Posts tagged ‘al qur’

6 Oktober 2012

Makna Dan Hakekat “Laa Ilaha Illa Allah”

oleh alifbraja

Ustadz DR. Muhammad Nur Ikhsan, Lc. MA
الحمد لله الذي خلق الإنسان لعبادته، فقال سبحانه: (وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون)، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك إله الأولين والآخرين، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسله الله داعية إلى إخلاص الدين لرب العالمين، فصلوات الله وسلامه عليه وعلى آله الطيبين الطاهرين وصحابته الغر الميامين ومن اقتفى أثره واتبع هداه إلى يوم الدين، أما بعد:

Kalimat tauhid yaitu (لا إله إلا الله) adalah hikmah utama penciptaan manusia, pengutusan para rasul dan diturunkannya Al Qur’an, ia adalah keadilan yang utama, oleh karenanya langit dan bumi ciptakan dan neraca keadilan ditegakkan, ia sebagai pembeda antara muslim dengan orang kafir, dengannya manusia tebagi menjadi orang orang yang bahagia penghuni syurga dan orang orang yang sengsara penghuni nereka.

Akan tetapi yang sangat disayangkan bahwa manyoritas kaum muslimin yang mengucapkan kailmat yang mulia ini tidak memahami makna dan kakekatnya serta persyaratannya, sedang ulama telah sepakat bahwa kalimat tauhid tidak cukup sekedar ucapan dilisan saja, akan tetapi harus diketahui maknanya dan dilaksanakan tuntutannya serta diaplikasikan kensekuensinya.

Pada makalah yang sederhana ini akan dijelaskan insyallah makna kalimat tauhid sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Qur’an dan Sunnah, serta persyaratan persyaratan yang wajib terpenuhi dalam mengamalkannya.

Kalimat tauhid (لا إله إلا الله) tersusun dari dua kalimat (لا إله) yang dikenal dengan “kalimat penapian” dan (إلا الله) yang dikenal dengan “kalimat istbat (penetapan)”, kedua kalimat tersebut (penapian) dan (penetapan) dikenal dengan dua rukun kalimat tauhid, dan itulah hakekat tauhid. Dan (إله) dalam bahasa arab artinya (معبود) “yang diibadati”.

Maksudnya : kalimat penapian (لا إله) menapikan seluruh peribadatan kepada selain Allah, dan (إلا الله) menetapan bahwa peribadatan yang hak dan benar semata mata hanya kepada Allah. Maka makna dari (لا إله إلا الله) yaitu (لا معبود بحق إلا الله) “tiada yang berhak diibadati secara benar kecuali Allah”.

Kenapa dalam maknanya harus ditambah kalimat (yang benar/hak) karena seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah batil dan ila yang diibadati secara benar adalah Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala: (Artinya: )

“(Kuasa Allah) Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru/ibadati selain dari Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”.(Al-Hajj:62)

Makna dan hakekat tauhid diatas telah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya, berikut ayat ayat dan hadits hadits yang menafsirkan kalimat tauhid:

قال تعالى: (واعبدوا الله ولا تشركوا به شيئا). النساء: 36

“Dan ibadati Allah dan jangan kamu persekutukan dengan-Nya sesuatu apapun”.

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk mengibadati Allah, karena tiada seembahan yang berhak diibadati selain-Nya, nah inilah makna kalimat (إلا الله) dan terdapat larang dari melakukan kesyirikan, karena seluruh peribadatan kepada selain Allah adalah syirik dan itu adalah kebatilan dan inilah makna (لا إله).

وقال تعالى: (وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه). الإسراء: 23.

“Dan Rabmu telah memerintahkan agat kamu tidak mengibadati kecuali Dia”.

Nah kalimat (ألا تعبدوا إلا إياه) itulah kalimat tauhid dan makna (لا إله إلا الله).

وقال تعالى: (ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت). النحل: 36

“Dan sungguh kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (untuk menyerukan) “ibadatilah Allah dan tinggalkanlah Thagut”.

Thogut adalah seluruh peribadatan dan sesembahan kepada selain Allah, nah perintah perintah mengibadati Allah dan meninggalkan thogut itulah makna kalimat tauhid, karena peribadatan kepada selain Allah yaitu thogut adalah kebatilan.

وقال: (وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون). الأنبياء: 25

“Dan tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada ila yang berhak diibadati kecuali Aku, maka ibadatilah Aku”.

Nah kalimat (لا إله إلا أنا فاعبدون) itulah kalimat tauhid dan makna (لا إله إلا الله).

Kalimat inilah yang pertama sekali yang dikatakan oleh setiap nabi kepada kaum, sebagaimana dalam ayat ayat berikut:

(وإلى عاد أخاهم هودا، قال يا قوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره). الأعراف: 65.

Dan (Allah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka (nabi) Hud, ia berkata: wahai kaumku ibadatilah Allah, tidak ada bagi kalai ila yang berhak diibadati selain-Nya”.

وقال: (وإلى ثمود أخاهم صالحا قال يا قوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره) الأعراف: 73

Dan (Allah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka (nabi) Soleh, ia berkata: wahai kaumku ibadatilah Allah, tidak ada bagi kalai ila yang berhak diibadati selain-Nya”.

وقال: (وإلى مدين أخاهم شعيبا قال يا قوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره). الأعراف: 85

Dan (Allah mengutus) kepada kaum Madyan saudara mereka (nabi) Syu’aib, ia berkata: wahai kaumku ibadatilah Allah, tidak ada bagi kalai ila yang berhak diibadati selain-Nya”.

Nah kalimat (ما لكم من إله غيره) itulah kalimat tauhid dan makna laa ilaha illa Allah.

Diantara ayat yang menjelaskan dan menafsirkan kalimat tauhid (لا إله إلا الله) adalah firman Allah Ta’ala:

(وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين وجعلها كلمة باقية في عقبه لعلهم يرجعون). الزخرف: 26-28.

26. Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah/ibadati, 27. kecuali (Rab) Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. 28. Dan (lbrahim a. s.) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.

Nah ayat (إنني براء مما تعبدون) itulah makna (لا إله) dan (إلا الذي فطرني) itulah makna (إلا الله).

Dan firman Allah Ta’ala:

(قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضها بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون). آل عمران، 63.

64. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Nah ayat (ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله) itulah makna kalimat tauhid (لا إله إلا الله).

Diantara ayat yang menafsirkan tauhid adalah firman Allah:

(وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة) البينة: 5

5. Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (ibadah) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

وقال تعالى: (وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو). التوبة: 31

“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar mengibadati ilaa yang satu, tidak ada ila yang berhak diibadati selain-Nya”.

Itulah sebagian ayat yang menjelaskan makna (Laa Ilaha Illa Allah) dan hakekat tauhid. Nah kalau kita membaca dan merenungi sunnah kita dapati hadits hadits yang menjelaskan makna tauhid, diantaranya:

Dalam hadits pengutusan Mu’adz kenegeri Yaman, Rasulullah berwasiat kepadanya:

(فليكن أول ما تدعوهم إليه إلى أن يوحدوا الله). البخاري (7372).

Dalam riwayat lain

(فليكن أول ما تدعوهم إليه عبادة الله). البخاري (1458) ومسلم (31).

Riwayat ini menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tauhid pada riwayat yang pertama adalah mengikhlaskan ibadati kepada Allah

Dalam riwayat lain:

(فإذا جئتهم فادعهم إلى أن يشهدوا ألا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله). مسلم (19).

Maka dalam riwayat ini Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam menjadikan syahdah (Laa Ilaa Illa Allah) sebagai makna Tauhid.

وفي حديث عمرو بن عبسة أنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ما أنت؟ قال: (نبي الله) قال: آلله أرسلك؟ قال: (نعم) قال: بأي شيء؟ قال: (…وأن يوحد الله ولا يشرك به شيئا). مسلم (832).

Dalam hadits Amru Bin ‘Abasah bahwa beliau datang kepada Nabi shalallahu’alaihi wasallam seraya bertanya: siapakah anda? Beliau menjawab: (Nabiyullah), ia bertanya lagi: apakah Allah yang menutusmu? Beliau menjawab: (Ya benar), ia bertanya lagi: dengan apa? Beliau bersabda: (…dan untuk mentauhid Allah dan tidak dipersekutukan dengan sesuatu apapun”.

Dan dalam hadits Jibril yang panjang, tatkala ia bertanya kepada Rasullah shalallahu’alahi wasallam tentang islam, beliau menjawab:

(الإسلام: أن تشهد ألا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله…) الحديث رواه مسلم من حديث عمر بن الخطاب رضي الله عنه.

Dalam riwayat lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz:

(أن تعبد الله ولا تشرك به شيئا…).

“Kamu mengibadati Allah dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apapun”.

Riwayat ini menjelaskan makna syahadah Laa Ilaha Illa Allah dalam riwayat yang pertama.

Dalam hadits Abdullah Bin Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang rukun islam, Rasulullah bersabda:

(بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله…) الحديث رواه البخاري ومسلم.

Dalam riwayat lain dengan lafadz:

(بني الإسلام على خمس: على أن يعبد الله ويكفر بما دونه…).

“islam didirikan diatas lima dasar: diatas mengibadati Allah dan kufur (menginkari) selain peribadatan kepada-Nya”.

Riwayat kedua ini menjelaskan makna syahadah Laa Ilaha Illa Allah dan Tauhid, yaitu keikhlasan beribadah kepada Allah dan mengingkari seluruh peribadatan kepada selain Allah, karena itu adalah kebatilan.

Dan menjelaskan juga bahwa agama islam adalah agama tauhid karena seluruh ibadah wajib di ikhlaskan kepada Allah Ta’ala.

Dalam hadits lain:

(من قال : لا إله إلا الله وكفر بما يعبد من دون الله حرم ماله ودمه وحسابه على الله) رواه مسلم (رقم: 139). وفي روية: (من وحّد الله…). رواه أحمد (رقم: 27213/ 27755)، وابن حبان في صحيحه (رقم:171) والبزار في مسنده (رقم:2768) وأبو عبيد في كتاب الأموال (رقم: 47).

“Barangsiapa yang mengatakan “Laa Ilaha Illa Allah” dan kufur terhadap apa yang diibadati selain Allah maka haram harta dan darahnya, dan hisabnya hanya atas Allah”. (HR, Muslim).

Dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mentauhidkan Allah…”.

Makna inilah (mengikhlaskan ibadah kepada Allah) yang dipahami oleh para shahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam tentang kalimat tauhid (Laa Ilaha Illa Allah) dan kalimat yang mereka gunakan dalam perkataan mereka, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jabir Bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang menjelaskan sifat haji Nabi shalallahu’alaihi wasallam:

(فأهلَّ بالتوحيد “لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك، إن الحمد والنعمة لك والملك لا شريك لك).

“Maka ia (Rasulullah) bertalbiyah dengan tauhid, kami datang memenui panggilan-Mu, kami datang memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, sesungguhnya segala puji dan nikmat serta kerajaan (kekuasan) adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”.

Maka talbiyah haji tersebut dinamakan dengan tabiyatuttauhid, karena makna dan hakekatnya adalah keikhlasan beribadah kepada Allah, sebagaimana segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik Allah semata, maka begitu juga seluruh ibadah hanya berhak diperuntukkan kepada-Nya.

Makna ini pulalah yang dipahami oleh ulama islam yang memahami hakekat dakwah Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam, sebagaimana dalam sebagian ungkapan mereka:

Imam Syafi’i berkata:

سُئِلَ مَالِكٌ عَنِ الْكَلاَمِ وَالتَّوْحِيْدِ، فَقَالَ: مُحَالٌ أَنْ نَظُنَّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ عَلَّمَ أُمَّتَهُ الاسْتِنْجَاءَ، وَلَمْ يُعَلِّمْهُمْ التَّوْحِيْدَ، وَالتَّوْحِيْدُ مَا قَالَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ “، فَمَا عَصَمَ بِهِ الدَّمَ وَالْمَالَ حَقِيْقَةُ التَّوْحِيْدِ.

“Imam Malik pernah ditanya tentang  masalah kalam dan tauhid, maka beliau menjawab: Mustahil kalau Nabi mengajarkan kepada umatnya tentang tata cara istinja’ (buang kotoran) tetapi tidak mengajarkan mereka tentang tauhid. Tauhid adalah apa yang dikatakan oleh Nabi: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan Laa Ilaha Illa Allah, apa yang dapat menjaga darah dan harta maka itulah hakekat tauhid”.[1]

Imam Ad Darimi –salah seorang ulama syafi’iyah- berkata:

(تفسير التوحيد عند الأمة وصوابه: قول لا إله إلا الله وحده لا شريك له).

“Tafsir tauhid yang benar menurut umat (islam) adalah: ucapan “Laa Ilaha Illa Allah” dan tidak ada sekutu bagi-Nya”[2].

Imam Abul Abbas Ibnu Suraij –salah seorang ulama syafi’iyyah- ditanya:

)ما التوحيد ؟ قال: توحيد أهل العلم وجماعة المسلمين : أشهد أن لا إله إلا  الله وأشهد أن محمداً رسول الله ، وتوحيد أهل الباطل من المسلمين الخوض في  الأعراض والأجسام ، وإنما بعث النبي صلى الله عليه وسلم بإنكار ذلك).

Apakah (yang dimaksud dengan) tauhid? Beliau menjawab: tauhid para ulama dan jama’ah kaum muslimin adalah: syadahah “Laa Ilaha Illa Allah” dan Muhammad adalah Rasulullah, sedangkan tauhid orang orang yang sesat dari kalangan kaum muslimin adalah sibuk membahasa masalah Al A’raadh dan Al Ajsaam[3], dan Nabi shalallahu’alaihi wasallam diutus untuk menginkari hal itu”.[4]

Itulah makana dan kakekat kalimiat tauhid, jadi ia bukanlah sekedar ucapan lisan tanpa ilmu dan amalan, bukanlah sekedar keyakinan tanpa aplikasi tuntuan dan persyaratan, tetapi ia adalah kalimat yang mulia mengandung makna yang kekekat yang agung yang wajib di pelajari dan diketahui, dan keonsekwensi yang harus diaplikasikan.

Semogah Allah Ta’ala membimbing kita semua untuk memahmai kalimat tauhid dan mengamalkan dalam kehidupan sehari hari.

Wassalam.

Disampaikan oleh Penulis pada kajian Umum di Islamic Center Al-Hunafa’ Masjid ‘Aisyah Lawata Mataram pada Jum’at   malam tanggal 04/02/2011

Download Audio:

Makna dan Hakekat Laa Ilaha illallah

Sumber:  www.alhujjah.com

Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com


[1] Siyar A’lam Nubala 3/3282 oleh adz-Dzahabi.

[2] Naqdu ad Darimi ala Marriisi” hal: 6

[3] Al A’raadh (sifat suatu benda) dan Al Ajsaam (tempat berdirinya sifat) dua istilah ahlulkalam yang mereka gunakan dalam berdalil untuk menetapkan bahwa alam semesta ini adalah makhluk, maka setiap yang makhluk tentu ada yang menciptkan, itulah Allah. Ini adalah metoda yang bid’ah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah dan manhaj salaf dan telah di hujat dan diingkari oleh para ulama Ahlussunnah.

[4] Diriwayatkan oleh Imam Qowamussunnah dalam kitab “Al Hujjah fi bayanil mahajjah” (1/107).

3 Oktober 2012

Sifat-sifat Allah

oleh alifbraja

Allah SWT. memiliki 20 sifat wajib dan 20 sifat mustahil serta satu sifat jaiz (wewenang). Dua puluh sifat wajib dan dua puluh sifat mustahil tersebut, adalah:

  1. Allah itu Wujud (ada), mustahil ’Adam (tiada). “Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa. (QS. 32/As-Sajdah: 4).
  2. Allah itu Qidam (paling awai), mustahil Huduts (ada yang mendahului). “Dia-lah Yang Awai, Yang Akhir, Yang Zhohir (Yang nyata adanya karena banyak buktinya) dan Yang Batin (artinya tidak ada sesuatu pun yang menghalangi-Nya), dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 57/Al-Hadid: 3).
  3. Allah itu Baqo (kekal/abadi/tidak pernah berakhir), mustahil Fana (berakhir). “Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. 55/Ar- Rohman: 27).
  4. Allah itu Mukholafatuhu lil hawaditsi (berbeda dengan semua mahluk/segala sesuatu), mustahil Mumatsalatu lil hawaditsi (ada yang menyamai). Ditegaskan dalam Al-Qur’an, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (QS. 42/Asy-Syuro: 11).
  5. Allah itu Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri), mustahil Ihtiyaju ligliefrihi (membutuhkan yang lain). “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. 29/Al-Ankabut: 6).
  6. Allah itu Wachdaniyat (Maha Esa/Tunggal), mustahil Ta’adui I (terbilang). Katakanlah (Muhammad), “Dia-lah Allah, Yang Maha I Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan- Nya.” (QS. 112/Al-Ikhlas: 1-4)
  7. Allah itu Qudrot (kuasa), mustahil ’Ajzun (lemah). “Sungguh Al­lah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2/Al-Bacjoroh: 20).
  8. Allah itu Irodat (berkehendak), mustahil Karohah (terpaksa). ’’Sungguh Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. 11 /Hud: 107).
  9. Allah itu Ilmu (maha mengetahui), mustahil Jahlun (Bodoh). ’’Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.’’ (QS. 4/An-Nisa’: 176).
  10. Allah itu Hayat (hidup), mustahil Mautun (mati). “Dan semua wajah (kelak) tertunduk di hadapan (Allah) Yang Hidup dan Yang Berdiri Sendiri.” (QS. 20/Thoha: 111)
  11. Allah itu Sama’ (Maha mendengar), mustahil Shomamun (tuli). “Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. 2/Al- Baqoroh: 256).
  12. Allah itu Bashor (maha melihat), mustahil ‘Ama (buta). “Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 49/Al-Hujurot: 19).
  13. Allah itu Kalam (berfirman), mustahil Bakamun (bisu). “Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.” (QS. 4/An-N is a’:16 A). Allah berfirman langsung kepada Nabi Musa as., merupakan keistimewaan Nabi Musa as., karenanya Nabi Musa as disebut Kalimullah
  14. Allah itu Qodiron (Dzat yang maha berkuasa), mustahil Kaunuhu ’ajiyan (Dzat yang lemah). “Sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu.” (QS. bA/Al-Qomar: 42).
  15. Allah itu Muridan (Dzat Yang Maha Berkehendak), mustahil Kaunuhu kariban (Dzat yang terpaksa). “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Melaksanakan apa yang Dia kehendaki.” (QS. 11 /Hud: 107).
  16.  Allah itu Alimcm (Dzat Yang Maha Mengetahui), mustahil Kaunuhu jahilan (Dzat yang bodoh). “Dan Allah Maha Mengetahui sesuatu.” (QS. 4/An- Nisa’: 176).
  17. Allah itu Hayyan (Dzat Yang Hidup), mustahil Mayyitan (Dzat yang mati). “Dan bertakwalah kepada Allah yang hidup kekal dan yang tidak mati.’’ (QS. 25/Al-Furqon: 58).
  18. Allah itu Sami’an (Dzat Yang Maha Mendengar), mustahil Kaunuhu ashamma (Dzat yang tuli). “Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS. 2/Al-Baqoroh: 256).
  19. Allah itu Bashiron (Dzat Yang Maha Melihat), mustahil Kaunuhu ‘ama (Dzat Yang buta). “Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.’’ (QS. 49/Al-Hujurat: 18).
  20. Allah itu Mutakalliman (Dzat yang berfirman), mustahil Kaunuhu abkama (Dzat yang bisu). “Dan Allah telah berbicara kepada (Nabi) Musa dengan langsung.” [QS. 4/An-Nisa’: 164).

Sifat Jaiz (wewenang) Allah SWT adalah tarku likulli mumkinin au fi’luhu. (Allah SWT berwewenang menciptakan sesuatu atau tidak). Sifat-sifat Allah SWT. tersebut di atas, dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

1.    Sifat nafsiah (kedirian), yakni sifat yang pertama.
2.    Sifat salbiyah, yaitu sifat-sifat yang membedakan Allah SWT dengan Dzat-dzat lain, seperti sifat nomor 2,3,4, dan 6.
3.    Sifat ma’ani, yakni sifat-sifat abstrak seperti sifat nomor 7,8,9,10.11,12, dan 13.
4.    Sifat ma ’nawiyah, yakni sifat-sifat berikutnya atau sifat-sifat yang tergantung pada ma’ani.

2 Oktober 2012

Beradab Sebelum Berilmu

oleh alifbraja
Pentingnya Adab sebelum Ilmu
Allah telah menganugrahkan kepada hamba-hamba-Nya nikmat yang besar dengan diutusnya Rasul yang paling mulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, da’i yang menyeru kepada Allah dengan idzin-Nya, dan sebagai lampu yang menerangi, yang telah diturunkan Al-Qur`an kepadanya, sebagai kitab yang memberi petunjuk, mengajarkan ilmu dan yang memperbaiki keadaan manusia. Allah berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ


“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(Al-Jumu’ah:2)

Maka dakwahnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup tiga hal utama, sebagaimana diterangkan dalam ayat yang mulia ini. Tiga hal itu adalah At-Tabliigh (menyampaikan ilmu), At-Tazkiyyah (pensucian jiwa) dan At-Ta’liim (mengajarkan ilmu). Adapun at-tazkiyyah maka yang dimaksud adalah mendidik jiwa agar menerapkan Islam, melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta berakhlak dengan akhlak-akhlak yang utama dan adab-adab yang tinggi.

Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan tugas ini yaitu mendidik dan mensucikan jiwa para shahabatnya dan mengajarkan kepada mereka adab-adab Islam sehingga berubahlah mereka yang tadinya keras, kaku dan kasar menjadi orang-orang yang lembut, luas akhlaknya dan baik dalam pergaulannya serta secara umum berakhlak dengan akhlaknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan ummat Islam, yang mana akhlak beliau adalah Al-Qur`an.

Para shahabatpun senantiasa melaksanakan tugas yang agung ini dalam menyebarkan Islam, di mana mereka bersungguh-sungguh dalam menyampaikan adab sebelum ilmu kepada murid-murid mereka dari kalangan tabi’in, dan mengarahkan mereka kepada akhlak dan adab pada dirinya, keluarganya, gurunya, teman-temannya serta seluruh manusia yang ada di sekitarnya, yang semuanya ini selayaknya dimiliki oleh seorang penuntut ilmu agar berpegang teguh dengannya.

Kemudian hal ini pun berpindah kepada tabi’in, di mana mereka menjadi para pengajar yang menjadi panutan dalam masalah adab dan ilmu bagi murid-muridnya. Dan demikianlah dari satu generasi ke generasi berikutnya, mereka senantiasa mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu agama itu sendiri.

Ucapan Para Imam tentang Pentingnya Adab

Al-Khathib Al-Baghdadiy meriwayatkan dari Al-Imam Malik bin Anas, beliau berkata: Berkata Ibnu Sirin: “Mereka (para shahabat dan tabi’in) mempelajari al-huda (petunjuk tentang permasalahan adab dan yang sejenisnya) sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” (Al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawii wa Aadaabis Saami’, 1/79)

Dari Al-Imam Malik juga, dari Ibnu Syihab, beliau berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah adabnya Allah, yang telah Allah ajarkan kepada Nabi-Nya dan demikian juga telah diajarkan oleh Nabi kepada ummatnya; amanatnya Allah kepada Rasul-Nya agar beliau melaksanakannya dengan semestinya. Maka barangsiapa yang mendengar ilmu maka jadikanlah ilmu tersebut di depannya, yang akan menjadi hujjah antara dia dan Allah ‘Azza wa Jalla.” (Ibid. 1/79)

Dari Ibrahim bin Hubaib, beliau berkata: Berkata ayahku kepadaku: “Wahai anakku, datangilah para fuqaha dan para ulama, dan belajarlah dari mereka serta ambillah adab, akhlak dan petunjuk mereka, karena sesungguhnya hal itu lebih aku sukai untukmu daripada memperbanyak hadits.” (Ibid. 1/80)

Dari Ibnul Mubarak, beliau berkata: Berkata Makhlad bin Al-Husain kepadaku: “Kami lebih butuh untuk memperbanyak adab daripada memperbanyak hadits.” (Ibid. 1/80)

Hal ini dikarenakan kalau seseorang sibuk memperbanyak hadits dan menghafalnya akan tetapi tidak beradab dengan adab-adab yang telah dipraktekkan oleh para ulama niscaya ilmu tadi tidak akan bermanfaat. Akan tetapi orang yang belajar adab niscaya dia akan terus mencari tambahan ilmu dengan diamalkan dan diterapkan adab-adab yang telah dipelajarinya.
Dari Zakariyya Al-‘Anbariy, beliau berkata: “Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu sedangkan adab tanpa ilmu seperti ruh tanpa jasad.” (Ibid. 1/80)

Dari Malik bin Anas bahwasanya ibunya berkata kepadanya: “Pergilah ke Rabi’ah lalu pelajarilah adabnya sebelum ilmunya.” (Tanwiirul Hawaalik Syarh Muwaththa` Al-Imaam Maalik, hal.164)

28 September 2012

Hikmah dalam Berdakwah (Bag-1)

oleh alifbraja

PERINTAH UNTUK BERAKHLAK MULIA

Begitu banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya Firman Allah ta’ala tatkala memuji Nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wassallam:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassallam) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”. [QS. Al-Qalam: 4]

Juga sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam,

وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ

“Berakhlak mulialah dengan para manusia”. HR. Tirmidzy (hal. 449 no. 1987) dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.

APA ITU AKHLAK MULIA?

Banyak definisi yang ditawarkan para ulama, di antara yang penulis anggap cukup mewakili:

“بَذْلُ النَّدَى، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاحْتِمَالُ الْأَذَى”

Akhlak mulia adalah: “berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri tatkala disakiti” [Madârij as-Sâlikîn karya Imam Ibn al-Qayyim: II/318-319]

Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:

1. Melakukan kebaikan kepada orang lain.

Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.

2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain.

Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.

3. Menahan diri tatkala disakiti.

Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.

 

 

BERDAKWAH MELALUI SIKAP

Dakwah, selain penyampaian secara lisan atau tulisan, juga meliputi contoh praktek amalan dan akhlak mulia, atau yang biasa diistilahkan dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran. [Munthalaqât ad-Da’wah wa Wasâ’il Nasyriha, Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99)

Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun amat sedikit orang-orang yang mewujudkan omongannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah (teladan) di masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [It-hâf al-Khiyarah, Ummu Abdirrahman binti Ahmad al-Jaudar, hal. 14]

Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya adalah: mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

CONTOH PRAKTEK AKHLAK MULIA & DAMPAK POSITIFNYA DALAM DAKWAH

Cakupan akhlak mulia sangatlah luas, di sini hanya akan dibawakan beberapa contoh saja:

1. Gemar membantu orang lain.

Sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam,

“وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ”

“Allah akan membantu seorang hamba; jika ia membantu saudaranya”. HR. Muslim (XVII/24 no. 6793) dari Abu Hurairah.

Karakter gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadijah tatkala beliau menghibur suaminya; Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadijah berkata,

“كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ”.

“Demi Allah tidak mungkin! Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah”. HR. Bukhari (hal. 2 no. 3) dan Muslim (II/376 no. 401).

Maksud perkataan Khadijah di atas adalah: “Sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai; karena Allah telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadijah menyebutkan berbagai contohnya”, yang di antaranya adalah: gemar membantu orang lain.

Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia; kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan piutang; kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.

Jika hal ini rajin kita terapkan; lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu. Sehingga dakwah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.

2. Jujur dalam bertutur kata.

Allah ta’ala berfiman,

“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُـوا اللَّهَ وَقُولُـوا قَوْلاً سَدِيداً”.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”. QS. Al-Ahzab: 70.

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.

Ibnu Abbas bercerita, bahwa tatkala turun firman Allah,

“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.

“Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara: 214.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, “Wahai kaumku kemarilah!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Siapakah yang memanggil itu?”. “Muhammad”, jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam berkata, “Wahai bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?”.

Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!”.

“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!” lanjut Rasul Shalallahu ‘alaihi wassallam. HR. Bukhari (hal. 1082 no. 4971) dan Muslim (III/77 no. 507) dengan redaksi Muslim.

Lihatlah bagaimana Rasululullah Shalallahu ‘alaihi wassallam menjadikan kejujurannya dalam bertutur kata sebagai dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.

Seorang muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita; dia akan disegani oleh mereka. Ucapannya berbobot dan omongannya didengar. Dan ini adalah modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya, mudah menukil berita tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.

3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

“ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ”.

“Tolonglah aku untuk mencari dan membantu orang-orang lemah; sesungguhnya kalian dikaruniai rizki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. HR. Abu Dawud (III/52 no. 2594), dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawy.

Bahkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam pernah ditegur langsung Allah ta’ala tatkala suatu hari beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allah abadikan dalam surat ‘Abasa. Namun setelah itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Orang tersebut adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum radhiyallahu’anhu.

SEBUAH KISAH YANG PENUH HIKMAH & PELAJARAN BERHARGA

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya ‘Adiy bin Hâtim ath-Thâ’iy. Beliau adalah satu raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar munculnya Rasul Shalallahu ‘alaihi wassallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah; membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu akan adanya raja pesaing baru. Hingga datanglah suatu hari di mana Allah membuka hatinya untuk mendatangi Rasul Shalallahu ‘alaihi wassallam.

Begitu mendengar kedatangan ‘Adiy, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam yang saat itu sedang berada di masjid beserta para sahabatnya pun bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju ke rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam pun berhenti dan meninggalkan ‘Adiy guna mendatangi wanita tersebut, beliau berdiri lama beserta dia melayani kebutuhannya. Manakala melihat ketawadhuan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam ‘Adiy bergumam dalam hatinya, “Demi Allah, ini bukanlah tipe seorang raja!”.

Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam menggamit tangan ‘Adiy melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan ‘Adiy untuk duduk di atasnya. ‘Adiy pun menjawab, “Tidak, duduklah engkau di atasnya”. “Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya” sahut Rasul Shalallahu ‘alaihi wassallam “. Akhirnya ‘Adiy duduk di atas bantal tersebut dan Rasul Shalallahu ‘alaihi wassallam duduk di atas tanah. Saat itu ‘Adiy kembali bergumam dalam hatinya, “Demi Allah, ini bukanlah karakter seorang raja!”.

Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya ‘Adiy pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya. [Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm oleh Abdussalam Harun (hal. 272-274)]

Badruddin Ibn Jama’ah (w. 723 H) menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama, “Bermu’amalah dengan para manusia dengan akhlak mulia, seperti bermuka manis, menebar salam … berlemah lembut dengan kaum fakir, memperlihatkan kasih sayang terhadap tetangga dan kerabat …” [Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Muta’allim (hal. 96-97)].

28 September 2012

RAHASIA al-Qur’an 7

oleh alifbraja

Mengikuti Nasihat yang Diberikan

 

Perintah Allah lainnya kepada hamba-hamba-Nya yang menginginkan petunjuk kepada jalan yang lurus adalah sebagai ber­ikut:

 

“Dan sesungguhnya kalau mereka melak­sanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih mengu­atkan mere­ka. Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjukkan mereka ke jalan yang lurus.” (Q.s. an-Nisa’: 66-8).

 

Orang-orang beriman yang bertakwa kepada Allah berusaha untuk membersihkan diri mereka dari kesalahan dan berusaha untuk memperoleh kesempurnaan akhlak yang menjadikan Allah ridha kepadanya. Namun, orang perlu bersikap rendah hati agar kesalahan-kesalahannya diampuni dan agar memperoleh petunjuk kepada jalan yang lurus. Orang yang rendah hati yang berusaha untuk membersihkan dirinya, pertama-tama akan bersungguh-sungguh mengikuti perin­tah-perintah Allah. Di samping itu, orang-orang beriman yang ikhlas saling menjadi teman dan pelindung bagi orang lain. Mereka memerintahkan yang benar dan melarang yang mungkar. Dengan demikian, karena mengetahui bahwa peringatan seorang yang beriman itu sangat penting bagi penghisaban seseorang di akhirat, maka orang-orang yang beriman juga harus saling mau menerima nasihat. Orang yang mau mengikuti nasihat yang baik akan memperoleh petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah memberikan kabar gembira kepada hamba-hamba-Nya yang men­­jauhi bujukan setan dan menaati orang-orang yang menyeru kepada al-Qur’an dan perintah-perintah-Nya:

 

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.s. az-Zumar: 17-8).

 


NAFSU MANUSIA MEMERINTAHKAN

PERBUATAN FASIK

 

 

Nafsu manusia merupakan kekuatan dari dalam yang mendorong dan mengetahui kefasikan dan cara menjauhinya. Dengan kata lain, ia merupakan nafsu yang mengilhamkan kefasikan dan kejahatan. Allah menceritakan dua sifat nafsu ini dalam al-Qur’an, sebagai berikut:

 

“Dan nafsu serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada nafsu itu kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan nafsu itu.” (Q.s. asy-Syams: 7-9).

 

Nafsu disebutkan dalam ayat tersebut sebagai sumber semua keburukan dan kesa­lah­an bagi manusia. Karena memiliki sifat seperti itu, nafsu merupakan salah satu di antara musuh manusia yang sangat berbahaya. Nafsu itu bersifat sombong dan memen­ting­kan diri sendiri; ia selalu ingin memuas­kan kehendaknya dan kesombongannya. Ia hanya memperhatikan kebutuhannya sendiri, ke­pen­­­tingannya sendiri, dan hanya mencari kesenangan. Ia berusaha melakukan apa saja untuk memperdayakan manusia, karena nafsu selalu tidak mungkin dapat memenuhi ke­ingin­annya melalui cara yang benar. Ucapan Nabi Yusuf menjelaskan keadaan ini dalam al-Qur’an, sebagai berikut:

 

“Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Yusuf: 53).

 

Bahwa nafsu seseorang dengan kuat meng­ilhamkan perbuatan fasik dan jahat merupa­kan rahasia penting yang diungkapkan kepa­da orang-orang beriman, dan takut kepada Allah. Dengan diungkapkannya rahasia ini, mereka dapat mengetahui bahwa nafsu tidak pernah berhenti bekerja, sekalipun hanya sede­tik. Melalui godaan, ia selalu berusaha menjerumuskan manusia dari jalan Allah. Berdasarkan rahasia ini, nafsu tidak akan per­nah diam; ia akan selalu membenarkan perbu­atannya dalam keadaan apa saja, ia akan selalu mencintai dirinya sendiri melebihi yang lain, ia semakin sombong, meng­ingin­kan benda apa saja dan menginginkan kenik­matan. Pen­dek kata, ia berusaha dengan cara apa saja agar seseorang melakukan perbu­atan yang berten­tangan dengan hal-hal yang diridhai Allah.

Sesungguhnya, perilaku dan perbuatan orang-orang kafir yang tidak sesuai dengan ajar­an al-Qur’an sepenuhnya dibentuk oleh nafsu mereka. Karena tidak takut kepada Allah, orang-orang kafir tidak memiliki ke­hen­­­dak untuk mengikuti hati nurani mereka, tetapi lebih cenderung untuk meng­ikuti nafsu mereka. Percekcokan, konflik kepen­tingan, dan ketidakbahagiaan yang melanda masyara­kat dan agama diabaikan, berakar dari indi­vidu-individu yang terjerat oleh nafsu mereka dan kepentingan diri mere­ka, sehingga akibatnya, mereka kehilangan sifat-sifat ma­nu­­sia seperti kasih sayang, saling menghor­mati, dan pengorbanan.

Itulah sebabnya mengapa rahasia yang diungkapkan oleh Allah ini sangat penting. Jika seseorang mencamkan rahasia ini dalam hatinya, ia dapat mewaspadai nafsu dan mela­kukan perbuatan yang benar. Nafsu dapat ditun­dukkan dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diperin­tahkan. Misalnya, ketika nafsu memerin­tahkan untuk bermalas-malas, kita harus bekerja lebih keras. Ketika nafsu memerin­tahkan untuk memen­ting­kan diri sendiri, kita harus lebih banyak berkorban. Ketika nafsu memerintahkan untuk berbuat kikir, kita harus menjadi lebih dermawan.

Di samping sisi nafsu yang jahat, dari surat asy-Syams kita mengetahui bahwa Allah juga mengilhamkan kepada nafsu hati nurani yang menjadikan seseorang dapat mengendalikan nafsunya agar tidak memuaskan keinginan­nya yang rendah. Yaitu, di samping nafsu itu mendordong kepada kefasikan, ia juga men­dorong kepada kebajikan. Setiap orang me­nge­tahui akan bisikan ini dan dapat menge­nali perbuatan fasik dan perbuatan baik. Namun, hanya orang-orang yang takut kepa­da Allah yang dapat mengikuti hati nurani mereka.

 


RAHASIA KEMAKMURAN DAN KEKAYAAN YANG DIBERIKAN KEPADA MANUSIA

 

 

Seluruh alam raya ini adalah milik Allah, dan Dia memberikan apa saja yang Dia kehendaki kepada siapa saja yang Dia kehen­daki. Allahlah yang memberi rezeki kepada manusia, Dialah yang menjadikan mereka kaya, dan Dialah yang memberi panen yang berlimpah kepada mereka. Sebagaimana Allah menyatakan dalam sebuah ayat, Allah meluas­kan rezeki kepada hamba-hamba-Nya menu­rut kehendak-Nya, dan Dialah juga yang menyempitkan rezeki tersebut. Dia melaku­kan ini untuk alasan tertentu dan karena hikmah tertentu. Baik orang-orang yang reze­ki­nya diluaskan maupun yang rezekinya disempitkan, pada hakikatnya merupakan ujian dari Allah. Orang-orang yang tidak menjadi sombong dan boros karena apa yang telah diberikan kepada mereka, tetapi bersyu­kur kepada Allah atas segala sesuatu yang di­karuniakan kepada mereka, orang-orang yang bertawakal kepada Allah dan tetap bersabar ketika harta mereka disempitkan, mereka adalah hamba-hamba yang diridhai Allah. Ucapan Nabi Sulaiman yang diketengahkan dalam al-Qur’an menjelaskan bahwa nikmat dari Allah yang dikaruniakan kepada manusia pada hakikatnya merupakan bagian dari ujian:

 

“Seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab berkata, ‘Aku akan membawa singga­sana itu kepadamu sebelum matamu berke­dip.’ Maka ketika Sulaiman melihat singga­sana itu terletak di hadapannya, ia pun ber­kata, ‘Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau ingkar. Dan barangsiapa yang bersyu­kur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia’.” (Q.s. an-Naml: 40).

 

Ucapan Nabi Sulaiman yang menyatakan, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk men­coba aku apakah aku bersyukur atau ingkar,” menjelaskan salah satu alasan mengapa orang-orang diberi harta.

Apa yang Allah nyatakan sebagai “kese­nang­an dunia” dalam al-Qur’an — termasuk harta benda, anak-anak, istri, sanak keluarga, kedudukan, kehormatan, kecerdasan, kecan­tikan atau ketampanan, kesehatan, perdagang­an yang menguntungkan, keberhasilan, pendek kata segala sesuatu yang diberikan tersebut merupakan ujian bagi manusia.

 

 

Rahasia Kemakmuran yang Diberikan

kepada Orang-orang Kafir

 

Banyak manusia di dunia ini, meskipun tidak beriman kepada Allah, mereka menik­mati umur yang panjang, memiliki kekayaan yang tak terhitung banyaknya, memiliki kebun yang berbuah dan anak-anak yang sehat. Orang-orang seperti ini bukannya men­cari keridhaan Allah, tetapi semua karunia yang dinikmatinya tersebut justru menjauh­kan dirinya dari Allah. Orang-orang seperti ini, yang menjalani kehidupannya yang panjang dengan mendurhakai Allah dan yang melakukan dosa semakin banyak hari demi hari, menganggap bahwa apa yang mereka miliki itu merupakan kebaikan bagi mereka. Namun, al-Qur’an mengingatkan kita tentang rahasia lain dan tujuan Allah di balik nikmat dan waktu yang diberikan kepada mereka:

 

“Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka, dalam keada­an kafir.” (Q.s. at-Taubah: 85).

 

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa Kami menang­guhkan mereka itu lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami menang­guhkan mereka hanyalah supaya bertam­bah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Q.s. Ali Imran: 178).

 

“Maka biarkanlah mereka dalam kesesat­annya sampai suatu waktu. Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu Kami ber­segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Q.s. al-Mu’minun: 54-6).

 

Sebagaimana dijelaskan dalam ayat terse­but, apa yang dimiliki orang-orang tersebut sesungguhnya bukanlah merupakan kebaikan bagi mereka. Waktu yang diberikan kepada mereka hanyalah untuk menambah dosa mereka. Ketika waktu yang diberikan kepada mereka sudah habis; kekayaan mereka, anak-anak mereka, atau kedudukan mereka, tidak dapat menyelamatkan mereka dari siksa yang pedih. Sesungguhnya, Allah telah menceri­takan keadaan umat-umat terdahulu yang hidup dengan kekayaannya dan harta yang melimpah, namun mereka ditimpa azab yang pedih:

 

“Berapa banyak umat yang telah Kami binasa­kan sebelum mereka , sedang mereka lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata.” (Q.s. Maryam: 74).

 

Ayat berikut ini menjelaskan alasan me­nga­pa orang-orang tersebut diberi perpan­jangan waktu:

 

“Katakanlah, ‘Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi­nya; sehingga apabila mereka telah me­lihat apa yang diancamkan kepadanya, baik siksa maupun Kiamat, maka mereka akan menge­tahui siapa yang lebih jelek keduduk­annya dan lebih lemah penolong-penolong­nya?” (Q.s. Maryam: 75).

 

Allah adalah Mahaadil dan Maha Penya­yang. Dia menciptakan segala sesuatu dengan kebijaksanaan dan kebaikan, dan setiap orang akan dibalas sepenuhnya atas apa yang mereka kerjakan. Menyadari hal ini, orang-orang yang beriman melihat berbagai peristiwa dengan maksud untuk melihat kebijaksanaan dan kebaikan yang diciptakan Allah dalam setiap peristiwa. Jika tidak, orang-orang akan menjalani hidupnya dengan tertipu dan jauh dari kenyataan.

 

RAHASIA MENGAPA ALLAH TIDAK SEGERA MENYIKSA ORANG-ORANG KAFIR

 

 

Salah satu rahasia yang diungkapkan dalam al-Qur’an adalah bahwa manusia tidak segera dibalas atas perbuatan buruk yang mereka lakukan, tetapi siksa tersebut ditang­guhkan hingga waktu tertentu. Hal ini dike­mukakan dalam ayat-ayat sebagai berikut:

 

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia dise­babkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan mereka, sampai waktu tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (Q.s. Fathir: 45).

 

“Dan Tuhanmulah Yang Maha Peng­am­pun lagi mempunyai rahmat. Jika Dia mengazab mereka karena perbuatan mereka, tentu Dia akan menyegerakan azab bagi mereka. Tetapi bagi mereka ada waktu yang tertentu yang mereka sekali-kali tidak akan menemukan tempat berlindung daripada­nya.” (Q.s. al-Kahfi: 58).

 

Bahwa banyak orang yang tidak segera dibalas atas perbuatan buruk mereka menye­babkan mereka beranggapan bahwa mereka tidak akan pernah diminta tanggung jawab atas perbuatan jahat mereka. Anggapan ini menyebabkan mereka tidak mau bertobat, merasa menyesal, dan memperbaiki kesalahan mereka. Di samping itu, hal tersebut semakin menambah keangkuhan mereka. Karena ter­jauh dari hikmah, mereka tidak dapat melihat bahwa apa yang mereka lakukan itu akan menyebabkan datangnya azab, bahkan azab ter­sebut semakin berat di akhirat kelak. Da­lam al-Qur’an, Allah menyatakan sebagai ber­ikut:

 

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tang­guh kepada mereka hanyalah supaya bertam­bah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Q.s. Ali Imran: 178).

 

Inilah penangguhan yang diberikan Allah untuk menguji manusia. Namun, tentu saja ada waktu yang telah ditetapkan Allah sehing­ga setiap orang akan dibalas atas apa yang mere­ka perbuat. Ketika waktu yang ditetap­kan ini tiba, maka waktu tersebut tidak dapat ditunda atau dipercepat, meskipun hanya sesaat. Allah memberi tahu kita bahwa setiap orang pasti akan memperoleh balasan:

 

“Dan sekiranya tidak ada suatu ketetapan dari Allah yang telah terdahulu atau tidak ada ajal yang telah ditentukan, pasti (azab itu) menimpa mereka.” (Q.s. Thaha: 129).

 

“Dan Aku tangguhkan mereka. Sesung­guh­nya rencana-Ku amat teguh.” (Q.s. al-A‘raf: 183).

 


KESIMPULAN

 

 

Setiap orang yang membaca al-Qur’an kemudian dicamkan dalam hati dan jiwanya, yang memikirkan tentang kehidupan, ber­bagai peristiwa, dan orang-orang di sekitarnya dengan sikap seorang yang beriman, dan yang menganggap Allah sebagai satu-satunya penolong dapat melihat rahasia-rahasia yang diungkapkan dalam al-Qur’an. Tidak ada satu peristiwa pun, yang penting dan yang remeh, terjadi begitu saja; tak ada sesuatu pun yang terjadi secara kebetulan. Di balik sebuah rahasia terdapat tujuan yang baik, dan hikmah yang diciptakan oleh Allah. Jika manusia berbuat dengan ikhlas dan selalu berpaling kepada Allah, maka mereka dapat mengetahui rahasia-rahasia ini dan hikmah di balik rahasia-rahasia tersebut.

Orang yang dapat memahami rahasia-raha­sia al-Qur’an dan memperhatikan rahasia-rahasia dalam kehidupan ini semakin dekat kepada Allah dan hubungan dengan-Nya akan semakin kokoh. Orang-orang seperti ini sema­kin mengenal Rabbnya, Pencipta langit dan bumi dan akan semakin memahami keku­asaan-Nya, hikmah-Nya, dan ilmu-Nya. Mereka menyadari bahwa tidak ada penolong atau pelindung selain Allah. Mereka merasa bergembira ketika melihat dan memahami hikmah dan rahasia yang diciptakan Allah setiap saat. Allah menyingkapkan lebih banyak rahasia-rahasia ciptaan-Nya kepada orang-orang seperti itu. Sekalipun kehidupan orang seperti itu tampaknya biasa-biasa saja bagi orang lain, namun sesungguhnya Allah menciptakan sesuatu yang luar biasa kepada orang tersebut setiap saat. Allah akan menun­jukkan hal ini kepada setiap orang yang dengan ikhlas ingin memahami hikmah dan rahasia dalam ciptaan-Nya.

Allah menyatakan dalam al-Qur’an:

 

“Sesungguhnya (dalam al-Qur’an) terda­pat peringatan yang jelas bagi orang-orang yang menyembah.” (Q.s. al-Anbiya’: 106).

 


KEPALSUAN TEORI EVOLUSI

 

 

Setiap bagian di alam semesta ini menun­jukkan adanya penciptaan yang luar biasa. Sebaliknya, faham materialisme, yang ber­usaha menolak fakta tentang penciptaan alam semesta, tidak lain hanyalah merupakan faham palsu yang tidak ilmiah.

Jika faham materialisme telah tumbang, maka semua faham lainnya yang berdasarkan pada filsafat ini juga tidak memiliki landasan. Hampir semua penganut faham ini adalah penganut Darwinisme, yakni teori evolusi. Teori ini, yang berpendirian bahwa kehidupan berasal dari benda mati, yang terjadi secara kebetul­an, telah ditumbangkan oleh kenya­taan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Ahli astrofisika Amerika, Hugh Ross, menya­ta­kan sebagai berikut:

Atheisme, Darwinisme, dan pada dasarnya semua “isme” yang muncul dari filsafat abad kedelapan belas hingga abad kedua puluh, yang dibangun berdasarkan asumsi, yakni asumsi yang tidak benar, bahwa alam semesta ini tak terbatas. Keajaiban alam semesta telah membawa kita berhadapan dengan sebab atau penyebab utama di balik/ di belakang/ di hadapan alam semesta dan semua isinya, termasuk kehidupan itu sendiri.1

Allah-lah yang menciptakan alam semesta dan Yang merancangnya hingga ke bagian-bagiannya yang terkecil. Dengan demikian teori evolusi yang menyatakan bahwa makh­luk hidup itu tidak diciptakan oleh Allah, tetapi terjadi secara kebetulan, adalah teori yang sama sekali tidak benar.

Tidak heran jika kita memperhatikan teori evolusi, maka kita akan melihat bahwa teori ini dikecam oleh penemuan ilmiah. Rancang­an kehidupan ini sangatlah kompleks dan menakjubkan. Di dunia makhluk tak bernya­wa misalnya, kita dapat melihat betapa luar biasanya keseimbangan pada atom-atom. Belum lagi pada dunia makhluk bernyawa, kita dapat melihat betapa kompleksnya ran­cang­an dari kumpulan atom, dan betapa luar biasanya cara kerja dan struktur seperti pro­tein, enzim, dan sel, yang diciptakan di dalam­nya.

Rancangan yang luar biasa dalam kehidup­an ini menumbangkan Darwinisme pada akhir abad kedua puluh.

Kita telah membicarakan dengan sangat detail masalah ini dalam beberapa kajian kami lainnya, dan kami akan terus melakukannya. Namun mengingat pentingnya persoalan ini, tentunya akan bermanfaat jika pada kesem­patan ini diketengahkan ringkasannya.

 

 

Ilmu Pengetahuan Menumbangkan Darwinisme

 

Meskipun doktrin ini berasal dari zaman Yunani kuno, teori evolusi dikembangkan secara luas pada abad ke-19. Perkembangan terpenting yang menjadikan teori ini menjadi topik terbesar dalam dunia sains adalah buku karya Charles Darwin yang berjudul The Origin of Species, yang diterbitkan pada tahun 1859. Dalam buku ini, Darwin menolak bahwa berbagai spesies yang hidup di bumi, masing-masing diciptakan oleh Tuhan. Menurut Darwin, semua makhluk hidup me­mi­liki nenek moyang yang sama dan makh­luk-makhluk tersebut kemudian men­jadi beraneka ragam dengan berjalannya waktu melalui perubahan-perubahan kecil.

Teori Darwin tidak berdasarkan pada pembuktian ilmiah yang kongkret; sebagai­mana yang diakuinya sendiri, tetapi hanya berupa “asumsi”. Tambahan pula, sebagai­mana pengakuan Darwin dalam bab panjang dari bukunya yang berudul Difficulties of the Theory, teori tersebut tidak mampu meng­hadapi berbagai pertanyaan penting.

Darwin menumpukan semua harapannya pada penemuan-penemuan ilmiah baru, yang ia harapkan dapat memberikan pemecahan atas Difficulties of the Theory. Namun, ber­lawanan dengan harapannya, pembuktian ilmiah justru semakin memperluas dimensi dari kesulitan-kesulitan ini.

Kekalahan Darwinisme atas ilmu penge­tahuan dapat disimpulkan menjadi tiga topik dasar:

1) Teori tersebut sama sekali tidak men­je­las­kan tentang bagaimana asal mula kehidup­an di bumi.

2) Tidak ada pembuktian ilmiah yang me­nunjukkan bahwa “mekanisme evolusi­oner” yang diajukan dalam teori tersebut memiliki kekuatan untuk berkembang.

3) Apa yang dikemukakan dalam teori evolusi tersebut sama sekali bertolak belakang dengan Catatan fosil.

Dalam bagian ini, kita akan mengkaji tiga poin dasar tersebut secara garis besar:

28 September 2012

RAHASIA al-Qur’an 5

oleh alifbraja

ALLAH MENJADIKAN AGAMANYA TINGGI

JIKA ORANG-ORANG HANYA MENYEMBAH DIA SAJA

 

 

Salah satu tujuan terpenting bagi seorang Muslim dalam hidup ini adalah mendak­wahkan ajaran-ajaran al-Qur’an ke seluruh dunia, sehingga orang-orang dapat menyem­bah Allah sebagaimana yang seharusnya. Dalam al-Qur’an, Allah telah menunjukkan kepada orang-orang beriman jalan untuk mencapai tujuan ini, dan Dia memerintahkan sebagai berikut:

 

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mere­ka berkuasa, dan sungguh Dia akan mene­guh­kan bagi mereka agama mereka yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mere­ka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap me­nyem­bah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang­siapa yang kafir sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.s. an-Nur: 55).

 

Berdasarkan rahasia Allah yang diungkap­kan kepada orang-orang beriman, Allah akan meneguhkan nilai-nilai al-Qur’an di seluruh dunia jika orang-orang beriman dan hanya me­nyem­bah Allah, tanpa menyekutukan-Nya. Ini merupakan rahasia yang sangat pen­ting, karena hal ini menunjukkan bahwa sesung­guhnya merupakan tanggung jawab setiap orang beriman untuk mendakwahkan ajaran al-Qur’an kepada manusia. Dengan demikian setiap orang beriman yang memiliki hati nurani harus menjauhkan diri dengan sung­guh-sungguh dari menyekutukan Allah dan hanya menyembah-Nya. Dibandingkan hal-hal lainnya, menyekutukan Allah meru­pa­kan dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah dan orang yang melakukannya akan dimasukkan ke dalam neraka. Bagaimanapun, tampaknya sebagian besar manusia terlibat dalam ajaran-ajaran orang musyrik yang me­nyembah ber­hala. Manusia harus waspada terhadap “kemusyrikan yang tersembunyi”. Dalam bentuk kemusyrikan seperti ini, orang tersebut menyatakan beriman kepada Allah, mengakui Allah itu satu, Allah Yang Mencip­ta­kan, dan Yang wajib ditaati. Tetapi, ia juga takut kepada makhluk selain Allah, mengang­gap persetujuan dan dukungan orang lain lebih penting, menganggap bahwa perdagang­an, keluarga, dan anak cucu lebih penting dari­pada Allah dan berjuang di jalan-Nya, sesungguhnya semua ini merupakan bentuk kemusyrikan yang nyata. Keimanan yang benar sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an adalah memandang bahwa keridhaan Allah adalah di atas segala-galanya. Mencintai makhluk lain selain Allah hanyalah sebagai asbab untuk mencari keridhaan-Nya. Orang-orang yang merasa berutang budi kepada manusia yang telah memberi sesuatu kepada mereka, yang memandang manusia sebagai pelindungnya, sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik. Hal ini karena Yang memberi rezeki hanyalah Allah, Yang mem­beri makan, menolong, dan melindungi setiap makhluk hidup dan menyembuhkan orang yang sakit, hanyalah Allah. Jika Allah meng­hendaki, Dia dapat menyembuhkan orang yang sakit melalui tangan seorang dokter. Dalam hal ini, sungguh tidak masuk akal jika seseorang menumpukan harapannya hanya pada dokter. Karena, tak seorang dokter pun yang dapat menyembuhkan pasiennya kecuali jika Allah menghendaki. Seseorang yang melihat kesehatannya membaik harus meli­hat, bahwa dokter itu sebagai orang yang dipakai tangan­nya oleh Allah untuk menyem­buhkannya, sehingga ia akan menghormati dokter itu dengan semesti­nya. Namun, karena ia menge­tahui bahwa se­sung­guhnya yang menyem­buhkan adalah Allah, maka hanya kepada Allah saja ia harus bersyukur. Jika tidak demi­kian, berarti ia telah menyeku­tu­kan Allah dan menganggap sama sifat Allah dengan sifat manusia. Semua Muslim harus menjauhi dengan sungguh-sung­guh syirik yang tersem­bunyi ini, dan jangan sampai menjadikan penolong dan pelindung selain Allah.

 


KEHIDUPAN DUNIA INI SANGAT SINGKAT

 

 

Sebagian besar manusia sangat mencintai dunia ini seakan-akan mereka tidak akan per­nah mati, sehingga mereka menjauhi kehi­dup­an agama, tidak ingat mati dan akhirat. Padahal, kehidupan dunia yang sangat mereka cintai ini sesungguhnya sangatlah singkat dan sementara. Bahkan orang-orang yang umur­nya sangat panjang pada suatu saat pasti akan menghadapi kematian. Di samping itu, kehi­dupan dunia ini sesungguhnya tidaklah sebagaimana yang tampak. Allah mengung­kapkan rahasia ini kepada manusia dalam beberapa ayat al-Qur’an:

 

“Allah bertanya, ‘Berapa tahunkah lama­nya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menja­wab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah berfir­man, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melain­kan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.’ Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.s. al-Mu’minun: 112-15).

 

“Dan pada hari terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah bahwa mereka tidak berdiam melainkan sesaat, seperti itulah mereka selalu dipalingkan dari kebenaran.” (Q.s. ar-Rum: 55).

 

Percakapan di atas adalah percakapan antara orang-orang yang dikumpulkan untuk dihisab. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam percakapan tersebut, setelah mati orang-orang menyadari bahwa sesungguhnya mereka tinggal di dunia hanya sebentar. Yaitu, waktu yang tampaknya enam puluh atau tujuh puluh tahun dalam kehidupan dunia ini, sesungguhnya sama singkatnya dengan satu hari, atau bahkan lebih singkat lagi. Hal ini bagaikan kisah seseorang yang menganggap bahwa ia telah menghabiskan beberapa hari, bulan, atau bahkan beberapa tahun dalam mimpinya, tetapi setelah bangun baru menya­dari bahwa mimpi tersebut hanya berlangsung selama beberapa detik.

Dengan bertafakkur, orang akan dapat memahami betapa singkatnya dan betapa sementaranya kehidupan dunia ini. Misalnya, setiap orang membuat rencana yang jelas dan menetapkan beberapa tujuan dalam hidup­nya. Rencana-rencana ini merupakan tujuan yang tidak pernah berakhir. Antara keduanya saling mengikuti. Demikian pula orang yang baru lulus dari SLTA, lalu masuk ke Pergu­ruan Tinggi, lalu bekerja di sebuah perusa­haan. Betapapun, semua ini merupakan pe­nga­laman yang bersifat sementara. Ketika muda, orang hampir-hampir tidak dapat membayangkan ia akan berumur tiga puluh tahun. Tetapi tahu-tahu ia telah berumur empat puluh tahun.

Singkatnya kehidupan dunia ini merupa­kan kepastian dari Allah yang diungkapkan dalam al-Qur’an, yang dapat dipahami oleh siapa pun sebelum mati. Bagi orang yang me­ma­haminya, betapa bodohnya jika ia meng­abai­kan kehidupan yang nyata dan tidak berakhir di akhirat, hanya untuk mengejar kehidupan yang singkat dan sementara ini. Sebagian di antara ayat-ayat, yang di dalam­nya Allah mengingatkan manusia tentang singkatnya kehidupan dunia adalah sebagai berikut:

 

 

“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara, dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Q.s. Ghafir: 39).

 

“Sesungguhnya mereka menyukai kehi­dup­an dunia yang sementara dan mereka tidak mempedulikan hari yang berat.” (Q.s. al-Insan: 27).

 


ALLAH MEMASUKKAN RASA TAKUT KE DALAM HATI ORANG-ORANG KAFIR

 

 

Allah menyatakan dalam beberapa ayat bahwa Dia memasukkan perasaan takut ke dalam hati orang-orang kafir:

 

“Ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah orang-orang yang telah beriman.’ Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (Q.s. al-Anfal: 12).

 

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tidak menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksa­an) Allah; maka Allah mendatangkan kepa­da mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencam­pakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (Q.s. al-Hasyr: 2).

 

Apa yang diceritakan dalam ayat-ayat ter­sebut merupakan mukjizat dari Allah. Dengan cara memasukkan perasaan takut ke dalam hati mereka, Allah menghilangkan kekuatan orang-orang yang menentang orang-orang beriman dan yang menolak Allah dan agama-Nya. Sangatlah penting agar orang-orang beriman merenungkan ayat-ayat ini dan meng­­ambil pelajaran bagi diri mereka. Hal ini karena — sebagaimana disebutkan pada bab-bab terdahulu — hati kita berada di tangan Allah, dan Allah memasukkan apa saja ke dalam hati, kepada siapa saja yang dikehen­daki-Nya. Tugas orang-orang beriman bukan­lah berusaha untuk menciptakan pengaruh kepada orang lain, tetapi hanya supaya ikhlas. Misalnya, seorang beriman memiliki tang­gung jawab untuk mengingatkan seseorang berdasarkan ayat-ayat Allah. Namun, orang itu hanya akan memperoleh hidayah dari nasi­hat yang diberikan — betapapun penjelas­annya itu sangat terang — Allah membim­bing orang itu ke jalan yang benar. Dengan penjelasan tersebut, seorang beriman tidak berdaya menghadapi bahaya. Demikian pula, ia tidak mempunyai kekuatan untuk menjadi­kan musuh ketakutan. Tetapi Allah melin­dungi dan menolong orang-orang beriman yang ikhlas dan dalam melakukan usahanya hanya untuk mencari ridha Allah. Misalnya, sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas, Dia memasukkan perasaan takut ke dalam hati musuh, dan menjadikan mereka terjerumus dalam kesulitan mereka sendiri. Dengan cara inilah Allah memberikan jalan keluar kepada orang-orang yang beriman.

Allah memasukkan berbagai ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir seperti takut mati, takut masa depan, takut terluka, takut akan bencana, atau takut kehilangan harta. Demikian pula, mereka takut mati karena tidak mempercayai akhirat dan sangat men­cintai dunia. Meyakini bahwa ia akan lenyap dan kehilangan semua kekayaannya, ketakut­an terhadap mati semakin besar. Pada akhir­nya, rasa takut ini berkembang menjadi sakit.

Allah menceritakan kepada kita bahwa rasa takut tersebut dimasukkan ke dalam hati orang-orang kafir karena mereka menyekutu­kan Allah. Kesudahan orang-orang seperti ini diceritakan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

 

“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan kete­rangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.” (Q.s. Ali Imran: 151).

 

 


HIKMAH DAN PEMBICARAAN YANG JELAS ADALAH RAHMAT DARI ALLAH

 

 

Hikmah dan pembicaraan yang jelas adalah rahmat dari Allah, sebagaimana yang dicerita­kan dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai ber­ikut:

 

“Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat meng­ambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Q.s. al-Baqarah: 269).

 

“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan pembi­ca­raan yang jelas.” (Q.s. Shad: 20).

 

Hikmah dan kemampuan berbicara yang jelas adalah karunia yang besar dari Allah. Suatu persoalan dapat dijelaskan oleh berma­cam-macam orang dengan gaya yang berbeda-beda. Namun, gaya yang paling berpengaruh adalah gaya yang mengesankan dan jelas. Pen­jelasan seperti itu dapat menjadikan seseorang memusatkan perhatiannya, membangun­kannya dari kelalaian, mendorongnya untuk berpikir tentang hal-hal yang telah diketahui tetapi sering dilupakan. Seseorang yang me­miliki kemampuan berbicara yang jelas tidak perlu berbicara panjang lebar, tetapi cukup menyatakan pikiran-pikirannya dan pandang­an-pandangannya secara singkat, pa­dat, namun memiliki pengertian yang sangat luas dan mengesankan. Seorang bijak yang menje­las­kan suatu persoalan dengan ikhlas menjadi­kan penjelasan yang diberikannya menimbul­kan kesan yang lebih kuat bagi orang lain. Satu hal yang patut disebutkan di sini — bahwa berbicara dengan jelas itu bukan meru­pa­kan sebuah bidang yang dapat dipe­lajari. Ia tidak memiliki aturan atau teori yang rumit. Ia hanya memerlukan keikhlasan dan doa untuk meminta rahmat dari Allah. Ketika seseorang berbicara, Allah memberikan ilham kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Karya agung tentang hikmah dan pembica­raan yang jelas adalah al-Qur’an , yang meru­pa­kan firman Allah secara langsung. Hikmah ini merupakan sesuatu yang istimewa dari semua kitab yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Hal ini diceritakan dalam ayat berikut ini:

 

“Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan: itulah suatu hikmah yang sempurna — tetapi peringatan-peringatan itu tidak berguna.” (Q.s. al-Qamar: 4-5).

 

 

 

 


MANUSIA JUGA AKAN DIMINTAI TANGGUNG JAWAB ATAS APA YANG MEREKA PIKIRKAN DAN MEREKA NIATKAN

 

 

Dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan ma­nu­sia agar hidup berdasarkan asas-asas agama dengan kerelaan hati dan dengan khu­syuk:

 

“Barangsiapa dengan kerelaan hati me­nger­jakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.s. al-Baqarah: 184).

 

“Peliharalah segala shalatmu, dan peli­hara­­lah shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (Q.s. al-Baqarah: 238).

 

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bu­kan­lah dia termasuk orang-orang yang mem­per­sekutukan Tuhan.” (Q.s. an-Nahl: 120).

 

Sebagaimana terlihat dalam ayat-ayat di atas, Allah memerintahkan umat manusia agar mengerjakan semua shalatnya dengan khusyuk. Di samping mengerjakan shalat, puasa, bersedekah, atau amal saleh lainnya, yang sesungguhnya sangat penting bagi sese­orang adalah niatnya. Dalam al-Qur’an, Allah mengingatkan kita tentang keadaan sebagian orang yang mengerjakan shalat atau yang menginfakkan hartanya hanya untuk pamer. Kemungkinan orang seperti ini tidak meng­ingat Allah, tidak bersikap khusyuk dan khu­dhu’ di hadapan Allah dalam shalatnya, tetapi shalatnya hanya bersifat ritual saja. Mungkin seseorang secara lahiriah tampak melakukan kedermawanan, menyumbang sekolah, atau membantu orang miskin. Tetapi jika hal itu tidak dikerjakan untuk mencari ridha Allah, tidak menyadari kelemahannya, tidak merasa memerlukan Allah, tidak takut terhadap akhirat, amalan-amalan ini tidak akan diteri­ma Allah. Allah menceritakan kepada kita bahwa darah binatang kurban tidak sampai kepada-Nya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaannya:

 

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.s. al-Hajj: 37).

 

Di antara kesalahan-kesalahan besar yang banyak dipercayai adalah bahwa manusia meng­­anggap, mereka hanya akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan mereka. Pada­hal, Allah memberi tahu kita bahwa manusia akan dimintai tanggung jawabnya atas niat­nya, pikirannya, bahkan apa yang tersimpan di dalam lubuk hatinya.

“Kepunyaan Allah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahir­kan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatan itu. Maka Allah meng­ampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.s. al-Baqarah: 284).

 

Allah mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang, apa yang ada dalam bawah sadar­nya, apa yang dipikirkannya, dan apa yang tersembunyi dari orang lain. Allah menengahi antara seseorang dan hatinya. Dengan demiki­an, manusia tidak mungkin menyembu­nyi­kan segala sesuatu dari Allah. Keraguan apa pun yang terlintas dalam hati, bisikan-bisikan setan, keimanannya yang sesungguhnya, ke­imanannya terhadap al-Qur’an, apa saja yang terlintas dalam hatinya ketika sedang shalat, semuanya diketahui satu per satu oleh Allah, dan semuanya diingat oleh Allah. Misal­nya, Allah mengetahui ketika seseorang menger­jakan shalat dengan malas, atau ketika pikir­an­nya mengalami pertentangan. Manu­sia akan menjumpai semuanya itu pada Hari Akhir. Membersihkan hati, menjalani hidup berdasarkan agama dan dalam mengamal­kan­nya tidak hanya bersifat ritual tetapi dengan ikhlas dan penuh kekhusyukan, semua ini meru­pakan jalan untuk mencapai keselamat­an. Betapa bodohnya mengabaikan kehidupan yang abadi dan hakiki hanya untuk mengejar kehidupan yang singkat dan sementara. Di bawah ini diketengahkan beberapa ayat, yang di dalamnya Allah mengingatkan manusia tentang singkatnya kehidupan di dunia:

 

“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan sementara dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (Q.s. Ghafir: 39).

 

“Sesungguhnya mereka menyukai kehi­dup­an dunia dan mereka tidak mempedu­likan hari yang berat.” (Q.s. al-Insan: 27).

28 September 2012

RAHASIA al-Qur’an 4

oleh alifbraja

RAHASIA TENTANG BERTAMBAH ATAU BERKURANGNYA NIKMAT

 

 

Dalam al-Qur’an, Allah mengungkapkan alasan mengapa Dia memberikan nikmat atau mengambilnya dari manusia:

 

“Yang demikian itu adalah karena sesung­guhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepa­da sesuatu kamu, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesung­guhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. al-Anfal: 53).

 

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah meng­hendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.s. ar-Ra‘d: 11).

 

Apa yang dikemukakan dalam ayat-ayat tersebut merupakan rahasia yang sangat pen­ting yang tidak diketahui atau diabaikan oleh kebanyakan manusia. Allah berfirman bahwa Dia akan menambah nikmat bagi orang-orang yang sibuk mengerjakan amal saleh, dan akan mempersempit nikmat bagi orang-orang yang melakukan kemaksiatan, dan nikmat terha­dap manusia akan berubah sesuai dengan per­ubahan perbuatan dan keikhlasan mereka.

Orang-orang yang beriman yang menge­tahui rahasia-rahasia Allah ini berusaha untuk melihat maksud tersembunyi di balik ciptaan Allah dalam setiap keadaan yang mereka jumpai dan mereka senantiasa memper­hati­kan masalah tersebut. Mereka tidak pernah merasa sempurna, tetapi mereka berusaha keras untuk memiliki kesempurnaan akhlak sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, dan berusaha membetulkan kesalah­an dan kekhilafan mereka. Dalam hal ini, mereka tidak pernah ragu-ragu untuk selalu berusaha memperbaiki akhlak mereka dan membersihkan tingkah laku mereka.

 


MENAATI RASUL BERARTI MENAATI ALLAH

 

 

Salah satu amal ibadah yang sangat penting yang diperintahkan Allah kepada orang-orang beriman dalam al-Qur’an adalah menaati Rasul-Nya. Allah berfirman bahwa Dia telah mengi­rim para rasul-Nya untuk ditaati, dan orang-orang beriman, dalam setiap zaman, telah diuji ketaatan mereka terhadap para rasul tersebut. Para rasul adalah orang-orang yang menyampaikan pesan Allah dan perin­tah-Nya kepada manusia, dan mengingatkan mereka tentang hari perhitungan dan tentang ayat-ayat-Nya. Para rasul adalah orang-orang yang lurus dan dirahmati, yang dipilih Allah di antara seluruh manusia; dan perbuatan, sikap, dan kesempurnaan akhlak mereka sebagai teladan. Mereka adalah para kekasih Allah yang sangat dekat dengan-Nya. Sebagai­mana dinyatakan dalam ayat berikut ini, orang yang menaati rasul berarti menaati Allah.

 

“Barangsiapa yang menaati rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (Q.s. an-Nisa’: 80).

 

Rasulullah saw. juga bersabda bahwa orang yang bersaksi terhadap hal ini akan memper­oleh berita gembira:

“Tidakkah kamu telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa saya adalah utusan-Nya? Jika demikian, maka kabar gembira bagi kamu. Qur’an adalah sebuah tali yang satu ujungnya sampai kepada Allah dan ujung yang lain sampai kepadamu. Berpegang teguhlah kepadanya. Jika kamu melakukan itu, kamu tidak pernah terjerumus dalam kesalahan atau bahaya.1

Mendurhakai seorang rasul adalah men­dur­hakai Allah dan agama-Nya. Ini merupa­kan salah satu rahasia penting yang diung­kapkan Allah dalam al-Qur’an. Dalam sebuah ayat, Allah menceritakan keadaan orang-orang yang menaati rasul dan orang-orang yang mendurhakainya:

 

“Itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang­siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar keten­tuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah mema­suk­kannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.s. an-Nisa’: 13-4).

 

Allah telah mengungkapkan dengan jelas dalam al-Qur’an tentang ketaatan kepada rasul, dan menjelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar taat dan berserah diri juga akan diterima di sisi-Nya. Sebagaimana yang ter­lihat dalam ayat-ayat ini, dipenuhinya semua syarat agama dan melakukan banyak ibadah belumlah mencukupi. Jika seseorang tidak menerapkan sikap dan akhlak yang me­nun­jukkan ketaatan kepada rasul sesuai dengan yang dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan hanya setengah-setengah dalam menaati-Nya, mungkin Allah akan menja­dikan semua perbuatannya sia-sia. Sebagian dari ayat-ayat yang membicarakan masalah ini dikaji di bawah ini yang dibagi menjadi be­berapa bagian:

 

Tidak Beriman sehingga Menyerahkan Diri

Mereka Sepenuhnya kepada Rasul

 

Allah mengungkapkan sebuah rahasia yang sangat penting dalam Surat an-Nisa’:

 

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak ber­iman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perse­lisih­kan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terha­dap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.s. an-Nisa’: 65).

 

Dalam ayat ini diungkapkan sebuah raha­sia penting tentang ketaatan yang sempurna kepada rasul. Hampir semua orang mengeta­hui apakah ketaatan itu. Namun, ketaatan kepada rasul sangat berbeda dibandingkan dengan bentuk-bentuk ketaatan sebagaimana yang diketahui orang banyak. Sebagaimana dinyatakan Allah dalam ayat di atas, orang-orang yang beriman haruslah menaati rasul dengan sepenuh hati, tanpa ada sedikit pun perasaan ragu di dalam hati. Jika seseorang merasa ragu-ragu terhadap apa yang dikata­kan oleh rasul dan menganggap pikirannya sendiri lebih benar daripada pikiran rasul, maka sebagaimana dinyatakan oleh ayat ter­sebut, pada hakikatnya ia bukanlah orang yang beriman.

Orang-orang yang benar-benar beriman dan berserah diri mengetahui bahwa apa yang disabdakan oleh rasul adalah yang terbaik bagi mereka. Sekalipun sabdanya tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka, mereka menerima dan menaati dengan penuh gairah dan semangat. Sikap seperti ini merupakan tanda bahwa ia adalah orang yang benar-benar beriman, dan Allah memberikan kabar gembira berupa keselamat­an kepada orang-orang yang menaati rasul dengan ketaatan yang sempurna. Inilah seba­gian dari ayat-ayat yang menyatakan kabar gembira dari Allah:

 

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nik­mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shid­diqin.” (Q.s. an-Nisa’: 69).

 

“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Q.s. an-Nur: 52).

 

“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan jika kamu berpa­ling, maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewa­jiban rasul itu melainkan menyampaikan dengan terang’.” (Q.s. an-Nur: 54).

 

Sebagaimana dinyatakan di atas, orang-orang yang menaati rasul akan memperoleh petunjuk. Di sepanjang sejarah, semua orang diuji atas ketaatan mereka terhadap para rasul. Allah selalu memilih Rasul-rasul-Nya dari kalangan manusia. Dalam hal ini, orang-orang yang berpikiran sempit dan tidak me­mi­liki hikmah tidak mampu memahami bagai­mana menaati seorang manusia dari kalangan mereka sendiri, atau seseorang yang tidak lebih kaya daripada diri mereka sendiri. Namun, Allah telah memilih Rasul-rasul-Nya, menolong mereka dari sisi-Nya, dan memberikan kepada mereka ilmu dan kekuat­an. Hakikat dari persoalan ini yang tidak mampu dipahami oleh orang-orang adalah bahwa Allah memilih siapa saja yang Dia ke­hendaki. Orang beriman yang ikhlas dengan sepenuh hati menaati dan menghormati orang yang telah dipilih Allah, lalu ia meng­ikutinya dengan sepenuh hati. Ia mengetahui bahwa jika ia menaati rasul, sesungguhnya ia menaati Allah. Orang-orang yang berserah diri kepada Allah dan melaksanakan agama dengan demikian juga menyerahkan diri kepada rasul. Allah menceritakan keadaan orang-orang yang menyerahkan diri kepada-Nya sebagai berikut:

 

“Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat keba­jikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhan­nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Q.s. al-Baqarah: 112).

 

 

Perbuatan Orang-orang yang Mening­gikan Suara

Mereka Melebihi Suara Nabi Menjadi Terhapus:

 

Dalam sebuah ayat, Allah menyatakan sebagai berikut:

 

“Hai orang-orang yang beriman, jangan­lah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus amalan-amal­anmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendah­kan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.s. al-Hujurat:: 2-3).

 

Rasulullah selalu menyeru orang-orang beriman kepada jalan yang lurus dan kepada kebaikan. Tentu saja ada saat-saat ketika seruan para rasul ini bertentangan dengan kepentingan orang-orang yang diseru. Na­mun, orang-orang yang beriman dan menaati rasul tidak menuruti pikirannya sendiri, tetapi berserah kepada firman Allah, Rasul-Nya, dan al-Qur’an . Dalam pada itu, orang-orang yang imannya lemah, yang tidak dapat mengendalikan nafsu mereka menunjukkan kedurhakaan atau kelemahan terhadap seruan rasul. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, suara mereka, pembicaraan mereka, dan kata-kata yang mereka ucapkan, dapat mengungkapkan penyakit yang ada dalam hati mereka dan lemahnya mereka dalam ketaatan. Perbuatan mereka yang menentang apa yang dikatakan oleh Nabi dan sikap mere­ka yang meninggikan suaranya tersebut, sesung­guhnya menunjukkan kebodohan mereka. Allah memberi tahu bahwa perbuatan orang-orang seperti ini akan menjadi ter­ha­pus. Allah menyatakan bahwa semua perbu­atan orang seperti ini, sekalipun ia berusaha siang malam untuk menyebarkan agama, ha­nya­lah sia-sia karena kedurhaka­annya terse­but.

Ini merupakan rahasia penting yang diung­kapkan dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an. Allah telah memerintahkan manusia agar mengerjakan amal saleh, berjuang dengan sungguh-sungguh dan teguh untuk kepen­tingan Islam, bertingkah laku sesuai dengan akhlak mulia sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an , dermawan, sabar, menjaga perasaan orang lain, jujur, dan dapat diper­caya. Tidak diragukan lagi, semua ini merupa­kan bentuk ibadah yang penting yang akan mensyafaati orang yang melakukannya di akhirat kelak. Namun, sebagaimana yang tercantum dalam Surat al-Hujurat, satu sikap yang tidak menghormati Rasulullah dapat menyebabkan semua perbuatan orang itu sia-sia. Sekali lagi, hal ini mengingatkan kita betapa pentingnya menaati dan menghor­mati Rasulullah.

 

 

Allah Mencabut Kekuatan Orang-orang

yang Tidak Menaati Rasul

 

Kisah tentang Thalut dan bala tentaranya yang diceritakan dalam al-Qur’an merupakan peringatan lain, yang sangat menekankan pentingnya menaati Rasulullah. Sebagai­mana diceritakan dalam al-Qur’an , ketika Thalut memberangkatkan pasukannya untuk mela­wan musuh, ia memperingatkan pasu­kan­nya agar jangan minum air sungai yang akan mereka seberangi. Berikut ini adalah ayat yang menceritakan kisah tersebut:

 

“Maka ketika Thalut keluar membawa ten­ta­ranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum air­nya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang­siapa tidak meminumnya, kecuali menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka keti­ka Thalut dan orang-orang yang beriman ber­sama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat menga­lah­kan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’.” (Q.s. al-Baqarah: 249).

 

Sebagaimana terlihat dari ayat tersebut, orang-orang yang tidak menaati perintah Thalut menjadi lemah, sedangkan orang-orang yang menaati Thalut diberi kekuatan oleh Allah, dan atas kehendak-Nya, mereka dapat mengalahkan musuh meskipun jumlah mereka lebih sedikit. Ini merupakan rahasia yang diungkapkan Allah dalam al-Qur’an kepada manusia. Kekuatan, kemenangan, dan keunggulan tidak tergantung pada kekayaan materi, kedudukan yang bergengsi, jumlah yang banyak, atau kekuatan jasmani. Barang­siapa yang menjalankan perintah Allah, menaati Dia dan Rasul-Nya, Allah menjadi­kan mereka lebih kuat dibandingkan semua­nya, dan Allah akan memberi pahala kepada mereka dengan karunia yang sangat banyak seperti hikmah, kekayaan, kebaikan, kenik­mat­an, dan kekayaan. Bagi orang-orang yang siap untuk mengikuti Rasulullah dise­dia­kan kenikmatan yang kekal abadi di akhirat kelak.

 


KELOMPOK MINORITAS ORANG BERIMAN DAPAT MENGALAHKAN ORANG KAFIR YANG JUMLAHNYA LEBIH BESAR

 

 

Salah satu mukjizat dari Allah yang di­be­ri­kan kepada orang-orang yang beriman, meskipun mereka berjumlah sedikit adalah bahwa mereka dapat mengalahkan musuh-musuh mereka dengan Kehendak Allah. Ini merupakan rahasia penting yang diung­kap­kan Allah dalam beberapa ayat sehingga menjadikan orang-orang kafir tertipu. Seba­gai­mana dapat dilihat dalam kisah tentang Thalut, Allah menjadikan orang-orang beriman memperoleh kemenangan karena ketaatan mereka, meskipun mereka berjumlah sedikit. Allah mengakhiri kisah tentang Thalut dengan kata-kata sebagai berikut:

 

“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. al-Baqarah: 249).

 

 

Dengan Bersabar, Orang-orang Beriman

akan Memperoleh Kekuatan Besar

 

Sebagaimana sering kali ditekankan dalam buku ini, terdapat banyak rahasia yang ter­sem­bunyi dalam berbagai ayat al-Qur’an. Salah satu di antara rahasia-rahasia tersebut adalah tentang kesabaran. Allah memberikan kabar gembira bahwa orang-orang yang ber­sabar akan semakin kuat. Ingatlah bahwa semua kekuatan adalah milik Allah. Bahkan kekuatan orang yang menentang Allah se­sung­guhnya juga milik Allah. Allah memberi­kan berbagai macam kemampuan kepada orang-orang untuk menguji mereka dan orang-orang di sekeliling mereka. Demikian pula, Dia dapat mengambil dengan mudah sebagaimana Dia dapat memberikan dengan mudah apa saja yang Dia kehendaki. Allah memberi tahu kita bahwa orang-orang yang bersabar akan menjadi kuat, yakni Dia akan memberikan kekuatan kepada mereka. Ten­tang hal ini, Allah menyatakan sebagai ber­ikut:

 

“Ya, jika kamu bersabar dan bersiap siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang mema­­kai tanda.” (Q.s. Ali Imran: 125).

 

Sebagaimana dinyatakan dalam ayat di atas, jika Allah menghendaki, Dia dapat mem­berikan kemenangan kepada orang-orang dengan cara yang tak terlihat. Dalam usaha untuk memperjuangkan agama Allah misal­nya, Allah dapat memberikan pertolongan yang tak terlihat sehingga memungkinkan seseorang bicaranya sangat berpengaruh dan membuat hati orang-orang yang mendengar­kannya berpaling kepada agama. Dengan demi­kian, tak seorang pun yang dapat mem­peroleh kemenangan atau mempengaruhi orang lain, kecuali jika Allah menghen­daki­nya. Pemilik semua kejayaan, kemenangan, dan pengaruh adalah Allah. Apa yang harus dilakukan oleh manusia adalah menaati perin­tah Allah dan melaksanakan ketentuan-ketentuan-Nya. Dalam ayat lainnya, Allah memberi tahu orang-orang yang beriman cara memperoleh kekuatan besar:

 

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. Dan jika ada seratus orang diantaramu, mere­ka dapat mengalahkan seribu orang kafir disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalah­kan dua ratus orang, dan jika diantaramu ada seribu orang, niscaya mereka dapat me­nga­lahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. al-Anfal: 65-6).

 

Sebagaimana dinyatakan Allah dalam ayat tersebut, jika orang-orang beriman tidak memiliki kelemahan dalam diri mereka, dan mereka teguh, sabar, dan yakin, maka kekuat­an satu orang beriman adalah sama dengan kekuatan sepuluh orang. Dalam hal ini, per­kataan “kekuatan” memiliki pengertian lain yang bukan sekadar kekuatan fisik. Misalnya, keku­atan seorang beriman yang menyampai­kan pesan agama dan menyeru manusia ke jalan Allah adalah sama dengan kekuatan sepuluh orang. Dalam pada itu, pengetahuan seorang yang ber­iman dapat menyamai pengetahuan sepu­luh orang. Perbuatan baik seorang beriman yang dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah dapat menyamai perbuatan yang dilakukan sepuluh orang. Seorang yang beriman dapat menyeru sepuluh orang kafir yang ter­sesat kepada jalan Allah yang benar dan dapat menjadi asbab bagi perbaikan iman mereka. Seorang yang ber­iman dapat menghancurkan kekafiran orang kafir dan menggantinya dengan kebenaran.

Rahasia yang diungkapkan Allah dalam al-Qur’an ini sangat penting. Hal ini karena jika semua orang Islam saling berlomba-lomba di jalan yang benar, betapapun kecilnya jumlah mereka, Allah akan memberikan kemenangan kepada mereka dalam setiap urusan yang mere­ka lakukan. Misalnya, jika orang di selu­ruh dunia ini berkumpul yang terdiri dari orang-orang kafir, dan profesor-profesor kafir dari seluruh dunia yang memimpin semua orang di setiap negara agar menjadi kafir, maka Allah cukup mengirim sekelompok kecil orang-orang Muslim yang kuat, bertang­gung jawab, dan cukup bijak untuk menun­jukkan kepada orang-orang tersebut jalan yang benar. Allah memberikan kemudahan kepada orang-orang beriman dalam setiap urusan mereka dan membuat berbagai urusan menjadi sulit bagi orang-orang kafir. Untuk itulah, orang-orang beriman yang mengetahui rahasia ini jangan sampai meremehkan usaha mereka dan mengatakan, “Mungkinkah usaha kita ini dapat membawa perubahan terhadap situasi seperti ini?” Tetapi sebaliknya mereka yakin bahwa Allah akan membalas setiap perbuatan yang ikhlas, yang dilakukan semata-mata untuk mencapai ridha-Nya ter­sebut dengan hasil yang baik. Sebaris tulisan tentang keberadaan Allah, sepatah kata yang menyeru manusia kepada Allah, atau suatu perbuatan yang sesuai dengan nilai-nilai ajar­an al-Qur’an dapat saja membawa manu­sia kepada keselamatan dan membangkitkan perasaan cinta dan takut kepada Allah dalam diri mereka. Perlu kita camkan bahwa hukum-hukum dan fenomena sebab dan akibat yang berlaku di dunia ini hanyalah berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an. Siapa pun yang berpikirnya sesuai dengan al-Qur’an dapat memahami rahasia-rahasia dalam ciptaan Allah ini, dan dengan kehen­dak Allah, akan memperoleh kekuatan yang lebih unggul dan hikmah melebihi apa yang dapat dicapai oleh orang lain. Allah memberi­kan berita gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka akan mengalahkan orang-orang kafir jika mereka teguh keiman­annya:

 

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman.” (Q.s. Ali Imran: 139).

 

Sebagaimana dapat dibaca pada ayat di atas, persyaratan yang diperlukan agar memper­oleh kemenangan dan ketinggian, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak adalah keiman­an yang ikhlas. Rahasia lain yang di­ung­kapkan dalam al-Qur’an dalam masalah ini adalah beriman dengan tidak menye­kutukan Allah.

22 September 2012

JALAN KELUAR DARI FITNAH

oleh alifbraja

PENGERTIAN FITNAH DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
KESYIRIKAN
Seperti firman Alloh didalam QS.AL-BAQOROH : 193 dan AL-BURUJ : 10.
Fitnah dalam surat ini(Al-Buruj:10) ditafsirkan dengan penyiksaan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin,yang bertujuan agar kaum mukminin terkena fitnah (lari) dari agama islam.
COBAAN ATAU UJIAN DARI ALLOH KEPADA HAMBA-NYA DENGAN KEBAIKAN ATAU KEBURUKAN
Firman Alloh didalam QS.Al-A’rof:155
Contohnya: fitnah antara sahabat yaitu Ali dengan mu’awiyyah, para pasukan perang jamal dan shiffin,dll
PEMBAGIAN FITNAH
IBNU QOYYIM mengatakan bahwa fitnah terbagi menjadi 2 macam yaitu Fitnah Syubhat dan Fitnah Syahwat.
1. Fitnah Syubhat
Fitnah Syubhat disebabkan oleh lemahnya seseorang akan ilmu dan kurangnya pengetahuan agama. Fitnah ini fitnah ini dapat menjerumuskan seseorang kepada kekafiran dan kemunafikan serta timbul dari orang-orang munafik dan ahli bid’ah sesuai dengan tingkatan bid’ah mereka. Kunci agar selamat dari fitnah syubhat adalah kita secara murni mengikuti Rosululloh SAW dan menerima segala keputusan Beliau.
Diantara jalan-jalan timbulnya Fitnah Syubhat yaitu :
1.Pemahaman yang salah
2.Pengambilan dalil yang tidak shohih(penukilan dari orang-orang dusta)
3.Kebenaran yang samar-samar(kurangnya ilmu)
4.Niat yang buruk terhadap ISLAM dan mengikuti hawa nafsu

2. Fitnah Syahwat
Ftnah Syahwat berupa nafsu ataupun hal-hal duniawi seperti harta benda,anak,istri,dll. Ftnah Syahwat timbul akibat dari mengedepankan atau mengutamakan hawa nafsu dari akal sehat.
Fitnah syubhat dapat diantipasi dengan keyakinan (kesempurnaan ilmu) sedangkan Fitnah Syahwat dengan kesabaran.
PERINGATAN DALAM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH TERHADAP FITNAH
 QS.AL-ANFAL:25
QS.AL-ANFAL:28
 Dari Abu Hurairah Rosululloh SAW bersabda:” bersegeralah untuk mengerjakan amal sholeh sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan-potongan malam,dimana seorang beriman di waktu pagi kemudian menjadi kafir di sore hari, ataupun seorang beriman di waktu sore kemudian menjadi kafir di pagi hari. Dia menjual agamanya demi kepentingan dunia. (HR.MUSLIM)
BENTUK-BENTUK FITNAH
1. FITNAH PERPECAHAN
2. FITNAH MUSUH-MUSUH ISLAM BERSEKONGKOL DENGAN KAUM MUSLIMIN
3.FITNAH PEMBUNUHAN DAN KEKACAUAN

4.FITNAH MERAJALELANYA ZINA
5.FITNAH HARTA
JALAN KELUAR DARI FITNAH
1.Menyibukkan diri dengan ibadah
2.Menuntut ilmu syar’i
3.Menjahui tempat dan sebab munculnya fitnah
4.Mengembalikan persoalan kepada pemerintah dan ulama

5 Tetap bersatu dalam barisan kaum muslimin diatas manhaj yang haq
6.Menahan diri dari berbicara dan tidak menerima isu-isu yang berkambang
7.Memohon perlindungan kepada Alloh

wassalam

14 September 2012

Rahasia Kehidupan (Suluk)

oleh alifbraja

Bahwa sesungguhnya seseorang masuk surga bukan karena amalnya, bukan karena banyak ilmu atau pemahaman yang telah diketahui, bukan karena kepandaiannya dalam bahasa Arab atau kepandaian memahami, menterjemahkan atau mentafsirkan, bukan karena pengetahuan atau hafalan al Qur’an dan haditsnya semata. Intinya bukan karena Amal dan Ilmu semata ! atau ibaratnya semua bukan karena “aku” (maksudnya diri kita).

Semua semata-mata karena pertolongan Allah, karunia Allah, rahmat Allah, hidayah dari Allah,  petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . Intinya semua karena Dia (oleh karenanya orang-orang yang mendalami tasawuf, memanggilNya atau mengingatNya dengan Huwa artinya Dia).

“…Allah juga berfirman memberitakan tentang penduduk surga:”..Dan mereka berkata:”segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini, dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk..“(QS Al-A’raaf:43)

.”..Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS an Nuur : 21)

Untuk itulah kita berjanji sesuai firmanNya yang artinya,
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS al Fatihah : 5).

Pada saat kita mengucapkan “hanya Engkaulah yang kami sembah”, pada saat itulah kita berupaya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kepada Wali Allah, Mursyid, Syaikh, Ulama, muslim yang sholeh atau mereka yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Berupaya untuk menjadi muslim yang menjalankan Ihsan (akhlak/tasawuf), muslim yang ihsan atau muhsinin yakni muslim yang dapat seolah-olah melihat Allah atau minimal muslim yang yakin bahwa Allah melihat kita,  muslim yang sholeh, muslim terbaik.  Sebagaimana doa  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan doa yang selalu kita ucapkan “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin” yang artinya  “Keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”

Pada saat kita mengucapkan “hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”, pada saat itulah kita sadar bahwa upaya kita untuk taat atau untuk menjadi muslim yang sholeh  adalah semata-mata pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala,  pada saat itu pula kita menghilangkan / memfanakan “aku” (maksudnya diri kita), sehingga yang Ada hanyalah Dia.

Fana, itu secara sederhana bisa dimaknai menghilangkan pengakuan “Aku” atau ego. Sehingga tidak setitikpun rasa sombong, riya, ujub yang  timbul dari hati kita. Sehingga kita dapat mencapai puncak keikhlasan, menjadi tawadhu dan tersungkur sujud di hadapanNya.

Kita ketahui
Keagungan adalah sarungKU dan kesombongan adalah pakaianKU. Barangsiapa merebutnya (dari AKU) maka AKU menyiksanya. (HR. Muslim)
Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)

Fana itu dapat dimaknai mengendalikan “hawa nafsu” atau akhlak yang sadar dan mengingat Allah atau diibaratkan sebagai “mati”.  “Mati” dalam keadaan syahid (bersaksi),  seolah-olah melihatNya.

Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang artinya
”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah)

Pakaian yang baru = Pakaian Ruhani = Akhlakul karimah = keadaan sadar (kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah.

Sebagaimana yang disampaikan ulama sufi, imam Al Qusyairi bahwa “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.

Wassalam

11 September 2012

Asal Mula dan Proses Penciptaan Manusia

oleh alifbraja

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. ” (At Tin : 5)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas bisa menjadi bahan renungan buat kita. Sungguh kenyataannya terpampang di hadapan mata. Alangkah sempurna penciptaannya dan alangkah indahnya.

Lalu pernahkan kita memikirkan dari mana kita diciptakan dan bagaimana tahap-tahap penciptaannya? Pernahkah terpikir di benak kita bahwa tadinya kita berasal dari tanah dan dari setetes mani yang hina?

Pembahasan berikut ini mengajak Anda untuk melihat asal usul kejadian manusia agar hilang kesombongan di hati dengan kesempurnaan jasmani yang dimiliki dan agar kita bertasbih memuji Allah ‘Azza wa Jalla dengan kemahasempurnaan kekuasaan-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada para Malaikat-Nya sebelum menciptakan Adam ‘Alaihis Salam :
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. ” (Shad : 71)

Begitu pula dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang musyrikin yang ingkar dan sombong tentang dari apa mereka diciptakan. Dia Yang Maha Tinggi berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. ” (Ash Shaffat : 11)

Dua ayat di atas dan ayat-ayat Al Qur’an lainnya yang serupa dengannya menunjukkan bahwasanya asal kejadian manusia dari tanah. Barangsiapa yang mengingkari hal ini, sungguh ia telah kufur terhadap pengkabaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri.

Berkaitan dengan hal di atas, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan tahapan-tahapan penciptaan manuasia dan begitu pula Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah memberikan kabar kepada kita akan hal tersebut dalam hadits-haditsnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang berbentuk (lain). Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. ” (Al Mukminun : 12-14)

“Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi … . ” (Al Hajj : 5)

Ayat-ayat di atas menerangkan tahap-tahap penciptaan manusia dari suatu keadaan kepada keadaan lain, yang menunjukkan akan kesempurnaan kekuasaan-Nya sehingga Dia Jalla wa ‘Alaa saja yang berhak untuk diibadahi.

Begitu pula penggambaran penciptaan Adam ‘Alaihis Salam yang Dia ciptakan dari suatu saripati yang berasal dari tanah berwarna hitam yang berbau busuk dan diberi bentuk.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. ” (Al Hijr : 26)

Tanah tersebut diambil dari seluruh bagiannya, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari segenggam (sepenuh telapak tangan) tanah yang diambil dari seluruh bagiannya. Maka datanglah anak Adam (memenuhi penjuru bumi dengan beragam warna kulit dan tabiat). Di antara mereka ada yang berkulit merah, putih, hitam, dan di antara yang demikian. Di antara mereka ada yang bertabiat lembut, dan ada pula yang keras, ada yang berperangai buruk (kafir) dan ada yang baik (Mukmin). ” (HR. Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi, berkata Tirmidzi : ‘Hasan shahih’. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi juz 3 hadits 2355 dan Shahih Sunan Abu Daud juz 3 hadits 3925)

Semoga Allah merahmati orang yang berkata dalam bait syi’irnya :
Diciptakan manusia dari saripati yang berbau busuk.
Dan ke saripati itulah semua manusia akan kembali.

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘Alaihis Salam dari tanah. Dia ciptakan pula Hawa ‘Alaihas Salam dari Adam, sebagaimana firman-Nya :
“Dia menciptakan kamu dari seorang diri, kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya … . ” (Az Zumar : 6)

Dalam ayat lain :
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya … . ” (Al A’raf : 189)

Dari Adam dan Hawa ‘Alaihimas Salam inilah terlahir anak-anak manusia di muka bumi dan berketurunan dari air mani yang keluar dari tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan hingga hari kiamat nanti. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 457)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (mani). ” (As Sajdah : 7-8)

Imam Thabari rahimahullah dan selainnya mengatakan bahwa diciptakan anak Adam dari mani Adam dan Adam sendiri diciptakan dari tanah. (Lihat Tafsir Ath Thabari juz 9 halaman 202) Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkan nuthfah (yakni air mani yang terpancar dari laki-laki dan perempuan dan bertemu ketika terjadi jima’) dalam rahim seorang ibu sampai waktu tertentu.

Dia Yang Maha Kuasa menjadikan rahim itu sebagai tempat yang aman dan kokoh untuk menyimpan calon manusia. Dia nyatakan dalam firman-Nya :
“Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan. ” (Al Mursalat : 20-22)

Dari nuthfah, Allah jadikan ‘alaqah yakni segumpal darah beku yang bergantung di dinding rahim. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah yakni sepotong daging kecil yang belum memiliki bentuk. Setelah itu dari sepotong daging bakal anak manusia tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian membentuknya memiliki kepala, dua tangan, dua kaki dengan tulang-tulang dan urat-uratnya. Lalu Dia menciptakan daging untuk menyelubungi tulang-tulang tersebut agar menjadi kokoh dan kuat. Ditiupkanlah ruh, lalu bergeraklah makhluk tersebut menjadi makhluk baru yang dapat melihat, mendengar, dan meraba. (Bisa dilihat keterangan tentang hal ini dalam kitab-kitab tafsir, antara lain dalam Tafsir Ath Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lain-lain)

Demikianlah kemahakuasaan Rabb Pencipta segala sesuatu, sungguh dapat mengundang kekaguman dan ketakjuban manusia yang mau menggunakan akal sehatnya. Semoga Allah meridhai ‘Umar Ibnul Khaththab, ketika turun awal ayat di atas (tentang penciptaan manusia) terucap dari lisannya pujian :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin”
Maha Suci Allah, Pencipa Yang Paling Baik

Lalu Allah turunkan firman-Nya :
“Fatabarakallahu ahsanul khaliqin” untuk melengkapi ayat di atas. (Lihat Asbabun Nuzul oleh Imam Suyuthi, Tafsir Ibnu Katsir juz 3 halaman 241, dan Aysarut Tafasir Abu Bakar Jabir Al Jazairi juz 3 halaman 507-508)

Maha Kuasa Allah Tabaraka wa Ta’ala, Dia memindahkan calon manusia dari nuthfah menjadi ‘alaqah. Dari ‘alaqah menjadi mudhghah dan seterusnya tanpa membelah perut sang ibu bahkan calon manusia tersebut tersembunyi dalam tiga kegelapan, sebagaimana firman-Nya :
” … Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan … . ” (Az Zumar : 6)

Yang dimaksud “tiga kegelapan” dalam ayat di atas adalah kegelapan dalam selaput yang menutup bayi dalam rahim, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam perut.

Demikian yang dikatakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Abu Malik, Adh Dhahhak, Qatadah, As Sudy, dan Ibnu Zaid. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 4 halaman 46 dan keterangan dalam Adlwaul Bayan juz 5 halaman 778)

Sekarang kita lihat keterangan tentang kejadian manusia dari hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Abi ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata :
Telah menceritakan kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan beliau adalah yang selalu benar (jujur) dan dibenarkan. Beliau bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nuthfah. Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (40 hari). Kemudian menjadi gumpalan seperti sekerat daging selama itu pula. Kemudian diutus kepadanya seorang Malaikat maka ia meniupkan ruh kepadanya dan ditetapkan empat perkara, ditentukan rezkinya, ajalnya, amalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada illah selain Dia, sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli Surga sehingga tidak ada di antara dia dan Surga melainkan hanya tinggal sehasta, maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka sehingga ia memasukinya. Dan sungguh salah seorang di antara kalian ada yang beramal dengan amalan ahli neraka sehingga tidak ada antara dia dan neraka melainkan hanya tinggal sehasta. Maka telah mendahuluinya ketetapan takdir, lalu ia beramal dengan amalan ahli Surga sehingga ia memasukinya. ” (HR. Bukhari 6/303 -Fathul Bari dan Muslim 2643, shahih)

Berita Nubuwwah di atas mengabarkan bahwa proses perubahan janin anak manusia berlangsung selama 120 hari dalam tiga bentuk yang tiap-tiap bentuk berlangsung selama 40 hari. Yakni 40 hari pertama sebagai nuthfah, 40 hari kedua dalam bentuk segumpal darah, dan 40 hari ketiga dalam bentuk segumpal daging. Setelah berlalu 120 hari, Allah perintahkan seorang Malaikat untuk meniupkan ruh dan menuliskan untuknya 4 perkara di atas.

Dalam riwayat lain :
Malaikat masuk menuju nuthfah setelah nuthfah itu menetap dalam rahim selama 40 atau 45 malam, maka Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia?” Lalu ia menulisnya. Kemudian berkata lagi : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan?” Lalu ia menulisnya dan ditulis (pula) amalnya, atsarnya, ajalnya, dan rezkinya, kemudian digulung lembaran catatan tidak ditambah padanya dan tidak dikurangi. (HR. Muslim dan Hudzaifah bin Usaid radhiallahu ‘anhu, shahih)

Dalam Ash Shahihain dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Allah mewakilkan seorang Malaikat untuk menjaga rahim. Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Nuthfah, Wahai Rabbku! Segumpal darah, wahai Rabbku! Segumpal daging. ” Maka apabila Allah menghendaki untuk menetapkan penciptaannya, Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan? Apakah (nasibnya) sengsara atau bahagia? Bagaimana dengan rezkinya? Bagaimana ajalnya?” Maka ditulis yang demikian dalam perut ibunya. (HR. Bukhari `11/477 -Fathul Bari dan Muslim 2646 riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Dari beberapa riwayat di atas, ulama menggabungkannya sehingga dipahami bahwasanya Malaikat yang ditugasi menjaga rahim terus memperhatikan keadaan nuthfah dan ia berkata : “Wahai Rabbku! Ini ‘alaqah, ini mudhghah” pada waktu-waktu tertentu saat terjadinya perubahan dengan perintah Allah dan Dia Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu. Adapun Malaikat yang ditugasi, ia baru mengetahui setelah terjadinya perubahan tersebut karena tidaklah semua nuthfah akan menjadi anak. Perubahan nuthfah itu terjadi pada waktu 40 hari yang pertama dan saat itulah ditulis rezki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagianya. Kemudian pada waktu yang lain, Malaikat tersebut menjalankan tugas yang lain yakni membentuk calon manusia tersebut dan membentuk pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulang, apakah calon manusia itu laki-laki ataukah perempuan. Yang demikian itu terjadi pada waktu 40 hari yang ketiga saat janin berbentuk mudhghah dan sebelum ditiupkannya ruh karena ruh baru ditiup setelah sempurna bentuknya.

Adapun sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Apabila telah melewati nuthfah waktu 42 malam, Allah mengutus padanya seorang Malaikat, maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, panglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya. Kemudian Malaikat itu berkata : “Wahai Rabbku! Laki-laki atau perempuan … . ” Al Qadhi ‘Iyadl dan selainnya mengatakan bahwasanya sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas tidak menunjukkan dhahirnya dan tidak benar pendapat yang membawakan hadits ini pada makna dhahirnya. Akan tetapi yang dimaksudkan maka dia membentuknya dan membentuk pendengarannya, penglihatannya … dan seterusnya adalah bahwasanya Malaikat itu menulis yang demikian, kemudian pelaksanaannya pada waktu yang lain (pada waktu 40 hari yang ketiga) dan tidak mungkin pada waktu 40 hari yang pertama. Urutan perubahan tersebut sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mukminun ayat 12 sampai 14. (Lihat keterangan hal ini dalam Shahih Muslim Syarah Imam An Nawawi, halaman 189-191)

Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (II/484) membawakan secara ringkas perkataan Ibnu Ash Shalah : “Adapun sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits Hudzaifah bahwasanya pembentukan terjadi pada awal waktu 40 hari yang kedua. Sedangkan dalam dhahir hadits Ibnu Mas’ud dikatakan bahwa pembentukan baru terjadi setelah calon anak manusia menjadi mudhghah (segumpal daging). Maka hadits yang pertama (hadits Hudzaifah) dibawa pengertiannya kepada pembentukan secara lafadh dan secara penulisan saja belum ada perbuatan, yakni pada masa itu disebutkan bagaimana pembentukan calon anak manusia dan Malaikat yang ditugasi menuliskannya.”

Dalam ta’liq kitab Tuhfatul Wadud halaman 203-204 disebutkan bahwasanya hadits yang menyatakan Malaikat membentuk nuthfah setelah berada di rahim selama 40 malam, tidaklah bertentangan dengan hadits-hadits yang lain. Karena pembentukan Malaikat atas nuthfah terjadi setelah nuthfah tersebut bergantung di dinding rahim selama 40 hari yakni ketika telah berubah menjadi mudhghah. Wallahu A’lam.

Perubahan janin dari nuthfah menjadi ‘alaqah dan seterusnya itu berlangsung setahap demi setahap (tidak sekaligus). Pada waktu 40 hari yang pertama, darah masih bercampur dengan nuthfah, terus bercampur sedikit demi sedikit hingga sempurna menjadi ‘alaqah pada 40 hari yang kedua, dan sebelum itu tidaklah ia dinamakan ‘alaqah. Kemudian ‘alaqah bercampur dengan daging, sedikit demi sedikit hingga berubah menjadi mudhghah. (Lihat Fathul Bari) Tatkala telah sempurna waktu 4 bulan, ditiupkanlah ruh dan hal ini telah disepakati oleh ulama. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah membangun madzhabnya yang masyhur berdasarkan dhahir hadits Ibnu Mas’ud bahwasanya anak ditiupkan ruh padanya setelah berlalu waktu 4 bulan. Karena itu bila janin seorang wanita gugur setelah sempurna 4 bulan, janin tersebut dishalatkan (telah memiliki ruh kemudian meninggal). Diriwayatkan yang demikian juga dari Sa’id Ibnul Musayyib dan merupakan salah satu dari pendapatnya Imam Syafi’i dan Ishaq.

Dinukilkan dari Imam Ahmad bahwasanya ia berkata : “Apabila janin telah mencapai umur 4 bulan 10 hari, maka pada waktu yang 10 hari itu ditiupkan padanya ruh dan dishalatkan atasnya (bila janin tersebut gugur). ” (Lihat Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam halaman 88-89 oleh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali)
Kita lihat dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas bahwasanya penulisan Malaikat terjadi setelah berlalu waktu 40 hari yang ketiga. Sedangkan pada riwayat-riwayat di atas, penulisan Malaikat terjadi setelah waktu 40 hari yang pertama. Riwayat-riwayat tersebut tidaklah bertentangan.

Imam An Nawawi rahimahullah menerangkan dalam Syarah Muslim (juz 5 halaman 191) setelah membawakan lafadh hadits dari Imam Bukhari berikut ini (yang artinya) : ‘Sesungguhnya penciptaan setiap kalian dikumpulkan dalam rahim ibunya selama 40 hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga. Kemudian menjadi segumpal daging selama itu juga. Kemudian Allah mengutus seorang Malaikat dan diperintah (untuk menuliskan) empat perkara, rezkinya dan ajalnya, sengsara atau bahagianya. Kemudian ditiupkan ruh padanya … . ‘

Yang jelas penulisan takdir untuk janin di perut ibunya bukanlah penulisan takdir yang ditetapkan untuk semua makhluk sebelum makhluk itu dicipta. Karena takdir yang demikian telah ditetapkan 50. 000 tahun sebelumnya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma :
“Sesungguhnya Allah menetapkan takdir-takdir makhluknya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi. ” (HR. Muslim 2653, shahih)

Dalam hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
Pertama kali yang Allah ciptakan adalah pena (Al Qalam). Lalu Dia berfirman kepadanya : “Tulislah!” Maka pena menuliskan segala apa yang akan terjadi hingga hari kiamat. (HR. Abu Daud 4700, Tirmidzi 2100, dan selain keduanya. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali dalam Iqadzul Himam) Banyak nash yang menyebutkan bahwa penetapan takdir seseorang apakah ia termasuk orang yang bahagia atau sengsara telah ditulis terdahulu.

Antara lain dalam Shahihain dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak ada satu jiwa melainkan Allah telah menulis tempatnya di Surga atau di neraka dan telah ditulis sengsara atau bahagia. ” Maka seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah! Mengapa kita tidak mengikuti (saja) ketentuan kita (yang telah ditulis) dan kita tinggalkan amal?” Maka beliau bersabda : “Beramal-lah, maka setiap orang akan dimudahkan terhadap apa yang ditetapkan baginya.

Adapun orang yang bahagia akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang bahagia. Adapun orang yang sengsara akan dimudahkan baginya untuk beramal dengan amalan orang yang sengsara. ” Kemudian beliau membaca : “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. ” (QS. Al Lail : 5-7) [HR. Bukhari 3/225 -Fathul Bari dan Muslim 2647] Bahagia atau sengsara seseorang ditentukan oleh akhir amalnya, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas.

Demikian pula dalam hadits berikut, dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Sesungguhnya hanyalah amal-amal ditentukan pada akhirnya (penutupnya). ” (HR. Bukhari 11/330 -Fathul Bari)

Sebagai penutup dapat kita simpulkan bahwa Allah Maha Kuasa menciptakan apa saja yang Dia kehendaki. Dia menciptakan manusia pertama (Adam ‘Alaihis Salam) dari tanah, sedangkan anak-anak Adam berketurunan dengan nuthfah hingga akhir kehidupan nanti. Dia tempatkan nuthfah dalam rahim ibu dan dijaga oleh seorang Malaikat. Nuthfah ini kemudian pada akhirnya menjadi segumpal daging dan dari segumpal daging terus berkembang hingga menjadi sosok anak manusia kecil yang bernyawa lengkap dengan pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki. Bersamaan dengan itu telah ditulis ketentuan takdir untuknya, apakah rezkinya lapang ataukah sempit, apakah amalnya baik atau sebaliknya, kapan datang ajalnya dan apakah ia termasuk hamba Allah yang beruntung ataukah yang sengsara. Naudzubillah!

Dari tanah manusia berasal dan pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Mungkin ini bisa menjadi bahan renungan untuk kita semua.

Wallahu A’lam Bis Shawab.
Daftar Bacaan :
1. Al Qur’anul Karim.
2. Adlwaul Bayan. Asy Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi.
3. Ad Durul Mantsur fi At Tafsir Al Ma’tsur. Imam As Suyuthi.
4. Ahkamuth Thifli. Asy Syaikh Ahmad Al ‘Aysawi.
5. Asbabun Nuzul. Imam As Suyuthi.
6. ‘Aunul Ma’bud. Al Hafidh Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
7. Aysarut Tafasir. Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
8. Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar Al Atsqalani.
9. Iqadzul Himam Al Muntaqa min Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Syaikh Abi Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali.
10. Jami’ Al ‘Ulum wal Hikam. Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbali.
11. Jami’ Al Bayan fi Ta’wil Al Qur’an. Ibnu Jarir Ath Thabari.
12. Mu’jam Mufradat Alfadzil Qur’an. Al ‘Allamah Al Ashfahani.
13. Shahih Muslim Syarah An Nawawi. Imam An Nawawi.
14. Shahih Sunan Abi Daud. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
15. Shahih Sunan At Tirmidzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
16. Tafsir Ibnu Katsir. Al Hafidh Ibnu Katsir.
17. Tafsir Al Qurthubi. Imam Al Qurthubi.

Artinya : Jejak kehidupannya.
Ma’thuf merupakan istilah dalam ilmu nahwu yang bermakna kurang lebih lafadh yang mengikuti lafadh tertentu yang terletak sebelumnya.
Ma’thuf ‘alaih bermakna lafadh yang diikuti oleh lafadh tertentu yang terletak sesudahnya.

(Dinukil dari Majalah Salafy – MUSLIMAH Edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997], ditulis oleh : ustadz Abul Muslim Al Atsari dan ustadzah Zulfa. Peringatan : Majalah Salafy edisi 2002 dan seterusnya, dipegang oleh Ja’far Umar Thalib dan isinya sarat dengan kesesatan Sufiyahnya. Allahu a’lam)