Posts tagged ‘salawat’

3 Juli 2012

PENJELASAN TENTANG WUJUD‘ARDH PADA MAHIYYAH

oleh alifbraja

PENJELASAN TENTANG WUJUD‘ARDH PADA MAHIYYAH

 

                                                     

 
                         Segala puji bagi Allah Swt, yang hakikat pujian hanya terbatas pada-Nya. Salawat dan salam atas rasul-Nya Muhammad Saw sebaik-baik makhluk-Nya dan salawat serta salam juga atas keluarga Nabi-Nya yang suci dari Ahlibait dan Fitrahnya As.

Definisi Hikmah Ilahiyyah:

Hikmah Ilahiyyah adalah suatu ilmu yang membahas keadaan eksisten sebagaimana ia eksisten(ahwalul maujud bima huwa maujud).

Subyek Hikmah Ilahiyyah:

Yang dibahas dalam disiplin ilmu ini yakni yang termasuk sebagai ’aradh dzatinya, yaitu eksisten sebagaimana ia eksisten(wujud mutlak).

Penjelasan: Dalam ilmu logika Aristotelian, predikat dibagi atas dua bagian:

1. Predikat dzati (’aradh dzati)

2. Predikat non-dzati (’aradh gharib)

Yang dimaksud dengan predikat dzati (esensial) adalah suatu predikat yang tidak dapat dipisahkan dari dzat subyek (mustahil dipisahkan dari dzat subyek). Sebab itu setiap kali kita hubungkan suatu predikat dengan dzat suatu subyek, dan kita lihat bahwa mempredikasikan predikat tersebut atas subyek itu adalah dharuri dan mustahil subyek itu diasumsikan tanpa memiliki predikat tersebut, maka predikat tersebut termasuk dzati subyek itu.

Sebaliknya suatu predikat yang dihubungkan dengan suatu subyek tidak menunjukkan hal seperti tersebut di atas, maka predikat ini termasuk predikat non-dzati atau predikat ini disebut sebagai ’aradh gharib (asing). Contoh bagi yang pertama (’aradh dzati) seperti imkan, hewan dan nâtiq dihubungkan pada manusia, sedangkan contoh bagi yang kedua (’aradh gharib) seperti warna hitam dan ukuran tinggi direlasikan pada manusia.

Tujuan Hikmah Ilahiyah:

Memahami eksisten-eksisten dalam bentuk universal (kulli) dan membedakan eksisten-eksisten hakiki dari non-hakiki (iktibari, persepsi mental).

Uraian pembahasan:

Sesungguhnya manusia mendapatkan dirinya, bahwa pada dirinya terdapat hakikat dan realitas, dan sesungguhnya di luar dirinya juga terdapat hakikat dan relitas. Manusia juga menemukan di dalam dirinya perasaan ingin tahu terhadap hakikat dan realitas tersebut. Oleh sebab itu manusia tidak mencari sesuatu (suatu obyek) dan tidak menjadi tujuannya kecuali dari sisi bahwa sesuatu itu (obyek itu) memiliki realitas, dan manusia tidak lari dari sesuatu dan tidak menghindar darinya (menolaknya) kecuali karena sesuatu itu memiliki hakikat.

Anak kecil (bayi) yang mencari susu ibu misalnya, sesungguhnya ia mencari sesuatu yang hakikatnya adalah susu, bukan sesuatu yang hanya merupakan tawahhum (imajinasi) bahwa itu adalah susu. Dan manusia yang lari dari singa, sesungguhnya ia lari dari sesuatu yang hakikatnya adalah singa, bukan sesuatu yang hanya tawahhum (imajinasi) dan khurafat (supertisi). Akan tetapi manusia terkadang salah dalam pandangannya, ia memandang sesuatu yang tidak benar adalah benar (hak) serta memiliki relaitas di luar seperti keberuntungan (lucky) dan raksasa khayalan, atau sebaliknya manusia meyakini sesuatu yang benar dan memiliki realitas di luar sebagai sesuatu yang batil dan khurafat seperti jiwa non-materi dan akal non-materi. Oleh sebab itu setiap kali manusia ingin menghukumi validitas sesuatu dan realitas sesuatu, ia harus dan mesti terlebih dahulu meneliti serta mengobservasi keadaan maujud sebagaimana ia maujud dan mendapatkan keadaan hakikat maujud, sehingga dengan perantaraan keadaan maujud (hakikat maujud) ia dapat membedakan sesuatu yang maujud secara rill dengan sesuatu yang tidak maujud secara rill. Dan ilmu yang bertanggung jawab membahas masalah ini, adalah hikmah ilahiyah.

Dengan demikian ilmu hikmah ilahiyah (filsafat) adalah ilmu yang membahas keadaan eksisten qua (sebagaimana ia) eksisten–al ahwâlul maujud- dan ilmu ini juga dinamakan sebagai falsafah uulâ (filsafat pertama) dan ilmu a`alâ (ilmu transendental). Subjek ilmu ini adalah eksisten qua (sebagaimana ia) eksisten–al maujud bima huwa maujud-. Tujuan hikmah ilahiyah adalah untuk membedakan maujud-maujud hakiki dari yang non hakiki, dan makrifat (kognisi) sebab-sebab `aliyah (transenden) bagi wujud, khususnya makrifat (kognisi) sebab pertama (kausa prima) yang kepada-Nya berakhir silsilah seluruh maujud, dan makrifat pada nama-nama-Nya yang baik (al-asmaul husnâ) dan sifat-sifat-Nya yang agung, dan Dia adalah Allah yang mulia nama-Nya

 

                                                                 

Maksud dari wujud ‘aaridh pada kuiditas (mahiyyah) adalah makna yang dipahami dari wujud, bukan (tidak sama) makna yang dipahami dari kuiditas (mahiyyah) (yakni kita dapat mengkonsepsi kata wujud dan kuiditas atau mahiyah secara terpisah di dalam mental, meskipun di alam luar keduanya tidak terpisahkan). Maka akal dapat mengabstraksikan mahiyah – dan ia (mahiyyah) apa yang dikatakan dalam menjawab pertanyaan : apa ia? (keapaan sesuatu) – dari wujud. Akal memperhitungkan kuiditas (mahiyyah) secara sendiri (terpisah) dari wujud, dan mengkonsepsinya, kemudian menyifatkannya dengan wujud -dan ini adalah makna dari ‘urudh -. Maka wujud bukanlah mahiyah itu sendiri, dan wujud bukan pula bagian dari kuiditas dan mahiyah.

Adapun dalil-dalilnya:

1. Menegaskan wujud dari mahiyah adalah benar (sahih), sekiranya wujud adalah kuiditas itu sendiri atau bagian dari kuiditas, maka penegasian wujud dari kuiditas tidak dapat dilakukan (tidak benar dilakukan), sebab mustahil sesuatu itu dinegasikan dari dirinya atau bagian dari dirinya.

2. Mempredikasikan wujud atas kuditas / keterangan yg butuh kepada dalil, maka itu wujud bukan kuiditas itu sendiri dan bukan bagian darinya, sebab dzatnya sesuatu dan esensinya (dzat) sesuatu jelas tsubut (tetap) baginya, yakni tidak butuh kepada dalil.

3. Dzat (esensi) pada insan adalah jelas tsubut-nya (tetapnya) bagi insan, dan dzati (jamaknya dzatiyyât) (esensial) seperti hewan dan nâtiq pada insan adalah juga jelas tsubut-nya bagi insan.

4. Kuiditas dinisbahkan terhadap wujud (ada) dan ‘adam (ketiadaan) adalah sama, sekiranya wujud adalah kuiditas itu sendiri atau bagian darinya maka mustahil kuditas dinisbahkan pada ‘adam yang merupakan kotradiksi dari wujud (kuiditas ditinjau dari sisi sebagaimana ia bukanlah sesuatu yang mustahil ada atau tidak ada, sebab itu kuiditas dinisbahkan pada wujud dan ketiadaan (‘adam) memiliki kondisi yang sama).