Posts tagged ‘hawa nafsu’

9 Oktober 2012

Jejak Ma’rifat 1

oleh alifbraja

Riwayat dari Hudzaifah ra, berkata. Rasulullah saw, bersabda:
“Ikutilah jejak orang-orang setelahku dari para sahabatku: Abu Bakr dan Umar dan mintalah petunjuk pada Ammar, dan berpegang teguhlah pada

janji Ibnu Mas’ud.” (Hr. Tirmidzi dan al-Hakim.)

Rasulullah saw, telah memerintahkan agar mengikuti jejak dua tokoh besar, Sayyidina Abu Bakr as-Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khothob ra, serta  mencari kebenaran dan petunjuk dari Ammar ra, karena ia meninggal dengan cintanya yang agung pada kerabatnya, Sayyidina Ali KW.

Rasul saw, juga menegaskan agar tetap kokoh dengan janji, sebagaimana Ibnu Ummi Abd ra, memegangnya. Dalam hal inilah tumbuh hikmah terpadu antara cinta sahabat dan keluarga Nabi. Rahasia yang dijumpai dalam diri para ‘arifun yang berselaras. Dan Nabi saw, menjadikan kebenaran mengikuti jejaknya dengan cara mengikuti jejak dua tokoh besar semoga Allah meridhoi keduanya, dan mengintegrasikan dua kekuatan dengan memegang teguh janji.

Apabila seorang hamba mengikuti jejaknya maka ia akan dapat petunjuk. Dan siapa yang mendapatkan petunjuk berarti telah memegang teguh janjinya Allah swt. Disinilah dimengerti bahwa kema’rifatan itu tidak lain adalah dengan cara demikian? Siapa yang meraih petunjuk melalui petunjuk Nabi Muhammad saw, dan mengikuti jejaknya, berpegang teguh dengan janjinya, maka ia telah menghadap Allah Ta’ala dan mengesampingkan yang lainnya.

Dalam hadits disebutkan, bahwa Allah swt berfirman:
“Wahai dunia! Apakah seseorang yang berbakti kepadaku itu pembantuKu, dan apakah orang yang berbakti kepadamu itu telah berbakti kepadaKu?”
Maka, bukan disebut orang yang bercita luhur, adalah orang yang sibuk dengan sesuatu yang didalamnya ada pengaruh hawa nafsu.

Dalam karakteristik Nabi saw. Yang luhur dan mulia, Allah swt berfirman:
“Matahati tak pernah menyimpang dan tak pernah khianat.”
Seorang hamba tak pernah sampai kepada Allah swt, sampai dirinya putus dari hasrat-hasrat duniawi dan apa yang ada di dalamnya, berupa kemewahan dan kenikmatannya, santai dan kesenangannya, bahkan sampai ia harus melampaui kesenangan interaktif kemakhlukan berupa indahnya pergaulan dan pujian dari mereka.

Allah swt menciptakan semua itu sebagai ujian bagi orang yang ingin menyendiri (dari segala hal selain Allah swt.), hingga ketika ia berpaling pada selain Allah, akan tercela dalam pengakuannya, lalu ia terlempar dalam wadah kerugian besar. Maka, betapa banyak mereka yang ter-Istiqdroj karena nikmat, terhijab dari Sang Khaliq, alpa dari kebenaran, bodoh terhadap pengetahuan jiwa, pagi hingga sore dalam kerugian demi kerugian dan siksaan. Tampaklah pada dirinya dari sisi Arasy, sesuatu yang menyiksa padanya yang belum pernah mereka duga.

“Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.” (Az-Zumar: 47)

Di antara cita yang luhur antara lain apa yang dikatakan kepada abu Abdullah: “Jika Allah memberikan kepadamu dunia seisinya, apa yang anda lakukan?”
“Kalau bisa, akan aku jadikan satu suapan, kemudian aku timpakan pada mulut si kafir, pasti akan aku lakukan!” jawabnya.
“Kenapa?”
“Karena Allah swt marah pada orang kafir dan pada dunia secara bersamaan. Lalu aku pun bebuat demikian, agar menimpa pada masing-masing yang terkena amarah.”

Lalu beliau mengisahkan kisah yang bernar, bahwa seorang raja Hirah (nama sebuah kota) mengutus untuk mengirimkan tujuh  kantong berat berisi gandum. Ketika itu Syeikh sedang berada di Hirah dengan para muridnya, lantas makanan disajikan oleh para pembantunya.

Syeikh Abu Abdullah berkata padanya, “Kasihkan semuanya yang ada (tersisa) kepada seluruh orang miskin. “
“Tidak mungkin, semua pintu tertutup,” kata sang pembantu.
“Kalau begitu bawa saja ke orang-orang Majusi yang jadi tetangga kita…” kata Syeikh.
“Saya takut ancaman  siksa Allah Ta’ala karena meninggalkan perintahNya..”
Toh kami akhirnya mmberikan  juga kepada kaum Majusi. Tiba-tiba dini hari mereka datang dan bertanya, “Apa hikmah pemberian anda pada kami, padahal kami berbeda dan kontra dengan anda?”
“Dunia itu musuh Allah. Dan orang kafir juga musuh Allah. Seorang pecinta tak akan mendekat pada kekasihnya, hingga kekasihnya menjauhi musuhnya.”

Akhirnya mereka itu masuk Islam semuanya di hadapan Syeikh.
Suatu hari sebagian para penempuh Jalan Sufi sedang berjalan di pelosok, tiba-tiba dirinya berbicara untuk suatu hajat, ternyata ia sudah ditepi sumur. Lalu ia lembarkan bejana air ke dalamnya untuk kepentingan minum. Namun ketika bejana keluar, sudah dipenuhi dengan emas. Bejana itu pun ia lempar ke dalam sumur sembari berkata, “Oh Tuhan Yang Maha Agung, aku tidak ingin selain diriMu…”

LANJUTAN Jejak Ma’rifat 2 lihat >>DISINI

23 September 2012

Doa kesucian jiwa dan perlindungan dari empat bencana

oleh alifbraja

Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tidak mengatakan kepada kalian kecuali sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa salam. Beliau berdoa:

«اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْبُخْلِ، وَالْهَرَمِ، وَعَذَابِ، الْقَبْرِ اللهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا، اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا»

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, kepengecutan dan kekikiran, usia jompo dan azab kubur.

Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah jiwaku, karena Engkaulah sebaik-baik yang menyucikan jiwa, Engkaulah Yang Menguasai dan melindungi jiwa.

Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, hawa nafsu yang tidak pernah puas dan doa yang tidak dikabulkan.”(HR. Muslim no. 2722)

Doa yang agung ini biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Meski ringkas, doa ini telah mencakup perlindungan dari semua bentuk musibah dan kerusakan:

1. Perlindungan dari kelemahan dan kemalasan. Kelemahan adalah tiadanya kemampuan fisik untuk melakukan hal yang bermanfaat atau menjauhi hal yang membawa bahaya. Kemalasan adalah kelemahan tekad dan semangat untuk melakukan hal yang bermanfaat atau menjauhi hal yang membawa bahaya.

2. Perlindungan dari kepengecutan dan kekikiran. Kepengecutan adalah rasa takut dan keenganan seseorang untuk mengorbankan jiwanya demi memperjuangkan agama Allah. Adapun kekikiran adalah keenganan seseorang untuk mengorbankan sebagian hartanya demi mempejuangkan agama Allah.

3. Perlindungan dari usia jompo dan azab kubur. Dalam usia jompo, seseorang begitu lemah, tak berdaya dan terkadang pikun. Hal itu lebih buruk lagi jika tidak diisi dengan amal ketaatan, sehingga berakhir dengan su-ul khatimah dan azab di alam kubur.

4. Ya Allah, berikanlah ketakwaan kepada jiwaku, sucikanlah jiwaku, karena Engkaulah sebaik-baik yang menyucikan jiwa, Engkaulah Yang Menguasai dan melindungi jiwa. Ini merupakan permohonan kepada Allah Sang Penguasa dan Pemilik hati atau jiwa, Yang membolak-balikkan hati atau jiwa manusia. Ini merupakan permohonan agar Allah memberikan jiwa kita kecenderungan untuk menempuh jalan ketakwaan dan pensucian diri, dijauhkan dari jalan kemaksiatan dan penistaan diri.

6. Perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat, yaitu ilmu yang tidak membawa manfaat di dunia maupun akhirat. Itulah ilmu berbahaya yang dilarang untuk dipelajari oleh syariat Islam seperti ilmu sihir, atau ilmu yang diperintahkan untuk dipelajari oleh syariat Islam namun tidak diamalkan oleh orang yang telah mengetahuinya, sehingga ilmu tersebut tidak memperbaiki ucapan, perbuatan dan jiwa orang tersebut ke arah ketakwaan.

7. Perlindungan dari hati yang tidak khusyu’.

8. Perlindungan dari jiwa atau hawa nafsu yang tidak pernah puas. Hati yang tidak pernah puas dengan karunia Allah akan senantiasa dipenuhi oleh keluh kesah, ketamakan dan kecintaan yang berlebihan kepada kenikmatan dunia.

9. Perlindungan dari doa yang tidak dikabulkan. Ada banyak sebab sebuah dosa tidak dikabulkan oleh Allah. Misalnya, makanan atau minuman atau pakaian yang berasal dari harta yang haram. Wallahu a’lam bish-shawab.

22 September 2012

JALAN KELUAR DARI FITNAH

oleh alifbraja

PENGERTIAN FITNAH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
KESYIRIKAN
Seperti firman Alloh didalam QS.AL-BAQOROH : 193 dan AL-BURUJ : 10.
Fitnah dalam surat ini(Al-Buruj:10) ditafsirkan dengan penyiksaan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin,yang bertujuan agar kaum mukminin terkena fitnah (lari) dari agama islam.
COBAAN ATAU UJIAN DARI ALLOH KEPADA HAMBA-NYA DENGAN KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN
Firman Alloh didalam QS.Al-A’rof:155
Contohnya: fitnah antara sahabat yaitu Ali dengan mu’awiyyah, para pasukan perang jamal dan shiffin,dll
PEMBAGIAN FITNAH
IBNU QOYYIM mengatakan bahwa fitnah terbagi menjadi 2 macam yaitu Fitnah Syubhat dan Fitnah Syahwat.
1. Fitnah Syubhat
Fitnah Syubhat disebabkan oleh lemahnya seseorang akan ilmu dan kurangnya pengetahuan agama. Fitnah ini fitnah ini dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran dan kemunafikan serta timbul dari orang-orang munafik dan ahli bid’ah sesuai dengan tingkatan bid’ah mereka. Kunci agar selamat dari fitnah syubhat adalah kita secara murni mengikuti Rosululloh SAW dan menerima segala keputusan Beliau.
Diantara jalan-jalan timbulnya Fitnah Syubhat yaitu :
1.Pemahaman yang salah
2.Pengambilan dalil yang tidak shohih(penukilan dari orang-orang dusta)
3.Kebenaran yang samar-samar(kurangnya ilmu)
4.Niat yang buruk terhadap ISLAM dan mengikuti hawa nafsu

2. Fitnah Syahwat
Ftnah Syahwat berupa nafsu ataupun hal-hal duniawi seperti harta benda,anak,istri,dll. Ftnah Syahwat timbul akibat dari mengedepankan atau mengutamakan hawa nafsu dari akal sehat.
Fitnah syubhat dapat diantipasi dengan keyakinan (kesempurnaan ilmu) sedangkan Fitnah Syahwat dengan kesabaran.
PERINGATAN DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH TERHADAP FITNAH
 QS.AL-ANFAL:25
QS.AL-ANFAL:28
 Dari Abu Hurairah Rosululloh SAW bersabda:” bersegeralah untuk mengerjakan amal sholeh sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan-potongan malam,dimana seorang beriman di waktu pagi kemudian menjadi kafir di sore hari, ataupun seorang beriman di waktu sore kemudian menjadi kafir di pagi hari. Dia menjual agamanya demi kepentingan dunia. (HR.MUSLIM)
BENTUK-BENTUK FITNAH
1. FITNAH PERPECAHAN
2. FITNAH MUSUH-MUSUH ISLAM BERSEKONGKOL DENGAN KAUM MUSLIMIN
3.FITNAH PEMBUNUHAN DAN KEKACAUAN

4.FITNAH MERAJALELANYA ZINA
5.FITNAH HARTA
JALAN KELUAR DARI FITNAH
1.Menyibukkan diri dengan ibadah
2.Menuntut ilmu syar’i
3.Menjahui tempat dan sebab munculnya fitnah
4.Mengembalikan persoalan kepada pemerintah dan ulama

5 Tetap bersatu dalam barisan kaum muslimin diatas manhaj yang haq
6.Menahan diri dari berbicara dan tidak menerima isu-isu yang berkambang
7.Memohon perlindungan kepada Alloh

wassalam

25 Agustus 2012

Mengenal Sifat Lahirah Batiniah

oleh alifbraja

HAWA NAFSU berasal dan napas api neraka. Ketika napas itu berembus dari api, syahwat terbawa ke pintu neraka tempat perhiasan dan kesenangan berada, lalu ia mendatangi nafsu.

Ketika nafsu mendapatkan kesenangan dan perhiasan, ia bergolak akibat kesenangan dan perhiasan yang diletakkan di sisinya dalam wadah itu, dan ia berupa angin panas. Ia lalu mengalir dalam urat-urat, sehingga semua saluran darah terisi olehnya dalam waktu lebih cepat daripada kedipan mata.

Saluran darah mengaliri seluruh tubuh dan kepala hingga kaki. Jika angin itu sudah berembus di dalamnya, lalu jiwa manusia merasakan embusannya dalam tubuh, kemudian ia merasa nikmat dan senang dengannya, itulah yang disebut dengan syahwat dan kenikmatannya.

Apabila nafsu serta syahwat berikut kenikmatannya sudah menempati seluruh tubuh, syahwat menyerang hati. Apabila syahwat sudah demikian hebat, ia menguasai hati, sehingga hati tertawan, yakni takluk kepada syahwat. Selanjutnya, syahwat dapat memainkannya. Kekuatan hawa nafsu dan syahwat ada bersama jiwa dan bertempat dalam perut, sedangkan kekuatan makrifat, akal, ilmu, pemahaman, hafalan, dan pikiran berada di dada. Makrifat ditempatkan di kalbu, pemahaman di fu’ad, serta akal di pikiran, dan hafalan menyertainya.

Syahwat diberi sebuah pintu yang menghubungkan tempatnya ke dada, sehingga asap syahwat yang bersumber dari hawa nafsu bergolak sampai ke dada. Ia menyelubungi fu’ad dan kedua mata fu’ad berada dalam asap itu. Asap tersebut adalah kebodohan. Ia menghalangi mata fu’ad untuk melihat cahaya akal yang dipersiapkan baginya.

Demikian pula amarah ketika bergolak. Ia seperti awan yang menutupi mata fu’ad, sehingga akal pun tertutup. Akal bertempat di otak dan cahayanya memancar ke dada. Ketika awan amarah keluar dari rongga ke dada, ia memenuhi dada dan menyelubungi mata fu’ad.

Karena cahaya akal terhalang, sementara awan menutupi fu’ad, fu’ad orang kafir berada dalam gelapnya kekafiran. Itulah tutup yang Allah sebutkan dalam Al-Quran:

Mereka berkata, “Hati kami tertutup.” (QS Al-Baqarah : 2)
Tetapi, hati orang-orang kafir dalam kesesatan terhadap hal ini. (QS Al-Mu’minun : 63)

Adapun fu’ad mukmin berada dalam asap syahwat dan awan kesombongan. Inilah yang disebut kelalaian.

Dari kesombongan itulah amarah berasal. Kesombongan bertempat dalam jiwa. Ketika jiwa manusia menyadari penciptaan Allah atasnya, kesombongan berada di dalamnya. Inilah sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Allah Swt. memilih dan memuliakan manusia yang bertauhid. Dan setiap seribu orang, satu orang dipilih, sementara sembilan ratus sembilan puluh sembilan lainnya tidak dipedulikan. Dia hanya memerhatikan satu dari setiap seribu manusia. Dia mendistribusikan bagian pada Hari Penetapan dan menolak orang yang Dia abaikan, sehingga mereka tidak mendapat bagian.

Ketika mengeluarkan keturunan \[manusia] lewat sulbi, Dia menjadikan mereka berbicara, Manusia yang diperhatikan Allah mengakui-Nya secara sukarela saat Allah berfirman, “Bukankah Aku Tuhan kalian?” (QS Al-A’raf:172). Orang yang tidak mendapat bagian dan tidak mendapat perhatian Allah menjawab, “Ya, Engkau Tuhan kami” dengan terpaksa.

Itulah makna firman Allah Swt.: “Seluruh yang terdapat di langit dan di bumi berserah diri kepada-Nya baik dengan sukarela maupun terpaksa.” (QS Al-Imran:83)

Dia menjadikan mereka dalam dua kelompok: kelompok kanan dan kelompok kiri.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Sebagian mereka berada di surga dan Aku tidak peduli; Aku tidak peduli ampunan-Ku tercurah kepada mereka. Sebagian lagi berada di neraka dan Aku pun tidak peduli; Aku tidak peduli ke mana kembalinya mereka.”

Dia lalu mengembalikan mereka ke sulbi Nabi Adam as. Dia mengeluarkan mereka pada hari-hari dunia untuk (memberi mereka kesempatan) melakukan amal dan menegakkan hujah. Manusia yang telah dipilih dan dimuliakan Allah, kalbunya dicelup dalam air kasih sayang-Nya sampai bersih. Allah Swt. berfirman, “Itulah celupan Allah, dan siapakah yang lebih baik celupannya daripada Allah?!” (QS Al-Baqarah:138)

Dia kemudian menghidupkannya dengan cahaya kehidupan setelah sebelumnya ia hanya berupa seonggok daging.

Ketika dihidupkan dengan cahaya kehidupan, ia pun bergerak dan membuka kedua mata di atas fu’dd. Ia lalu diberi-Nya petunjuk dengan cahaya-Nya yang tidak lain adalah cahaya tauhid dan cahaya akal. Ketika cahaya itu menetap di dadanya serta fu’ad dan kalbu merasa teguh dengannya, Ia pun mengenal Tuhan. Itulah maksud firman Allah Swt.: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Dia kami hidupkan …“ (QS Al-Baqarah:138). Yaitu, dihidupkan dengan cahaya kehidupan.

Allah Swt. kemudian berfirman, “Lalu, Kami berikan untuknya cahaya yang dengan itu ia berjalan di tengah-tengah man usia.” (QS Al-An’am : 122) Yakni, cahaya tauhid.

Dengan cahaya itu, kalbunya menghadapkannya kepada Allah, sehingga jiwa menjadi tenteram dan mengakui bahwa tiada Tuhan selain Dia. Ketika itulah lisan mengungkapkan ketenteraman jiwanya dan kesesuaiannya dengan kalbu berupa ucapan: “laa ilaaha illaa Allah (tiada Tuhan selain Allah).” Itulah makna firman Allah Swt.: “Tidaklah jiwa seseorang beriman kecuali dengan izin Allah” Yunuus dan firman-Nya: “Wahai jiwa yang tenteram.” (QS Al-Fajr : 27)

Kala jiwa sudah merasa tenteram saat melihat perhiasan karena akal menghiasi mata fu’ad dengan tauhid, saat melihatnya itu jiwa merasakan kenikmatan cinta Allah yang meresap dalam kalbu bersama cahaya tauhid. Saat melihat perhiasan, ia merasakan kenikmatan cinta dalam cahaya tauhid. Ketika itulah jiwa menjadi tenang dan senang kepada tauhid. Ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Firman-Nya, menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman indah dalam kalbu kalian.”135

Kala jiwa mendapatkan perhiasan itu, ia membenci kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan.

Ketika seorang mukmin berbuat dosa, Ìa melakukan itu dengan syahwat dan nafsunya, padahal ia membenci kefasikan dan kekufuran. Karena benci, ia berbuat fasik dan bermaksiat dalam kondisi lalai. Ia sebenarnya tidak bermaksud kepada kefasikan dan kemaksiatan seperti halnya iblis.

Kebencian itu tertanam dalam jiwa, namun syahwat menguasai jiwa. Kebencian itu ada, karena tauhid terdapat dalam dirinya. Hanya saja, kalbu dikalahkan oleh sesuatu yang merasukinya, akal terhijab, dada dipenuhi asap syahwat, dan nafsu menguasai kalbu.

Ini terjadi lantaran akal kalah, makrifat tersudut, dan pikiran buntu, sementara hafalan dan akal terkurung dalam otak. Jiwa melakukan dosa karena kekuatan syahwat, sementara musuh menghiasi, membangkitkan angan, mengiming-imingi ampunan, serta mempertunjukkan tobat, sehingga hati berani berbuat dosa.

23 Agustus 2012

Inti Ajaran Suluk Wujil

oleh alifbraja

Tasawuf dan Pengetahuan Diri, secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Satu, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia (Taftazani 1985:56). Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang oleh Mir Valiuddin (1980;1-3) dibagi tiga:

  • Pertama, penyucian jiwa atau nafs (thadkiya al-nafs);
  • Kedua, pemurnian kalbu (tashfiya al-qalb);
  • Ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan (takhliya al-sirr).

Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalahkan hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (‘diri jasmani’). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu. Penyucian jiwa dicapai dengan memperbanyak ibadah dan amal saleh. Termasuk ke dalam ibadah ialah melaksanakan salat sunnah, wirid, zikir, mengurangi makan dan tidur untuk melatih ketangguhan jiwa.

Semua itu dikemukakan oleh Sunan Bonang dalam risalahnya Pitutur Seh Bari dan juga oleh Hamzah Fansuri dalam Syarab al-`Asyiqin (“Minuman Orang Berahi”). Sedangkan pemurnian kalbu ialah dengan membersihkan niat buruk yang dapat memalingkan hati dari Tuhan dan melatih kalbu dengan keinginan-keinginan yang suci. Sedangkan pengosongan pikiran dilakukan dengan tafakkur atau meditasi, pemusatan pikiran kepada Yang Satu.

Dalam sejarah tasawuf ini telah sejak lama ditekankan, terutama oleh Sana’i, seorang penyair sufi Persia abad ke-12 M. Dengan tafakkur, menurut Sana’i, maka pikiran seseorang dibebaskan dari kecenderungan untuk menyekutuhan Tuhan dan sesembahan yang lain (Smith 1972:76-7). Dalam Suluk Wujil juga disebutkan bahwa murid-muridnya menyebut Sunan Bonang sebagai Ratu Wahdat. Istilah ‘wahdat’ merujuk pada konsep sufi tentang martabat (tinbgkatan) pertama dari tajalli Tuhan atau pemanifestasian ilmu Tuhan atau perbendaharaan tersembunyi-Nya (kanz makhfiy) secara bertahap dari ciptaan paling esensial dan bersifat ruhani sampai ciptaan yang bersifat jasmani. Martabat wahdat ialah martabat keesaan Tuhan, yaitu ketika Tuhan menampakkan keesaan-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang banyak dan aneka ragam. Pada peringkat ini Allah menciptakan esensi segala sesuatu (a’yan tsabitah) atau hakikat segala sesuatu (haqiqat al-ashya). Esensi segala sesuatu juga disebut ‘bayangan pengetahuan Tuhan’ (suwar al-ilmiyah) atau hakikat Muhammad yang berkilau-kilauan (nur muhammad). Ibn `Arabi menyebut gerak penciptaaan ini sebagai gerakan Cinta dari Tuhan, berdasar hadis qudsi yang berbunyi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal, maka aku mencipta hingga Aku dikenal” (Abdul Hadi W. M. 2002:55-60). Maka sebutan Ratu Wahdat dalam suluk ini dapat diartikan sebagai orang yang mencapai martabat tinggi di jalan Cinta, yaitu memperoleh makrifat dan telah menikmati lezatnya persatuan ruhani dengan Yang Haqq.

Pengetahuan Diri, Cermin dan Ka’bah Secara keseluruhan bait-bait dalam Suluk Wujil adalah serangkaian jawaban Sunan Bonang terhadap pertanyaan-pertanyaan Wujil tentang aka yang disebut Ada dan Tiada, mana ujung utara dan selatan, apa hakikat kesatuan huruf dan lain-lain. Secara berurutan jawaban yang diberikan Sunan Bonang berkenaan dengan soal:

(1) Pengetahuan diri, meliputi pentingnya pengetahuan ini dan hubungannya dengan hakikat salat atau memuja Tuhan. Simbol burung dan cermin digunakan untuk menerangkan masalah ini;

(2) Hakikat diam dan bicara;

(3) Kemauan murni sebagai sumber kebahagiaan ruhani;

(4) Hubungan antara pikiran dan perbuatan manusia dengan kejadian di dunia;

(5) Falsafah Nafi Isbat serta kaitannya dengan makna simbolik pertunjukan wayang, khususnya lakon perang besar antara Kurawa dan Pandawa dari epik Mahabharata;

(6) Gambaran tentang Mekkah Metafisisik yang merupakan pusat jagat raya, bukan hanya di alam kabir (macrokosmos) tetapi juga di alam saghir (microcosmos), yaitu dalam diri manusia yang terdalam;

(7) Perbedaan jalan asketisme atau zuhud dalam agama Hindu dan Islam. Sunan Bonang menghubungkan hakikat salat berkaitan dengan pengenalan diri, sebab dengan melakukan salat seseorang sebenarnya berusaha mengenal dirinya sebagai ‘yang menyembah’, dan sekaligus berusaha mengenal Tuhan sebagai ‘Yang Disembah’.

Pada bait ke-12 dan selanjutnya Sunan Bonang menulis:

12. Kebajikan utama (seorang Muslim) Ialah mengetahui hakikat salat Hakikat memuja dan memuji Salat yang sebenarnya Tidak hanya pada waktu isya dan maghrib Tetapi juga ketika tafakur Dan salat tahajud dalam keheningan Buahnya ialah mnyerahkan diri senantiasa Dan termasuk akhlaq mulia.

13. Apakah salat yang sebenar-benar salat? Renungkan ini: Jangan lakukan salat; Andai tiada tahu siapa dipuja; Bilamana kaulakukan juga; Kau seperti memanah burung; Tanpa melepas anak panah dari busurnya; Jika kaulakukan sia-sia; Karena yang dipuja wujud khayalmu semata.

14. Lalu apa pula zikir yang sebenarnya? Dengar: Walau siang malam berzikir Jika tidak dibimbing petunjuk; Tuhan Zikirmu tidak sempurna; Zikir sejati tahu bagaimana; Datang dan perginya nafas; Di situlah Yang Ada, memperlihatkan Hayat melalui yang empat.

15. Yang empat ialah tanah atau bumi Lalu api, udara dan air Ketika Allah mencipta Adam Ke dalamnya dilengkapi Anasir ruhani yang empat: Kahar, jalal, jamal dan kamal Di dalamnya delapan sifat-sifat-Nya Begitulah kaitan ruh dan badan Dapat dikenal bagaimana Sifat-sifat ini datang dan pergi, serta ke mana.

16. Anasir tanah melahirkan Kedewasaan dan keremajaan Apa dan di mana kedewasaan Dan keremajaan? Dimana letak Kedewasaan dalam keremajaan? Api melahirkan kekuatan Juga kelemahan Namun di mana letak Kekuatan dalam kelemahan? Ketahuilah ini.

17. Sifat udara meliputi ada dan tiada Di dalam tiada, di mana letak ada? Di dalam ada, di mana tempat tiada? Air dua sifatnya: mati dan hidup Di mana letak mati dalam hidup? Dan letak hidup dalam mati? Kemana hidup pergi Ketika mati datang? Jika kau tidak mengetahuinya Kau akan sesat jalan.

18. Pedoman hidup sejati; Ialah mengenal hakikat diri; Tidak boleh melalaikan shalat yang khusyuk; Oleh karena itu ketahuilah; Tempat datangnya yang menyembah; Dan Yang Disembah; Pribadi besar mencari hakikat diri Dengan tujuan ingin mengetahui; Makna sejati hidup; Dan arti keberadaannya di dunia.

19. Kenalilah hidup sebenar-benar hidup; Tubuh kita sangkar tertutup Ketahuilah burung yang ada di dalamnya; Jika kau tidak mengenalnya; Akan malang jadinya kau;Dan seluruh amal perbuatanmu, Wujil Sia-sia semata Jika kau tak mengenalnya. Karena itu sucikan dirimu; Tinggalah dalam kesunyian Hindari kekeruhan hiruk pikuk dunia.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak diberi jawaban langsung, melainkan dengan isyarat-isyarat yang mendorong Wujil melakukan perenungan lebih jauh dan dalam. Sunan Bonang kemudian berkata dan perkatannya semakin memasuki inti persoalan:

20. Keindahan, jangan di tempat jauh dicari; Ia ada dalam dirimu sendiri; Seluruh isi jagat ada di sana; Agar dunia ini terang bagi pandangmu; Jadikan sepenuh dirimu; Cinta Tumpukan pikiran, heningkan cipta; Jangan bercerai siang malam Yang kaulihat di sekelilingmu Pahami, adalah akibat dari laku jiwamu!

21. Dunia ini Wujil, luluh lantak; Disebabkan oleh keinginanmu Kini, ketahui yang tidak mudah rusak; Inilah yang dikandung pengetahuan sempurna; Di dalamnya kaujumpai; Yang Abadi Bentangan pengetahuan ini luas; Dari lubuk bumi hingga singgasana-Nya; Orang yang mengenal hakikat; Dapat memuja dengan benar; Selain yang mendapat petunjuk ilahi; Sangat sedikit orang mengetahui rahasia ini.

22. Karena itu, Wujil, kenali dirimu Kenali dirimu yang sejati; Ingkari benda; Agar nafsumu tidur terlena; Dia yang mengenal diri Nafsunya akan terkendali; Dan terlindung dari jalan; Sesat dan kebingungan Kenal diri, tahu kelemahan diri; Selalu awas terhadap tindak tanduknya.

23. Bila kau mengenal dirimu; Kau akan mengenal Tuhanmu; Orang yang mengenal Tuhan; Bicara tidak sembarangan; Ada yang menempuh jalan panjang; Dan penuh kesukaran; Sebelum akhirnya menemukan dirinya; Dia tak pernah membiarkan dirinya; Sesat di jalan kesalahan; Jalan yang ditempuhnya benar.

24. Wujud Tuhan itu nyata Mahasuci, lihat dalam keheningan; Ia yang mengaku tahu jalan; Sering tindakannya menyimpang;  Syariat agama tidak dijalankan Kesalehan dicampakkan ke samping; Padahal orang yang mengenal Tuhan Dapat mengendalikan hawa nafsu; Siang malam penglihatannya terang Tidak disesatkan oleh khayalan.

Selanjutnya dikatakan bahwa diam yang hakiki ialah ketika seseorang melaksanakan salat tahajud, yaitu salat sunnah tengah malam setelah tidur. Salat semacam ini merupakan cara terbaik mengatasi berbagai persoalan hidup. Inti salat ialah bertemu muka dengan Tuhan tanpa perantara. Jika seseorang memuja tidak mengetahui benar-benar sispa yang dipuja, maka yang dilakukannya tidak bermanfaat. Salat yang sejati mestilah dilakukan dengan makrifat. Ketika melakukan salat, semestinya seseorang mampu membayangkan kehadiran dirinya bersama kehadiran Tuhan. Keadaan dirinya lebih jauh harus dibayangkan sebagai ’tidak ada’, sebab yang sebenar-benar Ada hanyalah Tuhan, Wujud Mutlak dan Tunggal yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan adanya makhluq-makhluq, termasuk manusia, sangat tergantung kepada Adanya Tuhan.

35. Diam dalam tafakur, Wujil Adalah jalan utama (mengenal Tuhan); Memuja tanpa selang waktu; Yang mengerjakan sempurna (ibadahnya); Disebabkan oleh makrifat; Tubuhnya akan bersih dari noda; Pelajari kaedah pencerahan kalbu ini; Dari orang arif yang tahu; Agar kau mencapai hakikat Yang merupakan sumber hayat.

36. Wujil, jangan memuja Jika tidak menyaksikan; Yang Dipuja Juga sia-sia orang memuja; Tanpa kehadiran Yang Dipuja; Walau Tuhan tidak di depan kita; Pandanglah adamu; Sebagai isyarat ada-Nya Inilah makna diam dalam tafakur; Asal mula segala kejadian menjadi nyata.

Setelah itu Sunan Bonang lebih jauh berbicara tentang hakikat murni ‘kemauan’. Kemauan yang sejati tidak boleh dibatasi pada apa yang dipikirkan. Memikirkan atau menyebut sesuatu memang merupakan kemauan murni. Tetapi kemauan murni lebih luas dari itu.

38. Renungi pula, Wujil! Hakikat sejati kemauan; Hakikatnya tidak dibatasi pikiran kita Berpikir;  dan menyebut suatu perkara; Bukan kemauan murni; Kemauan itu sukar dipahami; Seperti halnya memuja Tuhan; Ia tidak terpaut pada hal-hal yang tampak; Pun tidak membuatmu membenci orang; Yang dihukum dan dizalimi; Serta orang yang berselisih paham.

39. Orang berilmu Beribadah tanpa kenal waktu; Seluruh gerak hidupnya Ialah beribadah Diamnya, bicaranya Dan tindak tanduknya Malahan getaran bulu roma tubuhnya; Seluruh anggota badannya Digerakkan untuk beribadah Inilah kemauan murni.

40. Kemauan itu, Wujil! Lebih penting dari pikiran; Untuk diungkapkan dalam kata Dan suara sangatlah sukar Kemauan bertindak; Merupakan ungkapan pikiran Niat; melakukan perbuatan Adalah ungkapan perbuatan; Melakukan shalat atau berbuat kejahatan Keduanya buah dari kemauan.

Di sini Sunan Bonang agaknya berpendapat bahwa kemauan atau kehendak (iradat) , yaitu niat dan iktiqad, mestilah diperbaiki sebelum seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan yang baik. Perbuatan yang baik datang dari kemauan baik, dan sebaliknya kehendak yang tidak baik melahirkan tindakan yang tidak baik pula. Apa yang dikatakan oleh Sunan Bonang dapat dirujuk pada pernyataan seorang penyair Melayu (anonim) dalam Syair Perahu, seperti berikut:

Inilah gerangan suatu madah. Mengarangkan syair terlalu indah. Membetulkan jalan tempat berpindah. Di sanalah iktiqad diperbaiki sudah.

Wahai muda kenali dirimu. Ialah perahu tamsil tubuhmu. Tiada berapa lama hidupmu. Ke akhirat jua kekal diammu.

Hai muda arif budiman. Hasilkan kemudi dengan pedoman. Alat perahumu jua kerjakan Itulah jalan membetuli insan.

… La ilaha illa Allah tempat mengintai Medan yang qadim tempat berdamai Wujud Allah terlalu bitai Siang malam jangan bercerai.

(Doorenbos 1933:33)
Tamsil Islam universal lain yang menonjol dalam SulukWujil ialah cermin beserta pasangannya gambar atau bayang-bayang yang terpantul dalam cermin, serta Mekkah. Para sufi biasa menggunakan tamsil cermin, misalnya Ibn `Arabi. Sufi abad ke-12 M dari Andalusia ini menggunakannya untuk menerangkan falsafahnya bahwa Yang Satu meletakkan cermin dalam hati manusia agar Dia dapat melihat sebagian dari gambaran Diri-Nya (kekayaan ilmu-Nya atau perbendaharaan-Nya yang tersembunyi) dalam ciptaan-Nya yang banyak dan anekaragam. Yang banyak di alam kejadian (alam al-khalq) merupakan gambar atau bayangan dari Pelaku Tunggal yang berada di tempat rahasia dekat cermin (Abu al-Ala Affifi 1964:15-7).

Pada pupuh atau bait ke-74 diceritakan Sunan Bonang menyuruh muridnya Ken Satpada mengambil cermin dan menaruhnya di pohon Wungu. Kemudian dia dan Wujil disuruh berdiri di muka cermin. Mereka menyaksikan dua bayangan dalam cermin. Kemudian Sunan Bonang menyuruh salah seorang dari mereka menjauh dari cermin, sehingga yang tampak hanya bayangan satu orang. Maka Sunan Bonang bertanya: ”Bagaimana bayang-bayang datang/Dan kemana dia menghilang?” (bait 81). Melalui contoh datang dan perginya bayangan dari cermin, Wujil kini tahu bahwa ”Dalam Ada terkandung tiada, dan dalam tiada terkandung ada”.

Sang Guru membenarkan jawaban sang murid. Lantas Sunan Bonang menerangkan aspek nafi (penidakan) dan isbat (pengiyaan) yang terkandung dalam kalimah La ilaha illa Allah (Tiada tuhan selain Allah). Yang dinafikan ialah selain dari Allah, dan yang diisbatkan sebagai satu-satunya Tuhan ialah Allah. Pada bait atau pupuh 91-95 diceritakan perjalanan seorang ahli tasawuf ke pusat renungan yang bernama Mekkah, yang di dalamnya terdapat rumah Tuhan atau Baitullah. Mekkah yang dimaksud di sini bukan semata Mekkah di bumi, tetapi Mekkah spiritual yang bersifat metafisik. Ka’bah yang ada di dalamnya merupakan tamsil bagi kalbu orang yang imannya telah kokoh. Abdullah Anshari, sufi abad ke-12 M, misalnya berpandapat bahwa Ka’bah yang di Mekkah, Hejaz, dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. Sedangkan Ka’bah dalam kalbu insan dibangun oleh Tuhan sebagai pusat perenungan terhadap keesaan Wujud-Nya (Rizvi 1978:78). Sufi Persia lain abad ke-11 M, Ali Utsman al-Hujwiri dalam kitabnya menyatakan bahwa rumah Tuhan itu ada dalam pusat perenungan orang yang telah mencapai musyahadah.

Kalau seluruh alam semesta bukan tempat pertemuan manusia dengan Tuhan, dan juga bukan tempat manusia menikmati hiburan berupa kedekatan dengan Tuhan, maka tidak ada orang yang mengetahui makna cinta ilahi. Tetapi apabila orang memiliki penglihatan batin, maka seluruh alam semesta ini akan merupakan tempat sucinya atau rumah Tuhan. Langkah sufi sejati sebenarnya merupakan tamsil perjalanan menuju Mekkah. Tujuan perjalanan itu bukan tempat suci itu sendiri, tetapi perenungan keesaan Tuhan (musyahadah), dan perenungan dilakukan disebabkan kerinduan yang mendalam dan luluhnya diri seseorang (fana’) dalam cinta tanpa akhir (Kasyful Mahjub 293-5). Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah dipahami apabila dalam Suluk Wujil dikatakan, “Tidak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki itu berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda sehingga tua renta. Mereka tidak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah itu akan menjadi seorang wali.  Tetapi ilmu semacam itu diliputi rahasia dan sukar diperoleh. Bekalnya bukan uang dan kekayaan, tetapi keberanian dan kesanggupan untuk mati dan berjihad lahir batin, serta memiliki kehalusan budi pekerti dan menjauhi keseangan duniawi. Di dalam masjid di Mekkah itu terdapat singgasana Tuhan, yang berada di tengah-tengah.

Singgasana ini menggantung di atas tanpa tali. Dan jika orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihat ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur ia akan menyaksikan barat. Di situ pemandangan terbalik. Jika orang melihat ke selatan yang tampak ialah utara, sangat indah pemandangannya. Dan jika ia melihat ke utara akan tampak selatan, gemerlapan seperti ekor burung merak. Apabila satu orang shalat di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang shalat, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang. Apabila ada 10.000 orang melakukan shalat di sana, maka Ka`bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia dimasukkan ke dalamnya, seluruh dunia pun akan tertampung juga”. Wujil menjadi tenang setelah mendengarkan pitutur gurunya. Akan tetapi dia tetap merasa asing dengan lingkungan kehidupan keagamaan yang dijumpainya di Bonang.

Berbeda dengan di Majapahit dahulu, untuk mencapai rahsia Yang Satu orang harus melakukan tapa brata dan yoga, pergi jauh ke hutan, menyepi dan melakukan kekearsan ragawi. Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seprti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlis-majlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa seperti ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan jelas di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agaa Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan tentang egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah seperti sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahsia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia. Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah dapat dilakukan di tengah keramaian, sebab perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa manusia terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik manusia itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia.

Akhir Kalam: Falsafah Wayang
Tamsil paling menonjol yang dekat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai seorang ahli makrifat dengan Tuhannya. Pada abad ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat populer (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin.

Dengan menggunakan tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seakan-akan ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya. Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri.

Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material. Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna dapat dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya:

Layar atau kelir meupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan ialah tanah tempat berpijak. Blencong atau lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung.

Bagi mereka yang tidak mendapat tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, karena tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.”

Selanjutnya kata Sunan Bonang, “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhnkan rasa cinta dankasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang mirip dengan-Nya, jwalaupun kita pergi ke Timur-arat, Utara-Selatan atau atas ke bawah. Demikinlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya secara diam-diam digerakkan oleh Sang Dalang”.  Mendengar itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna yang baru saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa).

Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna:

“Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seprti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan indranya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan sedih dan menangis tesedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibuat seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984).

Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadpan Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya.

Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau Bersemayam di dalam Ada dan Tiada, Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin.
(Ibid)
Demikianlah, dengan menggunakan tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menunjukkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.

5 Agustus 2012

Kaedah Fikih (2)

oleh alifbraja

Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat

Ajaran Islam sungguh adalah ajaran yang sangat indah. Setiap hukum yang ada tidaklah ada yang sia-sia. Mulai dari hal pakaian, penampilan, kebersihan dan ibadah, semua telah diajarkan. Dan semua ajaran tersebut mengandung maslahat dan bertujuan untuk meniadakan bahaya bagi hamba. Jilbab misalnya tidaklah wanita diperintahkan tanpa ada maslahat, namun ada maksud baik di balik itu. Wanita akan lebih terjaga ketika mengenakannya. Begitu pula dengan ajaran Islam lainnya.

Saat ini kita akan melanjutkan bahasan dari ba’it sya’ir yang disusun oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengenai qowa’idul fiqhiyyah atauk kaedah fikih. Dari kaedah seperti ini, kita akan semakin memahami istimewanya ajaran Islam dan lebih membantu memahami ilmu fikih.

Syaikh As Sa’di rahimahullah kembali menyebutkan:

الدين مبني على المصالح

في جلبها والدرء للقبائح

Ajaran Islam dibangun di atas maslahat

Ajaran tersebut mengandung maslahat dan menolak mudhorot (bahaya)

Bait sya’ir di atas mengandung pengertian bahwa ajaran Islam dibangun atas dasar meraih maslahat dan menolak mudhorot (bahaya).

Maslahat akan Kembali pada Hamba

Maslahat yang dimaksud adalah manfaat. Maslahat di sini bukanlah kembali pada Allah karena Allah itu ghoni (Maha Kaya). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS. Fathir: 15). Maslahat atau manfaat yang dimaksud adalah yang dirasakan oleh hamba.

Maslahat Bukanlah Ditimbang dengan Hawa Nafsu

Maslahat di sini juga bukanlah menurut hawa nafsu atau yang dikehendaki oleh jiwa. Karena seperti itu sudah keluar dari makna diin atau ketaatan. Yang namanya ketaatan adalah dengan mengikuti perintah Allah. Oleh karena itu, syari’at Islam melarang seseorang untuk memperturut hawa nafsu sebagaimana dalam firman-Nya,

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shad: 26). Intinya, mengikuti hawa nafsu hanya memberi dampak dhoror (bahaya) dan tidak mendatangkan maslahat selamanya.

Cara Mengetahui Maslahat dan Mudhorot

Ada beberapa macam metode dalam mengenali hal ini yang dilakukan oleh beberapa golongan.

1. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa maslahat dan mudhorot bagi hamba dinilai dari logika. Inilah prinsip dari mereka yang mengangumi dan mengedepankan akal.

2. Golongan Asya’iroh berpendapat bahwa patokan baik dan buruk adalah syari’at. Dusta misalnya barulah dikatakan jelek dilihat dari penyandaran perbuatan tersebut, bukan dilihat dari sisi perbuatan dusta itu sendiri. Dusta baru dibenarkan sebagai hal yang keliru ketika telah dijelaskan oleh syari’at. Jika tidak, maka tidaklah demikian menurut mereka. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan akal dan dalil syar’i. Setiap orang pasti sudah mengetahui bahwa dusta itu merupakan perbuatan yang jelek, sedangkan jujur adalah perbuatan yang baik –walau tidak diterangkan dengan dalil-. Oleh karena itu, perbuatan jelek sudah dianggap jelek oleh syari’at sebelum Rasul itu ada. Namun hukuman dari perbuatan jelek tersebut diperuntukkan jika Rasul telah diutus di suatu kaum. Allah Ta’ala berfirman,

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ

“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf” (QS. Al A’rof: 157). Menurut Asya’iroh bahwa sandaran penilaian perbuatan baik dan jelek adalah dari syar’i. Jika yang benar sesuai pemahaman mereka, seharusnya ayat tadi berbunyi, “Yang menyuruh mereka mengerjakan sesuai yang diperintahkan pada mereka”. Padahal ayat tersebut tidak memaksudkan demikian. Karena perbuatan ma’ruf sudahlah dinilai baik meskipun belum datang syari’at.

Pendapat yang benar mengenai cara menilai sesuatu itu maslahat ataukah tidak yaitu dengan sendirinya meskipun tidak ada dalil logika maupun dalil syar’i. Jujur sudah dapat dinilai baik meskipun sebelum adanya syari’at atau sebelum dinalarkan dengan logika. Namun kapan seseorang baru terkena hukuman ketika dusta? Untuk masalah hukuman baru ada setelah tegak dalil, setelah sampainya syari’at atau diutus seorang Rasul sebagai pemberi keterangan (hujjah). Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul” (QS. Al Isro’: 15). Demikianlah pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan inilah yang tepat.

Dalil-Dalil Pendukung: Seluruh Ajaran Islam Mengandung Maslahat

Seluruh ajaran Islam itu mengandung maslahat dan dipastikan pula setiap ajaran Islam bermaksud untuk mengenyampingkan mudhorot pada hamba. Yang menerangkan bahwa seluruh ajaran Islam mengandung maslahat dan menolak mudhorot adalah dalil-dalil berikut ini:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya’: 107). Jika syari’at itu rahmat, maka konsekuensinya pasti ajaran Islam selalu mendatangkan maslahat dan menolak bahaya.

Begitu pula dalam ayat,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maidah: 3). Sempurnanya nikmat adalah dengan sempurnanya ajaran agama ini. Dan sebagai tandanya, ajaran ini pasti selalu mendatangkan maslahat dan menolak mudhorot.

Begitu juga dalam berbagai ajaran Islam jika kita tilik satu per satu, kadang diberikan alasan bahwa ajaran tersebut mendatangkan maslahat bagi hamba. Sebagaimana dalam hukum qishash, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 179).

Semacam pula dalam perintah menggunakan jilbab bagi wanita, disebutkan pula maslahat di dalamnya. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Saking pentingnya kaedah ini, para ulama sangat perhatian di dalamnya. Sampai-sampai ada di antara mereka membuat tulisan tersendiri tentang masalah ini. Semacam Imam Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam menyusun buku yang sempurna yang membahas hal ini. Beliau menjadikan seluruh ajaran dalam hukum Islam berputar di antara maslahat.

Macam-Macam Maslahat

Jika melihat ajaran Islam, kita akan temukan bahwa ajaran tersebut ada yang mengandung maslahat yang wajib, seperti shalat lima waktu. Ada pula yang mengandung maslahat yang sunnah (mustahab) seperti shalat sunnah. Ada juga yang mengandung maslahat bagi orang banyak dan jika tidak dikerjakan oleh semua, maka cukup sebagian yang mengerjakannya seperti dalam shalat jenazah.

Jadi kita dapat membagi maslahat menjadi:

1. Maslahat yang dijalankan dalam masyarakat oleh sebagian orang.

2. Maslahat yang dituntunkan untuk dikerjakan oleh setiap individu muslim.

Begitu juga kita dapat membagi maslahat menjadi:

1. Maslahat yang wajib, yaitu mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

2. Maslahat yang sunnah, yaitu tidak dampai mendapati hukuman bagi orang yang meninggalkannya.

Mafsadat (bahaya) juga ada yang haram dan ada yang makruh. Yang haram semisal melanggar harta dan darah muslim yang lain, maka jika melakukannya akan mendapatkan dosa. Mafsadat seperti ini ada yang berdampak dosa besar, ada pula yang dosa kecil. Adapun mafsadat yang makruh tidak berdampak dosa bagi yang melanggarnya, bahkan bisa memperoleh pahala jika ditinggalkan.

Pembahasan Berbagai Maslahat

Ada pula tinjauan pembagian maslahat dari sisi lain. Para ulama juga membagi maslahat menjadi tiga macam:

1. Maslahat mu’tabaroh, yaitu maslahat yang dianggap sebagai maslahat oleh syari’at baik ditetapkan oleh dalil Al Qur’an, As Sunnah, ijma’ maupun qiyas. Contohnya adalah dalam masalah qishash dan jilbab yang telah disebutkan di atas.

2. Maslahat mulghoh, yaitu maslahat yang bertentangan dengan syari’at. Contohnya dalam masalah ini, siapa yang bersumpah lalu ia melanggar sumpahnya, maka ia punya kewajiban untuk menunaikan kafaroh sumpah. Kafarohnya adalah memberi makan kepada sepuluh orang miskin atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin atau memerdekakan satu orang budak. Jika tidak mampu melakukan ketiga hal tersebut, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89. Namun ada yang melanggar sumpahnya dan belum melakukan tiga pilihan pertama dari kafaroh tadi, malah sudah melangkah ke pilihan kedua, yaitu melakukan puasa selama tiga hari. Puasa itu baik, namun bertentangan dengan aturan syari’at yang telah disebutkan. Ini yang namanya maslahat mulghoh atau maslahat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan yang dianggap baik di sini sebenarnya mafsadat.

Contoh lainnya lagi adalah dalam masalah shalat Jum’at. Di sebagian negeri kafir sangatlah sulit menunaikan shalat Jum’at pada hari Jum’at karena hari Jum’at bukanlah waktu libur. Beda halnya dengan di negara Islam yang memberikan waktu libur pada hari Jum’at. Lalu sebagian orang memberikan solusi, shalat Jum’at sebaiknya dipindahkan saja ke hari Minggu karena hari tersebut adalah hari libur. Mereka anggap, seperti itu adalah maslahat. Namun sebenarnya pemikiran tersebut bertentangan dengan ajaran Islam dan teranggap sebagai maslahat yang mulghoh yang tertolak (tidak teranggap).

3. Maslahat mursalah, yaitu maslahat yang tidak memiliki dalil, namun tidak bertentangan (ditiadakan) oleh syari’at dan tidak pula dianggap. Mengenai maslahat yang satu ini, para ulama berselisih pendapat apakah bisa dijadikan hujjah (alasan kuat) ataukah tidak. Sebagian ulama ada yang menolaknya sebagai hujjah. Di antara yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau mengatakan bahwa semua maslahat pasti teranggap oleh syari’at. Jika ada yang menganggapnya sebagai maslahat mursalah, maka hal itu tidak lepas dari dua keadaan:

a. Sebenarnya maslahat tersebut adalah mafsadat (mengandung bahaya).

b. Sebenarnya ada dalil yang menunjukkan hal yang dimaksud sebagai maslahat, namun mungkin tidak diketahui oleh sebagian mereka.

Pendapat yang dianut oleh Ibnu Taimiyah adalah pendapat yang kuat. Karena jika kita menetapkan seperti ini berarti kita menganggap syari’at Islam benar-benar sempurna sehingga bisa menjadi dalil dan bisa sebagai jawaban dari segala permasalahan, serta tidak diperlukan qiyas kecuali dalam sedikit masalah yang tidak ditemukan dalil untuk menjawab permasalah tersebut.

Jika Tidak Diketahui Adanya Maslahat

Para ulama juga menjelaskan bahwa maslahat dalam hukum dibagi menjadi dua yaitu maslahat ma’lumah (yang diketahui) dan maslahat majhulah (yang tidak diketahui).

Maslahat majhulah berarti kita dapat pastikan dalam hukum syari’at ada maslahat tetapi kita tidak mengetahui seperti apa bentuk maslahat tersebut. Seperti memakan daging unta bisa membatalkan wudhu. Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».

“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan  daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.” (HR. Muslim no. 360). Kita tidak mengetahui apa maslahat perintah wudhu setelah memakan daging unta. Namun kita tidak bisa meninggalkan hukum tersebut karena tidak mengetahui hikmahnya. Ini yang patut dicatat.

Sedangkan maslahat ma’lumah adalah suatu maslahat yang diketahui. Seperti dalam pensyari’atan nikah. Dalam nikah ada maslahat untuk menghasilkan keturunan yang sholeh dan bertambah tenang karena selalu bersama pasangan hidup. Begitu pula dengan adanya keturunan yang sholeh, pahala bagi kedua orang tua akan terus mengalir sebagaimana disebutkan dalam hadits,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631). Ini adalah maslahat yang jelas kita ketahui.

Bolehkah seseorang dalam beramal berniat untuk menggapai tujuan duniawiyah?

Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah berkata, “Seharusnya setiap orang berniat untuk meraih pahala dan balasan di sisi Allah, yang diharapkan adalah wajah Allah dan kebahagiaan di akhirat. Jika seseorang semata-mata mencari keuntungan duniawi, maka boleh saja ia berniat untuk seperti itu namun pada amalan yang ada nash (dalil) yang menerangkan adanya manfaat jika melakukan amalan tersebut. Akan tetapi, jika ia berniat seperti ini, yaitu ingin menggapai dunia semata –tidak ingin mengharap pahala akhirat sama sekali-, maka di akhirat ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Begitu pula jika seseorang berniat dalam amalannya dengan niat yang bertentangan dengan maksud syari’at, maka ia jadinya berdosa. Contohnya adalah yang berniat untuk menikah karena tujuan membantu temannya yang sudah mentalak istrinya tiga kali supaya bisa halal kembali, inilah yang disebut nikah tahlil. Ini jelas tujuan yang bertentangan dengan syari’at dan jadinya berdosa” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah, hal. 56).

Tentang masalah niatan duniawi dalam amalan diterangkan dalam ayat berikut, Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ , أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya orang yang riya’, mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun mereka minta segera dibalas di dunia.”

Ibnu ‘Abbas juga mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan amalan puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari. Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang merugi”.” Perkataan yang sama dengan Ibnu ‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.

Qotadah mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 422-423).

Intinya, beramal sholeh untuk menggapai dunia bisa kita rinci menjadi dua:

1. Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

2. Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat)” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557). Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.

Baca ulasan di rumaysho.com: Beramal sholeh untuk menggapai tujuan duniawi.

Alhamdulillah, akhirnya kita dapat memahami bagaimana Islam membangun ajarannya di atas maslahat. Jadi, tidak ada kerugian jika kita melakukan berbagai ajaran Islam. Dalam hal jilbab, meskipun terasa berat oleh sebagian wanita, namun pasti jilbab itu mengandung maslahat yaitu lebih menjaga diri wanita. Begitu pula dalam masalah jenggot, laki-laki diperintahkan untuk memeliharanya dan dibiarkan begitu saja tanpa dirapikan atau dicukur habis. Lantas apa maslahatnya? Jika tidak diketahui bentuk maslahatnya pun, tetap kita mesti menjalaninya. Karena jika kita tidak mengetahui, belum tentu maslahatnya tidak ada. Dan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangkan maslahat di dunia maupun akhirat. Yakinlah dengan ajaran Islam yang indah …

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

 

 


Referensi:

Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.

23 Juli 2012

BILA AKU CERITAKAN NISCAYA HALAL DARAHKU

oleh alifbraja

Sangat sulit menjelaskan hakikat dan makrifat kepada orang-orang yang mempelajari agama hanya pada tataran Syariat saja, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist akan tetapi tidak memiliki ruh dari pada Al-Qur’an itu sendiri. Padahal hakikat dari Al-Qur’an itu adalah Nur Allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, dengan Nur itulah Rasulullah SAW memperoleh pengetahuan yang luar biasa dari Allah SWT. Hapalan tetap lah hapalan dan itu tersimpan di otak yang dimensinya rendah tidak adakan mampu menjangkau hakikat Allah, otak itu baharu sedangkan Allah itu adalah Qadim sudah pasti Baharu tidak akan sampai kepada Qadim. Kalau anda cuma belajar dari dalil dan mengharapkan bisa sampai kehadirat Allah dengan dalil yang anda miliki maka saya memberikan garansi kepada anda: PASTI anda tidak akan sampai kehadirat-Nya.

Ketika anda tidak sampai kehadirat-Nya sudah pasti anda sangat heran dengan ucapan orang-orang yang sudah bermakrifat, bisa berjumpa dengan Malaikat, berjumpa dengan Rasulullah SAW dan melihat Allah SWT, dan anda menganggap itu sebuah kebohongan dan sudah pasti anda mengumpulkan lagi puluhan bahkan ratusan dalil untuk membantah ucapan para ahli makrifat tersebut dengan dalil yang menurut anda sudah benar, padahal kadangkala dalil yang anda berikan justru sangat mendukung ucapan para Ahli Makrifat cuma sayangnya matahati anda dibutakan oleh hawa nafsu, dalam Al-Qur’an disebuat Qatamallahu ‘ala Qukubihum (Tertutup mata hati mereka) itulah hijab yang menghalangi anda menuju Tuhan.

Rasulullah SAW menggambarkan Ilmu hakikat dan makrifat itu sebagai “Haiatul Maknun” artinya “Perhiasan yang sangat indah”. Sebagaimana hadist yang dibawakan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda :

Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang diumpamakan seperti perhiasan yang indah dan selalu tersimpan yang tidak ada seoranpun mengetahui kecuali para Ulama Allah. Ketika mereka menerangkannya maka tidak ada yang mengingkari kecuali orang-orang yang biasa lupa (tidak berzikir kepada Allah)” (H.R. Abu Abdir Rahman As-Salamy)

Di dalam hadist ini jelas ditegaskan menurut kata Nabi bahwa ada sebagian ilmu yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali para Ulama Allah yakni Ulama yang selalu Zikir kepada Allah dengan segala konsekwensinya. Ilmu tersebut sangat indah laksana perhiasan dan tersimpan rapi yakni ilmu Thariqat yang didalamnya terdapat amalan-amalan seperti Ilmu Latahif dan lain-lain.

Masih ingat kita cerita nabi Musa dengan nabi Khidir yang pada akhir perjumpaan mereka membangun sebuah rumah untuk anak yatim piatu untuk menjaga harta berupa emas yang tersimpan dalam rumah, kalau rumah tersebut dibiarkan ambruk maka emasnya akan dicuri oleh perampok, harta tersebut tidak lain adalah ilmu hakikat dan makrifat yang sangat tinggi nilainya dan rumah yang dimaksud adalah ilmu syariat yang harus tetap dijaga untuk membentengi agar tidak jatuh ketangan yang tidak berhak.

Semakin tegas lagi pengertian di atas dengan adanya hadist nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut :

Aku telah hafal dari Rasulillah dua macam ilmu, pertama ialah ilmu yang aku dianjurkan untuk menyebarluaskan kepada sekalian manusia yaitu Ilmu Syariat. Dan yang kedua ialah ilmu yang aku tidak diperintahkan untuk menyebarluaskan kepada manusia yaitu Ilmu yang seperti “Hai’atil Maknun”. Maka apabila ilmu ini aku sebarluaskan niscaya engkau sekalian memotong leherku (engkau menghalalkan darahku). (HR. Thabrani)

Hadist di atas sangat jelas jadi tidak perlu diuraikan lagi, dengan demikian barulah kita sadar kenapa banyak orang yang tidak senang dengan Ilmu Thariqat? Karena ilmu itu memang amat rahasia, sahabat nabi saja tidak diizinkan untuk disampaikan secara umum, karena ilmu itu harus diturunkan dan mendapat izin dari Nabi, dari nabi izin itu diteruskan kepada Khalifah nya terus kepada para Aulia Allah sampai saat sekarang ini.

Jika ilmu Hai’atil Maknun itu disebarkan kepada orang yang belum berbait zikir atau “disucikan” sebagaimana telah firmankan dalam Al-Qur’an surat Al-‘Ala, orang-orang yang cuma Ahli Syariat semata-mata, maka sudah barang tentu akan timbul anggapan bahwa ilmu jenis kedua ini yakni Ilmu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat adalah Bid’ah dlolalah.

Dan mereka ini mempunyai I’tikqat bahwa ilmu yang kedua tersebut jelas diingkari oleh syara’. Padahal tidak demikian, bahwa hakekat ilmu yang kedua itu tadi justru merupakan intisari daripada ilmu yang pertama artinya ilmu Thariqat itu intisari dari Ilmu Syari’at.

Oleh karena itu jika anda ingin mengerti Thariqat, Hakekat dan Ma’rifat secara mendalam maka sebaiknya anda berbai’at saja terlebih dahulu dengan Guru Mursyid (Khalifah) yang ahli dan diberi izin dengan taslim dan tafwidh dan ridho. Jadi tidak cukup hanya melihat tulisan buku-buku lalu mengingkari bahkan mungkin mudah timbul prasangka jelek terhadap ahli thariqat.

21 Juli 2012

AKAL DAN AGAMA

oleh alifbraja

AKAL DAN AGAMA

 
 
 

Akal dan agama -yang merupakan dua anugrah Tuhan yang di berikan kepada manusia- ibarat dua sayap yang dengannya manusia bisa naik ke derajat yang sangat tinggi. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Ketika manusia hanya berpegang kepada salah satunya dan menyepelekan yang lain, dia akan terjerumus kepada kehancuran yang sulit diobati. Orang yang hanya berpegang kepada akal dengan meninggalkan agama, ia akan kehilangan jati dirinya dan akan hidup dalam kekeringan jiwa. Selain itu, ia juga akan mengalami kegelisahan jiwa karena banyak hal yang selalu muncul dalam jiwanya tentang arti dari kehidupan dimana ia tidak menemukan jawabannya. Seperti yang dialami oleh kebanyakan orang di abad sekarang ini, sehingga sebagian ilmuan barat seperti Franklin L. Baumer menyebut abad ini sebagai abad kegelisahan (Age of Anxiety). Di sisi lain ketika seseorang hanya berpegang kepada agama tanpa menggunakan akalnya, ia akan terjerumus kepada jurang kejumudan, penyimpangan-penyimpangan dan fanatisme buta.  Oleh karena itu, keduanya harus dipadukan dengan menjadikan akal sebagai alat untuk memilih, mebuktikan dan membela agama.

 

Definisi Akal

Akal dalam bahasa diartikan; al-habsu (penahan), al-man’u (penghalang) atau al-imsak (pencegah).  Ketika di terapkan pada manusia, ia berarti pengontrol hawa nafsu. Orang yang menjaga lisannya di sebut  aqala  lisanahu. Akal juga terkadang diartikan at-tadabbur, husnul-fahmi, atau al-idrâk. Maka akal menurut bahasa adalah pengontrol hawa nafsu sehingga manusia  bisa membedakan yang hak dan yang batil dan bisa sampai kepada pemahaman yang benar

Akal dalam istilah Filsafat, memiliki dua sudut pandang, pertama dari sudut pandang ontologi, yaitu salah satu dari tingkatan wujud (alam uqul / aql jauhari), merupakan alam yang berada antara alam ilahi dengan alam mitsâli menutut pandangan isyrâqi (Iluminasionis) dan hikmah muta’aliyah (Theosopi Trasendental), atau alam yang berada di antara alam ilahi dengan alam materi menurut madzhab Peripatetik (Masysya’i ,karena mereka tidak meyakini keberadaan alam mitsâli).  Dan kedua dari sudut pandang Epistemologi, dibagi menjadi dua bagian :

Pertama : al-aql an-nadzari (akal teoritis) sebagai lawan dari alaql al-‘amali, yaitu salah satu kekuatan yang ada dalam nafs. Yang memiliki kekuatan menalar wujud dan fenomena yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Aql nadzari memiliki empat tingkatan : aql hayula (hyle), aql bil-malak, aql bil-fi’il dan aql al-mustafad. Aql nadzari memiliki kemampuan berargumentasi, beristinbath (inferensi), mendefinisan sesuatu serta mengindra hal-hal yang kulli (universal) baik berupa tashawwur (gambaran) ataupun tashdiq (penegasan). Selain itu juga ia berperan  mencocokkan konsep dengan mishdaq-nya, menerapkan mayor terhadap yang minor, membagi dan menganalisa.

Kedua : Al-aql Al-‘amali adalah kekuatan dalam nafs manusia yang berperan menalar hal-hal yang wajib dilakukan serta fenomena-fenomena yang bersangkutan dengan perbuatan manusia.

 Para teolog mendefinisikan akal sebagai masyhurât; proposisi yang diterima oleh semua atau kebanyakan manusia atau proposisi-proposisi yang lazim diterima. Terkadang yang dimaksud dengan akal adalah otak yang berfungsi mengatur anggota badan untuk sampai kepada satu tujuan.

Yang menjadi pembahasan dalam hubungan akal dan agama, adalah akal dalam pengertian sebuah kekuatan berargumentasi (aql nadzari/akal teoritis)

 

Definisi Agama

Telah banyak perdebatan mengenai definisi agama yang terjadi di kalangan ulama baik muslim atau non-muslim. Bahkan sebagian berpendapat, kita sulit mendapatkan definisi yang bersifat jami’ wa mani’. Akan tetapi kita bisa mengambil benang-merah dari beberapa definisi yang disampaikan oleh para ilmuan.

Agama adalah serangkain aturan yang diturunkan oleh Tuhan lewat para nabi berupa wahyu yang bertujuan memberi hidayah kepada manusia. Kandungan agama ada yang bersifat ikhbâri (deskriptif) yaitu kabar tentang hakikat luar, ada atau tidak adanya, yang lain bersifat insyâ’i (imperatif) yaitu hakikat yang bersifat perintah atau larangan.

 

Sejarah Perjalanan Hubungan Akal dan Agama

A. Akal dan Agama di Dunia Barat

Di kalangan filosof barat terjadi pergolakan seru bersangkutan dengan hubungan antara akal dan agama. Kalangan filosof di abad pertengahan (medieval) berkeyakinan bahwa akal sebagai makhluk Tuhan selalu berjalan sejalan dengan agama. Tidak ada pertentangan antara akal dan agama.

Sebagian filosof masehi berkeyakinan bahwa wahyu ( agama ) telah memenuhi semua kebutuhan pengetahuan manusia, baik pengetahuan yang bersifat experimental, moral ataupun supra-natural. Berdasarkan pendapat ini akal dan filsafat sama sekali tidak memiliki tempat. Ketika Tuhan semuanya sudah memenuhi kebutuhan ini maka berfikir menjadi sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna.

Kelompok lain yang disponsori oleh Agustine dan Anselm, berkeyakinan bahwa untuk sampai kepada hakikat, tidak dimulai dari keyakinan akal kemudian iman, akan tetapi sebaliknya; langkah pertama adalah iman, dari wahyu dulu kemudian ke akal.

Para ilmuan abad pertengahan dengan mengikuti pendapat Plato membagi akal menjadi dua; akal partikular atau akal eksak dan akal universal. Adapun akal eksak dan pandang dunia matematis yang kemudian menjadi  trend di kalangan para ilmuan abad selanjutnya seperti Galileo, Newton dan Descartes.

Menurut pendapat mereka, akal memiliki kekuasaan mutlak dan di luar dari batasan wahyu. Sehingga berakibat larinya mereka dari agama Ilahi menuju agama natural dan menganut aliran Deisme. Akan tetapi kita menyaksikan adanya perkembangan di kalangan ilmuan dan menjadi tiga kelompok; kelompok pertama menerima keduanya (agama Ilahi dan agama natural ) dan berkeyakinan bahwa lewat wahyu dan aturan alami bisa menyampaikan manusia kepada Tuhan. Kelompok kedua, para pengikut agama natural yang cenderung bersikap apresiatif terhadap agama. Kelompok terakhir, terdiri dari ilmuan yang bersikap apresiatif terhadap keduanya, dan hanya mengakui kemampuan akal dalam menyelesaikan masalah ilmu pengetahuan dan agama.

Terjadi perbedaan menonjol antara kalangan filosof Rasionalisme abad 16-17 dengan para filosof Rasionalism abad 18-19. Para filosof Rasionalism abad 16-17  sebagai lawan dari kaum Empiris, sangat membela ajaran-ajaran Kristen. Seperti Descartes yang berpendapat bahwa mafhum (konsep) Tuhan tergolong kepada mafâhim fitri, atau Leibniz dan Malberns yang membuktikan wujud Tuhan dengan argumentasi-argumentasi akal. Sementara para filosof Rasionalism abad 18-19 meyakini bahwa keimanan akan keberadaan Tuhan tidak bisa dibuktikan lewat argumentasi-argumnetasi akal, melainkan lewat seliannya seperti lewat Psikologi, Sosiologi, Fideisme, pengalaman keagamaan (religious experience) dll. Seperti David Hume – filosof Inggris abad 18- dengan menolak hukum kausalitas beranggapan bahhwa pembelaan terhadap Kristen tidak mungkin bisa lewat argumentasi akal. Atau Kant serta para filosof Jerman seperti Kierkegaard, Hegel dan Husserl sehingga muncul faham-faham seperti Phenomenologi, Eksistensialism, Positivism Logic serta Language Analitic.

 

B.   Akal dan Agama di Dunia Islam

Islam adalah agama yang sangat menganjurkan umatnya untuk selalu berfikir dan menggunakan akalnya. Akal -sebagai mahkluk yang paling dicintai Tuhan dan merupakan hujjah dan rasul batin manusia- memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. Terdapat kelompok yang anti akal. Kelompok lainnya sangat memuja akal sehingga mereka lebih mengedepankan akal dari pada wahyu. Kelompok ketiga adalah kelompok tengah yang memadukan keduanya; baik di kalangan fuqaha, mutakallimin (teolog) ataupun kalangan filosof.

Kaum agamawan pada masa hidup nabi-nabi mereka -khususnya nabi Islam-tidak begitu banyak memperhatikan masalah akal, karena semua masalah keagamaan bisa langsung ditanyakan kepada para nabi. Berbeda halnya pada masa setelah wafat beliau.  Sebagian kaum agamawan ada juga yang menentang adanya campur tangan akal dan argumentasi akal dalam agama dan memperingatkan masyarakat agar tidak mempelajari Logika, Filsafat atau Ilmu Kalam. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa dengan menghindar dari akal dan argumentasi akal, akan mendekatkan manusia kepada kebenaran.

Di kalangan teolog Islam pun mengalami perbedaan pendapat ketika berbicara masalah keadilan Tuhan, kebaikan dan keburukan aqli

Perbedaan ini pun kita bisa saksikan terjadi di kalangan filosof. Seperti Al-Kindi berkeyakinan, jika filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu, maka pengingkaran terhadap filsafat berarti pengingkaran terhadap kenyataan/hakikat yang pada akhirnya bisa terjerumus kepada kekufuran.  Ia beranggapan bahwa antara agama dan filsafat adalah satu, ketika terjadi ta’arudl (kontradiksi) antara Filsafat dengan teks-teks agama, maka jalan keluarnya adalah lewat takwil ayat. Pendapat ini pun di ikuti oleh para filosof selanjutnya seperti Al-Farabi. Kecendrungan filosofis pun terus berlanjut, sehingga Al-Ghazali pun merasa terusik dan terpanggil untuk menyusun buku “ Tahafut Al-falasifah “, akan tetapi mendapat perlawanan dari Ibnu Rusyd dengan menulis tandingannya “ Tahafut at-tahafut”  sebagai jawaban dari buku Ghazali.

Pada masa-masa selanjutnya kita bisa menyaksikan para filosof yang tercerahkan mereka berhasil   membela ajaran wahyu lewat  argumentasi-argumentasi filosofis. Berhasil menciptakan tatanan filsafat yang pondasinya bersumber dari teks-teks agama.

 

Beberapa Faham Tentang Hubungan Akal dan Agama

Ada empat kelompok dalam menyikapi hubungan antara akal dan agama ;

Pertama, kelompok  Radical Rationalism. Menurut faham ini, seluruh doktrin-doktrin agama tanpa terkecuali bisa dibuktikan oleh akal. Dan syarat dari keimanan adalah dengan pembuktian ini. Akan tetapi faham ini memiliki dua kelemahan; banyak dari manusia yang tidak memiliki kemampuan untuk membuktikan semua doktrin yang ada dalam agama, terus bagaimana nasib orang-orang seperti ini? Kelemahan lain dari faham ini, mereka lupa bahwa ada hal-hal dalam agama yang sama sekali akal tidak sampai kesana (bukan bertentangan dengan akal). Mungkin bebebapa hal dalam agama seperti pembuktian pokok-pokok dari agama (tauhid, ma’ad, kenabian, dll) akal bisa membuktikannya,  akan tetapi masalah-masalah partikular (juz’i) akal tidak sampai kepadanya.

Kedua,  kelompok Fideism. Faham ini meyakini bahwa semua doktrin agama tidak membutuhkan kepada pembuktian dan analisa akal, keimanan bisa muncul tanpa perlu argumentasi dan penelitian akal. Satu agama bisa diterima tidak perlu kepada standart apapun. pendapat ini tidak bisa diterima karena pada masalah pokok-pokok agama (ushuluddin) tidak mungkin bisa diyakini tanpa terlebih dahulu ada pembuktian akal.

Ketiga, kelompok Critical Rationalism.  Dengan tidak menerima dua kelompok di atas, faham ini selain meyakini bahwa kemungkinan melakukan kritik dan penelitian terhadap agama juga menganggap bahwa tidak satupun dari ajaran agama yang kebenarannya definitif (qath’i) dan mutlak. Faham ini jelas tidak bisa diterima, dengan alasan bahwa sebagian dari doktrin-doktrin agama sesuai dengan hukum pertama akal, dan sudah dibuktikan oleh akal.

Keempat, kelompok Rasionalisme yang seimbang (Moderat Rationalism). Doktrin agama dibagi menjadi tiga kelompok; pertama ada yang sejalan dengan akal (dapat diterima oleh akal) seperti ushuluddin, konsep-konsep umum moral dan lain-lain. kedua ajaran agama yang di luar (bukan bertentangan ) dari jangkauan akal sepeti jumlah rakaat dalam shalat,  ketiga doktrin agama yang bertentangan dengan hukum akal seperti trinitas dalam Kristen, hal-hal ini tidak hanya bertentangan dengan akal bahkan dapat digugurkan oleh akal.

Sesuai dengan faham ini, sebagian dari pokok agama menjadi objek penelitian,  setelah memahami dengan betul, kita mencari premis-premis argument dengan bersandar kepada badihiyyât (hal-hal yang gamblang, aksioma) dalam rangka membuktikan masalah tersebut.

Setelah kita melihat kelemahan-kelemahan yang ada pada faham pertama, kedua dan ketiga, maka yang bisa kita terima adalah pendapat yang terakhir.

15 Juli 2012

PEMBERSIHAN HATI MENUJU MA’RIFAT TAUHID

oleh alifbraja

Adapun fase-fase yang harus ditempuh  kearah mencapai hakikat, mutashowif (muta’alim) dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase :

Fase 1. Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan melakukan amal ibadat yang dipardukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan Rosulullah Saw.

Fase 2. disebut amal batin atau moraqabah (mendekatkan diri pada Alloh) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli), memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah hati dan ruhani telah bersir dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada fase ini mutashowif didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.

Fase 3. disebut murhalah riadhah/ melatih diri dan mujahadah/ mendorong diri. Maksud dari dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin  untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali mengumpamakan seperti kaca cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang bersifat suci, sehgingga salih dapat menerima informasi hakiki tentang Alloh.

Fase 4. disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa mutashowif telah mencapai pada martabat menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq (syuhudul haqqi bil haqqi). Pada fase keempat ini, sebagai puncak segala perjalanan, maka didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”

Keempat fase ini adalah tahapan-tahapan secara garis besar dari semua guru-guru Tarekat, baik tarekat ‘Am maupun tharikat Khas, yang mesti dilakukan oleh mutshowif. Jika kita memandang rasi sudut tharikat Khas, dalam proses penyucian hati dengen metode suluk misalnya pandangan Tharekat Qadiriyah (Syekh Abdul-Qadir Ajjailani), dimana tarekat tersebut mengedepankan aspek praktis dalam berdzikir terutama dalam melantunkan asma’ Alloh secara berulang-ulang. Dalam pelaksanaannya terdapat berbagai tingkatan penekanan dan intensitas. Ada dzikir yang terdiri dari satu, dua, tiga, dan empat.

Dzikir yang dilakukan dengan satu gerakan dilakukan dengan mengulang-ulang Asma Alloh, melalui tarikan nafas panjang yang kuat, seolah-olah dihela dari tempat yang tinggi, diikuti penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sehingga nafas kembali normal. Hal ini harus diulang secara konsisten untuk waktu yang lama. Dzikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi shalat, kemudian melantunkan asma Alloh di dada sebelah kanan, lalu dijantung, dan kesemuanya dilakukan dengan berulang-ulang dengan intensitas tinggi. Hal ini dianggap efektif untuk meningkatkan konsentrsi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran yang kacau. Dzikir dengan ketiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang pembacaan asma Alloh di bagian dada sebelah kanan, kemudia di sebelah kiri, dan akhirnya di jantung. Kesemuanya itu dilakukan dengan intensitas yang lebih tinggi dan pengulang dan yang lebih sering. Dzikir dengan keempat gerakan dilakukan dengan duduk bersila dengan mengucapkan asma Alloh berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian disebelah kiri, lalu ditarik kerah jantung  dan terakhir dibaca di depan dada. Cara terakhir ini dilakukan dengan lebih kuat dan lebih lama.

Setelah melakukan dzikir, tarekat Qadiriyah menganjurkan untuk melakuakan apa yang disebut  pas-i anfas, yakni mengatur nafas sedemikian rupa sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan nafas, asma Alloh bersirkulasi didalam tubuh secar otomatis. Kemudian diikuti dengan muraqabah atau kontempalsi. Dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat al-Qur’an ataupun sifat-sifat Illahiyah tertentu hingga sungguh-sungguh terserap ke dalam konsentrasi.

Tarekat Sammaniyah juga memiliki pandangan mengenai suluk dalam hal ini tarekat Sammaniyah membagi dzikir kedalam empat metode yaitu : dzikir nafi isbat, dzikir asm al-jalalah, dzikir ism al-isyarah, dan dzikir khusus yaitu dzikir Ah-Ah.

Dzikir nafi Isbat. Dzikir ini dilakukan dengan mambaca la ilaha illAlloh. Kata la ilaha bermakna nafi atau di tiadakan. Sementara kata illa Alloh bermakna isbat tau penegasan, yakni merupakan satu-satunya yang abadi.  Dzikir nafi isbat biasanya diberikan kepad murid yang berada pada tingkat permulaan. Biasanya mutashowif berdzikir nafi isbat sebanyak 10-100 nkali setiap kali. Namun, bisa di tambah menjadi 300 klai setiap hari apabila tingkat atau maqam-nya sudah lebih tinggi. Dzikir ism al-jalalah. Dzikir ini dengan membaca Alloh-Alloh. Dzikir ini biasanya dikerjakan kepada murid yang telah menacapai tingkat khusus. Dzikir ini dilakukan antara 40, 101, atau 300 kali sehari. Dzikir asm al-isyarah. Dzikir ini dengan membaca Huwa-Huwa. Dzikir ini diberikan kepada murid kepad murid yang telah ,menacapai tingkat tinggi, atau yang sudah mejadi mursyid. Jumlah dzikirnya antara 100-700 kali setiap hari. Tetapi, umumnya mereka memebaca dzikir ini sebanyak 300 kali setiap hari. Dzikir khuhus. Yakni dengan membaca Ah-Ah. Dzikir ini hanya diberikan kepada murid yang telah menjadi mursyid dan telah menacapai maqam tertinggi karena sudah Ma’rifat. Jumlah dzikir yang diwajibkan adalah antara 100-700 kali setiap hari.

Tidak jauh berbeda dengan tarekat Chistiyah, Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Syattariyah, Khalwatiyah, Sydziliyah dan tarekat-tarekat Muktabarah lainnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa semua tarekat Muktabarah yang berkembang di dunia Islam merujuk pada dua bentuk suluk.

  1. Suluk dalam berntuk Riyadhah ريضةyakni melatih jiwa secara metodik berdasarkan ajaran tarekat yang di pegangnya baik Tharekat ‘Am maupun Khos.

  2. Suluk dalam bentuk ibadah عبدةyakni yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Atha’illah dalam al-Hikam yaitu memperbanyak dan menjadikan segala sesuatu yang mubah sebagai niat ibadah kepada Alloh, sebagaimana hikmah yang di tulisnya sebagai berikut :

مَنْ اَشْرَ قَتْ بِدَا َيتُهُ اَشْرَقَتْ نِهَا يَتُهُ

Artinya : “barang siapa bercahaya pada permulaannya, niscaya bercahaya pada akhirnya”

Orang yang giat beribadah kepada Alloh dengan niat yang ikhlas itu bisa mengantarkan dirinya kepada Alloh. Karena pada permulaannya bercahaya (giat beribadah) itulah satu-satunya jalan untuk menempuh Ma’rifat kepada Alloh yang pada akhirnya bercahaya (bisa membuahkan Ma’rifat –dan Ma’rifat kepada Alloh itu mempunyai macam-macam sifat terpuji. Dan sifat-sifat yang terpuji itu bisa membuahkan kebahgiaan dunia dan akhirat. Kegiatan beribadah kepada Alloh dengan ikhlas itu adalah salah satu pokok  yang terpenting dalam mencapai kebahagiaan, karena dia bisa berma’rifat kepada-nya dan dapat berkomunikasi dengan-Nya

Mengenai Suluk riyadhah tidak jauh berbeda dengan pembicaraan suluk ibadah. Yang menjadi titik perbedaannya yakni suluk ibadah lebih mengedepankan proses penyucian jiwa kearah memperbanyak ibadah, baik ibadah dalam bentuk mahdzoh seperti shalat, puasa, naik haji maupun ghaer mahdzoh seperti sedekah, zakat, bebuat baik sesama manusia dan lain sebagainya. Sedangkan  suluk riyadhah melakukan penyucian jiwa lebih kepada aspek hati (qalb) seperti uzlah, khalwat, berdiam, berpuasa sunat, menjauhi maksiat, memperbanyak Dzikir kepada Alloh, Tajarud ‘aniddunya, lapar, meninggalkan syahwat, dan sebagianya. Namun dari kedua bentuk suluk tersebut memiliki persamaan yaitu bertujuan untuk mensucikan jiwa dari berbagai penyakit ruhani dan jasmani, sampai mendapat karunia Ma’rifat dari Alloh SWT.

Ibnu ‘Atha’illah menganjurkan kepada mutashowif yang ingin mencapai ma’rifat agar menempuh tujuh langkah dan senantiasa bersungguh-sungguh (al-Juhd), merendahkan diri keada Alloh (al-taddharu), membakar hawa nafsu (ahrtiraq al-nafs), kembali dan taubat kepada Alloh (al-inabah), senantiasa sabar (al-sabr), selalu bersyukur pada nikmat Alloh (al-sykr), dan senantisa rela atas takdir dan ketentuan Alloh (al-ridha), Alloh akan tetap menjalankan takdir-Nya kepada hamba-Nya baik diminta ataupun tidak, maka cukuplah bagi seorang hamba untuk berserah diri kepada Alloh dan Dia akan mencukupi hamba-Nya yang senantisa tawakal.

Ibnu ‘Atha’illah juga mengatakan “janganlah engkau tinggalkan dzikir dikarenakan engkau tidak merasakan kehadiran Alloh dalam dzikir tersebut, sebab kelalaianmu terhadap-Nya dengantidak ada dzikir kepada-Nya itu lebih berbahaya daripada kelalaianmu terhadap-Nya dengan adanya dzikir kepada-Nya”. Dzikir adalah sebaik-baiknya jalan menju Alloh Swt. Jadi tidak boleh ditinggalkan walaupun tidak sedang konsentrasi penuh. Dzikir sebaiknya adalah dengan menghadirkan tuhan dalam hati, sehingga mampu melupakan segalanya selain Alloh Swt.

Dzikir merupakan metode yang efektif untuk membersihkan hati. Menurut Ibnu ‘Atha’illah orang yang berdzikir itu ada yang menggunakan lisan (dzikir al-dzahir atau dzikir huruf atau dzikir al-zahr), ada dzikir hati (dzikir al-qalb atau dzikir al-sirr atau dzikir al-khafi), dan ada pula dzikir anggota badan (dzikir a’dha al-abdan atau dzikir al-jawarih).

13 Juli 2012

Tiga Tanda Kematian

oleh alifbraja

SINOPSIS KEMATIAN

Inilah Tiga Tanda Kematian
Korban meninggal dunia (ilustrasi)

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bersahabat dengan Nabi Ya’kub AS. Suatu ketika Nabi Ya’kub berkata kepada malaikat maut. Aku menginginkan sesuatu yang harus kamu penuhi sebagai tanda persaudaraan kita.

Apakah itu? tanya malaikat maut. Jika ajalku telah dekat, beri tahu aku. Malaikat maut berkata, Baik aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirim satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku. Setelah mereka bersepakat, mereka kemudian berpisah.

Setelah beberapa lama, malaikat maut kembali menemui Nabi Ya’kub. Kemudian, Nabi Ya’kub bertanya, Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?

Aku datang untuk mencabut nyawamu. Jawab malaikat maut. Lalu, mana ketiga utusanmu? tanya Nabi Ya’kub. Sudah kukirim. Jawab malaikat, Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya’kub, itulah utusanku untuk setiap bani Adam.

Kisah tersebut di atas mengingatkan tentang tiga tanda kematian yang akan selalu menemui kita, yaitu memutihnya rambut; melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Jika ketiga atau salah satunya sudah ada pada diri kita, itu berarti malaikat maut telah mengirimkan utusannya. Karena itu, setiap Muslim hendaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi utusan tersebut.

Kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap manusia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. (QS Ali Imran [3]: 185).

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan. (HR Tirmidzi).
Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Definasi kematian adalah bererti AJAL. Juga dikenali sebagai fana, maut, meninggal dunia, mati atau mangkat. Ajal adalah penamat muktamad bagi fungsi biologi yang mentakrifkan organisma kehidupan. Ia merujuk kepada peristiwa tertentu dan kepada keadaan yang berterusan yang menyebabkannya.

Sifat semulajadi bagi ajal telah menjadi tumpuan utama bagi ugama dunia tradisi dan falsafah. Ugama, tanpa pengecualian mengekalkan keyakinan dalam samaada kehidupan selepas mati atau kelahiran semula. Sains semasa menganggap kematian organisma sebagai muktamad menurut istilah. Kesan kematian fizikal pada sebarang minda atau roh tanpa fizikal kekal soalan tanpa jawapan.

KEMATIAN adalah perkara yang pasti, tanpa mengenal bangsa, kedudukan dan kekayaan, cuma ajal maut itu tidak diketahui bila waktunya hanya tuhan maha mengetahui dan ia berlaku dengan pelbagai cara sama ada disebabkan menghadapi sesuatu penyakit, kemalangan atau kematian mengejut.

Tiada siapa boleh melarikan diri daripada menghadapi kematian dan mereka tidak mempunyai kuasa untuk mempercepat atau menangguhkan. Setiap manusia perlu sentiasa bersiap sedia terutama dari segi amalan supaya kematian disambut dalam keadaan yang bebas daripada sebarang dosa. Manusia yang tenggelam dalam kemewahan duniawi, dikuasai hawa nafsu dan maksiat, mungkin tidak begitu memikirkan mengenai kematian.

Bagaimanapun, bagi mereka yang sentiasa mengingati kematian, akan lebih berwaspada menghadapi liku kehidupan dan berusaha menurut perintah Allah serta meninggalkan segala larangannya.

Cara terbaik untuk mengingati kematian antaranya, perlu menziarahi kubur kerana ia dapat membantu kita mengingatkan mengenai nasib yang sama menghadapi kematian, menziarahi orang sakit serta menghadiri majlis pengkebumian.

Mengingati kematian hanya sekadar meyakinkan ajal pasti tiba dan perlu mempersiapkan diri menghadapinya, selain menimbulkan ketenangan jiwa dengan kesulitan. Ini sekali gus memberi kesedaran kesenangan berbentuk duniawi tidak kekal. Hanya kehidupan di akhirat yang kekal abadi. Ini dapat menggerakkan jiwanya untuk mempergunakan segala kesenangan di dunia demi mencapai kebahagiaan di akhirat.

Rasulullah mengkategorikan insan yang sentiasa mengingatkan kematian sebagai manusia paling bijaksana. Bagi menghadapi kematian itu, seseorang itu perlu bertaubat kerana kehidupan kita tidak sunyi daripada melakukan perkara yang menyalahi syariat Islam terutama kalangan mereka yang hanyut dengan perbuatan maksiat. Keinginan bertaubat hanya akan terdetik apabila timbul kesedaran perbuatan itu salah, boleh menghancurkan hidup, meragut kebahagiaan di akhirat, membunuh jiwa serta punca regang hubungan dengan Allah.

Namun, bertaubat akan mudah dilakukan dengan menyedari kesalahan dilakukan dan berazam untuk memperbaiki serta menjauhi perbuatan yang melanggar syariat. Bagaimanapun, bagi memastikan taubat itu diterima, sewajarnya, mereka menghentikan segala maksiat, menyesal atas perbuatan dilakukan dan berazam bersungguh tidak mengulangi.

Apa yang pasti, amalan bertaubat itu akan dapat menyucikan diri daripada dosa dan Allah mengasihi mereka, sikap segera bertaubat adalah ciri-ciri orang orang berjaya, dapat menghindarkan diri menerima azab pedih di dunia dan akhirat dan akan bebas dari sifat golongan orang yang zalim.

tanda+kematian

TANDA-TANDA KEMATIAN

“Gambar Jenazah Seorang Pemuda Yang Mana Jasadnya telah di keluarkan semula selepas 3 jam ia dikebumikan, naauzubillah..! 

  

Adapun tanda-tanda ini terbahagi kepada beberapa keadaan : 

Tanda 100 hari sebelum hari mati

Ini adalah tanda pertama dari Allah SWT kepada hambanya dan hanya akan disedari oleh mereka-mereka yang dikehendakinya. Walaubagaimanapun semua orang Islam akan mendapat tanda ini cuma samada mereka sedar atau tidak sahaja. Tanda ini akan berlaku lazimnya selepas waktu Asar Seluruh tubuh iaitu dari hujung rambut sehingga ke hujung kaki akan mengalami getaran atau seakan-akan mengigil.

Contohnya seperti daging lembu yang baru disembelih dimana jika diperhatikan dengan teliti kita akan mendapati daging tersebut seakan-akan bergetar. Tanda ini rasanya lazat dan bagi mereka sedar dan berdetik di hati bahawa mungkin ini adalah tanda mati maka getaran ini akan berhenti dan hilang setelah kita sedar akan kehadiran tanda ini. Bagi mereka yang tidak diberi kesedaran atau mereka yang hanyut dengan kenikmatan tanpa memikirkan soal kematian , tanda ini akan lenyap begitu sahaja tanpa sebarang munafaat. Bagi yang sedar dengan kehadiran tanda ini maka ini adalah peluang terbaik untuk memunafaatkan masa yang ada untuk mempersiapkan diri dengan amalan dan urusan yang akan dibawa atau ditinggalkan sesudah mati. 

Tanda 40 hari sebelum hari mati 

Tanda ini juga akan berlaku sesudah waktu Asar. Bahagian pusat kita akan berdenyut-denyut. Pada ketika ini daun yang tertulis nama kita akan gugur dari pokok yang letaknya di atas Arash Allah SWT. Maka malaikatmaut akan mengambil daun tersebut dan mula membuat persediaannya ke atas kita antaranya ialah ia akan mula mengikuti kita sepanjang masa. Akan terjadi malaikatmaut ini akan memperlihatkan wajahnya 
sekilas lalu dan jika ini terjadi, mereka yang terpilih ini akan merasakan seakan-akan bingung seketika. Adapun malaikatmaut ini wujudnya cuma seorang tetapi kuasanya untuk mencabut nyawa adalah bersamaan dengan jumlah nyawa yang akan dicabutnya. 

Tanda 7 hari 

Adapun tanda ini akan diberikan hanya kepada mereka yang diuji dengan musibah kesakitan di mana orang sakit yang tidak makan secara tiba-tiba ianya berselera untuk makan. 

Tanda 3 hari 

Pada ketika ini akan terasa denyutan di bahagian tengah dahi kita iaitu diantara dahi kanan dan kiri. Jika tanda ini dapat dikesan maka berpuasalah kita selepas itu supaya perut kita tidak mengandungi banyak najis dan ini akan memudahkan urusan orang yang akan memandikan kita nanti. Ketika ini juga mata hitam kita tidak akan bersinar lagi dan bagi orang yang sakit hidungnya akan perlahan-lahan jatuh dan ini dapat dikesan jika kita melihatnya dari bahagian sisi. Telinganya akan layu dimana bahagian hujungnya akan beransur-ansur masuk ke dalam. Telapak kakinya yang terlunjur akan perlahan-lahan jatuh ke depan dan sukar ditegakkan. 

Tanda 1 hari 

Akan berlaku sesudah waktu Asar di mana kita akan merasakan satu denyutan di sebelah belakang iaitu di kawasan ubun-ubun di mana ini menandakan kita tidak akan sempat untuk menemui waktu Asar keesokan harinya. 

Tanda akhir 

Akan berlaku keadaan di mana kita akan merasakan satu keadaan sejuk di bahagian pusat dan ianya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke ahagian halkum. Ketika ini hendaklah kita terus mengucap kalimah syahadah dan berdiam diri dan menantikan kedatangan malaikatmaut untuk menjemput kita kembali Kepada Allah SWT yang telah menghidupkan kita dan sekarang akan mematikan pula.