Dalam bagian ini, mujtahid (orang yang mempraktikan ijtihad) alih-alih menggunakan Qur’an dan menjadikannya sebagai standar untuk memahami hukum-hukum agama dan syariat, ia bersandar kepada anggapan-anggapan personalnya.
Sebagai contoh, mujtahid ingin mengetahui bahwa apakah akad nikah bagi orang yang jahil terhadap mahar, batil atau tidak? jika seorang mujtahid menempatkan sebab ketidakabsahan pernikahan seperti ketidakabsahan transaksi jual-beli dalam keadaan jahil terhadap harga, dengan anggapan bahwa mahar merupakan pengganti keuntungan yang didapatkan dari perempuan seperti harga, sebagai pengganti mabi’ (yang dibeli), jelas dan gamblang bahwa standar hukum dan inferensi (istinbâth) semacam ini – ketidakabsahan pernikahan – tidak lain kecuali anggapan dan prasangka si mujtahid. Ia mengira bahwa mahar perempuan adalah sebagai ganti keuntungannya, dan hal demikian merupakan qiyâs (analogi dalam fiqih), istihsân, tarjihiyyat yang menjadi sandaran prasangka dan perkiraan si mujtahid.
Mazhab Syiah[19] memandang haram ijtihad semacam ini dan mencegah semenjak awal perbuatah seperti ini, demikian juga (haram) melakukan praktik ijtihad tatkala ada nash; karena mukallaf dalam jenis ijtihad semacam ini, bersandar kepada sesuatu yang dalam pandangannya indah dan menarik menurut perkiraan dan prasangkanya. Sementara tidak ada sesuatu apa pun yang menjadi jelas melalui perkiraan dan prasangka, apatah lagi dalam urusan agama Allah dan hukum-hukum syariat, dimana tentu saja hukum-hukum Tuhan sekali-kali tidak pernah diperoleh melalui anggapan, perkiraan dan prasangka. Allah Swt berfirman: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, padahal sesungguhnya persangkaan itu tak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Qs. Yunus [10]: 36)
Akan tetapi Ahlussunah membolehkan jenis ijtihad semacam ini hingga sebelum abad keempat Hijriah dan setelahnya kendati pintu ijtihad bagi mereka tertutup, namun wajib bagi kaum pandai dan pandir mengikuti ijtihad dan perbuatan semacam ini.[20]
Sebuah hadis yang mencela ijtihad bi ar-ray dan qiyâs: Amirul Mukminin As dalam sebuah hadis yang panjang dan indah yang menjelaskan esensi jenis pandangan ini berikut isykalan-isyakalan yang dapat ditujukan kepadanya. Lantaran signifikannya masalah ini, penulis akan menyuguhkan terjemahan hadis tersebut sehingga dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang ingin mencari hakikat.
Syaikh Hurr al-‘Amili menukil sebuah hadis panjang dari Imam Shadiq As dari ayahnya Amirul Mukminin As yang bersabda: “Pandangan orang yang menyetujui ijtihad bi ar-ray (pendapat pribadi), qiyâs, istihsan dan berkata: Sesungguhnya perbedaan (ikhtilaf) merupakan rahmat, merupakan sebuah pandangan yang tidak dapat diterima; lantaran kita menyaksikan orang-orang yang menyetujui ijtihad bi ar-ray dan qiyâs, karena ketidakmampuan mengenal hukum waqi’i (yang sebenarnya, faktual), untuk memahami hukum-hukum Tuhan, berpaling kepada hal-hal yang kabur (syubahât), dan berkata: Tidak ada sebuah peristiwa kecuali Tuhan telah menentukan hukum atas peristiwa tersebut. Dan hukum Tuhan tidak keluar dari dua perkara, pertama nash dan kedua dalil.
jika kita berhadapan dengan sebuah peristiwa dimana tidak terdapat nash yang membicarakannya, untuk memahami hukum Ilahi kita merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang serupa dan sejenis dengan peristiwa tersebut, karena jika tidak demikian maka Tuhah tidak memberikan hukum untuk peristiwa tersebut. Sementara Tuhan tidak melewatkan satu pun peristiwa yang tidak ada hukum di dalamnya. Lantaran Dia berfirman: “Tiada Kami alpakan sesuatu pun di dalamnya.” Oleh karena itu, supaya tidak ada satu pun peristiwa tanpa hukum Tuhan, hukum peristiwa yang tidak ada nash tentangnya, maka kita mengambil bantuan dari peristiwa-peristiwa yang sejenis dan serupa dengannya; sebagaimana Allah Swt yang menggunakan analogi melalui penyerupaan dan tamsil, “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Qs. ar-Rahman [55]:14-15) Dimana Tuhan menyerupakan sesuatu yang lebih dekat dengan yang dimisalkan. Sebagaimana Nabi Saw juga menggunakan analogi dalam memisalkan sesuatu.
Sebagai contoh, pertama dalam menjawab pertanyaan seorang wanita dimana wanita tersebut menunaikan ibadah haji sebagai ganti haji ayahnya, Nabi Saw bersabda: “Apakah ayahmu adalah orang yang beragama sehingga engkau menunaikan qadha untuknya?” Nabi Saw dalam hadis ini memberikan fatwa yang tidak ditanyakan kepadanya. Kasus yang lain, sabda Nabi Saw kepada Muadz bin Jabal, tatkala ia diutus ke Yaman: “Wahai Muadz! jika terjadi sebuah perisitwa atasmu yang tidak terdapat pada al-Qur’an dan Sunnah, apa yang engkau kerjakan?” Muadz menjawab: “Aku akan mengerjakan sesuatu mengikut pendapatku. Nabi Saw bersabda: Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik untuk mengerjakan apa yang menjadi keridhaan-Nya.
Demikian juga sebagian besar sahabat mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapatnya dan qiyâs (analogi). Dan kita juga mengikuti apa yang dikerjakan oleh para sahabat Nabi Saw.
Imam Ali As berkata tentang hal ini: “Kelompok ini, adalah orang-orang yang meyakini qiyâs dan ray – dengan bersandar kepada dalil-dalil yang sebagian disebutkan di atas. Sementara mereka telah berdusta baik kepada Tuhan karena berkata: Tuhan memerlukan qiyâs. Juga berdusta atas nama Nabi As karena menyandarkan sesuatu yang tidak pernah disabdakan oleh Nabi Saw.
Kemudian Amirul Mukminin As dalam menampik pendapat orang-orang yang bersandar kepada istihsân dan qiyâs, bersabda: “Prinsip hukum-hukum ibadah dan apa yang terjadi atas umat dan juga cabang-cabangnya, terdapat pada Kitabullah. Dan apa yang kami maksudkan sebagai prinsip, prinsip hukum-hukum dalam seluruh ibadah dan kewajiban dimana terdapat nash Ilahi tentang hal-hal tersebut. Dan Allah Swt mengabarkan ihwal wujubnya hal tersebut kepada kita melalui Nabi Saw dan washinya, waktu, kualitas dan tingkatan hukum-hukum tersebut. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, jihad, pidana zina, pidana mencuri, pidana orang yang berbuat kesalahan dan semacamnya terdapat pada Kitabullah dalam bentuk global (mujmal) dan tanpa penafsiran, dan melalui Nabilah hukum-hukum tersebut ditafsirkan.
Setelah itu, kita ketahui bahwa shalat Dhuhur empat rakaat, dan waktunya selepas tergelincirnya (zawâl) matahari. Waktu shalat Ashar empat rakaat dan waktu pelaksanaannya selepas Dhuhur hingga tenggelamnya matahari. Dan shalat Maghrib tiga rakaat dan waktu pelaksanaannya tatkala tenggelamnya matahari hingga hilangnya mega merah di belahan barat.
Tatkala Amirul Mukminin menjelaskan hal-hal tentang pelbagai kewajiban dimana kaidah universalnya terdapat dalam al-Qur’an dan ditafsirkan serta dijelaskan oleh Nabi Saw, bersabda: “jika tidak ada nash dari Allah Swt dan penjelasan Nabi Saw tentang hal ini,tidak seorang pun yang dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya,juga tidak dengan akalnya ia dapat menyingkap hakikat maksud Tuhan dan kewajiban tersebut.Oleh karena itu, pelaksanaan kewajiban ini melalui jalan qiyâs dan ray, tidak dapat dibenarkan. Akal dengan sendirinya tidak dapat memahami apakah shalat Dhuhur empat rakaat atau lima rakaat atau tiga rakaat. Akal sekali-kali tidak dapat menjelaskan secara rinci antara sebelum dan selepas zawal, antara terdahulunya ruku’ atas sujud, atau sujud atas ruku’, atau antara pidana zina orang yang sudah menikah atau masih perawan, dan antara ‘iqâratdan uang tunai dari sisi kewajiban zakat.Dan jika kewajiban-kewajiban ini kita sandarkan kepada akal saja, akal dengan sendirinya tidak memandang benar pelaksanaan satu pun dari kewajiban-kewajiban tersebut.
Setelah akar hukum-hukum menjadi jelas; sedemikian sehingga hukum-hukum tersebut tidak dapat diperoleh kecuali melalui ayat dan riwayat, oleh karena itu yang berkaitan dengan cabang-cabang hukum juga demikian adanya; artinya hukum kewajiban-kewajiban tersebut tidak dapat diperoleh melalui qiyâs tetapi harus merujuk kepada nash.
Akan tetapi klaim yang mengatakan bahwa qiyâs adalah tasybih dan tamsil (permisalan) oleh karena itu melalui perantaranya hukum dapat dikeluarkan dan pelbagai peristiwa dapat dibandingkan dengannya, perkataan ini tentu saja merupakan perkataan yang keliru; karena kita menyaksikan berbagai hal yang beragam dimana Allah Swt menerapkan satu hukum untuknya dan sebaliknya, perkara-perkara yang kita saksikan kendati secara lahir adalah satu – antara satu dengan yang lain memiliki keserupaan – akan tetapi Allah Swt, meletakkan hukum-hukum yang berbeda atasnya. Dan poin ini menuntun kita kepada hakikat ini bahwa kesamaan dua hal, tidak dapat menjadi dalil hukumnya juga harus sama, sebagaimana yang diklaim oleh mereka yang menerima qiyâs dan pendapat pribadi (rai).
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam melanjutkan hadis di atas, tentang kecenderungan sebagian orang kepada qiyâs, menjelaskan: “Alasan cenderungnya orang kepada qiyâs adalah mereka tidak mampu menunaikan hukum-hukum persis dengan kualitas yang diturunkan dalam Kitabullah, dan mengabaikan perkara yang seharusnya mereka pelajari. Mereka yang ketaatan kepadanya adalah wajib bagi para hamba dan tiada satu pun kesalahan dan cela dalam pekerjaan mereka dan umat juga memiliki tugas untuk merujuk kepada mereka dalam urusan-urusan yang baginya mengandung kesalahan (musytabih) – hukum atas urusan-urusan ini seharusnya mereka tuntut dari mereka (Ahlulbait) – akan tetapi hasrat kepada dunia dan cinta kepada tahta yang menggiring mereka untuk mengadopsi qiyâs dalam melakukan istinbâth hukum; oleh karena itu mereka mengikuti jalan orang-orang salaf yang mengklaim diri mereka sebagai awliya. Ketidakmampuan menyelimuti seluruh keberadaan mereka lalu mengklaim bahwa mempraktikan rai dan qiyâs adalah wajib hukumnya; sementara ketidakmampuan dan heresy (bid’ah) mereka dalam agama Allah adalah jelas dan terang bagi orang-orang yang berakal. Lantaran akal dengan sendirinya tidak mampu membedakan antara pencurian (sirqat) dan perampasan (ghashab, kendati dua hal ini adalah serupa satu dengan yang lain (secara lahir), sementara hukumnya keduanya berbeda; yang pertama harus dipotong dan yang kedua tidak boleh dipotong.
Akal tidak mampu membedakan antara zina muhshan (zina orang yang sudah menikah) dan zina bikr (zina orang yang belum menikah) dimana yang pertama harus dirajam dan yang kedua harus dicambuk. Kesemua ini merupakan dalil bahwa dalam urusan ahkam, kita harus merujuk kepada ayat dan riwayat bukan kepada tasybih dan tamsil.
jika hukum-hukum agama dihasilkan melalui qiyâs, maka mengusap telapak kaki adalah lebih baik ketimbang mengusap atas kaki. Allah Swt mengisahkan qiyâs yang dilakukan oleh Iblis yang berkata: “Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah.” Kemudian Allah Swt mencela Iblis kenapa ia tidak mampu memahami perbedaan antara ia dan Adam. Demikian juga Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As mencela qiyâs.
Adapun dalil menampik orang-orang yang berpandangan dibolehkannya ijtihad semacam ini adalah bahwa mereka menyangka seluruh mujtahid adalah benar, sementara mereka tidak mampu mengklaim bahwa kelompok ini denga ijtihadnya pada hakikatnya telah mendapatkan apa yang sejatinya di sisi Allah, karena mereka dalam melakukan praktik ijtihad, berpindah dari satu ijtihad ke ijtihad lain. Dan oleh karena itu dalil-dalil mereka bersandar bahwa hukum yang mereka hasilkan sebagai sebuah produk ijtihad merupakan hukum Allah, adalah batil, munqathi dan muntaqidh. Dan tidak ada dalil yang lebih baik dari dalil ini dalam melemahkan pandangan orang-orang yang menerima ijtihad bi ar-rai. Mereka menyangka bahwa mustahil tidak ada satu pun mujtahid yang sampai kepada Allah Swt, dan ucapan ini juga merupakan ucapan yang keliru, karena tiadanya akses kepada Allah Swt lantaran ijtihad mereka sendiri dan oleh karena itu kesalahan ada pada mereka sendiri.
Dan yang lebih aneh selagi meyakini ijtihad bi ar-rai mereka berkata: “Allah Swt dan Nabi Saw memberikan taklif kepada umat ini sesuai dengan takat dan kemampuan mereka. Dalil mereka adalah firman Allah Swt: “Dimana pun kalian berada maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya (Masjidil Haram).” (Qs. al-Baqarah [2]:144) dan mereka mengira bahwa ayat ini merupakan dalil ijtihad mereka; sementara dalam takwil ayat ini, kesalahan dan kekeliruan mereka nampak nyata. Di antara dalil-dalil mereka adalah sabda Rasulullah Saw kepada Muadz bin Jabal. Mereka mengklaim bahwa Rasulullah Saw memberikan izin Muadz bin Jabal untuk melakukan praktik ijtihad. Dan yang benar dari hadis tersebut adalah Tuhan tidak menugaskan mereka untuk berijtihad; karena Allah Swt menganugerahkan kepada mereka dalil-dalil dan tanda-tanda dan menetapkan hujjah bagi mereka.
Oleh karena itu setelah Rasulullah Saw menjelaskan seluruh masalah haram dan halal dan kemudian menyampaikan penjelasan ini kepada mereka dan mereka tetap tidak terlepas dari kebingungan, adalah mustahil Allah Swt menugaskan kepada mereka sesuatu yang berada di luar kemampuan mereka. Dengan demikian, kapan saja mereka berhadapan dengan sebuah perkara, dimana mereka tidak mampu memahami hukumnya, mereka merujuk kepada Rasulullah Saw dan para imam As. Dan bagaimana mereka tidak melakukan hal ini sementara Allah Swt berfirman: “Tidak kami alpakan sesuatu apa pun di dalamnya.” “Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kucukupkan nikmatKu bagimu.” “Dan di dalamnya penjelas segala sesuatu.”[21]
B. Ijtihad dengan satu mabda umum dan Penegasan Akal terhadap validitasnya
Dalam ijithad semacam ini kendati mukallaf tidak memiliki nash yang dengannya mereka bersandar, sumber ijtihad mereka bukanlah asumsi dan prasangka pribadi, melainkan kepada hal-hal yang universal dimana akal memandang harus (wajib) untuk menghukumi segala sesuatu sesuai dengan universalitas tersebut. Dan membelakangi titah akal dalam hal ini (universalitas), dalam pandangan akal hukumnya, adalah haram. Adapun universalitas tersebut adalah sebagai berikut:
§ Prioritasnya aham (yang lebih penting) tatkala berhadapan dengan muhim (yang penting).
§ Kemestian (wujub) terwujudnya sesuatu yang telah mencapai tingkatan harus (wajib).
§ Memilih kejahatan yang lebih ringan ketika terjebak dalam dua kejahatan dimana pelaku tidak dapat menghindar dari keduanya.
§ Segala yang darurat membolehkan yang diharamkan (mahzhurat).
§ Sangsi atau hukuman tanpa ada penjelasan sebelumnya merupakan perbuatan tercela. (Qubh iqâb belâ bayân)
§ Menyingkirkan keburukan lebih utama dari mendapatkan manfaat. (Daf’e Mafsadah awla min jalb manfa’at)
§ jika manusia memiliki ilmu terhadap satu taklif, ia harus yakin bahwa ia telah melakukan tugas tersebut; dengan kata lain, ia juga harus memiliki ilmu terhadap ketaatan dan pelaksanaannya.
§ Yang utama pada “masyruth” adalah tiadanya syarat.
§ Dibolehkannya sesuatu, pertanda dibolehkannya sesuatu yang yang bertalian erat denganyna.
§ jika terdapat sebab bagi sesuatu, niscaya terdapat akibat sebagai buahnya.[22]
jika sumber ijtihad seorang mujtahid adalah perkara-perkara di atas, jelas ia akan mendapatkan sokongan dan penegasan definitif akal. Dan akal sedemikianlah yang menjadi media penetapan keberadaan Tuhan, prinsip kenabian dan hari kiamat, oleh karena itu, jika sesuatu mampu membuktikan keberadaan Tuhan dan prinsip kenabian, tentu saja ia dapat menjadi sumber istinbâth hukum-hukum partikular dan cabang agama. Syiah Imamiah memandang boleh praktik ijtihad semacam ini, ijtihad yang mengikut kepada akal murni. Dan membiarkan pintu ijtihad tetap terbuka bagi sesiapa saja yang qualified untuk mempraktikan ijtihad. Ahlusunnah pada awalnya memandang boleh melakukan ijtihad semacam ini akan tetapi mereka melarang ijtihad semacam ini.[23]
3. Keragaman Pemahaman Fuqaha ihwal Ijtihad bagian kedua dan ketiga
Dengan memperhatikan persoalan di atas tentang ijtihad bagian kedua dan ketiga, pembahasan keragaman pemahaman juga menjadi jelas.
Penjelasan matlab ini bahwa keragaman pemahaman yang muncul karena pengaruh ijtihad bagian kedua dimana ijtihad bagian kedua ini adalah ijtihad yang mengikut kepada prasangka pribadi. Dengan dalil yang sama membatalkan kaidah ijtihad. Dan tiada satu pun orang-orang yang memiliki pemahaman tidak dibenarkan beramal berdasarkan hal tersebut. Baik pemahaman ini berada secara horizontal antara satu dengan yang lain atau berada secara vertikal.
Dengan kata lain, setiap insan harus bersandar kepada setiap pemahaman yang memiliki landasan syariat dan akal; sementara pemahaman yang bersandar kepada ijtihad bagian kedua tidak demikian adanya.
Akan tetapi dari sudut pandang hukum syar’i, Allah Swt memberikan pemahaman seperti ini dan juga beramal berdasarkan pemahaman ini dengan ganjaran dan pahala. Bahkan jika pemahaman-pemahaman para mujtahid dalam bidang ini berbeda dengan kenyataan factual, tetap dari sudut pandang syariat, ia mendapatkan pahala. Dan oleh karena itu, ganjaran akan diberikan kepada orang-orang yang memiliki pemahaman tersebut dan orang-orang yang mengamalkan pemahaman tersebut dimana disebutkan sebuah kaidah “Bagi orang yang melakukan kesalahan mendapatkan satu pahala.” Pahala dan gajaran ini bukan lantaran aksesnya kepada hukum faktual Ilahi, melainkan dikarenakan menunaikan tugas dimana sejatinya mengikuti hukum akal praktis.
Akan tetapi perbedaan keragaman pemahaman berdasarkan ijtihad bagian pertama-kedua dan ijtihad bagian ketiga terletak pada masalah terpuji dan tercelanya perbuatan tersebut dalam perspektif akal. Tiada keraguan bahwa akal mencela kemunculan keragaman pemahaman berkat bantuan ijtihad bagian pertama dan kedua. Akan tetapi akal memuji pemahaman yang bersumber dari ijtihad bagian ketiga.
4. Ijtihad dalam Memahami Nash-nash
Ijtihad dalam Sunnah Nabi Saw apakah ia terbukti melalui kabar mutawatir atau melalui yang lainnya, Syiah Imamiyah memandang boleh ijtihad semacam ini dengan beberapa syarat:
Syarat pertama:
Nash-nash yang terdapat dalam Kitabullah atau Sunnah Rasulullah bersifat asumtif dari sisi petunjuknya (dalalah).
Syarat kedua:
Pemahaman yang bersumber dari ijtihad tidak melewati batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat. Sebagai contoh, kalimat “qara” dalam ayat: Wanita-wanita yang dicerai harus menahan diri (menunggu) selama tiga kali qurû’ (suci dari darah haid). (Qs. al-Baqarah [2]:228) Ayat ini dari sisi petunjuk adalah bersifat asumtif; karena ia dapat diterapkan pada haidh (mens) dan sebagai hasilnya masa berakhirnya iddah perempuan yaitu haidh ketiga, dan juga dapat diterapkan “tahur” dan sebagai hasil masa berakhirnya iddah perempuan yaitu setelah suci dari haidh ketiga.
Tugas juris adalah mencari tahu dalil-dalil dan indikasi-indikasi (qarain) dalam masalah ini secara utuh. Dan memilih satu ucapan tertentu, sehingga jika ia memilih ucapan tersebut, berbeda dengan ucapan-ucapan seluruh juris, karena mengikuti ucapan orang lain, kendati dengan dalil-dalil yang memadai, baginya adalah haram.[24]
Ahlussunah sebelum menutup secara keseluruhan pintu ijtihad, mempraktikan ijtihad semacam ini. Akan tetapi setelah itu, pemahaman para juris mereka tidak boleh berbeda dengan keempat imam mazhab, dan istidlal yang ingin mereka bangun adalah istidlal yang membuktikan pemahaman para keempat juris tersebut, bukan untuk pemahaman ia sendiri.
Dan pemikiran semacam ini sedemikian kokoh dalam benak Ahlusunnah sehingga salah seorang dari mereka berkata: Setiap ayat atau hadis yang berbeda dengan fatwa keempat fuqaha (juris), ia harus ditakwil atau harus dipandang sebagai salah satu yang telah dinasakh.[25]
Dari perkara-perkara yang disebutkan di atas menjadi jelas bahwa jika “nash” adalah qathi ad-dilalah, ijtihad dalam hal ini hukumnya adalah haram.
Misalnya, siapa yang memberikan fatwa dalam menafsirkan ayat “Jangan engkau berkata Ah kepada keduanya” bolehnya memukul dan menghajar ibu dan bapak karena larangan ini hanya terbatas pada “ucapan Ah kepada ibu dan bapak” bukan yang lain.
Perbedaan Pemahaman bersumberdari Ijtihad bagian Keempat
Hukum dibolehkannya ijtihad bagian terakhir ini tidak bermakna bahwa para juris harus memberikan satu jenis fatwa dan atau jika ia mengeluarkan fatwa yang beragam, seluruh fatwa tersebut harus sesuai dengan kenyataan faktual; karena masalah ini tidak sejalan dengan kaidah ijtihad, ijtihad secara natural meniscayakan keragaman pemahaman, namun pemahaman-pemahaman yang memiliki pakem dan paradigma.
Dalam ijtihad yang dibolehkan, boleh jadi pemahaman yang beragam terlintas dalam benak para fuqaha atau seorang fuqaha dan berdasarkan hal itu, mereka atau ia mengeluarkan hukum-hukum yang beragam dan sebagian saling bertentangan, akan tetapi dari sisi bahwa prinsip ijtihad mengikut kepada hukum-hukum akal dan penegasan syariat, pemahaman-pemahaman yang bersumber darinya juga tetap mendapatkan penegasan akal dan memiliki warna syariat di dalamnya “Terimalah shibghah (agama) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah?” (Qs. al-Baqarah [2]:138)
Patut untuk disebutkan di sini bahwa batasan perbedaan fatwa adalah batasan ijtihad itu sendiri. Dan jelas bahwa kekuatan ijtihad di atas hanya berlaku dalam cabang-cabang agama bukan dalam masalah usuluddin.
Cabang-cabang agama juga memiliki hal-hal yang bersifat permanen dan tetap dimana tidak ada jalan untuk praktik ijtihad di dalamnya dan secara natural keragaman pemahaman juga tidak dapat digambarkan di sini; oleh karena itu batasan keragaman pemahaman telah ditentukan, dijelaskan dan dispesifikasi oleh akal dan syariat sebagai konsekuensi penentuan ijtihad yang dibolehkan.
Dan dengan demikian bolehnya ijtihad, tidak bermakna bolehnya keragaman pemahaman secara mutlak, melainkan keragaman pemahaman dan bacaan dalam kerangka yang dibatasi oleh akal dan syariat. Atas alasan ini komparasi antara pemahaman yang terbentuk dalam domain ini dan yang terbentuk di luarnya merupakan komprasi yang keliru dan merupakan qiyâs maal fâriq. Bagaimana mungkin pemahaman para juris dapat dibandingkan dengan pemahaman orang biasa yang bukan spesialis dalam bidang ini dan diletakkan pada bilangan pemahaman yang ada. Apakah akal sederhana dan permulaan manusia melakukan perbandingan antara pemahaman seorang pekerja bangunan dan pemahaman para dokter dalam urusan medis. Apakah orang dibolehkan menyampaikan sebuah pandangan yang bukan bidang dan spesialisasinya? “Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. Yunus [10]:35)
5. Ijtihad pada terbukti atau tidaknya Sunnah dengan bersandar kepada kabar wahid
Bagian ijtihad ini juga dalam pandangan Syiah tidak bermalasah; akan tetapi Ahlussunah tidak memandang valid ijtihad semacam ini.[26]
Alasan boleh dan validnya ijtihad semacam ini adalah mengikut kepada hukum-hukum akal praktis. Penjelasannya: tartib atsar dadan terhadap kabar wahid menurut akal, tidak secara mutlak bersifat wajib juga tidak secara mutlak batil. Melainkan terkadang harus dan mesti dan pada waktu yang lain tidak harus. Oleh karena itu akal praktis, manusia menghukumi bahwa sekadar ukuran signifikansi kabar wahid, ia meriset dan menelusuri. Dan jika terdapat preferensi antara mengerjakan atau meninggalkan, perkara yang rajih lebih utama dari marjuh. Dan jika kedua sisinya dikerjakan atau ditinggalkan, masing-masing tidak memiliki keunggulan atas yang lain, akal menghukumi untuk memilih salah satu dari keduanya.
Akan tetapi poin ini tidak boleh dilupakan bahwa usaha dan upaya untuk memilih salah satu dari kedua sisi tersebut – mengerjakan atau meninggalkan kabar wahid – bergantung kepada jenis kabar wahid, berangkat dari sini, setiap kabar wahid, ia memiliki mukaddimah-mukkadimah khusus tersendiri; oleh karena itu, dengan badh’at mazajat memasuki wilayah eksklusif kabar wahid yang telah dinukil dari para maksum. Memahami kabar wahid yang dinukil dari para maksum, merupakan kapital sebagaimana akal murni dan belum terkontaminasi oleh fallacy (mughalatah) dan kerancuan. Sebuah akal yang dari sisi teoritis jauh dari segala keraguan dan dari sisi praktis tidak terkontaminasi oleh syahwat.
Dengan memperhatikan dari apa yang telah disebutkan dan juga ihwal keragaman pemahaman bersumber dari ijtihad bagian keempat, keragaman pemahaman yang bersumber dari ijtihad bagian kelima juga akan menjadi jelas; karena jika akal menjadi teraju dan kriteria ijtihad pada satu perkara tertentu, keragaman pemahaman juga dapat diterima pada kerangka dan teraju tersebut. Atas alasan ini pemahaman atas kabar wahid dari orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu agama tidak ada artinya.
Memecahkan Satu Keraguan
Dalam pembahasan yang lalu kami telah sebutkan bahwa perbedaan fatwa yang terdapat di antara para mujtahid tidak dapat dipandang sepele. Khususnya para mujtahid, baik dari mujtahid Syiah atau pun para mujtahid Ahlusunnah. Akan tetapi telah terbukti; ijtihad yang tidak mendapatkan izin Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As, secara logis tidak dapat dipertahankan secara rasional, dan akal, tidak menyetujui prinsip ijtihad semacam ini, juga tidak mengharuskan manusia untuk mengikuti pendapat-pendapat yang bersumber dari ijtihad semacam ini.
Yang paling tinggi dari sudut pandang akal, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia karena mengikuti pendapat-pendapat semacam ini, tidak menggugurkan taklif. Atas alasan ini para fuqaha Syiah tidak memandang sahih perbuatan seseorang yang tidak bertaklid kepada seorang mujtahid jâmi asy-syarâit; sedemikian sehingga jika ia merujuk kepada mujtahid tersebut dan bertobat, seluruh perbuatan yang ia lakukan tidak berdasarkan
fatwa mujtahid tersebut, harus ia qadha (lakukan kembali).
Akan tetapi pertanyaan di sini adalah jika ijtihad yang diutarakan oleh Syiah apakah mendapat izin dari sisi syariat dan terpuji dari sisi akal, maka mengapa terdapat perbedaan fatwa? Kalau tidak mendapatkan izin, lentera akal dari dalam dan mentari syariat dari luar, dalam berijtihad, maka ia bermuara kepada keburaman dan kegelapan serta tidak sampai kepada hukum yang sebenarnya (waqi’i). Oleh karena itu bagaimana kegelapan ikhtilaf hinggap pada pemahaman para fuqaha dan pemahaman setiap faqih berhadap-hadapan dengan pemahaman-pemahaman para fuqaha.
Bukankah inti perbedaan pelbagai pemahaman, pra-hipotesa dan pra-pengetahuan dari para mujtahid? Dan bukankah pelbagai pengetahuan fuqaha ini terpengaruh dari ilmu-ilmu manusia, kondisi-kondisi budaya, politik dan sosial? Bukankah ilmu pengetahuan manusia senantiasa berubah dan berganti?
Keraguan yang tersebar luas di kalangan para pemikir ini berada pada tataran tertentu sehingga fatwa-fatwa para juris (fuqaha) lantaran memiliki corak dan mengikut pada pra-hipotesa yang terpengaruh dari ilmu pengetahuan manusia dan senantiasa berubah, berganti, relatif dan tanpa nilai-nilai kesucian.
Solusi atas keraguan ini mengikut kepada perbedaan di antara empat jenis pra-hipotesa.
1. Pra-hipotesa prinsip tiadanya kontradiksi
Jelas bahwa tidak seorang pun manusia yang kosong pikirannya dari postulat dan pra-hipotesa yang dapat mencerap tabiat atau syariat. Dan proposisi pertama yang berhadapan dengan mental lurus ini, prinsip tiadanya kontradiksi.[27] Memahami satu teks, baik teks itu adalah teks agama atau non-agama, tanpa menerima pra-hipotesa ini adalah sesuatu yang tidak dapat digambarkan apatah lagi menjadi sesuatu yang dapat diterima. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pra-hipotesa ini sejatinya merupakan kunci untuk memasuki pemahaman satu teks bukan pemahaman itu sendiri, oleh karena itu ia tidak memiliki peran dalam kualitas pemahaman.
2. Mukaddimah-mukkadimah istintâqh atau pra-pengetahuan istikhraji
Yang dimaksud pra-pengetahuan istikhrâji, adalah pengetahuan seperti bahasa dan kaidah-kaidah linguistik, sastra dan konotasi lafaz.[28]
Jelas bahwa ijtihad dan upaya untuk memahami firman Tuhan, riwayat-riwayat dari Nabi dan para Imam Maksum tanpa ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah linguistik adalah tidak mungkin dan mustahil. Akan tetapi poin ini juga harus diperhatikan bahwa pra-hipotesa ini merupakan preparasi-preparasi untuk melakukan praktik ijtihad, bukan sebab bagi ijtihad dan pemahaman juristik; pengetahuan bahasa dan kaidah-kaidah linguistik, menyiapkan lahan bagi para mujtahid untuk melakukan praktik ijtihad, akan tetapi ia tidak memiliki peran pada ijtihad itu sendiri. Kendati tanpa lahan (preparasi) ini, ijtihad juga tidak memiliki makna.
3. Pra-hipotesa-pra-hipotesa pertanyaan
Pra-hipotesa pertanyaan bermakna bahwa mujtahid dalam praktik ijtihadnya mulai mencecari dirinya dengan pertanyaan dan persoalan. Dan matlab yang menjadi keperluannya ia hadirkan di hadapan ayat-ayat Ilahi dan riwayat-riwayat Ahlulbait As. Pada saat yang sama, tugas mujtahid adalah diam bukan berbicara, sebagaimana risalah-risalah ayat dan riwayat, ijma pada tingkatan ini adalah nutq (berbicara) bukan sukut (diam). jika mujtahid langsung berhadap-hadapan dengan ayat dan riwayat tanpa pertanyaan dan persoalan, ia tidak akan mendapatkan keuntungan, karena keduanya adalah diam (tanpa pertanyaan) dan sekali-kali perjumpaan dua hal yang diam dan hening tidak akan melahirkan energi.[29]
4. Pra-hipotesa-pra-hipotesa terapan
Pra-hipotes-pra-hipotesa terapan artinya sebuah jenis pra-pengetahuan yang berpengaruh dalam penerapan dan aplikasi makna – bukan dalam menyingkap makna.
Penjelasannya adalah ketika mujtahid menghadapi ayat dan riwayat dengan pra-hipotesa khusus, tiga keadaan yang ia alami:
Keadaan pertama: Berdiam diri dan menanti jawaban ayat atau riwayat.
Keadaan kedua: Tidak berdiam diri dan senantiasa berada pada tataran menjawab pertanyaannya dengan menggunakan lisan ayat dan riwayat. Dalam keadaan ini ia tidak memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berbicara.
Keadan ketiga: Ia memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berbicara akan tetapi disertai dengan jawaban dari dirinya sendiri. Artinya suaranya ia padukan dengan melodi ayat dan riwayat.
Dari tiga keadaan ini, hanya keadaan pertama yang dapat diterima sementara keadaan kedua dan ketiga merupakan contoh dari tafsir bi ar-ray.
Dari keempat pra-hipotesa yang disebutkan di atas, pra-hipotesa yang berpengaruh atas pemahaman mujtahid tentu saja bukan pra-hipotesa pertama, kedua dan ketiga; karena sebagaimana yang telah diperhatikan secara seksama, tidak satu pun dari bagian-bagian ini yang menjadi sebab pemahaman mujtahid sehingga dengan perubahan sebab-sebab ini karena pergantian dan perubahan ilmu-ilmu manusia yang menjadi akibat – pemahaman mujtahid dari ayat dan riwayat – juga secara dawam senantiasa berganti dan berubah; melainkan perkara ini merupakan preparasi-preparasi bagi pemahaman mujtahid terhadap ayat dan riwayat. Dan preparasi bagi pemahaman mujtahid bukan tanpa pengaruh; namun yang sesuai dengan keraguan relatifnya pemahaman adalah ketiga pra-hipotesa telah menjadi sebab dan illat pemahaman.
Kiranya layak untuk disebutkan di sini bahwa diterimanya pra-hipotesa bagian pertama bermakna diterimanya probablitas pemahaman; karena kalau tidak demikian ruang bagi setiap usaha tafhim dan tafahhum akan tertutup. Karena pra-pengetahuan pada pra-hipotesa bagian keempat, sepanjang mujtahid ketika pemahaman ijtihadnya, tidak menggunakan pra-pengetahuan tersebut, melainkan diam dan menanti jawaban dari ayat dan riwayat, maka hal ini tidak membahayakan pemahaman mujthahid oleh pengaruh pra-pengetahuannya dalam memahami hukum-hukum Ilahi. Iya, jika mujtahid, pra-pengetahuannya –pra-hipotesa bagian keempat itu ia padukan pada pemahaman ayat dan riwayat, artinya ia tidak memberikan izin berbicara dan berkata-kata kepada ayat dan riwayat dan ia berada pada posisi menjawab pertanyaannya sendiri, ia keluar dari lisan ayat atau riwayat, atau ia memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berkata-kata. Akan tetapi disertai dengan jawaban yang telah disampaikan dari ayat dan riwayat, jawabannya yang ia berikan juga disertai dengan ayat dan riwayat. Namun pemahaman yang ia dapatkan dari hukum-hukum Ilahi, tentu saja terpengaruh oleh pra-pengetahuan dan secara natural dengan perubahan ilmu pengetahuan manusia, hukum ini juga boleh jadi mengalami perubahan. Dan harus diperhatikan bahwa pada tataran “harus dan tidak boleh” memadukan bagian ini dari pra-pengetahuan, dalam ijtihad yang dikenal dalam dunia Syiah, sekali-kali tidak dapat dibenarkan, kendati boleh jadi pada tataran “ada” banyak hal yang dapat ditemukan dimana seorang mujtahid memasukkan pra-pengetahuannya dalam melakukan istinbâth hukum Ilahi.
Tugas mujtahid, memprioritaskan akar ketimbang cabang dan tentu saja dalam hal ini, ia harus mempelajari perkara-perkara dimana pemahaman “akar” (kaidah) ini bersandar.
Bagian yang lain juga sebagaimana pra-hipotesa bagian pertama, kedua dan ketiga dimana kedudukan pra-hipotesa ini dalam memahami hukum-hukum agama adalah jelas dan terang.
Sumber Pelbagai Kesimpulan yang Beragam dalam Inferensi Hukum-hukum Agama
Pada pembahasan sebelumnya menjadi jelas bahwa pada tingkatan “ada” terdapat perbedaan (pada sebagian) fatwa di antara para mujtahid ihwal hukum satu subjek permasalahan. Akan tetapi pertanyaan ini mengemuka darimanakah perbedaan fatwa ini bersumber? Mengapa sebagian orang dalam melakukan inferensi (istinbâth) hukum dari satu ayat atau riwayat melahirkan satu produk hukum, dan sebagian lainnya melakukan istinbâth dari ayat atau riwayat yang sama memproduksi hukum yang lain dan sebagiannya dari istibath tersebut ada yang saling bertentangan?
Pertanyaan lain apakah pemahaman yang beragam dalam melakukan istinbâth hukum-hukum agama dapat dicegah, sedemikian sehingga seluruh mujtahid dan juris berada pada satu barisan dalam mengeluarkan produk hukum Ilahi?
Poin penting yang harsu diperhatikan dalam bagian ini sebelum menjawab pertanyaan adalah kebanyakan proposisi fuqaha dimana pemahaman seluruh mujtahid tentang proposisi tersebut adalah satu dan tidak ada perbedaan fatwa dalam masalah tersebut. Dan orang yang memiliki informasi minim tentang hukum-hukum fiqih akan mengakui realitas ini.
Bagaimanapun, jawaban atas dua pertanyaan ini bersandar pada pemisahan antara dua jenis ikhtilaf (perbedaan) dalam hukum-hukum fiqih:
1. Perbedaan yang tidak saling bertentangan dan kontra satu dengan yang lainnya, melainkan pada tingkatan tertentu dapat disatukan.
Sebagai contoh:
§ Perbedaan-perbedaan yang bersumber dari satu subjek; seperti haramnya transaksi (muamalah) darah pada masa lampau karena ketika itu darah diminum. Dan halalnya transaksi darah pada masa kini dikarenakan untuk keperluan medis.
Akan tetapi dengan memperhatikan poin ini bahwa ter-update-nya kondisi-kondisi subjek[30] hanya terkhusus pada bidang transaksi (muamalah) bukan dalam bidang ibadah. Dan dalam bidang transaksi juga, yang menjadi fokus perhatian adalah proposisi-proposisi dan subjek-subjeknya diambil dari kebiasaan orang-orang berakal (urf uqala), bukan bersumber dari proposisi dan subjek yang dibuat oleh Tuhan. Seperti warisan dimana baik dari sisi subjek dan hukum tidak mengalami perubahan, kendati warisan merupakan bagian dari bidang muamalah.[31]
§ Perbedaan fatwa yang bersumber dari perubahan dan pembaharuan satu subjek. Seperti hukum haramnya permainan catur pada masa lalu karena catur ketika itu merupakan alat permainan judi. Dan hukum halalnya permainanan catur pada masa kini karena ia telah keluar dari kondisi sebagai alat permainan judi menjadi media permainan olahpikir (olahraga).
Tiada keraguan bahwa perbedaan fatwa ini bersifat natural dan dapat disatukan dan tiada hubungannya dengan masalah pluralisme pemahaman agama karena kesemua hal ini selaras dan sesuai dengan fakta dan realitas.
2. Perbedaan fatwa yang saling bertentangan dan kontradiksi dalam satu subjek dan mishdak dimana hal ini secara natural tidak dapat diselaraskan dengan fakta dan realitas. Oleh karena itu perbedaan fatwa ini sekali-kali tidak dapat disatukan.
Sumber adanya seluruh perbedaan ini adalah disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:
A. Pengaruh jenis pandangan dunia seseorang atas model istinbâthnya dalam hukum-hukum fiqih.
Ucapan ini adalah ucapan Syahid Muthahari. Ia dalam hal ini berkata: “Pekerjaan juris dan mujtahid adalah istinbâth (inferensi) dan istikhrâj hukum-hukum, namun penguasaan dan pengetahuan terhadap pelbagai subjek, yang disebut sebagai desain pandangan dunianya, sangat banyak berpengaruh ketika ia mengeluarkan fatwa. Seorang faqih harus menguasai secara sempurna terhadap subjek-subjek permasalahan berkenaan dengan fatwa yang ingin ia keluarkan.
Anggaplah seorang faqih yang senantiasa berada di sudut rumah atau madrasah dan kita bandingkan ia dengan seorang faqih yang menguasai masalah-masalah kehidupan, kedua orang ini merujuk kepada dalil-dalil syariat dan referensi-referensi hukum, namun dari keduanya melakukan sebuah pendekatan khusus dalam melakukan praktik istinbâth hukum.
Sebagai contoh: Anggaplah seorang tumbuh besar di kota Teheran atau di kota lain seperti kota Teheran dimana di kota tersebut terdapat banyak air kurr dan air jari (yang mengalir), kolam-kolam, sumur dan sungai-sungai, dan faqih ini tinggal di kota tersebut dan ia ingin memberikan fatwa ihwal hukum-hukum thahârah dan najasat (najis), faqih ini dengan latar belakang personalnya tatkala ia ingin merujuk kepada riwayat dan hadis tentang thahârah dan najasat sedemikian ia melakukan istinbâth sehingga sejalan dengan ihtiyath dan keharusan untuk menjauhi kebanyakan masalah.
Namun jika orang ini melakukan ziarah ke Baitullah melihat kondisi thahârah, najasat dan keadaan tanpa air, pandangannya tentang hal ini akan mengalami perubahan, artinya setelah melakukan perjalanan, jika ia merujuk kepada hadis dan riwayat tentang thahârah dan najâsat, ia akan mendapatkan pemahaman baru tentang thahârah dan najâsat.[32]
Menurut hemat penulis, penjelasan Syahid Muthahari memerlukan komplementer dan hal itu adalah jenis pandangan dunia dalam melakukan istinbâth hukum fiqih, sekali-kali tidak bermakna pengaruh sebab dan akibat melainkan bermakna pengaruh beberapa (sebab) persiapan atas terwujudnya satu akibat; berangkat dari sini, pengaruh perkara sedemikian tidak berbentuk universal (kulli) dan positif universal (mujibah kulliyah) dan juga tidak bercorak mesti dan harus.
Dengan demikian seorang faqih dengan mudah berada pada realitas faktual dalam kondisi tertentu, jauh dari jenis kecendrungan dan pandangan, dan sampai pada hukum faktual (waqi’i) Ilahi.
Sebaik-baik contoh dalam masalah ini, kisah fatwa Allamah Hilli tentang air sumur. Lantaran kecendrungan dan kenangannya terhadap sumur yang terdapat di rumahnya, kecendrungan tersebut tidak menahannya untuk sampai pada hukum faktual tentang air sumur, ia memerintahkan air sumur tersebut supaya dipenuhi.
Kisah ini tidak dapat dibatasi hanya pada satu orang saja; karena keniscayaan yang terdapat pada fiqih Syiah, menepikan segala kecendrungan dan tendensi pribadi dan sosial; kendati terdapat kemungkinan pengaruh kecendrungan dan tendensi tersebut dalam melakukan praktik istinbâth.
B. Jenis penguasaan seorang faqih terhadap subjek-subjek partikular dan personal.
Sebagian perbedaan fatwa kembali kepada kualitas pengetahuan para juris terhadap subjek-subjek dan permasalahan partikular, seperti fatwa boleh atau tidaknya menggunakan gigi palsu ketika shalat.
Adalah natural faqih atau juris yang memiliki hubungan dengan dokter gigi sampai pada kesimpulan bahwa pada gigi palsu tidak terdapat bagian-bagian hewan yang tidak dapat dimakan dagingnya, dan memberikan hukum boleh menggunakan gigi palsu ketika shalat. Sementara mujtahid yang lain, karena tiadanya hubungan dengan spesialis dalam bidang ini, ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap subjek permasalahan ini dan oleh karena itu ia memberikan fatwa tidak bolehnya menggunakan gigi palsu ketika mengerjakan shalat.[33]
Perlu disebutkan bahwa jenis perbedaan fatwa ini juga dapat dipecahkan. Dan sebaik-baik jalan untuk memecahkan perbedaan ini adalah mengikut hukum akal; artinya tugas faqih adalah menjelaskan hukum-hukum universal bukan menentukan subjek-subjek partikular dan personal. Menentukan misdak-misdak partikular harus diserahkan kepada spesialis subjek tersebut. jika sekumpulan spesialis tersebut menentukan kondisi satu misdak, secara natural, hukum fiqihnya juga akan menjadi jelas.
Oleh karena itu, jangan banyak berharap kepada faqih untuk menjelaskan seluruh subjek-subjek dan hukum-hukum tentangnya. Dan jika misdak-misdak itu ingin diijelaskan, maka harus merujuk kepada spesialis misdak tersebut. Dalam hal ini bagian penting perbedaan (fatwa) dimana sumbernya adalah tiadanya penguasaan mujtahid terhadap subjek-subjek partikular dan personal dapat diselesaikan.
C. Jenis pandangan seorang faqih terhadap pokok agama (ushuluddin).
Tiada keraguan bahwa terdapat perbedaan antara fatwa-fatwa mujtahid yang memandang agama dari sudut pandang personal dan mujtahid yang melihat bahwa person merupakan bagian dari masyarakat dan pandangannya adalah pandangan sosiologis terhadap agama.
Syahid Shadr menulis tentang hal ini: “Konsekuensi pandangan yang hanya terbatas pada permukaan dan meresapnya pandangan seseorang berpengaruh terhadap metodeologi penerimaan dan istinbâth dari nash-nash syariat.[34]
Ia menyebutkan sebuah contoh perizinan dalam masalah ini bahwa apakah penyewa dapat menyewakan kembali tempat yang ia sewa kepada orang lain, dengan mendapatkan lebih dari apa yang ia serahkan sebagai uang sewa?
Tentang masalah ini terdapat banyak riwayat yang disebutkan dimana sebagian dari riwayat tersebut melarang persewaan semacam ini dalam urusan rumah, dan sekelompok lainnya dalam urusan kapal dan penggilingan gandum, dan sebagian lainnya dalam perkara “pekerjaan” yang disewakan.
Mereka yang memiliki pandangan personal terhadap agama memandang bahwa persewaan semacam ini terbatas pada perkara-perkara yang disebutkan di atas. Akan tetapi orang-orang yang memiliki pandangan realistis dan dari sudut pandang mekanisme hubungan sosial, ketika berhadapan dengan nash-nash semacam ini, larangan persewaan semacam ini dengan biaya sewa yang lebih besar terbatas pada perkara-perkara yang disebutkan di atas dan oleh karena itu mereka tidak membedakanmasalah ini.[35]
Hal-hal yang lain yang dapat digambarkan tentang sumber perbedaan fatwa seperti:
D. Tidak mengindahkan kaidah-kaidah umum linguistik seperti kaidah umum (‘am) dan khusus (khas) atau mutlak dan muqayyad (memiliki kait, stipulated) atau hakikat dan majaz.[36].
E. Memahami nasukh tanpa memperhatikan masalah mansukh atau sebaliknya.[37]
F. Tidak mengindahkan indikasi-indikasi aktual (qarain hâliyah), tekstual, asababun nuzul, atmosfer dan suasana pewahyuan;
G. Lalai terhadap literal (zhuhur) urf dan umum dan menempatkan zuhuri syakhsi sebagai ganti dari literal (zhuhur) urf dan umum;
H. Tidak mengenal ijma’ dan hukum-hukumnya, khususnya pada mazhab Syiah.[38]
I. Tidak mengindahkan pengenalan terhadap perbuatan-perbuatan Nabi Saw dan kedudukannya dari sisi wajib, mustahabnya dan sebagainya;[39]
J. Perbedaan dalam pembahasan ilmu rijal dan ushul.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kendati mungkin perbedaan yang sedemikian, saling kontradiksi dan bertentangan satu dengan yang lain, namun harus diperhatikan bahwa kebanyakan dari penyebab perbedaan ini sebenarnya dapat disingkirkan dan konsekuensinya kesatuan pemahaman sebagai produk dari perbaikan ini dapat dicapai.
[1] . Lihat, Syarif Murtadha, adz-Dzari’ah ila Ushul asy-Syariah, diriset oleh Dr. Abul Qasim Garji, Danesygah Tehran, jil. 2, hal. 672; Najmuddin Ibn al-Qasim Ja’far bin al-Hasan Hadzali, Muhaqqiq Hilli, Ma’ârij al-Ushul, cetakan pertama, Muassasah Alil Bait As, hal. 179.
[3] . Syaikh Bahai menukil makna ini dari Hajabi dalam Zubdah al-Ushul, hal. 115.
[4]. Lihat, Dhiayuddin ‘Iraqi, Maqâlat al-Ushul, diriset oleh Mujtaba Mahmudi dan Sayid Mundzir Hakim, cetakan pertama, Majma’ al-Fikr al-Islami, Qum, jil. 2, hal. 491.
[5]. Taqrirât as-Sayyid al-Khui, Sayid al-Waizh al-Husaini, Mishbâh al-Ushul, Matba’ al-‘Ilmiyah, Qum, Maktabah al-Dawari, Qum, jil. 3, hal. 434.
[6]. Lihat, Dhiayuddin ‘Iraqi, Maqâlat al-Ushul, jil. 2, hal. 491.
[7]. Lihat, Ahmad Wai’zhi, Dar Amad bar Hermeunetik, Markaz-e Nasyr Pazyhuesygah Farhang-e wa Andisye Islami, cetakan pertama, hal. 297; Babak Ahmadi, Sakhtâr Ta’wil Matn, cetakan pertama, Nasyr Markaz, jil. 2, hal. 574; Richard I. Palmer, Hermeunetik, terjemahan Muhammad Sa’id Hanai Kasyani, Intisyarat-e Hermes, hal. 219.
[8]. Lihat, Ahmad Wai’zhi, Dar Âmad bar Hermeunetik, hal. 298, Markaz-e Nasyr Pazyhuesygah Farhang-e wa Andisye Islami, cetakan pertama.
[9]. Lihat, Sakhtâr Ta’wil Matn, jil. 2, hal. 573.
[10]. Idem, hal. 566-577 dan Dar Âmad bar Hermeunetik, hal. 298.
[11]. Lihat, Sakhtâr Ta’wil Matn, jil. 2, hal. 574.
[12]. Idem, hal. 571 dan Dar Âmad bar Hermeunetik, hal. 298.
[13]. Majalleh Fiqhi Ahlulbait, tahun pertama, No. 1, hal. 39.
[14]. Ahlusunnah dalam hal ini disebut sebagai Mushawwabah atau Ahli Tashwib; lantaran mereka memandang bahwa setiap mujtahid adalah mushib (benar) dan hukum yang mereka hasilkan adalah hukum Allah.
[15]. Lihat, Syaikh Thusi, al-‘Uddah fi al-Ushul al-Fiqh (10), riset oleh Muhammad Ridha Anshari, cetakan pertama, 1418, Penerbit Setareh, Qum, jil. 2, hal. 724; Ibn Hamid, Muhammad Ghazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, cetakan 1417, cetakan Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Penerbit Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, Beirut, hal. 349; Ibn Ishaq, Ibrahim bin ‘Ali Syirazi, al-Lam’ fi al-Ushul al-Fiqh, cetekan tahun 1406, Penerbit ‘Alim al-Kutub, Beirut, hal. 357.
[16]. Lihat, Ibn Maitsam Bahrani, Kamal ad-Din Maitsam bin ‘Ali, al-Misbâh (syarh Kabir), jil. 1, hal. 396, Tehran, Khadamat-e Capi, cetakan kedua, 1404.
[17]. Lihat, al-Lam’ fi al-Ushul al-Fiqh, hal. 357 dan al-Mustashfa, hal. 345.
[18]. Lihat, Fiqh al-Imâm Ja’far ash-Shadiq As, jil. 6, hal. 379; Syaikh Shaduq, al-Hidayah, Muassasah al-Imam al-Hadi, cetakan pertama, I’timad, Qum, hal. 18; al-‘Uddah fii al-Ushul al-Fiqh, jil. 2, hal. 726.
[19]. Lihat, al-‘Uddah fii al-Ushul al-Fiqh, jil. 2, hal. 726
[20]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq As, jil. 6, hal. 380; al-Mustashfa fi al-Ushul al-Fiqh, Ghazali, hal. 282.
[21]. Lihat, Hurr al-Amili, Wasail asy-Syiah, Kitab al-Qadha, bab ‘Adam al-Jawaz al-Qadha al-Hukm bi al-Ray, hadits 38.
[22]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.
[24]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.
[26]. Lihat, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.
[27]. Lihat, Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, Markaz-e Nasyr Isra, jil. 1, hal. 192.
[28]. Lihat, ‘Abdulhussein Khusrupanah, Kalâm-e Jadid, hal. 153.
[29]. Lihat, Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 225.
[30]. Lihat, Kalâm-e Jadid, hal. 154
[31]. Lihat, Muhammad Hadi Ma’rifat, Naqsy Zaman wa Makan dar Rawand-e Ijtihad, Ruznameh Ittila’at 22/8/78.
[32]. Lihat, Murtadha Muthahhari, Dah Guftar, Intisyarat-e Shadra, hal. 121.
[33]. Lihat, Murtadha Muthahhari, Islam wa Muqtadiyyat-e Zaman, jil. 2, hal. 65-66, Intisyarat-e Shadra.
[34]. Majalleh Fiqh Ahlulbait As, tahun pertama, No. 1, hal. 40.
[36]. Lihat, Syaikh Thusi, ‘Uddat al-Ushul, riset oleh Muhammad Ridha Ustadi, cetakan pertama, Penerbit Setareh, Qum, jil. 2, hal. 719.