalah pusat bagi kota-kota lain, dan yang lain hanyalah berada di sekelilingnya. Lebih dari itu, kata ummu (ibu) mempunyai arti yang penting di dalam kultur Islam.

Sebagaimana seorang ibu adalah sumber dari keturunan, maka Makkah juga merupakan sumber dari semua negeri lain, sebagaimana dijelaskan pada awal kajian ini. Selain itu, kata ‘ibu’ memberi Makkah keunggulan di atas semua kota lain.

Makkah atau Greenwich

Berdasarkan pertimbangan yang seksama bahwa Makkah berada tengah-tengah bumi sebagaimana yang dikuatkan oleh studi-studi dan gambar-gambar geologi yang dihasilkan satelit, maka benar-benar diyakini bahwa Kota Suci Makkah, bukan Greenwich, yang seharusnya dijadikan rujukan waktu dunia. Hal ini akan mengakhiri kontroversi lama yang dimulai empat dekade yang lalu.

Ada banyak argumentasi ilmiah untuk membuktikan bahwa Makkah merupakan wilayah nol bujur sangkar yang melalui kota suci tersebut, dan ia tidak melewati Greenwich di Inggris. GMT dipaksakan pada dunia ketika mayoritas negeri di dunia berada di bawah jajahan Inggris. Jika waktu Makkah yang diterapkan, maka mudah bagi setiap orang untuk mengetahui waktu shalat.

Makkah adalah Pusat dari lapisan-lapisan langit

Ada beberapa ayat dan hadits nabawi yang menyiratkan fakta ini. Allah berfirman, ‘Hai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.’ (ar-Rahman:33)

Kata aqthar adalah bentuk jamak dari kata ‘qutr’ yang berarti diameter, dan ia mengacu pada langit dan bumi yang mempunyai banyak diameter.

Dari ayat ini dan dari beberapa hadits dapat dipahami bahwa diameter lapisan-lapisan langit itu di atas diameter bumi (tujuh lempengan bumi). Jika Makkah berada di tengah-tengah bumi, maka itu berarti bahwa Makkah juga berada di tengah-tengah lapisan-lapisan langit.

Selain itu ada hadits yang mengatakan bahwa Masjidil Haram di Makkah, tempat Ka‘bah berada itu ada di tengah-tengah tujuh lapisan langit dan tujuh bumi (maksudnya tujuh lapisan pembentuk bumi)
Nabi bersabda, ‘Wahai orang-orang Makkah, wahai orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian berada di bawah pertengahan langit.’

Thawaf di Sekitar Makkah

Dalam Islam, ketika seseorang thawaf di sekitar Ka’bah, maka ia memulai dari Hajar Aswad, dan gerakannya harus berlawanan dengan arah jarum jam. Hal itu adalah penting mengingat segala sesuatu di alam semesta dari atom hingga galaksi itu bergerak berlawanan dengan arah jarum jam.

Elektron-elektron di dalam atom mengelilingi nukleus secara berlawanan dengan jarum jam. Di dalam tubuh, sitoplasma mengelilingi nukleus suatu sel berlawanan dengan arah jarum jam. Molekul-molekul protein-protein terbentuk dari kiri ke kanan berlawanan dengan arah jarum jam. Darah memulai gerakannya dari kiri ke kanan berlawanan dengan arah jarum jam.

Di dalam kandungan para ibu, telur mengelilingi diri sendiri berlawanan dengan arah jarum jam. Sperma ketika mencapai indung telur mengelilingi diri sendiri berlawanan dengan arah jarum jam. Peredaran darah manusia mulai gerakan berlawanan dengan arah jarum jamnya. Perputaran bumi pada porosnya dan di sekeliling matahari secara berlawanan dengan arah jarum jam.

Perputaran matahari pada porosnya berlawanan dengan arah jarum jam. Matahari dengan semua sistimnya mengelilingi suatu titik tertentu di dalam galaksi berlawanan dengan arah jarum jam. Galaksi juga berputar pada porosnya berlawanan dengan arah jarum jam.

18 Agustus 2012

Munculnya Mutakallimin Ahlussunnah

oleh alifbraja
Suatu penyebab utama atas dipergunakannya ilmu ushuluddin dalam aqidah-aqidah Islam adalah meluasnya wilayah Islam dan masuknya pemeluk baru dari segala penjuru dunia yang bermacam-macam bentuk agama dan keyakinan serta budayanya, sehingga menimbulkan pengaruh yang sangat besar. Yang paling menonjol dan perlu mendapatkan perhatian serius adalah munculnya segolongan besar kafir-kafir zindiq dan pemikir-pemikir modern (tokoh pembaharu) yang hobinya memperdebatkan ayat-ayat mutayabihat serta mengidolakan retorika perdebatan dan sistematika hujjah hanya untuk ajang perdebatan dan adu pikiran. Maksudnya tak lain adalah menebarkan kerancuan dikalangan umat Islam, memasukkan keraguan di hati mereka atau dianggapnya sebagai methode praktis untuk mencetuskan berbagai macam ilmu dan indotrinasi aqidah.

Keadaan kritis tersebut sudah pasti membangkitkan Ulama-us Sunnah yang berkhidmah pada Islam dan menolak berbagai tipudaya mereka, untuk membuka pintu perdebatan dengan mereka. membicarakan masalah-masalah syubhat (samar) dan rumit yang mereka permasalahkan dengan sistimatika yang mereka kenal dan methode-methode yang mereka biasakan. Hal ini sesuai dengan petunjuk al-Qur’an.

) ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلـهم بالتي هي أحسن إن ربك أعلم بمن ضل عن سبيلـه وهو أعلم بالمهتدين (. (النحل:125).
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl; 125).
Dan, berkecimpung dalam hal itu sudah pasti harus berbuka untuk memperdebatkan nash-nash mutasyabihat yang semula mereka patih dan tidak mempertahankannya disamping itu juga harus meneliti dasar-dasar ideologi mereka serta mengerahkan semaksimal mungkin dalil-dalil aqli. Padahal sebelumnya mereka tak pernah melakukan itu semua manakala mereka berhadapan dengan dalil-dalil Nash, tanpa menambah ataupun mengurangi.
Selanjutnya, demi membentengi hakikat-hakikat aqidah Islam dengan mengconter pemikiran sesat ahlul bid’ah, mereka terpaksa menggunakan berbagai methode dan analogi-analogi logis yang telah digunakan oleh para ahlul bid’ah tersebut.
Inilah sesuatu yang kelihatan bid’ah yang muncul dalam sejarah kehidupan umat Islam, yang pada mulanya tidak pernah melakukan dan tak terbersitkan sedikitpun di hati mereka. dan manakala mereka menguraikan sisi-sisi perdebatan tersebut, hatinya merasa gelisah dan resah untuk membicarakannya. Dalam keadaan tertekan dan hati-hati sekali, mereka terpaksa mengikuti arus. Mereka harus diam ataupun merasakan pahit getirnya perdebatan.
Itulah keadaan mereka pada saat itu. Mayoritas tabi’in  yang pernah bergaul akrab dengan Sahabat terpaksa menempuh jalan lain dengan lapang dada membuka perdebatan dalam berbagai masalah aqidah serta muqodimah-muqoddimahnya. Sedangkan sebelum itu mereka menundukkan kepala dan pikiran dimi taslim dan patuh menerima aqidah tersebut, tanpa membahas ataupun memperdebatkannya.
Maka, pada saat itulah mereka menemukan berbagai permasalahan rumit yang membutuhkan pemikiran dan pembahasan, seperti ayat-ayat mutasyabihat, qodlo qodar, terciptanya perbuatan manusia, dan kehidupan yang kedua kali (ba’ts); apakah sesudah punahnya segala sesuatu, atau setelan hancurnya, dan ataukah sesudah ceraiberainya. Dalam hal-hal semacam itulah, terpaksa mereka harus melakukan perdebatan dengan para ahli bid’ah yang selalu membuat pemikiran yang sesat dan membingungkan. Dan terpaksa juga harus mempergunakan analogi-analogi logis dan argumen-argumen manthiqiyyah yang dibiasakan dan difahami oleh kaum sesat tersebut.
Bukankah Sayyidina Ali juga pernah mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdebat dengan salah sau kaum Khowarij dalam masalah syubhat dan keyakinan-keyakinannya yang menyimpang?, Bukankah Abdullah bin Mas’ud juga pernah berdebat dengan Yazid bin Umairah dalam masalah iman dan kemusykilan-kemusykilan yang berkisar seputarnya?.
Imam Hasan Basri yang merupakan senior para tabi’in juga pernah membicarakan panjang lebar masalah-masalah aqidah, memperdebat-kannya, dan menolak syubhat-syubhatnya ahlul bid’ah dari aqidah tersebut. Kajian-kajiannya juga dipenuhi penentangan-penentangan pada pemikiran sesatnya ahlul bid’ah, sebagaimana surat yang beliau kirimkan ke perbagai daerah yang dipenuhi permasalahan-permasalahan ilmu kalam dan kemusykilan-kemusykilan aqidah.
Beliau, setiap waktu selalu memperingatkan tindakan-tindakan yang mesti dilakukan olehnya dan para ahlul ilmi yang setara dengannya untuk mengkaji masalah-masalah tersebut yang lepas dari pantauan orang sebelumnya karena belum muncul bid’ah-bid’ah yang mendorong untuk diperhatikan dan diberi jawaban.
Dalam suratnya yang dikirimkan pada Kholifah Abdul Malik bin Marwan (sebagian riwayat mengatakan pada Jendral Hajjaj at-Tsaqofi), beliau membahas tentang masalah qodlo’ dan qodar. Didalamnya disebutkan: “memang, tak ada salafpun yang menyebutkan dan memperdebatkan hal itu. Sebab, mereka pada saat itu seia sekata. Dan mengapa kami membahasnya adalah karena orang-orang telah menimbulkan kemunkarannya. Dan perlu dimengerti, bahwa setiap orang-orang baru menciptakan ‘kemodelan-kemodelan’ dalam agamanya, maka Allah SWT mengajarkan cara baru pada hamba-Nya yang berpegangan pada kitab-Nya untuk memberantas bid’ah-bid’ah dan memperingatkan mereka dari kerusakan-kerusakan”.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Imam Hasan Bashri adalah termasuk seniornya tokoh Tabi’in yang diikuti dan diambil fatwanya. Maka, jangan salah sangka bahwa perkataanya yang berbunya: “tidak ada seorang salafpun yang membicarakannya”, bertentangan dengan kesalafan beliau. Sehingga digambarkan bahwa periode Imam Hasan Bashri sudah tidak masuk kategori salaf. Sebab, Imam Hasan Bashri dalam mengartikan salaf, hanyalah secara nisbi. Dan memang, masa Imam Hasan Bashri terbilang kholaf bila dibandingkan para pendahulunya. Bahkan tokoh junior par Sahabat juga dibilang kholaf bila dinisbatkan dengan para tokoh senior yang mendahuluinya. Intinya, Imam Hasan tetap termasuk a-immatus Salaf. Dan pernyataan beliau bahwa orang sebelumnya adalah salaf, itu beliau pandang secara nisbi (relatif).
Dan yang penting untuk diperhatikan adalah: dengan adanya gerakan-gerakan dan pemikiran bid’ah yang bertebaran sehingga membutuhkan perhatian serius dengan perbagai pengkajian dan pengerahan pemikiran semaksimal mungkin, maka lahirlah dua kelompok Ahlissunnah.
Kelompok pertama adalah: orang-orang yang menerima tersebut (methode pemikiran baru), mempraktekannya dan menyeru orang lain untuk menggunakannya untuk menolak dan membasmi ahlul bid’ah. Sedang kelompok kedua justru sebaliknya. Menjauhinya, risih dengannya dan mengumumkan kemunkaran hal itu. Sehingga mengharamkan berdekatan dengan para ahlul bid’ah atau menanggapi pemikiran nyleneh mereka. karena bila ditanggapi ataupun meladeni perdebatan dengan mereka malah menyebabkan mereka ge-er karena omongannya mendapatkan perhatian khusus. Dan akibatnya mereka malah bertambah tidak karuan. Kelompok ini tetap konsekwen dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits. Mengukuhi segala sesuatu yang telah dilakukan oleh para sahabat. Yakni, mencukupkan diri dengan dalil-dalil syar’I tanpa mengolah maupun menggunakan dalil-dalil aqli.
Kedua kelompok tersebut terbilang ahlussunnah (salafus sholeh) yang telah diisyaratkan oleh nabi Muhammad SAW atas kemuliaannya dan mengajurkan untuk diikuti. Maka, adalah salah bila memprioritaskan salah satu dari keduanya dengan predikat ahlussunnah, sementara yang lain tidak. Jadi, ahlul hadits  maupun ahlul kalam sunni tetap terbilang kelompok ahlissunnah.7)

 


7) . as-Salafiyah; 41.

11 Agustus 2012

AL-QURAN & MODERNISASI

oleh alifbraja

Titik simpul pertautan Alquran dengan modernisasi terletak pada penggunaan akal pikiran manusia. Baik Alquran maupun modernisasi sangat mengagungkan akal pemikiran atau dimensi rasionalitas.

Perbedaannya, kalau modernisasi mengagungkan akal pikiran secara absolut sedangkan dalam Alquran akal pikiran itu memperoleh bimbingan wahyu.

Modernisasi adalah sebuah era tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat penting untuk diapresiasi oleh seluaruh umat manusia, khususnya umat Islam. Dalam modernisasi, yang sangat penting adalah bagaimana melakukan transformasi ilmu pengetahuan modern guna menalar Alquran secara historis. Dengan lain perkataan, memahami Alquran secara historis, korelasinya dengan perubahan sosial kehidupan yang sangat cepat di era globalisasi dan modernitas dewasa ini memiliki signifikansi yang sangat penting.

Dimensi historis ini tidak bisa diabaikan. Tujuannya agar manusia, khususnya umat Islam, tidak terjebak pada kongklusi-kongklusi parsial dan apologi-apologi. Alquaran memiliki karakteristik yang sangat khas dan berbeda dibandingkan dengan dokumen lain yang merupakan hasil kreasi umat manusia. Pendek kata, Alquran memiliki dimensi historis, ruang, dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, bacaan kita terhadap Alquran membutuhkan pengetahuan yang bersifat interdispliner. Apalagi, kalau kita berupaya untuk menghubungkan atau mencari korelasi antara Alquran dan modernisasi. Tidaklah mudah mencari pertautan antara keduanya.

Secara epistemologis, Alquran merupakan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Salah satu fungsinya sebagai petunjuk bagi umat manusia, hudan li al-Nas dan orang-orang yang bertakwa (QS Al-Baqarah/2: 1-2, 185), terutama untuk mengetahui dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, sebagai petunjuk dan secara ontologis Alquran hanya bersifat global. Konsekuensi logisnya, jika ada persoalan kehidupan yang penjelasannya tidak ditemukan di dalam Alquran maka tugas manusia itu sendiri untuk mencari jawabannya. Dengan lain perkataan, Alquran hanya memberi landasan-landasan moral atau petunjuk yang bersifat global.

Secara historis Alquran turun untuk merespons berbagai problematika sosial kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Arab saat itu, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau memberi ketetapan hukum sebagai doktrin teologis yang harus ditaati. Sementara proses turunnya, sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas yang dikutip Al-Sayuti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, melalui dua tahapan: turun secara serentak di lauh al-mahfudz menuju langit bumi dan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun.

Di antara hikmah turunnya Alquran secara bertahap ini agar materi hukum Tuhan itu dapat diterapkan secara evolutif sesuai dengan kondisi objektif sosio-kultural masyarakat. Pada sisi yang lain, secara teknis materi Alquran akan lebih mudah dipahami, dihafalkan, maupun proses penerapan hukum-hukumnya akan lebih mudah untuk diterima. Inilah argumen logis bahwa Tuhan, dalam konsep Islam, tidak menghendaki sesuatu yang menyulitkan kehidupan umat manusia (QS Al-Baqarah/2: 185).

Perlu dicatat bahwa mengubah perilaku atau tradisi sosial yang sudah mapan itu tidak mudah. Seperti untuk menghapus sistem perekonomian yang eksploitatif dengan sistem riba misalnya paling tidak dibutuhkan tiga ayat untuk menjelaskan, yaitu: QS Al-Nisa/4:160-161, QS Al-Imran/3: 130 dan QS Al-Rum/30:39). Demikian halnya dengan tradisi minuman keras. Untuk menghapus tradisi ini, Alquran melibatkan empat ayat, yaitu: QS Al-Nahl/16:67, QS Al-Nisa/4:43, QS Al-Baqarah/2:219 dan QS Al-Maidah/5:90-91). Artinya, meskipun Alquran tidak menjelaskan secara detail tentang sistem-sistem sosial kehidupan, seperti mekanisme politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya, tidak secara otomatis sistem-sistem sosial kemasyarakatan itu tidak ada di dalam Alquran. Justru inilah satu entry point penting Alquran yang memberi rangsangan berkembangnya kecerdasan intelektualitas atau terciptanya dinamika sosial kehidupan. Dengan terbatasnya ayat-ayat yang mengatur mekanisme sosial berarti Tuhan memberi peluang kepada akal pikiran manusia untuk mengatur dan menentukan model-model relasi sosial kehidupannya yang lebih luas sesuai dengan perkembangan sosio-kultural dan peradabannya.

Pendek kata, Alquran bukanlah dokumen yang sarat dengan detail-detail hukum sosial melainkan sebuah buku yang mengandung prinsip-prinsip dasar dan moralitas kemanusiaan universal. Penting penulis tegaskan bahwa semakin banyak hukum absolut yang mengatur pola kehidupan, maka ritme peradaban manusia akan menjadi sangat kaku dan statis. Stagnanasi peradaban ini sangat dimungkinkan apabila doktrin teologis menjadi sangat taken for granted.

Dalam perspektif ini, siapapun, sesungguhnya tidak bisa mengklaim bahwa Alquran merupakan sumber segalanya, apalagi mengatakan sarat dengan teori-teori sains (science theory). Menurut penelitian para ahli, ayat Alquran yang berbicara tentang sains hanya sekitar 150 ayat. Menurut pandangan ini, ayat-ayat tersebut secara paradigmatik tidak cukup untuk dijadikan dasar pemikiran bahwa Alquran merupakan kitab yang sarat dengan teori sains, apalagi teknologi modern yang di dalamnya sarat dengan detail-detail. Lebih tepat, jika dikatakan bahwa Alquran itu mengandung motivasi atau prinsip-prinsip moral yang bersifat normatif untuk melakukan aktivitas sains dan teknologi.

Pertautan Alquran dengan modernisasi
Titik simpul pertautan Alquran dengan modernisasi terletak pada penggunaan akal pikiran manusia. Baik Alquran maupun modernisasi sangat mengagungkan akal pemikiran atau dimensi rasionalitas. Perbedaannya, kalau modernisasi mengagungkan akal pikiran secara absolut sedangkan dalam Alquran akal pikiran itu memperoleh bimbingan wahyu.

Menurut Alex Inkeles (1986:90-93), manusia dapat dikategorikan sebagai modern, jika bersedia menerima dan terbuka terhadap pembaharuan atau perubahan, mampu bersikap demokratis dan bersedia menerima bentuk keragaman realitas sosial yang niscaya. Pandangan hidup masyarakat modern senantiasa difokuskan pada masa kini dan masa depan, memiliki perencanaan hidup, menjunjung tinggi kemampuan manusia, dapat memperhitungkan waktu bahwa proses kehidupan ini ditentukan bukan karena nasib.

Di samping itu, orang atau masyarakat modern memiliki harga diri dan bersedia untuk menghargai orang lain, percaya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki prinsip keadilan. Kategorisasi manusia modern dalam pandangan Alex ini tanpa menafikan pandangan yang lain sejatinya memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip kehidupan yang terkandung di dalam Alquran.

Akan tetapi, umat Islam sendiri terkesan sangat lamban dalam merespons permasalahan-permasalahan kontemporer dan tidak jarang terjebak pada pemikiran-pemikiran simplistis yang bersifat apologi. Memang, persoalan umum yang terus dirasakan umat Islam, paling tidak di kalangan kaum intelektualnya adalah fenomena tidak singkronnya antara Islam sebagai doktrin dan prilaku umat dalam realitas sosialnya. Fenomena inilah yang melahirkan modernisme di dalam dunia Islam.

Islam modernis mencoba melihat kembali persoalan-persoalan yang dihadapi umat dan bersikap apresiatif terhadap kamajuan yang dicapai dunia Barat, seperti semangat untuk mengembangkan rasionalitas, kerja keras, cinta terhadap sains dan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya yang merupakan kata kunci kemajuan masyarakat Barat selama ini. Fazlur Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge (1979:315-125) mengkategorikan gerakan pemikiran Islam menjadi revivalisme awal, neo-revivalisme, modernisme klasik, dan neo-modernisme.

Pertanyaannya, mengapa umat Islam terkesan tidak akomodatif dan bahkan antipati terhadap pola hidup dan pemikiran-pemikiran Barat, tentu saja pemikiran positif yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam? Padahal, semangat inilah yang pernah mengantarkan kemajuan dunia Islam pada abad pertengahan, ketika masyarakat Barat masih terbelakang.

Namun demikian, kita harus tetap optimistis untuk masa yang akan datang karena kaum Islam modernis tampak semakin apresiatif terhadap perkembangan modernisasi dan masyarakat secara umum mulai banyak yang berpendidikan. Meminjam penjelasan Alex Inkeles (1986:91), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin terbuka lebar kemungkinan negaranya menjadi maju di masa depan. Pendidikan merupakan salah satu elemen faktor yang memberi angin segar bagi proses perubahan dan perkembangan menuju terciptanya masyarakat yang civilized.

21 Juli 2012

Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

oleh alifbraja

Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

 
 

           

 

Abstraksi

Dalam makalah ini penulis berupaya melakukan pembuktian bahwa masalah keragaman pemahaman agama memiliki perbedaan dengan masalah ijtihad. Untuk membuktikan matlab ini, pertama-tama, penulis mengurai perbedaan pengertian ijtihad dan pluralisme agama dimana masalah ini harus diselesaikan terlebih dahulu. Demikian pula perbedaan antara fatwa-fatwa para juris yang terbagi dalam kedudukan “ada” dan “harus” juga harus diterangkan sehingga poin-poin yang menjadi perdebatan menjadi jelas. Meski pada derajat “ada” kejamakan (pluralnya) fatwa-fatwa para juris merupakan sesuatu yang tidak dapat diingkari. Akan tetapi pada makam “harus” setiap jumlah pahaman yang meniscayakan ijtihad diterima oleh akal, dari luar dan naql, dari dalam.

Dengan demikian bagian ijtihad yang menjadi fokus kajian dan analisa dapat dibuktikan bahwa pada sebagian masalah, baik Sunni atau Syiah, jamaknya pemahaman tentang ijtihad tidak diterima, oleh karena itu keseluruhan klaim dalam pembahasan ini, dalam bentuk positif universal (mujiba kulliyah), masalah keragaman pemahaman agama, akan diuraikan. Artinya perbedaan pemahaman yang banyak dalam masalah teks-teks agama tidak dapat diterima. Dan pada akhirnya kriteria untuk menentukan pemahaman yang benar dan salah sehingga klaim-klaim yang lain ihwalnya (dalam hubungannya dengan metodelogi pemahaman) juga dapat dijinakkan.

 

Mukadimah

Masalah pluralisme agama dan kesimpulan yang beragam dari teks agama, merupakan salah satu tema baru yang mengemuka dalam dunia Islam. Dan sebagian dalam menerima atau menolak masalah ini, antara mereka yang pro dan yang kontra, telah banyak menulis tentang hal tersebut. Salah satu lintasan yang tepat dalam pembahasan ini adalah masalah ijtihad para juris dan perbedaan fatwa fuqaha sepanjang perjalanan sejarah umat Islam.

Penulis tidak berada pada tataran menjelaskan dan menganalisa seluruh angle dan sisi pembahasan pluralisme agama. Analisa dan penjelasan jeluk masalah ini memerlukan satu pembahasan yang terpisah dan detil.   

Apakah keragaman pemahaman para juris yang merupakan keharusan ijithad mereka memiliki hubungan dengan masalah keragaman pemahaman agama?

Dan apakah seperti yang disebutkan oleh para proponen hermeneutik filsafat termasuk dalam bentuk positif universal (mujibah kulliyah), perbedaan pemahaman yang beragam dari teks-teks agama, dari seluruh hukum-hukum  syariat dan proposisi-proposisi agama yang tentu saja keharusannya adalah relatifnya pemahaman agama para fuqaha, atau perbedaan fatwa ini (perbedaan konklusi dari teks-teks agama), atau dalam bentuk positif partikular (mujiba juz’iyah)? Hal ini tentu saja memerlukan sebuah kajian yang rigoris. Apakah untuk menentukan antara pemahaman-pemahaman sahih dan batil, terdapat kriteria tertentu atau dalam dimensi ini, dimana harus diyakini bahwa terdapat relativitas metodeologi dalam memahami agama. Sebagaimana apa yang diyakini oleh para pendukung hermeneutik filsafat? Dan pada akhirnya apakah faktor kemunculan keragaman inferensi (istinbâth) para juris dapat dihilangkan sedemikian sehingga seluruh juris tersebut mengeluarkan satu fatwa dalam satu subjek syar’i yang bersumber dari berbagai dalil-dalil yang berhubungan dengannya – dari Qur’an, Sunnah, Akal dan Ijma?  

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas membuat pembahasan harus ini ditinjau sebagai pembahasan teologis, namun demikian pembahasan ini harus bersandar pada analisa dan uraian pemahaman beragama para juris yang merupakan pijakan yang tepat bagi pembahasan pluralisme. Sebelum pembahasan ini dimulai, kiranya perlu batasan maksud dari dua kalimat “ijtihad” dan “keragaman pemahaman agama” dijelaskan sehingga tidak terjadi miksture permasalahan (campur aduk) dalam melakukan penilaian (judgment).

 

Definisi Ijtihad

Ijtihad merupakan kalimat yang berdasarkan pada timbangan ifti’âl, dan derivasinya dari juhd. Secara leksikal ijtihad bermakna usaha dan upaya keras yang bermuatan rahmat untuk mewujudkan impian dan harapan. Kalimat ini tidak pernah digunakan sebagai bermakna membawa beban yang ringan; namun digunakan sebagai bermakna membawa beban berat yang meniscayakan kesulitan seperti: ijtahada fi hamli ats-tsaqil (ia berusaha membawa beban berat).[1]

Namun dalam istilah teknis para juris, terdapat definisi yang beragam tentang ijtihad.  Sebagian dari mereka mendefinisikan ijtihad sebagai usaha dan upaya untuk mengeluarkan produk hukum-hukum syariat;[2] lantaran seluruh upaya dan perhatian mujtahid terfokus pada teks-teks lahir syariat kemudian dari teks-teks lahir ini ia mengeluarkan hukum-hukum syariat.

Sebagian memaknai ijtihad sebagai “istifrâgh al-was’” dan mencari asumsi dari hukum syariat[3]  dimana para juris secara umum tidak menerima definisi ini.[4]

Sebagian yang lain memaknai ijtihad secara teknis di kalangan Syiah istifragh al-was‘ dan upaya menghasilkan hujjah bagi hukum-hukum syariat atau untuk menentukan taklif (tugas keagamaan) sekiranya tidak ada jalan untuk menghasilkan hujjah.[5]

Sebagian yang lain memberikan definisi ijithad sebagai “istifragh was’ dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah yang dimaksudkan untuk melakukan inferensi hukum-hukum dari hukum-hukum faktual atau lahiriyah sehingga menghasilkan qath’i untuk mengetahui tugas aktual, baik ia merupakan hukum-hukum syariat (syar’i) atau hukum-hukum rasional (aqli).[6]

Dari seluruh definisi yang disuguhkan di atas, terdapat satu tipologi yang tersembunyi dan hal itu adalah menghasilkan hukum-hukum syariat, yang tidak mudah untuk diwujudkan; melainkan seorang mujtahid harus dengan menerima seluruh kesulitan, ia menemukan hukum-hukum syariat tersebut.

Dan secara natural, boleh jadi ia melakukan kesalahan dan oleh karena itu, perbedaan pemahaman para juris Syiah dapat memiliki justifikasi logis. Dan ucapan ini tidak bermakna baiknya perbedaan para juris dalam derajat pembuktian (itsbât).

 

Keragaman Pemahaman Agama

Yang dimaksud keragaman pemahaman agama adalah kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dari teks-teks agama, baik tulisan, ucapan dan bahkan metode ilmiah para pemimpin agama. Dan titik perbedaan antara pluralisme agama dan bacaan yang beragam dari agama; lantaran pluralisme agama berpusat pada keragaman dan pluralnya agama; akan tetapi bacaan beragam dari agama, terfokus pada kesimpulan-kesimpulan yang beragam dari agama yang satu.  

Masalah keragaman bacaan atau tepatnya, probabilitas keragaman bacaan satu matan atau teks, merupakan hasil dari sebuah jenis perspektif tentang hermeneutik filsafat. Orang-orang seperti Heidegger dan Gadamer merupakan orang-orang penting yang menjadi penyokong pendapat semacam ini.

Asas pemikiran ini berdiri di atas beberapa matlab:

  1. Makna satu matan lebih tinggi dari apa yang dimaksudkan oleh si penyusun atau muallif semenjak pertama kali ia menyusun matan tersebut. Gadamer salah seorang penyokong hermeneutik filsafat, dalam hal ini berkata, “Hermeneutik tidak boleh lupa bahwa seorang seniman yang menciptakan sebuah karya seni bukanlah penafsir khusus dari karya tersebut. Seniman sebagai seorang penafsir tidak memiliki otoritas dan kekuasaan atas setiap orang yang mengamati karya seninya. Dan teraju yang diletakkan oleh seniman atas karya seninya, tidak dapat dijadikan sebagai kriteria dan standar, yaitu makna dari apa yang diberikan oleh karya seni itu sendiri.[7]

  2. Dalam proses penafsiran satu teks atau matan, makna baru senantiasa lahir dan dalam kelahiran ini, mentalitas dan pra-judis penafsir dan juga matan memiliki saham dalam masalah ini. Gadamer meyakini bahwa penafsiran dan pemahaman tidak dapat dibatasi dalam merekonstruksi maksud penulis; melainkan pemahaman, merupakan satu perkara yang dilahirkan dan mentalitas penafsir sejalan dengan horizon makna-makna teks memiliki saham dalam penciptaan dan melahirkan makna-makna.  Dan pertanyaan-pertanyaan penafsir terhadap teks, yang merupakan keharusan intervensi pra-judisnya dalam memahamai teks tersebut. Dalam melahirkan pemahaman, ia memiliki pengaruh yang besar. Dan hal ini merupakan dalil bahwa pemahaman senatiasa tidak lain kecuali re-creating (menciptakan kembali) makna mental orang lain (pemilik karya). Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, peluang munculnya makna-makna menjadi terbuka.[8] Menurut pandangan Gadamer, pemahaman matan berasal dari jenis dialog antara dua orang. Atas alasan ini, logika percakapan dalam hermeneutik Gadamer adalah sepadan dengan sturuktur  pemikiran hermeneunetik Gadamer.[9]

  3. Pluralisme makna dalam hermeneunetik filsafat: Menurut para pendukung hermeneunetik filsafat, makna-makna yang dipahami dari matan (teks) tidaklah satu, melainkan senantiasa beragam dan banyak. Dalil atas pendapat ini adalah:

Pertama, Pemahaman suatu teks didapatkan melalui dialog antara penafsri dan teks. Dialog ini dari jenis soal-jawab dan pada hakikatnya, makna satu teks merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penafsir.

Kedua, Pertanyaan-pertanyaan penafsir beragam dan bervariasi. Oleh karena itu, jawaban-jawaban juga harus beragam dan bervariasi. Konsekuensi logis dari ucapan ini adalah makna satu teks senantiasa melebihi dari apa yang kehendaki oleh penulis atau penyusun.[10]

4.       Pemahaman manusia terhadap matan di samping beragam dan banyak, ia juga tidak terbatas.

Dalam pandangan Gadamer, lantaran pemahaman satu matan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penafsir. Dan dari sisi lain, pertanyaan-pertanyaan juga terpengaruh oleh pra-judis-pra-judis dan tiada batasan-batasan dalam prajudis-prajudis, maka sekali-kali tidak dapat diakui adanya takwil pamungkas, definitif, real dan benar.[11] Oleh karena itu, sekali-kali tidak ada batasan dalam memahami satu matan.

5.       Tidak satu pun pemahaman seseorang yang lebih baik dan lebih unggul atas pemahaman yang lain; karena tanpa ragu tiada yang disebut sebagai hakikat. Dan setiap saat detik-demi detik hakikat dapat ditemukan. Oleh karena itu, keyakinan bahwa aku mengetahui hakikat adalah pengingkaran terhadap hakikat. Hakikat senantiasa berputar dan dapat ditemukan dalam dunia percakapan. Dan oleh karena itu alih-alih menyebutnya pemahaman yang lebih unggul dan lebih baik, ia harus disebut sebagai pemahaman yang beragam dan bervariasi.[12]   

 

Kritik atas Probabilitas Konsepsi Keragaman Pemahaman

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, lima hal yang disebutkan di atas, merupakan asas dan fondasi keragaman bacaan atas satu teks; akan tetapi tidak satu pun dari lima poin tersebut dapat dipertahankan (defendable). Dan oleh karena itu pembahasan di atas tidak ada hubungannya dengan perbedaan fatwa para juris. Iya, permasalahan ijtihad dan perbedaan para juris, merupakan landasan yang tepat untuk  mendemonstrasikan konsepsi ini.

Sebelum mengevaluasi masalah ijtihad, dimana sejatinya, ia merupakan jawaban atas lima poin yang disebutkan di atas, tepat kiranya jika isykalan (keberatan ilmiah) penulis terhadap lima poin di atas diutarakan sebagai berikut: 

Pertama, konsekuensi dari ucapan ini “makna satu matan (teks) lebih unggul dari apa yang dimaksudkan oleh penyusun (teks tersebut) untuk pertama kalinya,” adalah pembicara sekali-kali tidak berada pada posisi menjelaskan.  Sementara pada galibnya orang-orang yang berbicara atau menulis sebuah matlab, maksud mereka adalah transformasi makna-makna yang dikehendaki oleh si pembicara dan kalau tidak ruang untuk memahami (tafhim) dan memahamkan (tafahhum) secara keseluruhan akan tertutup.

Kedua, proposisi “Satu teks lebih unggul dari apa yang dimaksudkan oleh penyusun untuk pertama kalinya,” merupakan proposisi paradoksial secara keseluruhan; lantaran konsekuensinya adalah makna proposisi ini juga bukanlah apa yang diinginkan orang-orang seperti Gadamer.

Ketiga, penegasan atas produktifnya makna suatu teks lantaran prajudis-prajudis penafsir, merupakan salah satu jenis kenisbian dalam pemahaman, karena jika “pemahaman” hanya terjadi tatkala terjadi kesepakatan antara penafsir dan karya. Dan horizon makna di antara keduanya saling bercampur satu dengan yang lain. Dan percampuran dan kesepakatan ini juga dikarenakan adanya pertanyaan-pertanyaan yang tak terbatas yang boleh jadi terdapat pada diri penafsir. Selalu dalam keadaan berubah, oleh karena itu sekali-kali tidak dapat diklaim makna satu teks, senantiasa memiliki makna pamungkas dan telah berakhir, dan hal ini merupakan relativisme dalam aktifitas memahami.

Boleh jadi disebutkan bahwa makna sebagian teks, khususnya teks suci, tidak dapat dipandang, dalam beberapa hal,  sebagai sebuah makna pamungkas dan benar. Alasan di balik pernyataan ini adalah adanya penafsiran yang beragam dari teks-teks suci tersebut. Jawaban dari permasalahan ini adalah isykal pada keseluruhan klaim dan dalam bentuk positif universal (mujiba kulli) dan kalau tidak ia berada dalam bentuk positif particular (mujiba juz’iya), tiada orang yang menegasikan hal tersebut juga tidak ada menegaskan klaim tersebut. Karena pada kebanyakan permasalahan ini – pemahaman yang beragam dari teks-teks suci – apa yang dipahami dari pemahaman-pemahaman orang lain dan oleh karena itu ia tidak bersifat relatif juga tidak kontradiktif.

 

Hubungan Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, permasalahan keragaman bacaan dan ijtihad di antara keduanya tidak terdapat hubungan logis. Dua permasalahan ini adalah permasalahan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Satu-satunya poin yang ada adalah keragaman pemahaman para juris, boleh jadi menjadi sandaranbagi para penyokong pendapat keragaman bacaan dari agama dan mereka menyebutnya sebagai dalil kebenaran dan keharusan adanya keragaman bacaan dari satu teks – pluralisme makna.

Untuk menjawab keraguan semacam ini, pertama-tama harus diperjelas batasan dan demarkasi pemahaman-pemahaman para juris dari sisi inklusivitasnya seluruh bagian-bagian agama atau tidak inklusifnya, dan kedua kriteria-kriteria untuk menentukan pemahaman-pemahaman benar dari yang salah, harus dikemukakan, dan ketiga probabilitas untuk sampai kepada satu pemahaman dari satu teks harus dikaji dan dipelajari.

Rincian jawaban dari keraguan ini, terletak pada pemisahan antara perbedaan pemahaman para juris pada tataran “ada” dan arsy “harus”.  

 

Perbedaan Pemahaman Para Juris pada Tataran “Ada”

Tiada keraguan bahwa para juris kaum Muslimin khususnya para juris Syiah memiliki kesimpulan yang beragam dari ayat dan riwayat. Dan berdasarkan kesimpulan tersebut, sebagian fatwa-fatwa tersebut terdapat kontradiksi. Hal ini juga suatu hal yang tidak dapat dihindari bahwa sebagian dari kesimpulan ini merupakan hasil dan produk dari jenis perspektif dalam pelbagai bab agama.

Mereka yang menyimpulkan bahwa penerapan agama dan syariat berada pada wilayah individu dan agama dalam skala personal. Jelas bahwa fatwa-fatwa para juris memiliki corak dan warna personal. Dan sebaliknya mereka yang memandang syariat di luar wilayah individu dan jalan untuk menyampaikan agama dan syariat pada puncak kehidupan sosial. Pada puncaknya, mereka memandang agama dan syariat dan ikutannya hukum-hukum dan fatwa-fatwa mereka mengeluarkan fatwa, memberikan warna multi dimensional kepada agama. 

Syahid Muhammad Baqir Shadr dengan menyebutkan dua contoh dari ushul dan fiqih, pengaruh pandangan para juris pada prinsip: Ia menjelaskan syariat pada sisi penjelasan pandangan prinsipil (ushuli) dan jurisprudensial (fiqih), perumpamaan prinsipil dari pembahasan-pembahasan dalil insidâd yang menegaskan bahwa: Syariat, mengandung muatan taklif lantaran tidak mungkin mengetahuinya secara definitif, maka untuk mengetahuinya hipotesa dan asumsi harus diikut. Kaum ushuli dalam membantah pandangan ini, mereka berkata: Mengapa kita tidak mewajibkan ihtiyâth kepada mukallaf sebagai ganti mengikuti asumsi dan hipotesa?

Namun kapan saja skop ihtiyâth berujung kepada “harj” (kesusahan), setiap mukallaf dapat mengurangi perbuatan ihtiyâth seukuran ia tidak sampai pada batasan kesusahan. Anda lihat bagaimana pandangan “personal” tertimbun dalam perumpamaan ini dan menggiringnya juga kepada kaidah syariat, baik ia satu-satunya dalam bentuk dimana syariat adalah “tasyri’ (penetapan syariat) bagi individu”, ihtiyâth yang sedemikian boleh jadi menjadi wajib, bukan pada “tasyr’i (penetapan tsyariat) untuk kehidupan sosial” dan menjadi landasan tatanan kehidupan masyarakat, lantaran landasan kehidupan dan hubungan sosial, ekonomi, perniagaan, dan politik bertengger di atas pondasi ihtiyâth. Perumpamaan jurisprudensial (fiqih) kita angkat sebuah kritikan yang diketengahkan oleh para juris dalam kaidah “laa dharâr wa laa dhirâr,” dengan demikian kaidah ini, keberadaan setiap hukum dharâr (yang merugikan) yang dinafikan dalam Islam  dan hal ini, padahal banyak kita jumpai hukum-hukum dari hal-hal dharâr (yang merugikan) seperti ini.

Seperti, penetapan diyat, qishash, dhiman dan zakat, karena hukum-hukum ini, merugikan si pembunuh dalam menyerahkan diyat dan menjalani hukum qishash, kerugian yang menimpa orang yang dilenyapkan hartanya, dalam menyerahkan kembali harta tersebut, dan kerugian yang diderita oleh pemilik harta yang bertugas untuk menyerahkan zakat.  Titik tolak kritikan ini, pandangan personal terhadap agama dimana hukum-hukum seperti ini dipandang sebagai membawa kerugian, sementara dengan pandangan individu pada masyarakat dan kemaslahatan sosial tidaklah demikian. Melainkan tiadanya dhiman dan pajak-pajak dalam penetapan syariat (tasyri’) merupakan perkara yang penting.”[13]

 

Perbedaan Pemahaman dalam Tataran “Harus”

Apa yang menjadi fokus perhatian hingga kini adalah perbedaan pemahaman pada tataran “ada” dan tiada keraguan bahwa pada tataran ini, yaitu apa yang berada pada tataran real dan faktual, terdapat banyak pemahaman dan kesimpulan-kesimpulan yang beragam dari satu teks atau satu matlab. Dari sudut pandang ini, tidaklah patut bagi seseorang mengangangkat bendera penentangan dan mengingkari keragaman pemahaman; lantaran mengingkari hal ini adalah mengingkari suatu perkara yang jelas dan gamblang.

Hal-hal yang juga telah disebutkan, baik pada pandangan utama terhadap agama juga pada metode hukum dan inferensi (istinbâth) hukum-hukum partikular, semata-mata sebagai contoh. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa “tataran ada” merupakan sebuah matlab, dan “tataran harus” adalah matlab yang lain. Dan perbedaan di antara dua tataran ini harus diperhatikan dengan baik.

Tataran harus, ia memiliki hukum tipikal tersendiri. Apa yang kami maksudkan dari tataran harus merupakan hukum akal praktis terhadap baik (husn) dan buruk (qubh) perbedaan fatwa-fatwa.  Jelas bukan akal yang terkontaminasi dengan wahm (delusi),fantasi dan sensasi (ihsas), terhadap sebagian perbedaan pemahaman yang disetujui dan terhadap sebagian yang lain digugurkan.

Ucapan Amirul Mukminin Ali As ihwal perbedaan fatwa-fatwa sebelum menjelaskan kegunaan akal untuk membedakan dan menentukan perbedaan pemahaman yang terpuji dan tercela, sebuah hadis dari Imam Ali akan disebutkan sehingga dapat ditentukan kegunaan akal secara lebih baik dan lebih akurat. Imam Ali berkata dalam mencela ikhtilaf ulama dalam memberikan fatwa:

“Ihwal salah satu hukum-hukum sosial, perbedaan pendapat pada ulama yang mengeluarkan fatwa berdasarkan pendapatnya sendiri, setelah itu, perbedaan itu dibawa ke ulama lain yang memberikan hukum yang berbeda dengan pendapat yang ulama pertama, kemudian berkumpullah para hakim tersebut di hadapan pemimpin mereka yang mengangkat mereka sebagai hakim. Pemimpin tersebut memandang bahwa seluruh fatwa yang diberikan adalah benar.  Sementara Tuhan mereka satu, nabi mereka satu, kitab mereka satu.  Apakah Allah Swt memerintahkan mereka untuk berbeda dimana mereka tidak mentaatinya ataukah Dia melarang mereka untuk berbeda dimana mereka melanggarnya? Apakah Allah Swt menurunkan agama yang tidak sempurna sehingga meminta bantuan kepada mereka untuk menyempurnakannya? Ataukah mereka adalah mitra Tuhan, sehingga apa yang mereka katakan ihwal hukum-hukum agama, Tuhan meridhainya? Ataukah Tuhan menurunkan agama yang sempurna lalu Nabi Saw memandang enteng urusan ini dalam menyampaikannya; sementara Tuhan berfirman: “Kami tidak mengalpakan sesuatu apa pun dalam al-Qur’an” dan berfirman “Dalam al-Qur’an terdapat penjelas segala sesuatu.”   Dan kita telah diberitahu bahwa sebagian al-Qur’an adalah penjelas atas sebagian yang lain dan tidak terdapat perbedaan di dalamnya. Oleh karena itu Allah Swt berfirman: “Sekiranya al-Qur’an ini bersumber dari selain Allah, niscaya kalian akan temukan perbedaan yang banyak di dalamnya.”

Sesungguhnya al-Qur’an memiliki bentuk lahir yang mempesona dan batin yang subtil dan sublim; matlab yang disampaikannya sangat menakjubkan dan tidak akan usai sepanjang masa, dan khazanah rahasia-rahasia yang tertimbun di dalamnya tidak akan pernah habis, dan segala kegelapan tidak akan pernah tersingkirkan tanpa al-Qur’an.”

Sabda Imam Ali dalam khutbah ini tampak bahwa tidak ada yang terpuji dalam perbedaan pemahaman dimana syarat-syaratnya ke depan secara rinci akan kita bahas; karena sebab disampaikannya khutbah ini dalam mencela orang-orang alih-alih menjadikan Imam yang Haq sebagai poros, mereka berputar di sekeliling imam batil. “Apa yang datang setelah kebenaran selain kesesatan.”  adalah ayat yang layak disitir untuk menyinggung sikap ini.

Amirul Mukminin As dalam khutbah agung ini, menyalahkan pemikiran[14] yang menegaskan bahwa setiap mujtahid dalam melakukan aktifitas ijtihad adalah benar (mushib)[15], dan dengan satu istidlal yang memiliki lima dimensi, ia mengkritisi perbedaan fatwa-fatwa.

 

Ulasan Istidal Imam Ali yang mencela Perbedaan Fatwa

Perbedaan fatwa tidak keluar dari tiga hipotesa di bawah ini:

Hipotesa pertama: Perbedaan ini merupakan titah Ilahi, dan para juris (fuqaha) lantaran mengikuti perintah Tuhan berbeda satu dengan yang lain dalam satu hukum.

Hipotesa kedua: Perbedaan dalam hukum-hukum, dilarang oleh Tuhan namun para ulama karena membangkang larangan Tuhan, mereka berbeda pendapat dalam mengeluarkan fatwa.

Hipotesa ketiga: Allah Swt dalam urusan perintah terhadap perbedaan atau larangan terhadapnya, Dia memilih diam, dan jelas bahwa diamnya Tuhan dari sisi perintah dan larangan konsekuensinya adalah bolehnya (jawâz) urusan tersebut.

Hipotesa yang terakhir dapat dibagi lagi menjadi beberapa hipotesa yang lain:

  1. Bolehnya perbedaan dalam agama Islam lantaran Rasulullah Saw dalam mengemban tugas risalah, telah menganggap enteng urusan ini, betapapun agama Allah Swt merupakan agama yang sempurna.

  2. Bolehnya perbedaan dalam urusan agama karena adanya kekuarangan dalam agama. Hal ini berada dalam dua bentuk:

Pertama:Bolehnya perbedaan lantaran sehingga agama dapat menjadi sempurna.

Kedua: Bolehnya perbedaan karena ulama bermitra dengan Tuhan dalam urusan agama.

Demikianlah bentuk-bentuk hipotesa yang dapat diasumsikan dalam perkara perbedaan fatwa.

Imam Ali As memandang bentuk-bentuk hipotesa di atas sebagai hipotesa yang salah kaprah dan kesemuanya secara logis adalah keliru (batil).

 

Kekeliruan bentuk pertama:

Tiada syak bahwa tempat sandaran agama adalah Kitabullah (al-Qur’an). Dan sebagian dari Kitabullah membenarkan sebagian yang lainnya. Dan dalam masalah ini tidak terdapat perbedaan pandangan. Allah Swt tidak pernah memerintahkan untuk berbeda dalam ucapan dan hukum-hukum. Oleh karena itu, perbedaan dalam fatwa tidak memiliki landasan dan sandaran tekstual al-Qur’an.

 

Kekeliruan hipotesa kedua:

Tidak dibolehkannya bermaksiat kepada Allah lantaran ikhtilaf meniscayakan tidak dibolehkannya ikhtilaf.

 

Kekeliruan hipotesa ketiga:

Kesalahan Nabi Saw dengan risalah yang dibawanya bertentangan kenabiannya. Oleh karena itu kekeliruan hipotesa ini juga adalah jelas (bertentangan).

 

Kekeliruan Hipotesa keempat:

Allah Swt berfirman: “Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab ini.” (Qs. al-An’am [6]:38) dan “Dan Kami turunkan kepada kalian al-Kitab (Qur’an) penjelas segala sesuatu.” (Qs. al-Nahl [16]:89)

jika dalam Kitabullah tiada yang dialpakan dan sekiranya al-Qur’an merupakan penjelas segela sesuatu, lalu bagaimana mungkin ada sesuatu yang lain yang merupakan penjelas dan pelengkapnya.

 

Kekeliruan hipotesa kelima:

Kemitraan ulama dengan Tuhan dalam urusan agama-Nya meniscayakan kemitraan dalam perbuatan.[16]

Demikianlah sabda Imam Ali yang tidak pernah memandang benarnya perbedaan fatwa dimana sabda ini lahir dari sebuah metode logis.

 

Sentralnya peran akal dalam perbedaan fatwa para juris

Setelah menyimak sabda Imam Ali As di atas dalam mencela perbedaan hukum-hukum fiqih dimana pada hakikatnya nama yang seharusnya dilekatkan kepadanya adalah perbedaan hukum-hukum yang tercela. Pantas kiranya teraju dan kriteria untuk menentukan perbedaan fatwa yang terpuji dan tercela harus diketengahkan sehingga tidak digambarkan bahwa para juris dalam memahami hukum-hukum syariat, lewat jalan ijtihad, tidak memiliki pakem dan standar yang jelas. Dan oleh karena itu, perbedaan-perbedaan para juris nampaknya tidak dapat disebut konsekuensi pluralisme makna (keragaman bacaan) dari satu teks atau matan.

Manusia untuk dapat memperoleh satu pemahaman yang benar dan logis, akal manusia menyuguhkan berbagai pendekatan yang tertata dan terklasifikasi. jika manusia berbuat berdasarkan aturan-aturan dan pendekatan-pendekatan yang telah disuguhkan oleh akal, meski pemahamannya pada tataran “ada” tidak sesuai dengan realitas, maka pada tataran “harus” ia akan mendapatkan pujian akal. Ganjaran dan pahala lantaran mengikuti pendekatan akan akan diberikan kepadanya dimana disebutkan: “Dan bagi yang salah (dalam memberikan hukum berdasarkan aturan logis dan rasional) ia mendapatkan satu pahala.”

jika ia berbuat tidak berdasarkan pendekatan akal dan meminggirkan peran akal dan menempuh “jalan-jalan” (subul)  yang menyimpang serta pemahaman-pemahaman yang saling bertentangan dan berseberangan sebanyak jalan-jalan tersebut akan bermunculan, jelas bahwa sekali-kali pemahaman seperti ini tidak akan mendapatkan penegasan dan pujian akal; sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an, keyakinan para penyembah berhala yang didapatkan dari “jalan-jalan” yang menyimpang yang tidak mengikuti aturan akal, menjadi sasaran celaan, Allah Swt berfirman: “Dan jika dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. al-Baqarah [2]:170)

 

Pendekatan akal untuk pelbagai pemahaman yang standar

Apa yang dimaksudkan dari akal di sini adalah akal praktis; artinya kekuatan yang terdapat pada setiap manusia dan membimbing manusia kepada ketinggian derajat kemanusiaan serta menghantarkannya kepada kesempurnaan mutlak. Kekuatan ini kendati boleh jadi menyimpang dan karena terkontaminasi noda-noda fantasi (khiyâl) dan delusi (wahm), harus dan tidak harus yang tidak sesuai dengan realitas, namun akar aslinya tidak akan tercerabut. Dan ia tidak akan melepaskan manusia sendiri menghadapi serangan gencar fantasi dan delusi.

 

Hukum-hukum akal praktis

Beragam contoh dari hukum-hukum akal praktis yang telah ditanamkan pada setiap manusia dan pada tataran amal, seluruh manusia, secara umum mengikuti hukum-hukum tersebut. Adapun hukum-hukum akal praktis tersebut adalah:

1. Hukum akal tentang merujuknya seorang yang pandir kepada yang pandai.

‌Orang pandir harus merujuk kepada seorang pandai, dan ajektif ilmu dalam hukum ini, merupakan syarat asasi terhadap merujuknya seorang pandir kepada esensi (dzat) seorang pandai. Orang pandai sebagaimana ia (qua) “dzat” bukan merupakan orang yang dirujuk (marja’), melainkan ia sebagai orang pandai yang merupakan marja’. Dengan kata lain, di sini suspensi (penskorsan) hukum ditujukan kepada sebab. Dan tentu saja setiap manusia, dengan memperhatikan pandangan dunia yang dimilikinya terhadap hukum akal ini, akan tunduk di bawah aturan akal praktis ini.

Dalam contoh yang disebutkan kebanyakan manusia memberikan perhatian yang lebih dalam urusan materi yang cepat. Hukum akal ini hanya diterapkan pada ekstensi-ekstensi material, seperti merujuknya pesakit kepada dokter, pelajar dan mahasiswa kepada guru dan dosennya, periset dan peneliti kepada referensi-referensi derajat pertama dan sebagainya.

Kini jika manusia di samping perhatian terhadap kecendrungan-kecendrungan material, ia juga memberi perhatian terhadap kecendrungan spiritual, maka secara natural manusia jatuh hati kepada kecendrungan ini. Dan ia mengentaskan kebodohan dan kepandiran yang ada dalam dirinya dengan merujuk kepada seorang pandai dan dokter ruhani yaitu Nabi Saw dan Ahlulbaitnya As.

Akan tetapi sayang seribu sayang bahwa manusia bersedia tetap dalam keadaan pandir dan bodoh demikian juga rela terdeprivasi dari ilmu dan makrifat yang dimiliki oleh kaum pandai yang hakiki:

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan, bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong). Tetapi kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).(Qs. al-Hijr [15]:3)

 

2. Hukum akal praktis yang menegaskan untuk mengambil sesuatu langsung dari sumbernya.

Hukum ini juga terhitung sebagai hukum akal praktis; dan meski tidak seluas hukum primer namun hukum ini memiliki dua tipologi universal, tetap dan permanen yang merupakan tipologi akal. Dalil dari matlab ini adalah bahwa siapa pun yang menyenangi segala sesuatu sebagai keuntungan, manfaat dan kesempurnaan, ia mengambilnya dari sumbernya yang asli. 

Misalnya seorang cerdik cendikia menyenangi untuk mengambil satu matlab ilmiah dari kitab-kitab standar utama dan pertama ketimbang mengambilnya dari kitab-kitab kelas kedua, ketiga dan sebagainya.

Barang siapa yang ingin membeli barang; ia akan berusaha memperolehnya dari sumber-sumber produksi barang tersebut. Mereka yang ingin meminum air, jika ia dapat memperoleh air dari mata air atau yang menjadi sumber air tersebut, ia akan berusaha mendapatkan air tersebut dari sumbernya. Dalil dari matlab ini adalah nurani manusia; barangsiapa yang merujuk kepada nuraninya, ia akan menjumpai hakikat ini. jika manusia tidak senang terhadap media dan wahana, bukan karena benci terhadap keberadaan mediasi akan tetapi ia senang jika kesempurnaan dan keuntungan yang ia dapatkan langsung dari sumbernya; lantaran dalam memperoleh kesempurnaan dari mata air asli, tidak terkandung di dalamnya bahaya dan resiko. Dan tentu saja melalui media, ia tidak memiliki ketenangan semacam ini.

Allah Swt membimbing manusia kepada hakikat semacam ini:

“Katakanlah, “Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran?” Katakanlah, “Allah-lah yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran. Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?

 

3. Hukum akal terhadap prioritasnya hal yang lebih penting (aham) ketimbang hal yang penting (muhim).

4. Hukum akal terhadap keharusan (wajib) terwujudnya sesuatu ketika segala syarat-syarat (wujub) untuk terwujudnya tersedia.

Hukum ini tidak terkhusus pada hukum-hukum jurisprudensial akan tetapi apa yang dipandang keberadaannya oleh manusia sebagai wajib dan niscaya, pada tataran perbuatan dan pada langkah-langkah pertama, segala kebutuhan dan persiapan yang menjadi keharusan dalam  perjalanannya dan ia bergantung kepadanya, ia kenakan busana keberadaan atasnya. Sebagai contoh, jika seseorang memandang perlu untuk merujuk kepada seorang dokter, pertama-tama yang ia lakukan adalah mengenal seorang dokter yang mampu mengobati penyakit yang ia derita, kemudian menyediakan uang, media transportasi dan sebagainya. 

5. Hukum akal untuk memilih keburukan yang lebih ringan ketika diperhadapkan pada dua keburukan.

6. Hukum akal terhadap bolehnya hal-hal haram (mahzhurat) jika dalam keadaan darurat.

7. Hukum akal terhadap prioritasnya menguburkan keburukan daripada mengejar keuntungan.

8. Hukum akal terhadap keniscayaan dibolehkanya sesuatu adalah dibolehkannya hal-hal yang berkenaan dengan sesuatu tersebut.  

 

Pembagian ijtihad

Dengan memperhatikan persoalan di atas kiranya perlu pengkajian ihwal pembagian ijtihad diketengahkan supaya menjadi jelas perbedaan fatwa-fatwa, dimana saja dibolehkan dan pada bidang apa saja tidak dibenarkan.

Ijtihad dari sisi subjeknya dapat dibagi menjadi beberapa bagian:

1. Ijtihad dalam hal nash qath’i at-tsubût dan qath’i ad-dilâlah.

Qath’i at-tsubût artinya adalah manusia mengetahui hukum satu masalah secara defenitif yang terdapat pada Kitabullah atau Sunnah Rasulullah melalui kabar mutawatir yang tiada syak dan wasangka di dalamnya. Qath’i ad-dilâlah adalah sedemikian nyata dan terangnya hukum ini sehingga tiada keraguan di dalamnya dan tiada peluang untuk memberikan takwil kepadanya.

Jenis ijtihad ini dipandang keliru (batil) secara mufakat oleh kedua madrasah besar Islam, Sunni dan Syiah.[17] Mereka yang meyakini dibolehkannya ijtihad, sekali-kali tidak pernah menginginkan makna yang sedemikian lantaran ijtihad berada pada nazhariyyat bukan pada badihiyyat. Adapun ihwal ijtihad yang disebutkan di atas, merupakan hal-hal yang memiliki dimensi badihiyyat. Apakah ijtihad seperti ini dipandang boleh, dengan usaha agama dan dikesampingkannya nash-nash; dan kesimpulannya berujung kepada pengingkaran terhadap Islam.  Karena makna ijtihad yang sedemikian, otoritas satu ucapan dan pendapat berhadapan dengan firman Tuhan.[18] Ijtihad semacam ini merupakan contoh nyata dari orang-orang yang mengikuti hawa nafsu: “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu. Tapi jika mereka keluar dari sisimu, mereka berkata kepada orang-orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (seraya memperolok-olok), Apakah yang ia katakan tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka.” (Qs. Muhammad [47]:16)

Kini jika kaidah ijtihad dalam perkara ini adalah tidak valid, apatah lagi keragaman pemahaman tentang yang dibahas di dalamnya juga tidak dibenarkan; karena keragaman pemahaman dalam masalah seperti ini, baik ia disebabkan oleh ijtihad dimana dalil-dalil invaliditasnya telah disebutkan di atas, atau  karena kekurangan pada pendahuluan-pendahuluan pemahaman dimana hal ini juga secara rasional mendapatkan kritikan, karena pendahuluan-pendahuluan pemahaman merupakan satu matlab sebagaimana pendahuluan terhadap hal-hal yang wajib. Dan pendahuluan terhadap hal-hal yang wajib juga sesuai dengan hukum akal adalah wajib. 

2. Ijtihad ketika tiada ijma dan nash dari kitab dan sunnah

Ijtihad semacam ini terdiri dari dua jenis:

a.  Ijtihad berdasarkan pada kaidah tertentu dan anggapan-anggapan personal

Dalam bagian ini, mujtahid (orang yang mempraktikan ijtihad) alih-alih menggunakan Qur’an dan menjadikannya sebagai standar untuk memahami hukum-hukum agama dan syariat, ia bersandar kepada anggapan-anggapan personalnya.

Sebagai contoh, mujtahid ingin mengetahui bahwa apakah akad nikah bagi orang yang jahil terhadap mahar, batil atau tidak? jika seorang mujtahid menempatkan sebab ketidakabsahan pernikahan seperti ketidakabsahan transaksi jual-beli dalam keadaan jahil terhadap harga, dengan anggapan bahwa mahar merupakan pengganti keuntungan yang didapatkan dari perempuan seperti harga, sebagai pengganti mabi’ (yang dibeli), jelas dan gamblang bahwa standar hukum dan inferensi (istinbâth) semacam ini – ketidakabsahan pernikahan – tidak lain kecuali anggapan dan prasangka si mujtahid. Ia mengira bahwa mahar perempuan adalah sebagai ganti keuntungannya, dan hal demikian merupakan qiyâs (analogi dalam fiqih), istihsân, tarjihiyyat yang menjadi sandaran prasangka dan perkiraan si mujtahid.

Mazhab Syiah[19] memandang haram ijtihad semacam ini dan mencegah semenjak awal perbuatah seperti ini, demikian juga (haram) melakukan praktik ijtihad tatkala ada nash; karena mukallaf dalam jenis ijtihad semacam ini, bersandar kepada sesuatu yang dalam pandangannya indah dan menarik menurut perkiraan dan prasangkanya. Sementara tidak ada sesuatu apa pun yang menjadi jelas melalui perkiraan dan prasangka, apatah lagi dalam urusan agama Allah dan hukum-hukum syariat, dimana tentu saja hukum-hukum Tuhan sekali-kali tidak pernah diperoleh melalui anggapan, perkiraan dan prasangka. Allah Swt berfirman: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, padahal sesungguhnya persangkaan itu tak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Yunus [10]: 36)

Akan tetapi Ahlussunah membolehkan jenis ijtihad semacam ini hingga sebelum abad keempat Hijriah dan setelahnya kendati pintu ijtihad bagi mereka tertutup, namun wajib bagi kaum pandai dan pandir mengikuti ijtihad dan perbuatan semacam ini.[20]

Sebuah hadis yang mencela ijtihad bi ar-ray dan qiyâs: Amirul Mukminin As dalam sebuah hadis yang panjang dan indah yang menjelaskan esensi jenis pandangan ini berikut isykalan-isyakalan yang dapat ditujukan kepadanya. Lantaran signifikannya masalah ini, penulis akan menyuguhkan terjemahan hadis tersebut sehingga dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang ingin mencari hakikat.

Syaikh Hurr al-‘Amili menukil sebuah hadis panjang dari Imam Shadiq As dari ayahnya Amirul Mukminin As yang bersabda: “Pandangan orang yang menyetujui ijtihad bi ar-ray (pendapat pribadi), qiyâs, istihsan dan berkata: Sesungguhnya perbedaan (ikhtilaf) merupakan rahmat, merupakan sebuah pandangan yang tidak dapat diterima; lantaran kita menyaksikan orang-orang yang menyetujui ijtihad bi ar-ray dan qiyâs, karena ketidakmampuan mengenal hukum waqi’i (yang sebenarnya, faktual), untuk memahami hukum-hukum Tuhan, berpaling kepada hal-hal yang kabur (syubahât), dan berkata: Tidak ada sebuah peristiwa kecuali Tuhan telah menentukan hukum atas peristiwa tersebut. Dan hukum Tuhan tidak keluar dari dua perkara, pertama nash dan kedua dalil.

jika kita berhadapan dengan sebuah peristiwa dimana tidak terdapat nash yang membicarakannya, untuk memahami hukum Ilahi kita merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang serupa dan sejenis dengan peristiwa tersebut, karena jika tidak demikian maka Tuhah tidak memberikan hukum untuk peristiwa tersebut.  Sementara Tuhan tidak melewatkan satu pun peristiwa yang tidak ada hukum di dalamnya. Lantaran Dia berfirman: “Tiada Kami alpakan sesuatu pun di dalamnya.” Oleh karena itu, supaya tidak ada satu pun peristiwa tanpa hukum Tuhan, hukum peristiwa yang tidak ada nash tentangnya, maka kita mengambil bantuan dari peristiwa-peristiwa yang sejenis dan serupa dengannya; sebagaimana Allah Swt yang menggunakan analogi melalui penyerupaan dan tamsil, Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Qs. ar-Rahman [55]:14-15) Dimana Tuhan menyerupakan sesuatu yang lebih dekat dengan yang dimisalkan. Sebagaimana Nabi Saw juga menggunakan analogi dalam memisalkan sesuatu.

Sebagai contoh, pertama dalam menjawab pertanyaan seorang wanita dimana wanita tersebut menunaikan ibadah haji sebagai ganti haji ayahnya, Nabi Saw bersabda: “Apakah ayahmu adalah orang yang beragama sehingga engkau menunaikan qadha untuknya?” Nabi Saw dalam hadis ini memberikan fatwa yang tidak ditanyakan kepadanya. Kasus yang lain, sabda Nabi Saw kepada Muadz bin Jabal, tatkala ia diutus ke Yaman: “Wahai Muadz! jika terjadi sebuah perisitwa atasmu yang tidak terdapat pada al-Qur’an dan Sunnah, apa yang engkau kerjakan?” Muadz menjawab: “Aku akan mengerjakan sesuatu mengikut pendapatku. Nabi Saw bersabda: Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik untuk mengerjakan apa yang menjadi keridhaan-Nya.

Demikian juga sebagian besar sahabat mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapatnya dan qiyâs (analogi). Dan kita juga mengikuti apa yang dikerjakan oleh para sahabat Nabi Saw.

Imam Ali As berkata tentang hal ini: “Kelompok ini, adalah orang-orang yang meyakini qiyâs dan ray – dengan bersandar kepada dalil-dalil yang sebagian disebutkan di atas. Sementara mereka telah berdusta baik kepada Tuhan karena berkata: Tuhan memerlukan qiyâs. Juga berdusta atas nama Nabi As karena menyandarkan sesuatu yang tidak pernah disabdakan oleh Nabi Saw.

Kemudian Amirul Mukminin As dalam menampik pendapat orang-orang yang bersandar kepada istihsân dan qiyâs, bersabda: “Prinsip hukum-hukum ibadah dan apa yang terjadi atas umat dan juga cabang-cabangnya, terdapat pada Kitabullah. Dan apa yang kami maksudkan sebagai prinsip, prinsip hukum-hukum  dalam seluruh ibadah dan kewajiban dimana terdapat nash Ilahi tentang hal-hal tersebut. Dan Allah Swt mengabarkan ihwal wujubnya hal tersebut kepada kita melalui Nabi Saw dan washinya, waktu, kualitas dan tingkatan hukum-hukum tersebut. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, jihad, pidana zina, pidana mencuri, pidana orang yang berbuat kesalahan dan semacamnya terdapat pada Kitabullah dalam bentuk global (mujmal) dan tanpa penafsiran, dan melalui Nabilah hukum-hukum tersebut ditafsirkan.   

Setelah itu, kita ketahui bahwa shalat Dhuhur empat rakaat, dan waktunya selepas tergelincirnya (zawâl) matahari. Waktu shalat Ashar empat rakaat dan waktu pelaksanaannya selepas Dhuhur hingga tenggelamnya matahari. Dan shalat Maghrib tiga rakaat dan waktu pelaksanaannya tatkala tenggelamnya matahari hingga hilangnya mega merah di belahan barat.

Tatkala Amirul Mukminin menjelaskan hal-hal tentang pelbagai kewajiban dimana kaidah universalnya terdapat dalam al-Qur’an dan ditafsirkan serta dijelaskan oleh Nabi Saw, bersabda: “jika tidak ada nash dari Allah Swt dan penjelasan Nabi Saw tentang hal ini,tidak seorang pun yang dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya,juga tidak dengan akalnya ia dapat menyingkap hakikat maksud Tuhan dan kewajiban tersebut.Oleh karena itu,  pelaksanaan kewajiban ini melalui jalan qiyâs dan ray, tidak dapat dibenarkan. Akal dengan sendirinya tidak dapat memahami apakah shalat Dhuhur empat rakaat atau lima rakaat atau tiga rakaat. Akal sekali-kali tidak dapat menjelaskan secara rinci antara sebelum dan selepas zawal, antara terdahulunya ruku’ atas sujud, atau sujud atas ruku’, atau antara pidana zina orang yang sudah menikah atau masih perawan, dan antara ‘iqâratdan uang tunai dari sisi kewajiban zakat.Dan jika kewajiban-kewajiban ini kita sandarkan kepada akal saja, akal dengan sendirinya tidak memandang benar pelaksanaan satu pun dari kewajiban-kewajiban tersebut.  

Setelah akar hukum-hukum menjadi jelas; sedemikian sehingga hukum-hukum tersebut tidak dapat diperoleh kecuali melalui ayat dan riwayat, oleh karena itu yang berkaitan dengan cabang-cabang hukum juga demikian adanya; artinya hukum kewajiban-kewajiban tersebut tidak dapat diperoleh melalui qiyâs tetapi harus merujuk kepada nash.

Akan tetapi klaim yang mengatakan bahwa qiyâs adalah tasybih dan tamsil (permisalan) oleh karena itu melalui perantaranya hukum dapat dikeluarkan dan pelbagai peristiwa dapat dibandingkan dengannya, perkataan ini tentu saja merupakan perkataan yang keliru; karena kita menyaksikan berbagai hal yang beragam dimana Allah Swt menerapkan satu hukum untuknya dan sebaliknya, perkara-perkara yang kita saksikan kendati secara lahir adalah satu – antara satu dengan yang lain memiliki keserupaan – akan tetapi Allah Swt, meletakkan hukum-hukum yang berbeda atasnya. Dan poin ini menuntun kita kepada hakikat ini bahwa kesamaan dua hal, tidak dapat menjadi dalil hukumnya juga harus sama, sebagaimana yang diklaim oleh mereka yang menerima qiyâs dan pendapat pribadi (rai).

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam melanjutkan hadis di atas, tentang kecenderungan sebagian orang kepada qiyâs, menjelaskan: “Alasan  cenderungnya orang kepada qiyâs adalah mereka tidak mampu menunaikan hukum-hukum persis dengan kualitas yang diturunkan dalam Kitabullah, dan mengabaikan  perkara yang seharusnya mereka pelajari. Mereka yang ketaatan kepadanya adalah wajib bagi para hamba dan tiada satu pun kesalahan dan cela dalam pekerjaan mereka dan umat juga memiliki tugas untuk merujuk kepada mereka dalam urusan-urusan yang baginya mengandung kesalahan (musytabih) – hukum atas urusan-urusan ini seharusnya mereka tuntut dari mereka (Ahlulbait) – akan tetapi hasrat kepada dunia dan cinta kepada tahta yang menggiring mereka untuk mengadopsi qiyâs dalam melakukan istinbâth hukum; oleh karena itu mereka mengikuti jalan orang-orang salaf yang mengklaim diri mereka sebagai awliya. Ketidakmampuan menyelimuti seluruh keberadaan mereka lalu mengklaim bahwa mempraktikan rai dan qiyâs adalah wajib hukumnya; sementara ketidakmampuan dan heresy (bid’ah) mereka dalam agama Allah adalah jelas dan terang bagi orang-orang yang berakal. Lantaran akal dengan sendirinya tidak mampu membedakan antara pencurian (sirqat) dan perampasan (ghashab, kendati dua hal ini adalah serupa satu dengan yang lain (secara lahir), sementara hukumnya keduanya berbeda; yang pertama harus dipotong dan yang kedua tidak boleh dipotong.

Akal tidak mampu membedakan antara zina muhshan (zina orang yang sudah menikah) dan zina bikr (zina orang yang belum menikah) dimana yang pertama harus dirajam dan yang kedua harus dicambuk. Kesemua ini merupakan dalil bahwa dalam urusan ahkam, kita harus merujuk kepada ayat dan riwayat bukan kepada tasybih dan tamsil.

jika hukum-hukum agama dihasilkan melalui qiyâs, maka mengusap telapak kaki adalah lebih baik ketimbang mengusap atas kaki. Allah Swt mengisahkan qiyâs yang dilakukan oleh Iblis yang berkata: “Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” Kemudian Allah Swt mencela Iblis kenapa ia tidak mampu memahami perbedaan antara ia dan Adam. Demikian juga Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As mencela qiyâs.

Adapun dalil menampik orang-orang yang berpandangan dibolehkannya ijtihad semacam ini adalah bahwa mereka menyangka seluruh mujtahid adalah benar, sementara mereka tidak mampu mengklaim bahwa kelompok ini denga ijtihadnya pada hakikatnya telah mendapatkan apa yang sejatinya di sisi Allah, karena mereka dalam melakukan praktik ijtihad, berpindah dari satu ijtihad ke ijtihad lain. Dan oleh karena itu dalil-dalil mereka bersandar bahwa hukum yang mereka hasilkan sebagai sebuah produk ijtihad merupakan hukum Allah, adalah batil, munqathi dan muntaqidh. Dan tidak ada dalil yang lebih baik dari dalil ini dalam melemahkan pandangan orang-orang yang menerima ijtihad bi ar-rai. Mereka menyangka bahwa mustahil tidak ada satu pun mujtahid yang sampai kepada Allah Swt, dan ucapan ini juga merupakan ucapan yang keliru, karena tiadanya akses kepada Allah Swt lantaran ijtihad mereka sendiri dan oleh karena itu kesalahan ada pada mereka sendiri.

Dan yang lebih aneh selagi meyakini ijtihad bi ar-rai mereka berkata: “Allah Swt dan Nabi Saw memberikan taklif kepada umat ini sesuai dengan takat dan kemampuan mereka. Dalil mereka adalah firman Allah Swt: “Dimana pun kalian berada maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya (Masjidil Haram).” (Qs. al-Baqarah [2]:144) dan mereka mengira bahwa ayat ini merupakan dalil ijtihad mereka; sementara dalam takwil ayat ini, kesalahan dan kekeliruan mereka nampak nyata. Di antara dalil-dalil mereka adalah sabda Rasulullah Saw kepada Muadz bin Jabal. Mereka mengklaim bahwa Rasulullah Saw memberikan izin Muadz bin Jabal untuk melakukan praktik ijtihad. Dan yang benar dari hadis tersebut adalah Tuhan tidak menugaskan mereka untuk berijtihad; karena Allah Swt menganugerahkan kepada mereka dalil-dalil dan tanda-tanda dan menetapkan hujjah bagi mereka.

Oleh karena itu setelah Rasulullah Saw menjelaskan seluruh masalah haram dan halal dan kemudian menyampaikan penjelasan ini kepada mereka dan mereka tetap tidak terlepas dari kebingungan, adalah mustahil Allah Swt menugaskan kepada mereka sesuatu yang berada di luar kemampuan mereka. Dengan demikian, kapan saja mereka berhadapan dengan sebuah perkara, dimana mereka tidak mampu memahami hukumnya, mereka merujuk kepada Rasulullah Saw dan para imam As. Dan bagaimana mereka tidak melakukan hal ini sementara Allah Swt berfirman: “Tidak kami alpakan sesuatu apa pun di dalamnya.” “Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kucukupkan nikmatKu bagimu.” “Dan di dalamnya penjelas segala sesuatu.”[21]  

 

B. Ijtihad dengan satu mabda umum dan Penegasan Akal terhadap validitasnya

Dalam ijithad semacam ini kendati mukallaf tidak memiliki nash yang dengannya mereka bersandar, sumber ijtihad mereka bukanlah asumsi dan prasangka pribadi, melainkan kepada hal-hal yang universal dimana akal memandang harus (wajib) untuk menghukumi segala sesuatu sesuai dengan universalitas tersebut. Dan membelakangi titah akal dalam hal ini (universalitas), dalam pandangan akal hukumnya, adalah haram. Adapun universalitas tersebut adalah sebagai berikut:

§         Prioritasnya aham (yang lebih penting) tatkala berhadapan dengan muhim (yang penting).

§         Kemestian (wujub) terwujudnya sesuatu yang telah mencapai tingkatan harus (wajib).

§         Memilih kejahatan yang lebih ringan ketika terjebak dalam dua kejahatan dimana pelaku tidak dapat menghindar dari keduanya.

§         Segala yang darurat membolehkan yang diharamkan (mahzhurat).

§         Sangsi atau hukuman tanpa ada penjelasan sebelumnya merupakan perbuatan tercela. (Qubh iqâb belâ bayân)

§         Menyingkirkan keburukan lebih utama dari mendapatkan manfaat. (Daf’e Mafsadah awla min jalb manfa’at)

§         jika manusia memiliki ilmu terhadap satu taklif, ia harus yakin bahwa ia telah melakukan tugas tersebut; dengan kata lain, ia juga harus memiliki ilmu terhadap ketaatan dan pelaksanaannya.

§         Yang utama pada “masyruth”  adalah tiadanya syarat.

§         Dibolehkannya sesuatu, pertanda dibolehkannya sesuatu yang yang bertalian erat denganyna.

§         jika terdapat sebab bagi sesuatu, niscaya terdapat akibat sebagai buahnya.[22]

jika sumber ijtihad seorang mujtahid adalah perkara-perkara di atas, jelas ia akan mendapatkan sokongan dan penegasan definitif akal. Dan akal sedemikianlah yang menjadi media penetapan keberadaan Tuhan, prinsip kenabian dan hari kiamat, oleh karena itu, jika sesuatu mampu membuktikan keberadaan Tuhan dan prinsip kenabian, tentu saja ia dapat menjadi sumber istinbâth hukum-hukum partikular dan cabang agama. Syiah Imamiah memandang boleh praktik ijtihad semacam ini, ijtihad yang mengikut kepada akal murni. Dan membiarkan pintu ijtihad tetap terbuka bagi sesiapa saja yang qualified untuk mempraktikan ijtihad. Ahlusunnah pada awalnya memandang boleh melakukan ijtihad semacam ini akan tetapi mereka melarang ijtihad semacam ini.[23]

 

3.      Keragaman Pemahaman Fuqaha ihwal Ijtihad bagian kedua dan ketiga

Dengan memperhatikan persoalan di atas tentang ijtihad bagian kedua dan ketiga, pembahasan keragaman pemahaman juga menjadi jelas.

Penjelasan matlab ini bahwa keragaman pemahaman yang muncul karena pengaruh ijtihad bagian kedua dimana ijtihad bagian kedua ini adalah ijtihad yang mengikut kepada prasangka pribadi. Dengan dalil yang sama membatalkan kaidah ijtihad. Dan tiada satu pun orang-orang yang memiliki pemahaman tidak dibenarkan beramal berdasarkan hal tersebut. Baik pemahaman ini berada secara horizontal antara satu dengan yang lain atau berada secara vertikal.

Dengan kata lain, setiap insan harus bersandar kepada setiap pemahaman yang memiliki landasan syariat dan akal; sementara pemahaman yang bersandar kepada ijtihad bagian kedua tidak demikian adanya.

Akan tetapi dari sudut pandang hukum syar’i, Allah Swt memberikan pemahaman seperti ini dan juga beramal berdasarkan pemahaman ini dengan ganjaran dan pahala. Bahkan jika pemahaman-pemahaman para mujtahid dalam bidang ini berbeda dengan kenyataan factual, tetap dari sudut pandang syariat, ia mendapatkan pahala. Dan oleh karena itu, ganjaran akan diberikan kepada orang-orang yang memiliki pemahaman tersebut dan orang-orang yang mengamalkan pemahaman tersebut dimana disebutkan sebuah kaidah “Bagi orang yang melakukan kesalahan mendapatkan satu pahala.” Pahala dan gajaran ini bukan lantaran aksesnya kepada hukum faktual Ilahi, melainkan dikarenakan menunaikan tugas dimana sejatinya mengikuti hukum akal praktis.

Akan tetapi perbedaan keragaman pemahaman berdasarkan  ijtihad bagian pertama-kedua dan ijtihad bagian ketiga terletak pada masalah terpuji dan tercelanya perbuatan tersebut dalam perspektif akal. Tiada keraguan bahwa akal mencela kemunculan keragaman pemahaman berkat bantuan ijtihad bagian pertama dan kedua. Akan tetapi akal memuji pemahaman yang bersumber dari ijtihad bagian ketiga.

 

4.      Ijtihad dalam Memahami Nash-nash

Ijtihad dalam Sunnah Nabi Saw apakah ia terbukti melalui kabar mutawatir atau melalui yang lainnya, Syiah Imamiyah memandang boleh ijtihad semacam ini dengan beberapa syarat:

Syarat pertama:

Nash-nash yang terdapat dalam Kitabullah atau Sunnah Rasulullah bersifat asumtif dari sisi petunjuknya (dalalah).

Syarat kedua:

Pemahaman yang bersumber dari ijtihad tidak melewati batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat. Sebagai contoh, kalimat “qara” dalam ayat: Wanita-wanita yang dicerai harus menahan diri (menunggu) selama tiga kali qurû’ (suci dari darah haid). (Qs. al-Baqarah [2]:228) Ayat ini dari sisi petunjuk adalah bersifat asumtif; karena ia dapat diterapkan pada haidh (mens) dan sebagai hasilnya masa berakhirnya iddah perempuan yaitu haidh ketiga, dan juga dapat diterapkan “tahur” dan sebagai hasil masa berakhirnya iddah perempuan  yaitu setelah suci dari haidh ketiga.

Tugas juris adalah mencari tahu dalil-dalil dan indikasi-indikasi (qarain) dalam masalah ini secara utuh. Dan memilih satu ucapan tertentu, sehingga jika ia memilih ucapan tersebut, berbeda dengan ucapan-ucapan seluruh juris, karena mengikuti ucapan orang lain, kendati dengan dalil-dalil yang memadai, baginya adalah haram.[24]

Ahlussunah sebelum menutup secara keseluruhan pintu ijtihad, mempraktikan ijtihad semacam ini. Akan tetapi setelah itu, pemahaman para juris mereka tidak boleh berbeda dengan keempat imam mazhab, dan istidlal yang ingin mereka bangun adalah istidlal yang membuktikan pemahaman para keempat juris tersebut, bukan untuk pemahaman ia sendiri.

Dan pemikiran semacam ini sedemikian kokoh dalam benak Ahlusunnah sehingga salah seorang dari mereka berkata: Setiap ayat atau hadis yang berbeda dengan fatwa keempat fuqaha (juris), ia harus ditakwil atau harus dipandang sebagai salah satu yang telah dinasakh.[25]

Dari perkara-perkara yang disebutkan di atas menjadi jelas bahwa jika “nash” adalah qathi ad-dilalah, ijtihad dalam hal ini hukumnya adalah haram.

Misalnya, siapa yang memberikan fatwa dalam menafsirkan ayat “Jangan engkau berkata Ah kepada keduanya” bolehnya memukul dan menghajar ibu dan bapak karena larangan ini hanya terbatas pada “ucapan Ah kepada ibu dan bapak” bukan yang lain.

 

Perbedaan Pemahaman bersumberdari Ijtihad bagian Keempat

Hukum dibolehkannya ijtihad bagian terakhir ini tidak bermakna bahwa para juris harus memberikan satu jenis fatwa dan atau jika ia mengeluarkan fatwa yang beragam, seluruh fatwa tersebut harus sesuai dengan kenyataan faktual; karena masalah ini tidak sejalan dengan kaidah ijtihad, ijtihad secara natural meniscayakan keragaman pemahaman, namun pemahaman-pemahaman yang memiliki pakem dan paradigma.

Dalam ijtihad yang dibolehkan, boleh jadi pemahaman yang beragam terlintas dalam benak para fuqaha atau seorang fuqaha dan berdasarkan hal itu, mereka atau ia mengeluarkan hukum-hukum yang beragam dan sebagian saling bertentangan, akan tetapi  dari sisi bahwa prinsip ijtihad mengikut kepada hukum-hukum akal dan penegasan syariat, pemahaman-pemahaman yang bersumber darinya juga tetap mendapatkan penegasan akal dan memiliki warna syariat di dalamnya Terimalah shibghah (agama) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah?” (Qs. al-Baqarah [2]:138)  

Patut untuk disebutkan di sini bahwa batasan perbedaan fatwa adalah batasan ijtihad itu sendiri. Dan jelas bahwa kekuatan ijtihad di atas hanya berlaku dalam cabang-cabang agama bukan dalam masalah usuluddin.

Cabang-cabang agama juga memiliki hal-hal yang bersifat permanen dan tetap dimana tidak ada jalan untuk praktik ijtihad di dalamnya dan secara natural keragaman pemahaman juga tidak dapat digambarkan di sini; oleh karena itu batasan keragaman pemahaman telah ditentukan, dijelaskan dan dispesifikasi oleh akal dan syariat sebagai konsekuensi penentuan ijtihad yang dibolehkan.

Dan dengan demikian bolehnya ijtihad, tidak bermakna bolehnya keragaman pemahaman secara mutlak, melainkan keragaman pemahaman dan bacaan dalam kerangka yang dibatasi oleh akal dan syariat. Atas alasan ini komparasi antara pemahaman yang terbentuk dalam domain ini dan yang terbentuk di luarnya merupakan komprasi yang keliru dan merupakan qiyâs maal fâriq. Bagaimana mungkin pemahaman para juris dapat dibandingkan dengan pemahaman orang biasa yang bukan spesialis dalam bidang ini dan diletakkan pada bilangan pemahaman yang ada. Apakah akal sederhana dan permulaan manusia melakukan perbandingan antara  pemahaman seorang pekerja bangunan dan pemahaman para dokter dalam urusan medis. Apakah orang dibolehkan menyampaikan sebuah pandangan yang bukan bidang dan spesialisasinya? “Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. Yunus [10]:35)

 

5.      Ijtihad pada terbukti atau tidaknya Sunnah dengan bersandar kepada kabar wahid

Bagian ijtihad ini juga dalam pandangan Syiah tidak bermalasah; akan tetapi Ahlussunah tidak memandang valid ijtihad semacam ini.[26]

Alasan boleh dan validnya ijtihad semacam ini adalah mengikut kepada hukum-hukum akal praktis. Penjelasannya: tartib atsar dadan terhadap kabar wahid menurut akal, tidak secara mutlak bersifat wajib juga tidak secara mutlak batil. Melainkan terkadang harus dan mesti dan pada waktu yang lain tidak harus. Oleh karena itu akal praktis, manusia menghukumi bahwa sekadar ukuran signifikansi kabar wahid, ia meriset dan menelusuri. Dan jika terdapat preferensi antara mengerjakan atau meninggalkan, perkara yang rajih lebih utama dari marjuh. Dan jika kedua sisinya dikerjakan atau ditinggalkan, masing-masing tidak memiliki keunggulan atas yang lain, akal menghukumi untuk memilih salah satu dari keduanya.

Akan tetapi poin ini tidak boleh dilupakan bahwa usaha dan upaya untuk memilih salah satu dari kedua sisi tersebut – mengerjakan atau meninggalkan kabar wahid – bergantung kepada jenis kabar wahid, berangkat dari sini, setiap kabar wahid, ia memiliki mukaddimah-mukkadimah khusus tersendiri; oleh karena itu,  dengan badh’at mazajat memasuki wilayah eksklusif kabar wahid yang telah dinukil dari para maksum. Memahami kabar wahid yang dinukil dari para maksum, merupakan kapital sebagaimana akal murni dan belum terkontaminasi oleh fallacy (mughalatah) dan kerancuan. Sebuah akal yang dari sisi teoritis jauh dari segala keraguan dan dari sisi praktis tidak terkontaminasi oleh syahwat.

Dengan memperhatikan dari apa yang telah disebutkan dan juga ihwal keragaman pemahaman bersumber dari ijtihad bagian keempat, keragaman pemahaman yang bersumber dari ijtihad bagian kelima juga akan menjadi jelas; karena jika akal menjadi teraju dan kriteria ijtihad pada satu perkara tertentu, keragaman pemahaman juga dapat diterima pada kerangka dan teraju tersebut. Atas alasan ini pemahaman atas kabar wahid dari orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu agama tidak ada artinya.

 

 

Memecahkan Satu Keraguan

Dalam pembahasan yang lalu kami telah sebutkan bahwa perbedaan fatwa yang terdapat di antara para mujtahid tidak dapat dipandang sepele. Khususnya para mujtahid, baik dari mujtahid Syiah atau pun para mujtahid Ahlusunnah.  Akan tetapi telah terbukti; ijtihad yang tidak mendapatkan izin Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As, secara logis tidak dapat dipertahankan secara rasional, dan akal, tidak menyetujui prinsip ijtihad semacam ini, juga tidak mengharuskan manusia untuk mengikuti pendapat-pendapat yang bersumber dari ijtihad semacam ini.

Yang paling tinggi dari sudut pandang akal, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia karena mengikuti pendapat-pendapat semacam ini, tidak menggugurkan taklif.  Atas alasan ini para fuqaha Syiah tidak memandang sahih perbuatan seseorang yang tidak bertaklid kepada seorang mujtahid jâmi asy-syarâit; sedemikian sehingga jika ia merujuk kepada mujtahid tersebut dan bertobat, seluruh perbuatan yang ia lakukan tidak berdasarkan

fatwa mujtahid tersebut, harus ia qadha (lakukan kembali).  

Akan tetapi pertanyaan di sini adalah jika ijtihad yang diutarakan oleh Syiah apakah mendapat izin dari sisi syariat dan terpuji dari sisi akal, maka mengapa terdapat perbedaan fatwa? Kalau tidak mendapatkan izin, lentera akal dari dalam dan mentari syariat dari luar, dalam berijtihad, maka ia bermuara kepada keburaman dan kegelapan serta tidak sampai kepada hukum yang sebenarnya (waqi’i). Oleh karena itu bagaimana kegelapan ikhtilaf hinggap pada pemahaman para fuqaha dan pemahaman setiap faqih berhadap-hadapan dengan pemahaman-pemahaman para fuqaha.  

Bukankah inti perbedaan pelbagai pemahaman, pra-hipotesa dan pra-pengetahuan dari para mujtahid? Dan bukankah pelbagai pengetahuan fuqaha ini terpengaruh dari ilmu-ilmu manusia, kondisi-kondisi budaya, politik dan sosial? Bukankah ilmu pengetahuan manusia senantiasa berubah dan berganti?

Keraguan yang tersebar luas di kalangan para pemikir ini berada pada tataran tertentu sehingga fatwa-fatwa para juris (fuqaha) lantaran memiliki corak dan mengikut pada pra-hipotesa yang terpengaruh dari ilmu pengetahuan manusia dan senantiasa berubah, berganti, relatif dan tanpa nilai-nilai kesucian.

Solusi atas keraguan ini mengikut kepada perbedaan di antara empat jenis pra-hipotesa.

1. Pra-hipotesa prinsip tiadanya kontradiksi

Jelas bahwa tidak seorang pun manusia yang kosong pikirannya dari postulat dan pra-hipotesa yang dapat mencerap tabiat atau syariat. Dan proposisi pertama yang berhadapan dengan mental lurus ini, prinsip tiadanya kontradiksi.[27] Memahami satu teks, baik teks itu adalah teks agama atau non-agama, tanpa menerima pra-hipotesa ini adalah sesuatu yang tidak dapat digambarkan apatah lagi menjadi sesuatu yang dapat diterima. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pra-hipotesa ini sejatinya merupakan kunci untuk memasuki pemahaman satu teks bukan pemahaman itu sendiri, oleh karena itu ia tidak memiliki peran dalam kualitas pemahaman.

 2. Mukaddimah-mukkadimah istintâqh atau pra-pengetahuan istikhraji

Yang dimaksud pra-pengetahuan istikhrâji, adalah pengetahuan seperti bahasa dan kaidah-kaidah linguistik, sastra dan konotasi lafaz.[28]

Jelas bahwa ijtihad dan upaya untuk memahami firman Tuhan, riwayat-riwayat dari Nabi dan para Imam Maksum tanpa ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah linguistik adalah tidak mungkin dan mustahil. Akan tetapi poin ini juga harus diperhatikan bahwa pra-hipotesa ini merupakan preparasi-preparasi untuk melakukan praktik ijtihad, bukan sebab bagi ijtihad dan pemahaman juristik; pengetahuan bahasa dan kaidah-kaidah linguistik, menyiapkan lahan bagi para mujtahid untuk melakukan praktik ijtihad, akan tetapi ia tidak memiliki peran pada ijtihad itu sendiri. Kendati tanpa lahan (preparasi) ini, ijtihad juga tidak memiliki makna.

 

3. Pra-hipotesa-pra-hipotesa pertanyaan

Pra-hipotesa pertanyaan bermakna bahwa mujtahid dalam praktik ijtihadnya mulai mencecari dirinya dengan pertanyaan dan persoalan. Dan matlab yang menjadi keperluannya ia hadirkan di hadapan ayat-ayat Ilahi dan riwayat-riwayat Ahlulbait As. Pada saat yang sama, tugas mujtahid  adalah diam bukan berbicara, sebagaimana risalah-risalah ayat dan riwayat, ijma pada tingkatan ini adalah nutq (berbicara) bukan sukut (diam).  jika mujtahid langsung berhadap-hadapan dengan ayat dan riwayat tanpa pertanyaan dan persoalan, ia tidak akan mendapatkan keuntungan, karena keduanya adalah diam (tanpa pertanyaan) dan sekali-kali perjumpaan dua hal yang diam dan hening tidak akan melahirkan energi.[29]

 

4. Pra-hipotesa-pra-hipotesa terapan

Pra-hipotes-pra-hipotesa terapan artinya sebuah jenis pra-pengetahuan yang berpengaruh dalam penerapan dan aplikasi makna – bukan dalam menyingkap makna.

Penjelasannya adalah ketika mujtahid menghadapi ayat dan riwayat dengan pra-hipotesa khusus, tiga keadaan yang ia alami:

Keadaan pertama: Berdiam diri dan menanti jawaban ayat atau riwayat.

Keadaan kedua: Tidak berdiam diri dan senantiasa berada pada tataran menjawab pertanyaannya dengan menggunakan lisan ayat dan riwayat. Dalam keadaan ini ia tidak memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berbicara.

Keadan ketiga: Ia memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berbicara akan tetapi disertai dengan jawaban dari dirinya sendiri. Artinya suaranya ia padukan dengan melodi ayat dan riwayat.

Dari tiga keadaan ini, hanya keadaan pertama yang dapat diterima sementara keadaan kedua dan ketiga merupakan contoh dari tafsir bi ar-ray.

 

Dari keempat pra-hipotesa yang disebutkan di atas, pra-hipotesa yang berpengaruh atas pemahaman mujtahid tentu saja bukan pra-hipotesa pertama, kedua dan ketiga; karena sebagaimana yang telah diperhatikan secara seksama, tidak satu pun dari bagian-bagian ini yang menjadi sebab pemahaman mujtahid sehingga dengan perubahan sebab-sebab ini karena pergantian dan perubahan ilmu-ilmu manusia yang menjadi akibat – pemahaman mujtahid dari ayat dan riwayat – juga secara dawam senantiasa berganti dan berubah; melainkan perkara ini merupakan preparasi-preparasi bagi pemahaman mujtahid terhadap ayat dan riwayat. Dan preparasi bagi pemahaman mujtahid bukan tanpa pengaruh; namun yang sesuai dengan keraguan relatifnya pemahaman adalah ketiga pra-hipotesa telah menjadi sebab dan illat pemahaman.

Kiranya layak untuk disebutkan di sini bahwa diterimanya pra-hipotesa bagian pertama bermakna diterimanya probablitas pemahaman; karena kalau tidak demikian ruang bagi setiap usaha tafhim dan tafahhum akan tertutup.  Karena pra-pengetahuan pada pra-hipotesa bagian keempat, sepanjang mujtahid ketika pemahaman ijtihadnya, tidak menggunakan pra-pengetahuan tersebut, melainkan diam dan menanti jawaban dari ayat dan riwayat, maka hal ini tidak membahayakan pemahaman mujthahid oleh pengaruh pra-pengetahuannya dalam memahami hukum-hukum Ilahi. Iya, jika mujtahid, pra-pengetahuannya –pra-hipotesa bagian keempat itu ia padukan pada pemahaman ayat dan riwayat, artinya ia tidak memberikan izin berbicara dan berkata-kata kepada ayat dan riwayat dan ia berada pada posisi menjawab pertanyaannya sendiri, ia keluar dari lisan ayat atau riwayat, atau ia memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berkata-kata. Akan tetapi disertai dengan jawaban yang telah disampaikan dari ayat dan riwayat, jawabannya yang ia berikan juga disertai dengan ayat dan riwayat. Namun pemahaman yang ia dapatkan dari hukum-hukum Ilahi, tentu saja terpengaruh oleh pra-pengetahuan dan secara natural dengan perubahan ilmu pengetahuan manusia, hukum ini juga boleh jadi mengalami perubahan. Dan harus diperhatikan bahwa pada tataran “harus dan tidak boleh” memadukan bagian ini dari pra-pengetahuan, dalam ijtihad yang dikenal dalam dunia Syiah, sekali-kali tidak dapat dibenarkan, kendati boleh jadi pada tataran “ada” banyak hal yang dapat ditemukan dimana seorang mujtahid memasukkan pra-pengetahuannya dalam melakukan istinbâth hukum Ilahi.

Tugas mujtahid, memprioritaskan akar ketimbang cabang dan tentu saja dalam hal ini, ia harus mempelajari perkara-perkara dimana pemahaman “akar” (kaidah) ini bersandar.

Bagian yang lain juga sebagaimana pra-hipotesa bagian pertama, kedua dan ketiga dimana kedudukan pra-hipotesa ini dalam memahami hukum-hukum agama adalah jelas dan terang.

 

Sumber Pelbagai Kesimpulan yang Beragam dalam Inferensi Hukum-hukum Agama

Pada pembahasan sebelumnya menjadi jelas bahwa pada tingkatan “ada” terdapat perbedaan (pada sebagian) fatwa di antara para mujtahid ihwal hukum satu subjek permasalahan. Akan tetapi pertanyaan ini mengemuka darimanakah perbedaan fatwa ini bersumber? Mengapa sebagian orang dalam  melakukan inferensi (istinbâth) hukum dari satu ayat atau riwayat melahirkan satu produk hukum, dan sebagian lainnya melakukan istinbâth dari ayat atau riwayat yang sama memproduksi hukum yang lain dan sebagiannya dari istibath tersebut ada yang saling bertentangan?

Pertanyaan lain apakah pemahaman yang beragam dalam melakukan istinbâth hukum-hukum agama dapat dicegah, sedemikian sehingga seluruh mujtahid dan juris berada pada satu barisan dalam mengeluarkan produk hukum Ilahi?  

Poin penting yang harsu diperhatikan dalam bagian ini sebelum menjawab pertanyaan adalah kebanyakan proposisi fuqaha dimana pemahaman seluruh mujtahid tentang proposisi tersebut adalah satu dan tidak ada perbedaan fatwa dalam masalah tersebut. Dan orang yang memiliki informasi minim tentang hukum-hukum fiqih akan mengakui realitas ini.

Bagaimanapun, jawaban atas dua pertanyaan ini bersandar pada pemisahan antara dua jenis ikhtilaf (perbedaan) dalam hukum-hukum fiqih:

1. Perbedaan yang tidak saling bertentangan dan kontra satu dengan yang lainnya, melainkan pada tingkatan tertentu dapat disatukan.

Sebagai contoh:

§         Perbedaan-perbedaan yang bersumber dari satu subjek; seperti haramnya transaksi (muamalah) darah pada masa lampau karena ketika itu darah diminum. Dan halalnya transaksi darah pada masa kini dikarenakan untuk keperluan medis.

Akan tetapi  dengan memperhatikan poin ini bahwa ter-update-nya kondisi-kondisi subjek[30] hanya terkhusus pada bidang transaksi (muamalah) bukan dalam bidang ibadah. Dan dalam bidang transaksi juga, yang menjadi fokus perhatian adalah proposisi-proposisi dan subjek-subjeknya diambil dari kebiasaan orang-orang berakal (urf uqala), bukan bersumber dari proposisi dan subjek yang dibuat oleh Tuhan. Seperti warisan dimana baik dari sisi subjek dan hukum tidak mengalami perubahan, kendati warisan merupakan bagian dari bidang muamalah.[31]

§         Perbedaan fatwa yang bersumber dari perubahan dan pembaharuan satu subjek. Seperti hukum haramnya permainan catur pada masa lalu karena catur ketika itu merupakan alat permainan judi. Dan hukum halalnya permainanan catur pada masa kini karena ia telah keluar dari kondisi sebagai alat permainan judi menjadi media permainan olahpikir (olahraga).

Tiada keraguan bahwa perbedaan fatwa ini bersifat natural dan dapat disatukan dan tiada hubungannya dengan masalah pluralisme pemahaman agama karena kesemua hal ini selaras dan sesuai dengan fakta dan realitas.

 

2. Perbedaan fatwa yang saling bertentangan dan kontradiksi dalam satu subjek dan mishdak dimana hal ini secara natural tidak dapat diselaraskan dengan fakta dan realitas. Oleh karena itu perbedaan fatwa ini sekali-kali tidak dapat disatukan.

Sumber adanya seluruh perbedaan ini adalah disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:

A.      Pengaruh jenis pandangan dunia seseorang atas model istinbâthnya dalam hukum-hukum fiqih.

Ucapan ini adalah ucapan Syahid Muthahari. Ia dalam hal ini berkata: “Pekerjaan juris dan mujtahid adalah istinbâth (inferensi) dan istikhrâj hukum-hukum, namun penguasaan dan pengetahuan terhadap pelbagai subjek, yang disebut sebagai desain pandangan dunianya, sangat banyak berpengaruh ketika ia mengeluarkan fatwa. Seorang faqih harus menguasai secara sempurna terhadap subjek-subjek permasalahan berkenaan dengan fatwa yang ingin ia keluarkan.

Anggaplah seorang faqih yang senantiasa berada di sudut rumah atau madrasah dan kita bandingkan ia dengan seorang faqih yang menguasai masalah-masalah kehidupan, kedua orang ini merujuk kepada dalil-dalil syariat dan referensi-referensi hukum, namun dari keduanya melakukan sebuah pendekatan khusus dalam melakukan praktik istinbâth hukum. 

Sebagai contoh: Anggaplah seorang tumbuh besar di kota Teheran atau di kota lain seperti kota Teheran dimana di kota tersebut terdapat banyak air kurr dan air jari  (yang mengalir), kolam-kolam, sumur dan sungai-sungai, dan faqih ini tinggal di kota tersebut dan ia ingin memberikan fatwa ihwal hukum-hukum thahârah dan najasat (najis), faqih ini dengan latar belakang personalnya tatkala ia ingin merujuk kepada riwayat dan hadis tentang thahârah dan najasat sedemikian ia melakukan istinbâth sehingga sejalan dengan ihtiyath dan keharusan untuk menjauhi kebanyakan masalah.

Namun jika orang ini melakukan ziarah ke Baitullah melihat kondisi thahârah, najasat dan keadaan tanpa air, pandangannya tentang hal ini akan mengalami perubahan, artinya setelah melakukan perjalanan, jika ia merujuk kepada hadis dan riwayat tentang thahârah dan najâsat, ia akan mendapatkan pemahaman baru tentang thahârah dan najâsat.[32]

Menurut hemat penulis, penjelasan Syahid Muthahari memerlukan komplementer dan hal itu adalah jenis pandangan dunia dalam melakukan istinbâth hukum fiqih, sekali-kali tidak bermakna pengaruh sebab dan akibat melainkan bermakna pengaruh beberapa (sebab) persiapan atas terwujudnya satu akibat; berangkat dari sini, pengaruh perkara sedemikian tidak berbentuk universal (kulli) dan positif universal (mujibah kulliyah) dan juga tidak bercorak mesti dan harus.

Dengan demikian seorang faqih dengan mudah berada pada realitas faktual dalam kondisi tertentu, jauh dari jenis kecendrungan dan pandangan, dan sampai pada hukum faktual (waqi’i) Ilahi.

Sebaik-baik contoh dalam masalah ini, kisah fatwa Allamah Hilli tentang air sumur. Lantaran kecendrungan dan kenangannya terhadap sumur yang terdapat di rumahnya, kecendrungan tersebut tidak menahannya untuk sampai pada hukum faktual tentang air sumur, ia memerintahkan air sumur tersebut supaya dipenuhi.

Kisah ini tidak dapat dibatasi hanya pada satu orang saja; karena keniscayaan yang terdapat pada fiqih Syiah, menepikan segala kecendrungan dan tendensi pribadi dan sosial; kendati terdapat kemungkinan pengaruh kecendrungan dan tendensi tersebut dalam melakukan praktik istinbâth.   

B.       Jenis penguasaan seorang faqih terhadap subjek-subjek partikular dan personal.

Sebagian perbedaan fatwa kembali kepada kualitas pengetahuan para juris terhadap subjek-subjek dan permasalahan partikular, seperti fatwa boleh atau tidaknya menggunakan gigi palsu ketika shalat.

Adalah natural faqih atau juris yang memiliki hubungan dengan dokter gigi sampai pada kesimpulan bahwa pada gigi palsu tidak terdapat bagian-bagian hewan yang tidak dapat dimakan dagingnya, dan memberikan hukum boleh menggunakan gigi palsu ketika shalat. Sementara mujtahid yang lain, karena tiadanya hubungan dengan spesialis dalam bidang ini, ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap subjek permasalahan ini dan oleh karena itu ia memberikan fatwa tidak bolehnya menggunakan gigi palsu ketika mengerjakan shalat.[33]

Perlu disebutkan bahwa jenis perbedaan fatwa ini juga dapat dipecahkan.  Dan sebaik-baik jalan untuk memecahkan perbedaan ini adalah mengikut hukum akal; artinya tugas faqih adalah menjelaskan hukum-hukum universal bukan menentukan subjek-subjek partikular dan personal. Menentukan misdak-misdak partikular harus diserahkan kepada spesialis subjek tersebut. jika sekumpulan spesialis tersebut menentukan kondisi satu misdak, secara natural, hukum fiqihnya juga akan menjadi jelas.

Oleh karena itu, jangan banyak berharap kepada faqih untuk menjelaskan seluruh subjek-subjek dan hukum-hukum tentangnya. Dan jika misdak-misdak itu ingin diijelaskan, maka harus merujuk kepada spesialis misdak tersebut. Dalam hal ini bagian penting perbedaan (fatwa) dimana sumbernya adalah tiadanya penguasaan mujtahid terhadap subjek-subjek partikular dan personal dapat diselesaikan.

 

C.      Jenis pandangan seorang faqih terhadap pokok agama (ushuluddin).

Tiada keraguan bahwa terdapat perbedaan antara fatwa-fatwa mujtahid yang memandang agama dari sudut pandang personal dan mujtahid yang melihat bahwa person merupakan bagian dari masyarakat dan pandangannya adalah pandangan sosiologis terhadap agama.

Syahid Shadr menulis tentang hal ini: “Konsekuensi pandangan yang hanya terbatas pada permukaan dan meresapnya pandangan seseorang berpengaruh terhadap metodeologi penerimaan dan istinbâth dari nash-nash syariat.[34]

Ia menyebutkan sebuah contoh perizinan dalam masalah ini bahwa apakah penyewa dapat menyewakan kembali tempat yang ia sewa kepada orang lain, dengan mendapatkan lebih dari apa yang ia serahkan sebagai uang sewa?

Tentang masalah ini terdapat banyak riwayat yang disebutkan dimana sebagian dari riwayat tersebut melarang persewaan semacam ini dalam urusan rumah, dan sekelompok lainnya dalam urusan kapal dan penggilingan gandum, dan sebagian lainnya dalam perkara “pekerjaan” yang disewakan.

Mereka yang memiliki pandangan personal terhadap agama memandang bahwa persewaan semacam ini terbatas pada perkara-perkara yang disebutkan di atas. Akan tetapi orang-orang yang memiliki pandangan realistis dan dari sudut pandang mekanisme hubungan sosial, ketika berhadapan dengan nash-nash semacam ini, larangan persewaan semacam ini dengan biaya sewa yang lebih besar terbatas pada perkara-perkara yang disebutkan di atas dan oleh karena itu mereka tidak membedakanmasalah ini.[35]

Hal-hal yang lain yang dapat digambarkan tentang sumber perbedaan fatwa seperti:

 

D.      Tidak mengindahkan kaidah-kaidah umum linguistik seperti kaidah umum (‘am) dan khusus (khas) atau mutlak dan muqayyad (memiliki kait, stipulated) atau hakikat dan majaz.[36].

E.       Memahami nasukh tanpa memperhatikan masalah mansukh atau sebaliknya.[37]

F.        Tidak mengindahkan indikasi-indikasi aktual (qarain hâliyah), tekstual,  asababun nuzul, atmosfer dan suasana pewahyuan;

G.      Lalai terhadap literal (zhuhur) urf dan umum dan menempatkan zuhuri syakhsi sebagai ganti dari literal (zhuhur) urf dan umum;

H.      Tidak mengenal ijma’ dan hukum-hukumnya, khususnya pada mazhab Syiah.[38]

I.        Tidak mengindahkan pengenalan terhadap perbuatan-perbuatan Nabi Saw dan kedudukannya dari sisi wajib, mustahabnya dan sebagainya;[39]

J.        Perbedaan dalam pembahasan ilmu rijal dan ushul.

 

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kendati mungkin perbedaan yang sedemikian, saling kontradiksi dan bertentangan satu dengan yang lain, namun harus diperhatikan bahwa kebanyakan dari penyebab perbedaan ini sebenarnya dapat disingkirkan dan konsekuensinya kesatuan pemahaman sebagai produk dari perbaikan ini dapat dicapai.

 

 

 

 


[1] . Lihat, Syarif Murtadha, adz-Dzari’ah ila Ushul asy-Syariah, diriset oleh Dr. Abul Qasim Garji, Danesygah Tehran, jil. 2, hal. 672; Najmuddin Ibn al-Qasim Ja’far bin al-Hasan Hadzali, Muhaqqiq Hilli, Ma’ârij  al-Ushul, cetakan pertama, Muassasah Alil Bait As, hal. 179.

[2]. Idem., 

[3] . Syaikh Bahai menukil makna ini dari Hajabi dalam Zubdah al-Ushul, hal. 115.

[4]. Lihat, Dhiayuddin ‘Iraqi, Maqâlat al-Ushul, diriset oleh Mujtaba Mahmudi dan Sayid Mundzir Hakim, cetakan pertama, Majma’ al-Fikr al-Islami, Qum, jil. 2, hal. 491. 

[5]Taqrirât as-Sayyid al-Khui, Sayid al-Waizh al-Husaini, Mishbâh al-Ushul, Matba’ al-‘Ilmiyah, Qum, Maktabah al-Dawari, Qum, jil. 3, hal. 434. 

[6]. Lihat, Dhiayuddin ‘Iraqi, Maqâlat al-Ushul, jil. 2, hal. 491.  

[7]. Lihat, Ahmad Wai’zhi, Dar Amad bar Hermeunetik, Markaz-e Nasyr Pazyhuesygah Farhang-e wa Andisye Islami, cetakan pertama, hal. 297; Babak Ahmadi, Sakhtâr Ta’wil Matn, cetakan pertama, Nasyr Markaz, jil. 2, hal. 574; Richard I. Palmer, Hermeunetik, terjemahan Muhammad Sa’id Hanai Kasyani, Intisyarat-e Hermes, hal. 219.

[8]. Lihat, Ahmad Wai’zhi, Dar Âmad bar Hermeunetik, hal. 298, Markaz-e Nasyr Pazyhuesygah Farhang-e wa Andisye Islami, cetakan pertama.

[9]. Lihat, Sakhtâr Ta’wil Matn, jil. 2, hal. 573.  

[10]. Idem, hal. 566-577 dan Dar Âmad bar Hermeunetik, hal. 298.  

[11]. Lihat, Sakhtâr Ta’wil Matn, jil. 2, hal. 574.  

[12]. Idem, hal. 571 dan Dar Âmad bar Hermeunetik, hal. 298.  

[13]. Majalleh Fiqhi Ahlulbait, tahun pertama, No. 1, hal. 39.  

[14]. Ahlusunnah dalam hal ini disebut sebagai Mushawwabah atau Ahli Tashwib; lantaran mereka memandang bahwa setiap mujtahid adalah mushib (benar) dan hukum yang mereka hasilkan adalah hukum Allah.  

[15]. Lihat, Syaikh Thusi, al-‘Uddah fi al-Ushul al-Fiqh (10), riset oleh Muhammad Ridha Anshari, cetakan pertama, 1418, Penerbit Setareh, Qum, jil. 2, hal. 724; Ibn Hamid, Muhammad Ghazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, cetakan 1417, cetakan Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Penerbit Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut, hal. 349; Ibn Ishaq, Ibrahim bin ‘Ali Syirazi, al-Lam’ fi al-Ushul al-Fiqh, cetekan tahun 1406, Penerbit ‘Alim al-Kutub, Beirut, hal. 357.  

[16]. Lihat, Ibn Maitsam Bahrani, Kamal ad-Din Maitsam bin ‘Ali, al-Misbâh (syarh Kabir), jil. 1, hal. 396, Tehran, Khadamat-e Capi, cetakan kedua, 1404.  

[17]. Lihat, al-Lam’ fi al-Ushul al-Fiqh, hal. 357 dan  al-Mustashfa, hal. 345.  

[18]. Lihat, Fiqh al-Imâm Ja’far ash-Shadiq As, jil. 6, hal. 379; Syaikh Shaduq, al-Hidayah, Muassasah al-Imam al-Hadi, cetakan pertama, I’timad, Qum, hal. 18; al-‘Uddah fii al-Ushul al-Fiqh, jil. 2, hal. 726.  

[19]. Lihat, al-‘Uddah fii al-Ushul al-Fiqh, jil. 2, hal. 726  

[20]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq As, jil. 6, hal. 380; al-Mustashfa fi al-Ushul al-Fiqh, Ghazali, hal. 282. 

[21]. Lihat, Hurr al-Amili, Wasail asy-Syiah, Kitab al-Qadha, bab ‘Adam al-Jawaz al-Qadha al-Hukm bi al-Ray, hadits 38.  

[22]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.   

[23]. Idem.

[24]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.

[25]. Idem, hal. 382.

[26]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.  

[27]. Lihat, Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, Markaz-e Nasyr Isra, jil. 1, hal. 192.  

[28]. Lihat, ‘Abdulhussein Khusrupanah, Kalâm-e Jadid, hal. 153.  

[29]. Lihat, Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 225.  

[30]. Lihat, Kalâm-e Jadid, hal. 154  

[31]. Lihat, Muhammad Hadi Ma’rifat, Naqsy Zaman wa Makan dar Rawand-e Ijtihad, Ruznameh Ittila’at 22/8/78.  

[32]. Lihat, Murtadha Muthahhari, Dah Guftar, Intisyarat-e Shadra, hal. 121.  

[33]. Lihat, Murtadha Muthahhari, Islam wa Muqtadiyyat-e Zaman, jil. 2, hal. 65-66, Intisyarat-e Shadra.   

[34]. Majalleh Fiqh Ahlulbait As, tahun pertama, No. 1, hal. 40.

[35]. Idem.  

[36]. Lihat, Syaikh Thusi, ‘Uddat al-Ushul, riset oleh Muhammad Ridha Ustadi, cetakan pertama, Penerbit Setareh, Qum, jil. 2, hal. 719.

13 Juli 2012

Takdir dan Usaha

oleh alifbraja

Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan
Pada masa nubuah,wujud”Lauh”yang dikenal oleh para sahabat adalah sebidang papan atau tulang yang biasa ditulisi.Papan dan tulang itu hanya disebut Lauh jika sudah ditulisi.Sedangkan “Qalam”adalah alat tulis atau pena. Pada masa itu”Qalam”berupa bulu unggas yang dipakai untuk menulis setelah dicelupkan ke tinta terlebih dahuluatau sebatang ranting/ kayu yang diruncingkan untuk mengores “Lauh”. Demikianlah penggambaran yang diberikan oleh Ibnu Manzhur dalam kitab “Lisanul Arab”.
Mengenai Lauh Mahfuzh (Lauh yang selalu dijaga) dan pena yang telah menulisinya ada sebuah atsar marfu’dari Ibnu ‘Abbas .Beliau berkata,”sesungguhnya Allah menciptakan Lauh Mahfuzh dari mutiara putih. Kedua sampulnya dari permata yaqut merah.Qalamnya adalah cahaya,tulisanya adalah cahaya, dan lebarnya sejarak antara langit dan bumi,”
Tulisan pada Lauh Mahfuzh
Takdir Allah untuk setiap dan semua mahluk bresifat azali. Sebelum Allah menciptakan semua mahluk-temasuk Qalam dan Lauh Mahfuzh-Allah sudah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh setiap makhluk. Kemudian pada masa 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi Allah mencitakan Qalam,lalu diperintahkanya Qalam untuk menulis semua takdir. Hal ini dapat kita pahami dari kedua hadist berikut ini:
“Allah menulis takdir pada mahkluk 50.000 tahun sebelum diciptakanya semua langit dan bumi.”(H.R.Muslim dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash)
“Benda pertama yang diciptakan oleh Allah adalah pena.Allah berfirman,’Tulislah!’Pena menjawab,’Apa yang aku tulis?’Allah berfirman,’Tulislah takdir yang telah terjadi dan akan terjadi selamanya!’.”(H.R.at-Tirmidziy dan dinyatakan shahih oleh al-Albaniy)
Hal ini juga telah Allah terangkan di dalam al-Qur’an. Allah berfirman,
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kamami menciptakanya.Sesungguhnya Allah mengetahuinya apa saja yang ada dilangit dan dibumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).Sesungguhya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.”(Q.S.al-Hajj:70)
Apa yand terjadi diseluruh alam dijadikan oleh Allah dengan iradah dan masyiah-Nya yang berporos pada rahmat dan hikmah-Nya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki tersesat dengan hikmahNya.semua itu dan semua takdir telah ditulis didalam Lauh Mahfuzh.tidak ada seorang pun yang terlewatkan.Apa yang telah terjadi dan akan terjadi sampai hari kiamat. Dan saat kejadianya,semuanya persis seperti apa yang tertulis disana. Tidak sesuatu pun yang bergeser.Ini adalah bukti kesempurnaan ilmu,kuasa dan hikmah Allah.

Dimensi Ketuhanan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin (Al Hadid / QS. 57:3). Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang).
Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) (Al-Furqaan / QS. 25:2)
Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah (Al-Hajj / QS. 22:70)
Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya (Al Maa’idah / QS. 5:17)
Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya (Al-An’am / QS 6:149)
Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (As-Safat / 37:96)
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan (Luqman / QS. 31:22). Allah yang menentukan segala akibat (Kausalitas).

Dimensi kemanusiaan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia (Ar Ra’d / QS. 13:11)
(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (Al Mulk / QS. 67:2)
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga mereka akan bersedih (Al-Baqarah / QS. 2:62). Iman kepada Allah dan hari kemudian dalam arti juga beriman kepada Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir.
… barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir… (Al Kahfi / QS. 18:29)

Implikasi Iman kepada Takdir

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).
Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.
Memahami Takdir Illahi. Di dalam memahami takdir Illahi, setiap manusia harus merujuk pada apa yang terdapat dalam Rukun Iman yang telah di paparkan dalam Hadis Rasulullah Saw yakni Percaya pada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir dan percaya pada Qada dan Qadar-Nya. Keenam poin yang termaktup dalam Rukun Iman di atas harus kita yakini seyakin-yakinya, guna melahirkan dan menumbuhkan ketabahan dan kesabaran yang penuh di dalam menerima ujian dan cobaan dari Allah Swt, karena tidak ada manusia yang tidak luput dari cobaan dan ujian. Dan mewujudkan kepercayaan yang tinggi bahwa dalam penciptaan manusia, Allah Swt menetapkan apa yang di sebutkan agama dengan langkah, rezeki, pertemuan dan maut. Serta segala sesuatu yang baik ( kenikmatan ) atau segala sesuatu yang buruk (bencana maupun musibah).
Lima poin di atas kebanyakan dari manusia khususnya manusia muslim mungkin sudah bisa merealisasikanya dengan baik dan benar melalui amal ibadah kita sehari-hari. Apakah itu amalan yang di kerjakan secara munfarit (sendiri) atau berjamaah, saling sehat-menasehati dan menaburkan kebaikan yang kesemuanya itu terangkum dalam ber-Amar Makruf dan ber-Nahi Mungkar. Dengan satu pengharapan, keridhoan dan pahala dari Allah Swt. Lalu bagaimana dengan poin ke enam mengimani dan mempercayai adanya takdir dalam bentuk Qada & Qadar yang di voniskan Allah Pada umat manusia?, bagaimana pula kita memahami dan mengimaninya ? sehingga apapun bentuk takdir apakah itu baik atau buruk, rasa syukur dan optimis tetap di terapkan dalam hidup dan kehidupan ini, dengan satu tekad Allah pun pasti memberikan jalan keluarnya.
Mengimani takdir Ilahi atau Qada & Qadar akan memberikan pelajaran pada manusia, bahwa segala sesuatu yang telah dan yang akan terjadi di jagat raya ini sudah sesuai dengan kebijaksanaan yang telah di gariskan oleh zat yang maha tinggi. Sebagai muslim sejati kita dituntut untuk mentaati, menerima dan mematuhi. Seperti yang di firmankan Allah Swt dalam Qs Al Ahzab-36 “ Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia berada dalam kesesatan yang nyata “
Setiap manusia memiliki ketentuan/ketetapan yang telah di gariskan Allah dalam hidupnya, seperti yang di tegaskan Allah dalam Qs Ahzab-36 di atas. Namun memahami takdir ( Qada & Qadar ) acap kali melahirkan ketidak cocokan dan kesalahpahaman. Oleh karena itu untuk menyingkapinya kembali suatu keharusan memperhatikan dengan seksama (Al Quran dan Hadis Saw ) yang menjelaskan akan hal tersebut. Agar kita bisa meluruskan segala hal yang terjadi sesuai dengan sikap positif dalam Islam ( Positive Thinking ).
Kalimat Qada & Qadar berasal dari bahasa Arab yang memiliki beberapa makna di antaranya Qada yang berati “Hukum” atau “Keputusan”. Hal ini dapat kita pahami dalam Qs An Nisaa-65 “ Maka demi tuhan mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. Dalam menerima suatu keputusan/ketetapan apalagi yang datangnya dari Allah Swt keikhlasanlah yang akan di tuntut dari seoraqng hamba. Qada, yang berarti juga “Kehendak” atau “Menjadikan” yang di maksud di sini telah di terangkan Allah Qs Ali Imran-47 “ Maryam berkata yaa tuhanku apakah mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah di sentuh oleh seorang laki-laki manapun, Allah berfirman ( dengan perantaraan Jibril ) Demikianlah Allah menciptakan apa yang di kehendakinya. Apabila Allah berkehendak untuk menciptakan sesuatu maka Allah hanya cukup berkata “Jadilah” lalu jadilah dia”. Hal ini juga dapat kita lihat dalam Qs Fushshilat-12, yang mengupas tentang ketentuan Allah terhadap alam semesta dan jagat raya ini.
Begitu juga dengan kalimat Qadar yang bermakna “Ukuran” firman Allah dalam Qs Ar Ra’d-17 yang menjelaskan bagaimana Allah Swt mengumpamakan yang benar itu sebagai air atau logam yang bermanfaat, sedangkan yang buruk/bathil itu sama dengan buih/sisa, tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada guna sama sekali bagi manusia. Qadar Allah juga berarti “Kepastian” “Lalu Kami tentukan bentuknya maka Kami sebaik-baik yang mementukan ( Qs Al Mursalat-23 ). Sedangkan dalam bahasa Indonesia Qada & Qadar dalam artian sederhananya biasa kita sebut dengan Takdir Ilahi atau ketentuan Allah Taalla.
Pernah seorang teman mengeluh saat ia mendapat cobaan berkali-kali. “Mengapa ya Tuhan tidak bersikap adil kepada saya? Sampai sekarang saya masih saja menderita. Takdir saya buruk sekali! Mengapa Tuhan tidak kasihan kepada saya?”
Saat itu saya tidak mau menjawab persoalan yang tidak mudah ini. Saya hanya katakan agar ia bersabar terhadap ujian Allah SWT itu. Mudah-mudahan itu akan menjadi kafarat atas berbagai dosa dan jadi tabungan baik di akhirat kelak.
Namun tetap saja ia tidak puas dan masih tetap mengeluh, “Saya sudah lakukan semua perintah Allah. Setiap hari saya berdoa agar saya dilepaskan dari berbagai derita. Namun tetap saja Allah tak mendengar dan tak mau mengabulkan do’a saya.”
Bagaimana Anda menjawab persoalan pelik ini?
Ini memang bukan teka-teki hidup yang mudah kita pahami. Banyak rahasia Allah SWT yang tidak bisa ditembus oleh ketinggian pengetahuan dan teknologi manusia. Apa arti dari semua peristiwa kehidupan ini? Mengapa tiba-tiba turun bencana besar yang menghabiskan segalanya dan menewaskan ribuan manusia? Mengapa Amerika dan Israel yang menguasai dunia? Mengapa orang jahat lebih kaya dan lebih sejahtera hidupnya, sementara orang-orang baik dan suci menderita? Mengapa koruptor besar itu dibebaskan? Mengapa perbuatan baik kita tidak mendapat ganjaran sepadan? Mengapa para Nabi bisa dibunuh? Mengapa mereka tidak menang saja? Apakah Tuhan tidak menolong mereka?
Pasti banyak pertanyaan-pertanyaan besar seperti itu yang susah untuk bisa kita jawab. Sebelum saya melanjutkan diskusi ini, saya ingin mendapat masukan Anda semua, para pembaca.
Silakan berkontribusi ya!
Sambil menunggu pendapat yang lain, saya coba kutip satu masukan menarik tentang apa itu takdir, yang saya peroleh dari buku “Anak, Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan”, karangan Prof. Muhammad Taqi Falsafi.
Disitu diambil sebuah ilustrasi tentang seseorang yang mencoba menjatuhkan dirinya dari atas sebuah gedung bertingkat tinggi ke sebuah batu marmer yang keras. Orang tua itu berkata, “Kalau memang sudah ditakdirkan mati, maka saya akan mati. Dan jika ditakdirkan hidup, pasti saya akan tetap hidup.”
Menurut Prof. Falsafi, sungguh orang ini telah keliru besar memahami persoalan takdir. Katanya, Allah SWT telah mempunyai takdir-takdir paksaan dalam masalah ini dan juga punya takdir ikhtiar di sisi yang lain.
Adapun takdir paksaan dalam masalah ini adalah:
1. Qadha dan qadar Allah telah menjadikan marmer sebagai batu keras dan kuat
2. Tengkorak kepala manusia diciptakan (berdasarkan qadha dan qadar Allah) dari tulang yang lembut dan berpotensi untuk pecah.
3. Qadha dan qadar Allah telah menetapkan adanya hukum gravitasi yang akan membuat benda jatuh ke tanah.
4. Qadha dan qadar Allah memutuskan bahwa setiap orang yang melemparkan diri dari ketinggian ke tanah yang keras, niscaya tulangnya akan hancur berantakan dan otaknya berhamburan keluar.
5. Qadha dan qadar Allah juga memutuskan bahwa setiap manusia harus mati ketika otaknya hancur.
6. Qadha dan qadar Allah jua telah memutuskan bahwa manusia mempunyai kehendak dan ikhtiar/pilihan. Ia bisa menjatuhkan dirinya lalu mati, atau menahan diri untuk tidak melakukan bunuh diri itu, lalu turun menuruni tangga dengan selamat.
Lalu beliau mengutip satu riwayat dari Ibnu Nabatah, bahwa Ali bin Abi Thalib kw, pernah pada suatu hari berpindah dari satu tembok ke tembok yang lain. Para sahabat menegur beliau, “Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari qadha Allah?” Imam Ali menjawab, “Saya lari dari qadha Allah menuju qadar Allah Azza wa Jalla.”
Maka, kalau kedua kalimat di atas di konotasikan dengan Allah akan menjadi Qada Allah dan Qadar Allah yang mengambarkan konotasi yang saling mengisi dan melengkapi yang bersifat tetap, istilah agamanya di kenal dengan “Sunatullah” atau segala sesuatu bergerak sesuai dengan ketentuan dan kehendak dari sang maha pencipta dan maha mengetahui. Jelasnya kita sebagai manusia yang di beri akal, pikiran dan hati dapat mementukan pilihan dalam berbagai masalah, sebagai khalifah dalam kebebasan tersebut yang di berikan Allah dalam hal iman atau kafir, baik atau buruk, sorga atau neraka. Namun dalam hal tertentu pula baik di dunia maupun di akherat akan di gariskan pula oleh Allah Swt.
Di dalam memahami Takdir Illahi atau Qada & Qadar Al Quran Nul Karim dan sunah Rasulullah Saw memberikan beberapa tahapan yang harus di kaji lewat pemahaman yang mendalam dari manusia, agar manusia itu tidak terjerembab masuk ke lumpur dosa dan rasa keputus asaan akibat rasa pesimis dalam menerima takdir tersebut. Di antaranya : Al-Iim (pengetahuan) yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah itu maha tahu atas segala sesuatu apa-apa yang ada di langgit dan di bumi. Baik secara umum maupun secara terperinci dan detail, baik perbuatan yang di nampakan maupun yang tersembunyi, baik perbuatan-Nya, perbuatan makhlik-Nya dan tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya.
Al Kitabah ( Penulisan ) yaitu mengimani bahwa Allah Swt telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh yang ada di sisi-Nya. Allah Swt berfirman dalam Qs Al Hajj-70 “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langgit dan di bumi, bahwa yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab ( Lauh Mahfuzh ) bagi Allah. Mengenai Ayat ini pernah di pertanyakan pada Rasulullah Saw, mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah, nrimo saja dengan takdir, garis, nasib yang telah tertulis yaa Rasulullah ?. Beliau Saw memjawab, berusahalah kalian, masing-masing akan di mudahkan menurut takdir yang telah di tentukan baginya. Seperti yang di firmankan Allah Swt dalam Qs Al Lail ayat 5-11 “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah bertaqwa, membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka, kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah dan adapun orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup maka kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa (mati). Manusia hanya bisa berusaha semaksimal mungkin, Allah Swt yang menentukan segalanya. Musibah dan bencana dalam bentuk dan rupa apapun merupakan takdir Illahi yang akan di alami setiap orang tidak ada yang bisa mengelak dari hal ini.
Pemahaman yang lain yang harus kita miliki dalam mengimani takdir Ilahi adalah Al Masyi’ah (kehendak) dari Allah Swt lihat Qs At Takwir-28-29 yang menerangkan bahwa kehendak Allah yang berlaku secara mutlak terhadap alam semesta ini. Al Khalq (Penciptaan) yaitu mengimani bahwa Allah Swt pencipta dari segala sesuatu, apa yang ada di langgit dan di bumi penciptanya tiada lain adalah Allah Swt sampai pada kematian dengan sebab apapun di ciptakan Allah Aza Wajalla. (lihat Qs Al Mulk-2.)
Dengan segala keterbatasan dan kekuarangan yang kita punyai sebagai manusia di sela-sela kelebihan yang di miliki Allah, hendaknya selalu menjadi renungan bagi diri untuk selalu mematuhi segala perintah dan larangan-Nya. Semoga takdir dan keadaan yang buruk dan menyusahkan di jauhkan Allah dalam kehidupan kita. Dengan memantapkan Ikhtiar dengan sungguh-sungguh serta suatu keyakinan bahwa apa-apa yang kita inginkan tidak akan datang dengan sendirinya. Namun, untuk meraih itu semua di butuhkan usaha dengan benar dan penuh kesabaran sambil bertawakal dan menyerahkan diri pada Allah Swt yang mengendalikan kebaikan dan keburukan itu.
Kalau hal ini sudah tertanam dalam jiwa, hati dan pikiran serta selalu berlaku sabar, maka pemahaman kita terhadap Takdir Ilahi dalam warna Qada & Qadar Insya Allah akan membwa kita pada jenjang iman dan taqwa di bawah lindungan sang Ilahi Rabbi, menanamkan kesadaran dalanm diri bahwa memang Dialah di atas segala-galanya. Serta senantiasa menyadari dan menerima realita, membangun kesabaran yang mantap yang akan menjadi pemicu dalam berusaha dengan bekal keoptimisan diiringi dengan doa dan tawakal pada-Nya. Diri kita ini seakan tiada berarti, ibarat sebutir debu di tenggah padang pasir yang luas tak bertepi, berhadapan dengan kemaha kuasaan dan kemaha perkasaan Allah Aza Wajalla… Allah Huu A’llam.