Posts tagged ‘hakikat muhammad’

6 Oktober 2012

NUR MUHAMMAD DAN MUHAMMAD SAW

oleh alifbraja
sesungguhnya Allah Swt. sebelum menciptakan segala sesuatu, terlebih dahulu menciptakan cahaya nabimu dari Nur Allah (Hadis)
 
Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis).
 
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, Ana min nurullaahi, wa khalaq kuluhum min nuuri—”Aku berasal dari cahaya Allah, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Dalam hadis lain dari Ibnu Abbas disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy, yang ketika itu masih berwujud nur (cahaya), di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah…”
Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.” 
 
Tetapi kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri alam sebenarnya tidak ada. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa. Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul dalam eksistensi ini diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami sekaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi, yakni Nur Muhammad. Jadi yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhammad adalah sebentuk “pembatasan” (ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah diciptakan, tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad berasal dari Nur Allah. Karena fungsinya sebagai prototipe aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhammad adalah wadah tajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang mengatur tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis masyhur lainnya, “Yang pertama diciptakan Allah adalah akal (aql al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang senantiasa dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah alam semesta ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan Nur itu, Allah menatap Nur Muhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-menerus dilimpahi Cahaya Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus berdatangan—cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad. Karenanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari doa Nabi yang termasyhur, “Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos, kecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang tentu pengetahuan yang diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah, hingga akhir zaman.
 
Di dalam Nur Muhammad ini termuat al-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas yang mungkin). Entitas yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk alam empiris melalui perintah “kun”. Tetapi tujuan penciptaan belum tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang bening bagi Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad yang kedua berperan, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil
 
Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad (lihat kembali bab satu) menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari. 
 
Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).” 
 
Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fana dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan dengan Tuhan.
 
Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.” 
 
Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah manifestasi, atau tajalli sempurna, insan kamil, dari Allah, tetap saja Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan bukanlah Prinsip yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan antara manusia dan Tuhan dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw. 
 
Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah). 
 
Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj. 
 
Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir.
Shalat adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari mata rantai kenabian. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa shalat akan mengangkat hijab, membuka pintu kasyaf, sehingga hamba-Nya berdiri di hadapan-Nya. Rasulullah juga berkata, “Di dalam shalatlah terletak kesenanganku.” Sebab, shalat adalah bentuk percakapan rahasia antara Allah dengan hamba. “Percakapan” ini terutama melalui bacaan Induk Kitab Suci, Surah Al-Fatihah. Surah ini terdiri dari dua bagian: yang pertama dikhususkan bagi Allah dan yang kedua dikhususkan bagi hamba-Nya. Dua bagian percakapan ini disebutkan dalam hadis yang masyhur di kalangan Sufi:
Aku membagi shalat menjadi dua bagian di antara Aku dan hamba-Ku, setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku. (Rasulullah bersabda}”Ketika hamba berucap alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika hamba berucap Ar-Rahman Ar-Rahim, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuja-Ku.’ Ketika hamba berucap maliki yaumiddin, Allah berkata ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku.’ Ketika hamba berucap Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah berkata ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku.’ Ketika hamba berkata ihdinash shiratal mustaqim—sampai akhir ayat, Allah berkata ‘Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.’ 
 
Shalat bisa dilihat dari dua sisi. Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan shalat bukan sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Allah dan merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal Allah, dan Muslim melakukan shalat untuk “menulis” hakikat diri. Ini berarti pula bahwa dengan shalat seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti sebuah pena yang mengalirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang “ditulis” dalam shalat adalah hakikat kemanusiaan, adam, yakni bahwa manusia sesungguhnya adalah “adam” atau tiada, dan eksistensinya muncul adalah lantaran eksistensi Allah yang dipancarkan melalui Nur Muhammad. Dalam salah satu tafsir Sufi, posisi berdiri tegak lurus melambangkan huruf alif; posisi rukuk melambangkan huruf dal; dan sujud melambangkan huruf mim. Ketiga huruf ini membentuk kata “adam”. Huruf alif bernilai numerik satu yang melambangkan keesaan Tuhan. Karenanya begitu seseorang mengangkat tangannya dan berseru “Allahu Akbar,” ia sama artinya dengan “mengorbankan” diri dalam kesatuan. Jika kesadaran tertentu telah dicapai dalam tingkatan keesaan, maka ia akan menunduk, yang mencapai puncaknya dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih rendah daripada hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek sekunder dalam mendekati Tuhan, sebab “alam semesta tak bisa menampung Allah, hanya hati yang bisa menampung Allah” (hadis qudsi). 
 
Sujud melambangkan penghapusan diri. Diri yang mengaku-aku, begitu berhadapan dengan Tuhan yang Esa dan bercakap intim dengan-Nya, menjadi sadar akan hakikat dirinya sendiri. Maka dia sujud, menghapuskan diri, fana. Ada dua kali sujud dalam setiap rakaat, yang berarti sang hamba tenggelam dalam fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Penghapusan pertama dihapuskan lagi, dan jadilah dia pada baqa. Fana al-fana menjadikan seseorang adam, “tiada,” yang merupakan hakikat dirinya, dan karena kehapusan diri ini berada dalam pandangan Allah maka ia hapus dalam keabadian Allah, baqa, sehingga ia mengalami hidup yang sebenarnya. Sebab, pelenyapan diri dalam Keesaan Allah berarti pula baqa “bersama” Allah. Dengan kata lain, seorang yang sujud dalam arti sebenar-benarnya ini akan keluar dari kesementaraa dunia, dan masuk ke hari-hari di sisi Tuhan, atau yaumiddin. Jadinya, akhirat (yaumiddin), bagi seorang sufi, bukanlah waktu di ujung waktu temporal dunia, tetapi dialami pada momen “saat ini”. Sufi adalah putra waktu (Ibnu al-waqt), demikian salah satu prinsip Tasawuf. Karena secara hakikat sudah “melampaui ruang dan waktu,” maka Sufi sama artinya melakukan shalat yang berkekalan, “shalat daim”. 
 
Di sisi lain, yakni dalam pengertian shalat sebagai doa, ketika Muhammad diperintahkan shalat, maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Allah adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan dari Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia kepada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan ini, yang berarti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan Tuhan. Di sinilah terletak fungsi shalawat. 
 
Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan menuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalitas eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad.
\
Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam). Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan untuk “menghidupkan” hati dan membersihkan hati agar terserap dalam Nur Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu akan dikembalikan kepada pemohonnya.” 
 
Shalawat yang diamalkan oleh Sufi dan terutama dalam tarekat-tarekat amat banyak macamnya—bisa mencapai ratusan. Imam Jazuli mengumpulkan sebagian di antaranya dalam kitabnya yang terkenal, Dala’il Khairat. Sebagian lafaz shalawat ini tidak dijumpai dalam hadis standar (sahih), dan karenanya sebagian fuqaha menyebut shalawat dari para Sufi adalah bidah. Ini tidak mengherankan karena para fuqaha, yang gagal, atau bahkan tidak mau melampaui sudut pandangnya sendiri, tidak mengakui kasyaf yang menjadi dasar dari bermacam-macam shalawat. Sebagian shalawat Sufi diperoleh dari ilham rabbani, atau kasyaf rabbani, atau dari mimpi yang benar (ru’ya as-shadiqah), di mana dalam kondisi itu para Sufi bertemu atau bermimpi bertemu dengan Nabi dan diajarkan lafaz shalawat tertentu dan disuruh untuk menyebarkannya. Karena itu susunan kata dalam shalawat Sufi bervariasi, dan sebagian besar mengandung kalimat yang indah, puitis, yang mengandung misteri dari hakikat Muhammad, Nur Muhammad, atau misteri fungsi kerasulan dan kenabian Muhammad pada umumnya. 
 
Penulis pernah ditunjukkan oleh seorang kyai, yang oleh sebagian sudah dianggap berkedudukan Wali Allah, sebuah buku catatan berisi banyak sekali lafaz shalawat yang khusus, misalnya, ada shalawat yang menjadi wasilah untuk mendapatkan ilmu ladunni dan ada juga shalawat untuk menggapai mukasyafah (menyingkap tirai kegaiban spiritual). 
 
Salah satu contoh lain shalawat khusus adalah shalawat terkenal, shalawat Al-Fatih, yang menjadi amalan penting bagi beberapa tarekat seperti Syadiziliyyah dan Tijaniyyah. Menurut sebagian keterangan, Lafaz shalawat ini diilhamkan kepada Syekh Muhammad Al-Bakri r.a., dalam bentuk tulisan di atas lembaran cahaya, ketika Syekh Al-Bakri melakukan khalwat di Kakbah untuk mencari petunjuk cara terbaik bershalawat kepada Nabi. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut:
 
Ya Allah, curahkan rahmat dan keselamatan serta berkah atas junjungan kami Nabi Muhammad saw yang dapat membuka sesuatu yang terkunci, penutup dari semua yang terdahulu, penolong kebenaran dengan jalan yang benar, dan petunjuk kepada jalan-Mu yang lurus. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada beliau, keluarganya dan semua sahabatnya dengan sebenar-benar kekuasaan-Nya Yang Mahaagung.
 
Dalam shalawat ini terangkum banyak hal yang melambangkan misteri kerasulan Muhammad Saw. Sebagian shalawat lain bahkan lebih jelas lagi dalam susunan katanya yang mengakui fungsi hakikat risalah kenabian, seperti: nabi sebagai cahaya Dzat-Nya (shalawat nur al-dzati); yang melapangkan rezeki dan membaguskan akhlak (shalawat litausil arzaq); pengumpul atau kumpulan kesempurnaan (shalawat jauhar asy syaraf); yang memecah-belah barisan orang kafir (shalawat al-muffariq); pemenuh hajat, pengangkat derajat, pengantar ke tujuan mulia (shalawat munjiyat); penghilang keruwetan, pencurah hujan rahmat (shalawat nariyah); penyembuh penyakit hati dan jasmani, cahaya badan (shalawat syifa dan tibbul qulub); dan sebagainya. Bahkan ada shalawat khusus yang hanya untuk penerimanya saja, dan karenanya tak diajarkan kepada orang lain. Shalawat semacam ini biasanya berkaitan dengan kedudukan atau maqam sang Sufi atau Wali itu sendiri. Shalawat rahasia ini mengandung doa dan pujian yang “mengerikan” dari perspektif apapun. Penulis pernah mendengar keterangan shalawat dari seorang Wali Allah, yang dalam artinya mengandung pernyataan “penyatuan atau pencampuran” ruh seseorang dengan ruh Muhammad.
 
Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “terhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya, atau dengan kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendaharaan Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya, dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah tertentu untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan misteri yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya. Misalnya, shalawat Fatih di atas diyakini memiliki pelebur dosa, meluaskan rezeki, bertemu nabi dalam mimpi dan bahkan dalam keadaan terjaga, dan dibebaskan dari api neraka. Contoh lainnya yang masyhur adalah Shalawat Nariyyah, yang menjadi amalan banyak Wali Allah dan juga umat Muslim awam. Diriwayatkan bahwa shalawat ini bisa dengan cepat mendatangkan hajat jika dibaca sebanyak 4444 kali dalam sekali duduk. Seorang putra dari Wali Allah menyatakan bahwa jumlah bacaan shalawat ini tergantung pula pada niatnya. Misalnya, masih menurut beliau, jika kita membacanya dengan niat agar bisa mukasyafah (terbuka hijab gaib), dianjurkan sering-sering membaca 4444 kali dalam sekali duduk, atau setiap malam 313 kali secara istiqamah.
Proses kita menuju totalitas tersebut merupakan upaya untuk menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan harmonis melalui perantaraan (barzakh) Rasul. Ini adalah salah satu aspek dari fana fi-rasul. Seorang Sufi atau Wali Allah yang telah mencapai taraf fana fi-Rasul, atau “menyatu” dengan Nur Muhammad, maka ia akan merasakan kehadiran Muhammad bahkan dalam keadaan terjaga, dan bercakap-cakap dengannya. Imam al-Haddad, sang penyusun amalan “Ratib Haddad” yang termasyhur itu, menurut riwayat pernah berziarah ke makam Rasulullah dan mengucapkan salam. Lalu terdengar jawaban dari Nabi atas salam itu. Semua yang hadir bisa mendengarkan jawaban itu. 
Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi dan halus, sebagian Sufi melalui penglihatan batinnya (kasyaf) mereka bisa melihat sosok seorang Sufi sama persis dengan sosok Muhammad, baik dalam bentuk tubuh maupun parasnya. Abu Bakar Syibli, misalnya, dalam keadaan fana mengatakan “Aku adalah Rasulullah.” Pada saat itu salah seorang muridnya melihat Sybli dalam rupa Muhammad seperti yang pernah disaksikan dalam mimpinya dan kasyafnya. Maka mendengar sang guru berkata seperti itu, secara spontan ia menjawab “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Samman. Ketika Syekh Samman sedang fana ia akan terus memuji Muhammad saw dengan membaca shalawat yang menguraikan hakikat Muhammad, yakni shalawat Sammaniyah. Pada keadaan ini kadang beliau berucap, “Aku adalah Muhammad yang dituju” atau “Aku adalah Nabi Muhammad dan Nur Muhammad,” dan “jasadku mirip dengan jasad Muhammad.” 
Salah satu contoh lagi isyarat rahasia terdalam dari Nur Muhammad ini dialami oleh salah seorang murid dari Wali Allah Syekh As-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qamaruzzaman. Dalam sebuah mimpi ia melihat Rasullullah, Imam Mahdi dan gurunya memiliki bentuk tubuh dan paras yang sama persis. Dan setiap kali ia bermimpi tentang Rasul, ia selalu menyaksikan gurunya di sisi beliau. Kadang-kadang, menurut muridnya, dalam beberapa perbincangan dengan Syekh As-Sayyid Qamarullah, tidak jelas apakah yang bicara itu Syekh ataukah Rasulullah. Bahkan di beberapa kesempatan, barangkali dalam keadaan “ekstase,” Syekh ini menyatakan dirinya diberi amanat untuk memberi keselamatan (rahmat) alam, sebuah tugas Nabi Muhammad. 
 
Tetapi tentu saja semua contoh di atas tidak bisa dilihat dari perspektif umum atau lahiriah, sebab hal-hal ini berada dalam konteks gaib dan rahasia ilahi yang hanya dipahami oleh orang-orang yang memang diberi izin dan diberi hak untuk memahaminya. Kondisi tertinggi dalam persatuan dengan Nur Muhammad ini, secara teori, biasanya dialami oleh para wali yang telah mencapai kedudukan tertinggi, seperti wali Qutb (Kutub) atau Qutb Al-Aqtab (Rajanya Para Kutub) atau Sulthanul Awliya.
Ini adalah salah satu misteri terdalam (al-haqiqah) dari hubungan antara Allah, Nur Muhammad, Muhammad saw, alam dan manusia (orang mukmin). Sebuah misteri yang tak bisa diselami makna hakikinya hanya melalui kata-kata. Dan, misteri agung yang suci ini terangkum dalam shalawat agung dari Syekh ‘Arif Billah Al-Qutb As-Syekh Muhammad Samman, sang pendiri tarekat Sammaniyah:
 
Ya Allah, semoga Engkau sampaikan shalawat bagi yang kami hormati Muhammad; dia adalah asal-usul dari segala yang maujud, yang meliputi semua falak (benda-benda langit) yang tinggi; huruf alif pada Ahmad artinya adalah dzat yang mengalir pada setiap molekul; huruf ha pada ahmad artinya hidupnya makhluk dari awal sampai akhir; huruf mim pada kata Ahmad berarti tahta kerajaan ilahi yang tiada banding; huruf dal pada lafal Ahmad artinya keabadian yang tanpa akhir. Engkau yang telah menampakkan diri pada Nur Muhammad yang Engkau cintai. Ia adalah tahta kehormatan yang padanya Engkau percikkan cahaya Dzat-Mu. Engkau menampakkan Diri (kepadanya) dengan Cahaya-Mu. Hakikat Muhammad adalah cermin yang memantulkan keindahan-Mu, memantulkan sinar dalam Asma-Mu dan Sifat-sifat-Mu. Ia bagaikan matahari kesempurnaan yang memancarkan cahayanya bagi seluruh makhluk di alam, yang telah Engkau bentuk seluruh alam ini dari padanya (yakni dari Nur Muhammad). Setiap orang yang mencapai hakikat Muhammad akan Engkau dudukkan di atas permadani yang berdekatan dengan-Mu. Engkau tetapkan (berikan) kepadanya sebuah kunci perbendaharaan kekasih-Mu yang agung; kunci itu gaib dan tersembunyi tetapi ia (juga) nyata. Kunci perbendaharaan itu menjadi perantara di antara Engkau dan hamba-hamba-Mu. Hamba-Mu hanya bisa naik dengan cinta kepada Ahmad (Muhammad Saw.) untuk menyaksikan kesempurnaan-Mu. (shalawat) ini juga bagi keluarganya yang mengalirkan ilmu hakikat, dan bagi para sahabatnya yang menjadi pelita yang menunjukkan jalan bagi setiap insan. Shalawat ini adalah dari-Mu bagi Ahmad, diterima olehnya dari kami dengan berkah keutamaan-Mu. Shalawat ini melekat pada Dzat-Nya dalam gumpalan cahaya tajalli-Nya. Shalawat yang menyucikan hati kita dan rahasia-rahasia batin kita. Shalawat yang mengangkat roh-roh kita dan melimpahkan berkah kepada kita, guru-guru kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara kami, dan segenap umat Muslim. Shalawat ini beriring dengan salam dari Engkau Ya Allah, hingga hari kiamat. Shalawat dan salam yang jumlahnya tak terhitung bagi Muhammad Al-Amin, dan juga kepada keluarganya dan para sahabatnya; segala puji bagi-Mu dari-Mu sepanjang masa. 
 
Dengan mengaktualisasikan potensi yang bersifat ilahiah ini, berarti kita menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah, karena wujud kita hanyalah wujud dalam arti majaz (kias), dengan demikian kita kembali ke sifat asli kita yakni ketiadaan, adam, dan karena itu pula kita menjadi cermin yang bening kembali, menjadi seperti pribadi Nabi, yang memantulkan nama dan sifat Tuhan, lokus tajaliyyat Tuhan yang sempurna—innallaha khalaqa adama ala suratihi (Sesungguhnya Allah menciptakan adam sesuai dengan Citra-Nya)—atau insan kamil. 
 
Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.
15 Juli 2012

Hakikat Insan Kamil

oleh alifbraja

Hakikat Insan Kamil

 

Si hamba menyaksikan bahwa Insan Kamil adalah pertemuan di antara ketuhanan dan kehambaan. Pada Insan Kamil berkumpul pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang makhluk Tuhan. Insan Kamil mengenal Tuhan dalam aspek tanzih dan tasybih. Insan Kamil memperoleh maklumat Hakikat Muhammad secara lengkap dan sempurna. Insan Kamil yang memiliki ilmu dan makrifat yang sempurna. Insan Kamil yang mempunyai pengenalan yang sempurna tentang Tuhan. Insan Kamil juga mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang apa yang Tuhan sampaikan kepada hamba-hamba-Nya.

Insan Kamil juga mempunyai maklumat Hakikat Insan secara sempurna. Oleh kerana Hakikat Insan mengumpulkan maklumat yang lengkap tentang manusia dan alam makhluk sekaliannya, maka Insan Kamil mempunyai pengetahuan yang lengkap tentang manusia dan alam makhluk sekaliannya. Seluruh alam semesta ‘terkandung’ dalam Insan Kamil. Hati si hamba yang terbuka kepada suasana Hakikat Insan Kamil menyaksikan seluruh alam semesta berada dalam hatinya. Si hamba menyaksikan pengetahuan ketuhanan datang secara langsung kepada hatinya.

Pembukaan kepada Hakikat Insan Kamil membuat hati si hamba menyaksikan alam semesta disempadani oleh dirinya dan pada masa yang sama dia menyaksikan ‘Allah’ bersemayam dalam hatinya. Inilah peringkat yang paling tinggi bahayanya dalam semua peringkat pengalaman kerohanian. Ketuhanan dan kehambaan muncul pada hati yang sama, pada perasaan yang sama dan pada masa yang sama. Hanya kehambaan yang sentiasa membayanginya meneguhkan tapak kakinya berpijak pada jalan yang benar. Kehambaan pada peringkat ini sangat rapuh, mudah saja menjadi hancur lebur. Jika hal yang demikian terjadi hati si hamba tidak lagi melihat perbedaan di antara hamba dengan Tuhan, dirinya dengan Tuhan. Keadaan seperti ini tidak muncul sewaktu menyaksikan Hakikat-hakikat yang lain termasuklah Hakikat Muhammad kerana pada ketika itu makhluk dan dirinya tidak ada dalam perhatian dan kesadarannya. Pada tahap mengalami suasana Hakikat Insan Kamil ini kesadar! an dan perhatian kepada diri dan makhluk baru saja muncul kembali, belum begitu kuat dan berpengaruh. Kesadaran dan perhatian tersebut baru pada tahap seumpama bayang-bayang yang belum melekat benar pada hati. Hakikat Insan Kamil adalah umpama stesen bebas bagi hati. Ia boleh menjadi Tuhan dan hamba pada masa yang sama. Ia juga boleh menjadi nabi dan wali. Ia juga boleh menjadi malaikat.

Jika seseorang yang baru saja kembali sedikit kesadarannya terhadap kewujudan dirinya larut dalam Hakikat Insan Kamil, hatinya akan mengalami apa yang biasa disebut oleh orang sufi sebagai bersatu dengan Tuhan. Rasa bersatu dengan Tuhan berbeda daripada mengalami suasana keesaan yang berlaku Pada ketika itu keesaan dialami dalam suasana tiada kesadaran terhadap diri sendiri. Si hamba hanya menyaksikan Allah s.w.t semata-mata, tidak pada dirinya dan makhluk lainnya. Dia hanya menyaksikan satu wujud yaitu wujud Allah s.w.t, wujud yang lain tidak ada dalam perhatiannya. Oleh yang demikian tidak timbul isu bersatu dengan Tuhan pada peringkat itu. Pada peringkat Hakikat Insan Kamil pula wujud Allah s.w.t dan wujud dirinya nyata dalam kesedarannya dan mungkin dia tidak dapat membedakan yang satu dengan yang lain. Dalam keadaan demikian dia mungkin menyaksikan Allah s.w.t sebagai Haq (Yang Hakiki) dan juga khalq (makhluk sebag! ai bayangan Yang Hakiki). Dia mungkin merasakan dirinya sebagai Tuhan dan hamba Tuhan, yang sama dalam aspek yang berbeda. Dia mungkin melihat sifat-sifat yang ada pada dirinya sebagai sifat Tuhan dan dia menjadi pendhahir sifat Tuhan secara sempurna. Dia mungkin merasakan pada wujudnya yang satu bertemu Wujud Tuhan dengan wujud alam semesta. Dia mungkin menyaksikan seluruh alam semesta seumpama bola kecil terkandung di dalam hatinya. Dia mungkin melihat badannya sebagai Arasy, rohnya sebagai Roh Muhammad dan zatnya sebagai Zat Tuhan. Dia mungkin juga melihat ilmunya sebagai Ilmu Tuhan dan bakat dirinya sebagai malaikat.

Bila dikuasai oleh rasa kelarutan dalam Hakikat Insan Kamil dia mungkin melihat dirinya berada pada satu falak di atas daripada falak yang ada makhluk yang lain. Malaikat, jin dan yang lain-lain mungkin dilihatnya berada di bawah daripada falak dirinya. Dia mungkin melihat bakat dirinya bergerak melalui makhluk yang lain. Jika dia berada dalam satu kumpulan pekerja dia mungkin melihat bakat dan daya upayanya berada pada setiap pekerja tersebut.

Suasana hati yang bergabung dengan Hakikat Insan Kamil mungkin membuat seseorang melaungkan “Ana al-Haq!��?. Ucapan “Ana al-Haq��? pada peringkat ini berbeda daripada ucapan Ana al-Haq , dahulu si hamba semata-mata menjadi alat dan Tuhan Pengguna alat. Si hamba tidak melihat ucapan tersebut sebagai ucapannya. Dia menyaksikan Kalam Tuhan yang keluar daripadanya. Pada peringkat Hakikat Insan Kamil pula ucapan “Ana al-Haq��? dilafazkan dalam keadaan ada kesadaran diri. Kesadaran tersebut membuatnya melihat ucapan itu sebagai ucapan Tuhan dan juga ucapan dirinya yang bersatu dengan Tuhan. Apa yang dia ucapkan itulah yang Tuhan ucapkan, dan apa yang Tuhan ucapkan itulah yang dia ucapkan. Beginilah keadaan yang berlaku kepada orang yang larut dalam Insan Kamil.

Ramai orang menyangkakan Insan Kamil adalah penghabisan jalan. Mereka jadikan Insan Kamil sebagai makam mereka.

Semua keturunan Adam a.s dinamakan manusia. Dalam bangsa manusia itu ada golongan yang sempurna dinamakan manusia yang sempurna. Dalam golongan manusia yang sempurna itu ada kumpulan yang menjadi Nabi dan Rasul. Bangsa manusia secara keseluruhannya dikuasai oleh Hakikat Insan. Golongan manusia yang sempurna itu pula dikuasai oleh Hakikat Insan Kamil. Dalam golongan manusia yang sempurna itu, yang menjadi nabi dan rasul dikuasai pula oleh Hakikat Muhammad.

Hakikat-hakikat, termasuklah Insan Kamil, bukanlah makhluk yang ada dalam alam. Hakikat adalah urusan Tuhan. Insan Kamil adalah urusan Tuhan yang menguasai satu kumpulan manusia yang sempurna kehambaannya kepada Allah s.w.t. Insan Kamil yang asli, yang ada pada sisi Tuhan tidak berupa, tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak menempati ruang dan zaman dan juga tidak bernama. Manusia-manusia sempurna yang muncul di atas muka bumi bolehlah dikatakan salinan lengkap kepada Insan Kamil yang asli. Manusia yang paling sempurna, menjadi salinan Insan Kamil yang paling sempurna menerima penguasaan sepenuhnya daripada Hakikat Muhammad dan beliau adalah Nabi Muhammad s.a.w. Manusia-manusia sempurna yang lain, walaupun sempurna tetapi kesempurnaan mereka tidak mencapai tahap kesempurnaan Nabi Muhammad s.a.w. Mereka tidak menerima penguasaan Hakikat Muhammad secara lengkap, selengkap Nabi Muhammad s.a.w. Oleh itu hanya Nabi Muhammad ! s.a.w saja yang bernama Muhammad, yang lain bernama Ibrahim, Musa, Isa, Nuh dan lain-lain. Manusia sempurna yang lain tidak mengaku diri mereka sebagai Muhammad walaupun mereka juga menerima maklumat daripada Hakikat Muhammad. Sejak Nabi Adam a.s sampailah kepada Nabi Isa a.s tidak ada seorang Nabi pun yang mengaku menjadi Muhammad. Kumpulan manusia yang sah kesempurnaan mereka tidak mengaku menjadi Muhammad atau bersekutu dengan Muhammad. Jika ada orang yang mengaku menjadi Muhammad atau bersekutu dengan Muhammad, baik secara zahir atau secara batin, maka nyatalah mereka telah keliru dalam memahami hakikat.

Salinan Insan Kamil yang paling sempurna dalam kumpulan Nabi-nabi adalah Nabi Muhammad s.a.w, penutup Kenabian. Salinan Insan Kamil yang sempurna dalam kumpulan wali-wali adalah Muhammad Imam Mahadi, penutup kewalian. Muhammad Imam Mahadi tinggal di dalam dunia dan menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya oleh Allah s.w.t. Bila tugas tersebut selesai beliau kembali ke rahmatullah. Pada ketika itu salinan Insan Kamil tidak akan muncul lagi ke dunia. Bila salinan Insan Kamil tidak ada lagi di dalam dunia maka tertutuplah ilmu ketuhanan. Tidak ada lagi manusia yang mengenal Allah s.w.t. Pada ketika itu berlakulah kiamat besar.

Ada beberapa perkara lagi perlu diketahui berhubung dengan daerah Insan Kamil yang selalu diperkatakan apabila bercakap mengenainya. Insan Kamil dikatakan bersemayam di dalam Kaabatullah. Kaabatullah selalu disebut dalam memperkatakan tentang hakikat. Ada orang mengatakan dia bersembahyang menghadap Kaabatullah. Ada pula yang mengatakan dia bersembahyang di dalam Kaabatullah. Yang lain pula mengatakan dia sembahyang dengan ketiadaan Kaabatullah. Ada juga orang mengatakan dia menemui Rasulullah s.a.w di dalam Kaabatullah. Berbagai-bagai lagi keadaan Kaabatullah yang diceritakan orang dalam menggambarkan suasana hakikat.

Kaabatullah yang dikatakan seperti cerita di atas merupakan suasana simbolik bagi menggambarkan keadaan hubungan hati dengan Allah s.w.t. Umat Islam bersembahyang menghadap Kaabatullah bukan bermakna mereka menyembah Kaabatullah dan bukan juga Allah s.w.t berada dalam Kaabatullah. Allah s.w.t memilih Kaabatullah sebagai tempat yang boleh dirasakan kehadiran-Nya dengan kuat. Jadi, Kaabatullah dihubungkan dengan Hadrat Ilahi. Berhadap ke Kaabatullah bermakna menghadap kepada Hadrat-Nya.

Di dalam suasana hakikat, Kaabatullah menjadi misal bagi suasana ketuhanan. Bila dikatakan Insan Kami bersemayam di dalam Kaabatullah ia bermaksud Insan Kamil adalah suasana ketuhanan, berada dalam Ilmu Tuhan. Orang yang bersembahyang di dalam kesedaran melihat Kaabatullah berada di hadapannya. Orang yang di dalam zauk merasakan berada di dalam Kaabatullah. Orang yang baqa dengan Allah s.w.t tidak melihat kepada Kaabatullah. Orang yang ‘memasuki’ Ilmu Allah, mengenali suasana Hakikat Muhammad dan mengambil ilmu daripada sumber tersebut, menggambarkannya sebagai berjumpa dengan Rasulullah s.a.w di dalam Kaabatullah dan menerima pengajaran daripada baginda s.a.w. Pengalaman-pengalaman yang disebut di atas merupakan pengalaman dalam ‘misal kepada hakikat’.

Penyaksian terhadap rupa, bentuk, cahaya dan warna adalah penyaksian kepada misal bagi hakikat-hakikat. Apa yang disaksikan itu menjadi cermin yang membalikkan kefahaman tentang hakikat yang tidak boleh disaksikan. Rasulullah s.a.w melihat pada malam Israk dan Mikraj, bentuk misal kesenangan dan kemewahan dunia sebagai perempuan cantik dan umur dunia yang sudah lanjut sebagai perempuan tua. Kedua-duanya menceritakan tentang hakikat dunia tetapi berlainan rupa bagi menceritakan maksud yang berbeda.

Hakikat boleh diibaratkan sebagai cahaya dan cermin sebagai Alam Misal. Jika benda nyata diletakkan di hadapan cermin dan cahaya dipancarkan kepadanya, akan kelihatanlah gambaran benda nyata itu di dalam cermin. Gambaran yang kelihatan di dalam cermin itu menyatakan bahawa pada benda nyata itu ada pancaran cahaya. Cahaya disaksikan dalam bentuk benda-benda nyata. Bentuk benda-benda nyata itu menjadi misal kepada cahaya, menceritakan bahawa di sana ada kehadiran cahaya. Tetapi benda nyata dan gambaran benda nyata yang kelihatan atau bentuk misal itu bukanlah cahaya. Cahaya tetap dalam keadaan aslinya yang tidak ada rupa dan warna. Ada orang yang tidak membedakan bentuk misal dengan cahaya yang asli. Orang yang tidak membedakan bentuk misal dengan hakikat kepada yang dimisalkan itu memahamkan hakikat ketuhanan mempunyai wajah-wajah tertentu.

Hakikat Insan Kamil adalah umpama cahaya yang hening. Hati insan umpama cermin yang jernih. Orang yang memandang ke dalam cermin hatinya bersuluhkan cahaya Hakikat Insan Kamil akan menyaksikan wajahnya sendiri di dalam cermin itu, lalu dia menyangkakan bahawa itulah wajah Insan Kamil yang asli, dan itu jugalah wajah Tuhan yang tidak dibedakan dengan Insan Kamil. Jika orang Hindu menyembah tuhan dalam rupa monyet orang tadi menyembah Tuhan dalam rupa dirinya sendiri. Lama-lama orang Hindu menyembah monyet, tidak lagi menyembah Tuhan. Lama-lama orang tadi menyembah dirinya, tidak lagi menyembah Tuhan. Inilah yang selalu terjadi kepada orang yang berjalan kepada hakikat tanpa membawa syariat.

Orang yang berjalan pada jalan kerohanian perlu melepasi bentuk-bentuk misal. Lepaskan apa juga yang sampai kepada penyaksian. Nafikan dengan kalimah “La ilaha illa Llah��?. Orang yang berjaya melepasi bentuk-bentuk misal tersebut akan sampai kepada Penyaksian Hakiki, yaitu menyaksikan tanpa rupa, bentuk, cahaya, warna dan wajah. Pada Penyaksian Hakiki juga tidak ada suara, tidak ada huruf. Penyaksian berlaku kepada mata keyakinan. Si hamba yang menyaksikan dengan mata keyakinan mengucapkan: “Sesungguhnya hatiku tidak berasa syak lagi bahawa Engkau yang daku pandang tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa cahaya, tanpa warna, tanpa suara dan tanpa huruf��?. Itulah keadaan memandang dengan tiada sesuatu yang dipandang, tahu tanpa sesuatu pengetahuan dan kenal tanpa sesuatu pengenalan. Penyaksian akal dinamakan ilmul yaqin. Penyaksian mata hati dinamakan ainul yaqin. Penyaksian mata keyakinan dinamakan haqqul yaqin. Haqqul yaqin meru! ntuhkan segala pengetahuan dan penyaksian kerana sesungguhnya Tuhan adalah:

Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya

Keyakinan terhadap Allah s.w.t adalah:

Dan Dia Mendengar dan Melihat

Jika seseorang mau cepat sampai ke matlamat hendaklah bersegera melepaskan bentuk-bentuk misal yang sampai kepada penyaksiannya. Berpindahlah kepada Penyaksian Hakiki. Tanda seseorang sudah memiliki Penyaksian Hakiki adalah dia dapat melihat hakikat ketuhanan pada dua perkara yang bertentangan dengan sekali pandang. Nama, rupa, bentuk, cahaya dan warna tidak menghijab pandangannya untuk menyaksikan hakikat atau Rububiah. Makrifat tentang nama-nama Tuhan penting bagi memperolehi Penyaksian Hakiki. Jika Yang Menghidupkan tidak menghijab Yang Mematikan, Yang Menaikkan tidak menghijab Yang Menjatuhkan, Yang Memberi tidak menghijab Yang Menahan, Yang Awal tidak menghijab Yang Akhir, Yang Zahir tidak menghijab Yang Batin, maka yang disaksikan pada setiap masa dan dalam semua suasana adalah Yang Maha Esa. Apabila mata ilmu dan mata hati tidak menutup mata keyakinan maka yang disaksikan adalah Yang Haq!

Tidak semua orang yang memasuki daerah Hakikat Insan Kamil akan terdorong kepada suasana bersatu dengan Tuhan. Si hamba yang telah mengalami suasana kehadiran kenabian dan mengalami pula suasana keesaan Tuhan akan sentiasa dibayangi oleh rasa kehambaan kepada Tuhan. Pertembungan dengan Hakikat Insan Kamil tidak menyebabkan berlakunya perlarutan. Suasana Hakikat Insan Kamil dialaminya sebagaimana mengalami suasana Hadrat kenabian dan Hadrat ketuhanan. Si hamba tidak mengalami suasana menjadi Insan Kamil atau menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Insan Kamil merupakan salah satu Hadrat yang dialaminya dan melalui pengalaman tersebut dia mengerti maksud Insan Kamil.

Orang yang berjalan pada jalan kehambaan akan menetap sebagai hamba, tidak berubah menjadi Adam atau Muhammad atau Insan Kamil atau Tuhan. Sepanjang perjalanan dia berada dalam suasana dia yang menyaksikan dan melalui penyaksian tersebut dia memperolehi pengetahuan dan pengenalan (ilmu dan makrifat) tanpa melepaskan pandangan kepada “Allah Yang Maha Esa��? dan “Tiada sesuatu serupa dengan-Nya��?. Melalui jalan kehambaan kehadiran kenabian, kehadiran Hakikat-hakikat Insan, Muhammad dan Insan Kamil dan juga kehadiran Tuhan berperanan sebagai Pembimbing. ‘Pertemuan’ dengan Hadrat-Hadrat tersebut memperkuatkan Petunjuk Ghaib dalam dirinya. Juru-bicara dalam dirinya sentiasa memberi peringatan. Dia diperingatkan agar berjalan terus, jangan berhenti walaupun dijanjikan syurga atau dihalang oleh neraka, walaupun dibukakan suasana Hakikat-hakikat. Semua itu untuk diketahui dan untuk dikenal, bukan tempat untuk bermakam.

Dalam suasana Hakikat Insan Kamil, seseorang biasa berjumpa dengan hakikat maut yaitu mengalami suasana Izrail. Boleh juga dikatakan jika seseorang itu tidak mengalami suasana Izrail dia tidak memasuki daerah Insan Kamil dengan sepenuhnya. Dia mungkin berjalan di bawah bayangan daerah itu sahaja.

Manusia biasa naik ke langit melalui jalan biasa yang dilalui oleh semua orang, yaitu jalan mati. Orang yang memasuki daerah Hakikat Insan Kamil juga mengalami kematian, tetapi bukan kematian tubuh badan. Kematian yang berlaku di sana adalah kematian secara kebatinan, yaitu merasai kehadiran Maut. Dia mungkin merasai suasana kematian beberapa kali pada alam kebatinannya. Pengalaman yang demikian membuka penutup pada hati. si hamba telah menghadapkan dirinya kepada maut. Pada ketika itu dia menuju kepada pengecilan kesedaran terhadap diri sendiri. Ia menjadi lonjakan untuk mencapai stesen yang berikutnya. Tetapi pengalaman tersebut tidak banyak memberi pengertian kepada dirinya. Dalam daerah Hakikat Insan Kamil pula si hamba sedang menuju ke arah pembesaran kesedaran terhadap diri sendiri. Oleh itu setiap pengalaman menarik perhatiannya. kehadiran Maut pada daerah Insan Kamil memperjelaskan pengalaman . Dalam daerah! Insan Kamil ini si hamba merasakan sangat hampir dengan Maut. Biasa terjadi pada peringkat ini dia mendapat firasat mengenai kematian orang-orang tertentu dan kemudiannya ternyata firasat tersebut adalah benar. Keadaan ini bersifat sementara saja. Apabila dia meninggalkan daerah Insan Kamil dia keluar juga daripada Hadrat Maut itu dan firasat tentang kematian tidak ada lagi.

Apabila Hadrat Maut dan Hadrat Insan Kamil bertemu pada satu daerah, pada satu hati, suasana kehambaan akan menetap dan terhindarlah suasana ketuhanan. Hadrat Maut memperlihatkan kedaifan, kehinaan dan kejahilan si hamba. Hadrat Insan Kamil memperlihatkan kekuasaan, kemuliaan dan kebijaksanaan Tuhan. Orang yang benar-benar menyaksikan keagungan Tuhan adalah orang yang sedang menghadapi sakratul maut. Keadaan ini samalah seperti keadaan orang yang menerima uang satu juta dan pada masa yang sama dia mengetahui bahwa dia menghidapi penyakit kanser yang akan membawanya kepada maut. Begitulah umpamanya keadaan hati yang merasai Hadrat Maut dan Hadrat Insan Kamil pada satu masa. Dia diperlihatkan kekerdilan dirinya sebagai hamba Tuhan dan keagungan Allah s.w.t sebagai Tuhan. Bertambah kuatlah rasa kehambaan pada dirinya. Jadi, Hadrat Insan Kamil yang menyebabkan sebahagian orang mengalami suasana bersatu dengan Tuhan boleh ju! ga menambahkan rasa kehambaan. Si hamba yang bertambah rasa kekerdilan diri dan kehambaannya kepada Tuhan bermunajat kepada Tuhan dengan penuh tawaduk

24 Juni 2012

Tentang Hakikat Muhammad Dalam Penyaksian

oleh alifbraja

Tentang Hakikat Muhammad Dalam Penyaksian Dalam bahasa tasawuf/sufi hakikat muhammad berhubungan dengan roh al quddus dengan roh al-muhammadiyah. dibawah ini penulis kemukakan analis hal tsb dalam perspektif wali agung syaikh abdul qodir al-jaelani dan juga dalam perspektif wali di tanah jawa , yang sebagian perjalanan pemahaman tentang tasawufnya banyak di pengaruhi oleh wali agung syaikh al-jaelani.

Anda mungkin pernah bertanya-tanya mengapa wajah rasulullah tidak bisa atau tidak boleh di gambarkan? .. alasan yang muncul kadang karena pada saat itu belum ada fotografi sehingga gambarnya tidak mungkin tepat. kalau hanya itu alasanya .kurang tepat bagi saya, karena pasa masa nabi-nabi yang laen juga belum ada tekhnik foto, dan tidak dipermasalahkan gambar-gambar para nabi dan wali yang ada.

Kalau kita melihat banyak kitab dan buku yang ada, pengambaran Allah dan Nabi Muhammad diilustrasikan dengan dengan cahaya yang terang benderang. inspirasi dari ilustrasi cahaya tsb sebenarnya berasal dari QS:Al-Nur:35 tentang nur illahi.sementara muhammad adalah personalisasi di dunia nur tsb. maka dalam hal sosok muhammad yang harus di perhatikan bukan person historisnya ,akan tetapi essensinya dalam bentuk substansi nur muhammad. cahaya pilihan dalam bentuk manusia yang terpuji (Sempurna). karena justru dengan nur muhammad itulah, maka person historis Nabi Muhammad bermakrifat secara musyahadah dan dengan mata telanjang(Ibn Arabi:26) dan dengan cahaya makrifat Nabi Muhammad maka seluruh makhluk dapat mengenali, dan melalui keutamaannya mengungguli seluruh makhluk, mereka memberi pengakuan. jelas menurut syaikh al-jaelani,Nur Muhammad ciptaan pertama dan utama Allah,yang di cipta dari nur Allah (esensi) sendiri, atau memang cahaya khusus yang di karuniakan Allah sendiri, untuk merujuk pada keutamaan dan kemuliaanya sebagai prototipe al-insan al-kamil(al-jaelani:121).

Dalam kaitan bahwa Nabi Muhammad Hakikatnya bukan sosok historisnya yang harus di rujuk, maka asma’ Muhammad bukanlah nama asal dari rasulullah yang agung ini. muhammad adalah nama dunianya, dimana nama aslinya sejak kecil adalah “Ahmad”, sosok yang penuh dengan keterpujian. sementara secara sepiritualnya,dan dalam posisinya terhadap Allah, Rasulullah mengemukakan dirinya sendiri bahwa:Ana Ahmadun bi-la mim” .Artinya pada dirinya tidak laen penyandang nama “Ahad” dia adalah pengejawentahan dari yang esa. inilah yang juga di sebut Roh Al- Quds, roh suci untuk meneruskan penzahiran yang paling sempurna dalam peringkat alam lahut(Al-jaelani:27) dalam hal ini para wali kuno tanah jawa memberikan penjelasan secara tepat sbb:
‘…. Muhammad itu pada hakikatnya Nur Allah, yang dalam bentuk lahir ialah muhammad “…
persis ungkapan Al ghazali: bahwa muhammad yang seorang nabi/rasul dengan muhammad yang seorang arab mesti kita harus bisa membedakan walaupun memang kenyataanya nabi muhammad lahir di jazirah arab.

Disinilah rahasia dari menyatunya syahadat rasul ke dalam syahadat tauhid, dan inilah jawaban mengapa sejak Nabi Adam AS menghuni surga, digerbangnya sudah terdapat tulisan syahadat rasul ini. ya Nur Muhammada selalu menyertai roh dari semua jiwa yang akan dan pernah ada di alam semesta ini. ini pula kunci rahasia mengapa para nabi yang pernah ada memohon kepada Allah agar di jadikan sebagai umat Nabi Muhammad saw.(Al-jaelani :121).

Nur muhammad dalam perspektih Syaikh Abdul Qodir Al-jaelani di sebut dengan sebutan Roh Muhammad, yang diciptakan dari cahaya ketuhanan (nurun ala nurin) nur Muhammad merupakan realitas gaib yang menjadi inti segala penciptaan. oleh karenannya kadang ia disebut Nur, Roh, Qalam (tercipta dari perkataan kun). ia merupakan realitas yang memiliki banyak nama menurut fungsi dan dari mana sudut mana kita memandang (al-jaelani:7).

Maka realitas batin seperti inilah yang diberikan kepada orang-orang sufi sebagai Hakikat Al-Muhammadiyah. jika disebut dengan nur tau cahaya karena ia memang bebas dan bersih dari segala kegelapan, karena adanya cahaya tsb. realitas dalam fungsinya didunia tampak pada gelarnya sebagai ‘Aql al-kull(Akal semesta) karna pengetahuanya tentang segala sesuatu.ia mendapat gelar Qalam.karena dari pengetahuanya dalam akal semesta ia menyebarkan ilmu dan hikmah dan menzahirkan ilmu dalam bentuk huruf dan perkataan. ia disebut roh karena menjadi esensi kehidupan, dan memunculkan yang hidup.

Maka menurut Al-jaelani ,Muhammad adalah nama insan dalam alam gaib, dimana roh berkumpul, yang menjadi sumber dan asal segala sesuatu. di sinilah letak dari logika bahwa Allah menciptakan alam, karena akan menciptakan person dari muhammad utk keperluan alam ini. dari kelahiran nur muhammad inilah diikuti oleh penciptaan makhluk-makhluk yang lain serta Arsy-nya.

Dalam pengejawentahanya,menurut al jaelani dan para tokoh sufi lainya, Allah kemudian menurunkan nur dari tempat kejadianya, yaitu alam lahut ke alam asma’ Allah, yaitu alam penciptaan sifat-sifat Allah dan alam akal roh semesta. kemudian di turunkan lagi ke alam malaikat utk di pakaikan pakaian kemalaikatan. lalu di turunkan lagi ke alam ajsam yang terjadi unsur api, udara, air dan tanah, disitulah roh diberikan jasmaniah beserta nafsu-nafsunya(al-jaelani:9).

Setelah roh mengalami badanisasi inilah ia mulai mengalami kehilangan nur, dan lupa akan asal serta perjanjian azalinya dengan Allah. namun Allah juga tetap memberikanya bekal utk kembali dalam bentuk mata hati atau bashirah yang menjadi gerbang bagi gerak bebas roh al -idhafi sebagai mursyid setiap jiwa. hanya saja , basirah ini akan berfungsi optimal kalau seseorang selalu berada dalam taqarrubnya kepada Allah.

Dengan bashirahnya inilah ia akan sanggup menembus kabut alam gaib, dan menyingkap segala hijab yang menjadi penghalangnya utk kembali kepada Allah. orang sudah dapat memfungsikan bashirahnya dan mendayagunakan Roh Al-Muhammad-nya sebagai pusat perjalanan sepiritualnya. maka ia akan bisa menembus semesta, karena letak nur muhammad itu sendiri berada di langit tujuh berada dalam arsy-nya yang menyatu dan menyanding dengan Allah itu sendiri. ia akan dapat kembali terserap dalam kesatuan nur essensial. sehingga ia dapat melihat apa yang belum pernah dilihat, dan mengatasi semua penglihatan dan benda yang dapat dilihat..

Menurut Al-jaelani, hal yang di perlukan orang awam utk membuka bashirahnya adalah dengan mencari orang yang bashiraohnya sudah terbuka dan sudah di daya gunakan secara optimal. hanya melalui orang yang sudah mata hatinya sudah di fungsikan secara semestinya, orang awam dapat memasuki dunia sufisme, serta menunggu giliranya utk terbukanya mata bashirohnya kepada Allah.karna hanya dengan terbukanya pintu bashirohnya inilah, maka ia dapat menjalani fungsi utamanya di ciptakan didunia, yakni utk bermakrifatullah. yang harus di ingat adalah bahwa bahwa posisi Roh Al-Muhammadiyah ini hanya dapat bertahan dan berfungsi pada pribadi rasul,nabi,auliya’ dan kekasih-kekasinya. maka tidak ada pilihan lain bagi diri kita masing-masing utk semaksimal mungkin agar dapat menjadi hamba dan kekasih Allah.

Tentu sempat muncul pertanyaaan , mengapa roh suci ini di turunkan kedunia yang fana’ ini ? ia di hantarkan ketempat yang paling terendah supaya ia dapat kembali keasalnya yaitu berpadu dan berdampingan dengan Allah saja atau innal lillahi wa inna ilahi rajiun. seperti ketika ia berada dalam pakaian daging, darah, dan tulang itu. melalui mata hati yang ada di dalam wadag-nya, ia dapat selalu menanam, memelihara dan memupuk benih kesatuan dan ke-esaan, serta berusaha menyuburkan rasa “berpadu” dan berdampingan” dengan Allah. demikian menurut Syaikh Abdul QodirAl-Jaelani (al-jaelani:28).inilah hakikat roh suci.

Adapun ganjaran bagi roh suci, menurut al-jaelani, adalah melihat makhluk yang pertama dilahirkan. ketika itu, ia akan dapat melihat keindahan Allah. kepadanya di perlihatkan rahasia illahiah. penglihatan dan pendengaranya menjadi satu. tidak ada perbandingan, tidak ada persamaan, dengan sesuatu apapun. dilihatnya kesatuan jalal (kegagahan, kemurkaan)dengan sifat jamal(keindahan, kecantikan) Allah. sifat jalal dan jamal menjadi satu dalam pandanganya(al-jaelani:27). inilah kunci kearifan dirinya sebagai buah makrifat dan hakikat yang telah di saksikan dan dialami oleh roh suci. ia mendapat karunia kebeningan dan kesucian batinya berupa shafa’ al-asror (rahasia-rahasia suci). dan pengalaman parawali inilah yang menjadikan benar-benar hidup di sisi tuhanya, walaupun jasad kita kembali kepada zatnya masing. inilah kehidupan sejati yang perlu kita capai hidup penuh dengan kesempurnaan di sisi illahi rabbi………………….

22 Juni 2012

Nur Muhammad

oleh alifbraja

Apa Itu Nur Muhammad?

 

Apa Itu Nur Muhammad? (1)

 
Dalam ilmu tasawuf, Nur Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nur Muhammad disebut juga hakikat Muhammad.

Sering dihubungkan pula dengan beberapa istilah seperti al-qalam al-a’la (pena tertinggi), al-aql al-awwal (akal utama), amr Allah (urusan Allah), al-ruh, al-malak, al-ruh al-Ilahi, dan al-ruh al-Quddus.

Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secara umum istilah-istilah itu berarti makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah sebabnya Nur Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau al-syajarah al-baidha’ karena seluruh makhluk memancar darinya.

Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir.

Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai person, karena representasi Nur Muhammad dan atau insan kamil adalah pribadi Muhammad yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah representasi insan kamil. Oleh karena itu, dalam artikel terdahulu, manusia dikenal sebagai makhluk mikrokosmos.

Sebab, manusia merupakan miniatur alam makrokosmos. Posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul dapat dikatakan sebagai miniatur makhluk mikrokosmos karena pada diri beliau merupakan tajalli Tuhan paling sempurna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan berbagai macam keutamaan dibanding nabi-nabi sebelumnya.

Bahkan hadits-hadits Isra’ Mikraj menyebutkan, Rasulullah pernah mengimami nabi yang pernah hidup sebelumnya. Melalui Nur Muhammad, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Dari segi ini, Al-Jilli menganggapnya qadim dan Ibnu ‘Arabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu Tuhan dan baharu ketika ia berwujud makhluk.

Namun perlu diingat bahwa konsep keqadiman, menurut Ibnu Arabi, ada dua macam, yaitu qadim dari segi dzat dan qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Nur Muhammad, menurut Ibnu Arabi, masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan dalam qadim al-dzati.

Dengan demikian, Nur Muhammad dapat dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai baharu dalam perspektif qadim al-dzati. Dalam satu riwayat juga pernah diungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi pertama dan terakhir.

Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam an-nubuwwah wa al-mursalin.

Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).

Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadits. Di antaranya, “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan.” (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, “Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat.”

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu “Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur.” Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?”

Rasul menjawab, “Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, ‘Ya Allah, apa yang harus saya tulis?’ Allah menjawab, ‘Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.’ Qalam menjawab, ‘Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.’

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah.”

 

Apa Itu Nur Muhammad? (3-habis)
Ilustrasi


“Sampai hari ini, ujung qalam itu tetap terbelah dua dan tersumbat sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia Ilahi.”

“Oleh karena itu, jangan ada seorang pun gagal dalam memuliakan dan menghormati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya, Allah memerintahkan qalam untuk menulis.”

“Qalam bertanya, Apa yang harus saya tulis, ya Allah? Dijawab oleh Allah, Tulislah semua yang akan terjadi sampai hari pengadilan. Qalam pun kembali bertanya tentang apa yang harus ia mulia tuliskan. Allah menegaskan, agar qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim.”

“Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian qalam bersiap menulis kata-kata itu pada Lauh Al-Mahfudz dan menyelesaikan tulisan itu dalam kurun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya.”

Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini dibuat sebagai hadiah bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis tersebut di atas juga masih ada nasihat atau perkataan yang menarik untuk dikaji bersama.

Antara lain, ungkapan yang disampaikan Al-Khallaj sebagai berikut, “Maha Suci (dzat) yang nasut-Nya telah melahirkan rahasia cahaya lahut-Nya yang cemerlang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secara nyata dan dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum.”

Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki berbagai keutamaan, seperti satu-satunya yang bisa mengakses langsung Sidrah Al-Muntaha, maqam paling puncak, diberi Lailah Al-Qadr, diberi hak memberi syafaat di hari kiamat, umatnya paling pertama dihisab, paling pertama masuk surga, dan paling berhasil misinya.

Dalam kitab Fushush Al-Hikam karya Ibnu Arabi, dibahas lebih mendalam hakikat Nur Muhammad (Haqiqah Al-Muhammadiyyah). Yang menarik di dalam pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai  unsur-unsur kemuhammadan (Muhammadiyyah) seperti halnya di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur keadaman (Adamiyyah).

Muhammadiyyah, Adamiyyah, dan sejumlah manusia suci lainnya, ternyata bermakna fisik dan simbolis, atau makna esoteris di samping eksoteris. Uraian tentang Nabi Muhammad, kemuhammadan, dan Nur Muhammad serta relasinya dengan kita sebagai sebagai makhluk mikrokosmos sangat menarik disimak.

Terlepas apakah nanti setuju atau tidak setuju keseluruhannya, itu wilayah otonomi intelektualitas kita masing-masing. Wallahua’lam.