Archive for Agustus 4th, 2012

4 Agustus 2012

Kyai Belum Tentu Ulama

oleh alifbraja

Di kalangan masyarakat Jawa, ada dikenal sebutan atau gelar kehormatan yang ditujukan kepada ulama, yaitu Kyai. Namun demikian, gelar Kyai bukan satu-satunya sebutan penghormatan yang diberikan masyarakat Jawa kepada kaum ulama. Masih ada beberapa sebutan lain misalnya Wali, Sunan (Susuhunan) dan Panembahan.
Seiring berjalannya waktu, terutama ketika terjadi nasionalisasi istilah-istilah jawa di masa Orde Baru, sebutan Kyai juga ditempelkan kepada ulama non Jawa, padahal di setiap daerah, sebelumnya sudah eksis sebutan khas untuk para ulama seperti Ajengan untuk masyarakat Jawa Barat, Buya untuk masyarakat Sumatera Barat, Tengku untuk masyarakat Aceh.
Sedangkan di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan gelar kehormatan yang diberikan kepada kaum ulamanya adalah Tofanrita. Untuk masyarakat Madura dikenal sebutan Nun atau Bendara (biasa disingkat Ra). Di kalangan masyarakat Nusatenggara seperti Lombok dikenal sebutan Tuan Guru. Hampir mirip dengan di Lombok, masyarakat Betawi biasa menyebut ulamanya dengan sebutan Guru, tapi sebutan ini pada akhirnya kalah pamor dibandingkan dengan sebutan Kyai dan Habaib.
Faktanya, sebutan Kyai tidak selalu menunjuk kepada seseorang (atau sekelompok orang) yang benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya; atau menunjuk kepada Guru Agama Islam yang luas pandangannya. Ada sebutan Kyai yang ditujukan kepada kalangan pendidik tingkat nasional (sekuler) –biasanya disingkat menjadi Ki– misalnya Ki Hajar Dewantara. Ada juga sebutan Kyai atau Ki yang ditujukan kepada sekelompok orang yang mahir mendalang, seperti Ki Dalang. Bahkan makna Kyai atau Ki juga menunjuk kepada sekelompok orang yang menjalankan profesi perdukunan yang tergolong musyrik. Jadi, makna Kyai memang tidak selalu tertuju kepada ulama agama Islam yang luas ilmu pengetahuannya.
Di Kalimantan Selatan (Banjarmasin dan sekitarnya), sebutan Kyai pada masa sebelum perang kemerdekaan menunjuk kepada seseorang yang menduduki jabatan setingkat Wedana (District-hoofd). Dalam istilah sekarang Wedana setara dengan Walikota. Sedangkan di Padang, juga pada masa sebelum perang kemerdekaan, sebutan Kyai berarti Cino Tuo, yaitu orang Cina yang telah berusia lanjut.

Kyai Kerbau
Sebutan Kyai juga tidak selalu ditempelkan kepada seseorang atau sekelompok orang, tetapi juga kepada benda-benda yang bermakna khusus. Misalnya di Jogjakarta, ada sebutan Kyai Sekati dan Nyi Sekati untuk sepasang gamelan yang dimainkan saat merayakan sekatenan. Masih di Jogja, ada sebutan Kyai Tunggul Wulung untuk sebuah bendera keramat yang dikeluarkan setiap ada bala bencana mengancam kota Jogja.
Di Keraton Solo (Jawa Tengah) ada seekor kerbau yang dianggap keramat dan diberi sebutan Kiyai Slamet. Kerbau yang dijuluki Kiyai Slamet itu dilepaskan secara bebas ke mana-mana setiap malam 1 Muharram (tanggal 1 Syuro). Tidak ada yang berani mengusik sang kerbau, bahkan bila sang kerbau memakan dagangan sayuran dan sebagainya, ia tidak diapa-apakan, karena menurut kepercayaan takhayul (yang menyimpang dari Islam), manakala kerbau itu memakan dagangan tersebut justru dianggap akan memberi rizki atau menebarkan keberkahan. Jadi sebutan Kyai yang ditempelkan kepada kerbau yang diangap keramat itu, sama sekali tidak ada kaitannya dengan ulama, bahkan justru berkaitan dengan penyimpangan yang kental nuansa kemusyrikannya.
Kini, fakta baru terus bermunculan, yaitu sebutan Kyai lebih sering melekat kepada sekelompok orang yang beratribut bagaikan ulama, namun perilakunya lebih menegaskan posisinya sebagai ulama suu’ (ulama yang jahat), yaitu ulama-ulama yang suka masuk keluar Istana atau pintu penguasa. Bahkan ulama seperti itu ada yang menyebutnya sebagai maling (lisshun – لص ).
Di masa orde baru ada segerombolan Kyai yang gemar mendekati penguasa. Bahkan segerombolan Kyai ini –jumlahnya puluhan dan dipimpin Nur Iskandar SQ– mendatangi penguasa orde baru seraya menghadiahi emas beberapa kilogram. Mereka berdalih, sumbangan itu sebagai bentuk nyata partisipasi para Kyai di dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan moneter. Tak berapa lama setelah kunjungan para Kiyai itu, Presiden Soeharto justru lengser setelah didemo oleh puluhan ribu mahasiswa, dan krisis ekonomi-moneter berlanjut hingga kini, bahkan lebih parah lagi, yang terjadi justru krisis multi-dimensi termasuk krisis moral.
Sebelum itu, ada sejumlah Kyai yang mempelopori disahkannya asas tunggal pancasila. Gerombolan ini dipimpin oleh Kyai Haji Ahmad Siddiq. (Semasa hidupnya, mendiang menggemari musik rock barat, padahal kitab-kitab yang dikaji para ulama jelas mengharamkan musik). Bahkan mereka sempat berbangga diri karena telah menjadi pelopor di dalam mensukseskan asas tunggal pancasila. Padahal, asas tunggal bagi kalangan Islam non NU dan Golkar merupakan salah satu instrumen penekan yang merugikan umat Islam. Memasuki orde reformasi, asas tunggal dicabut karena dianggap sebagai produk politik yang anti kebhinekaan. Bagaimana sikap sang Kyai pelopor asas tunggal itu kini?

Kyai Tak Jelas
Sesungguhnya sebutan Kyai tidak dikenal di dalam terminologi Islam. Bahkan siapa yang berwenang memberikan gelar Kyai kepada seseorang pun tidak jelas aturan mainnya. Saking tidak jelasnya, kini tumbuh fenomena: keturunan Kyai yang kemudian mengimami masjid atau memimpin pesantren, kepada yang bersangkutan secara otomatis disebut Kyai pula. Padahal, ketika bapaknya masih hidup, sang anak Kyai ini tidak pernah disebut Kyai muda. Tetapi begitu bapaknya meninggal, maka dia langsung dipanggil atau suka dipanggil dengan sebutan Kyai, walaupun dari segi keilmuan maupun kegiatannya berjama’ah ke masjid tidak sebanding dengan bapaknya.
Keadaan di atas sangat kontras bila disandingkan dengan fakta lain tentang orang-orang yang istiqomah dan tidak mau disebut atau menyebut dirinya Kyai. Antara lain, HAMKA, Prof Dr H Mahmud Yunus dan lain-lain, padahal mereka adalah ulama terkemuka dan menulis tafsir serta kitab-kitab Islam, secara keilmuan maupun akhlaqnya, mereka adalah ulama, alim agama.
Nampaknya, perlu diadakan gerakan total untuk mendudukkan masalah pada proporsinya. Istilah-istilah yang tidak jelas, seperti halnya Kyai, perlu dibersihkan, dan kalau perlu dienyahkan dari terminologi Islam, supaya Islam tidak dikotori dengan pemahaman-pemahaman yang tidak jelas.

(haji/tede/ dimodifikasi dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Bila Kyai Dipertuhankan).