Archive for Agustus 24th, 2012

24 Agustus 2012

KATA SALAF BERMAKNA MASA JAHILIYAH

oleh alifbraja

 

KALAU KITA MENGKAJI KATA SALAF DAN YANG SEAKAR KATA DARINYA DI DALAM AL QUR’AN MAKA KITA AKAN MENDAPATI BAHWA AL QUR’AN MENYEBUTKAN 8 KALI dalam beberapa surat yang terpisah DAN KATA TERSEBUT MEMILIKI BEBERAPA PENGERTIAN. Jika kata itu berbentuk Mujarrad yaitu salafa maka disebutkan sebanyak 6 kali dan yang 5 kali bermakna masa lalu yaitu kondisi Jahiliyah di mana Allah belum menurunkan syariatnya adapun yang satu kali dalam bentuk masdar bermakna pelajaran dari orang-orang yang menentang Allah seperti Fir’aun dan akibat yang diterimanya. Namun jika kata salaf sudah menjadi mazidditambah dengan hamzah Qotho’ menjadi aslafa maka memiliki makna Sesuatu yang dulu pernah dilakukan di dunia.
 
Ketika gencarnya istilah salaf, salafi atau salafiyah diperbincangan dan dialamatkan ataupun diklaim oleh suatu komunitas tertentu dan malah menjadi jargon bahwa itu adalah istilah yang orsinil karena istilah itu ditujukan kepada genarasi Nabi dan para sahabatnya, sebenarnya perlu untuk direnungkan kembali mengingat hal itu tidak sesuai dengan pengertian yang di sebutkan Allah SWT di dalam Al Qur’an. Bukankah kita harus mendahulukan Allah baru setelah itu Rasul-Nya. Termasuk ketika kita mengunakan istilah-istilah itu.
 
Dengan tanpa mengkaji lebih dalam Tafsir Al Qur’an terlebih dahulu kitapun akan dengan mudah memahami pengertian kata Salaf itu di dalam Al Qur’an. Kalau yang dimaksud dengan makna salaf di dalam al Qur’an adalah masa-masa Jahiliyah maka ketika kita menggunakan sesuai pengertian Al Qur’an maka jargon “Berada di atas Manhaj Salaf” maka yang dimaksud adalah “ berada di atas Manhaj Jahiliyah” atau “ Ikutilah Orang-orang Salaf” maka Arti yang dimaksud menjadi “Ikutilah orang-orang Jahiliyah” atau “Jadilah kamu seorang Salafi” maka pengertaiannya menjadi “ Jadilah kamu seorang Jahiliyah”. Hal itu tentu akan sangat bertolak belakang dengan pemahaman yang selama ini dikenal.

 

 
Jika tidak dilarang berpendapat, Kalau menurut saya menggunakan istilah yang istilah itu dijadikan icon dakwah mestinya tidak hanya diambil dari hadis saja apalagi jika istilah itu masih menjadi perdebatan, akan tetapi juga mempertimbangan  bagaimana Al Qur’an berbicara.
 
Inilah ayat-ayat Al Qur’n yang menyinggung masalah kata salaf.
 
1.    SALAF BERMAKNA KONDISI MASA LALU YAITU MASA JAHILIYAH DIMANA BELUM ADA LARANGAN RIBA ALLAH BERFIRMAN :
 
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.(QS. AL BAQARAH :275)”
 
2.     BERMAKAN KONDISI MASA LALU YAITU MASA JAHILIYAH YAITU BELUM ADA LARANGAN MENIKAHI MAHRAM.
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”(qs. An Nisa’ : 22)
 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,(QS. An Nisa’ : 23)
 
3.     BERMAKNA MASA LALU YAITU KONDISI MASA JAHILIYAH DIMANA BELUM ADA LARANGAN MEMBUNUH BINATANG KETIKA IHRAM.
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَوَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-nya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.(QS. Al Maidah : 95)
 
4.   BERMAKNA MASA LALU YAITU KONDISI MASA JAHILIYAH KETIKA MEREKA MELAKUKAN DOSA-DOSA YANG DILARANG ALLAH SWT.
 
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ
 
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.(QS. Al Anfal : 38)
 
5.  BERMAKNA KONDISI MASA LALU KETIKA DI DUNIA.
 
هُنَالِكَ تَبْلُو كُلُّ نَفْسٍ مَا أَسْلَفَتْوَرُدُّوا إِلَى اللَّهِ مَوْلاهُمُ الْحَقِّ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُونَ
“Di tempat itu (padang Mahsyar), tiap-tiap diri merasakan pembalasan dari apa yang telah dikerjakannya dahulu dan mereka dikembalikan kepada Allah Pelindung mereka yang sebenarnya dan lenyaplah dari mereka apa yang mereka ada-adakan.(QS. Yunus : 30)
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَاأَسْلَفْتُمْ فِي الأيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu“.(QS. AL HAAQAH : 24)
 
6. BERMAKNA PELAJARAN DARI MASA ORANG-ORANG TERDAHULU YANG BANYAK MENENTANG ALLAH YAITU FIR’AUN.
 
فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلا لِلآخِرِينَ
“dan Kami jadikan mereka sebagai pelajarandan contoh bagi orang-orang yang kemudian.(QS. AZ ZUKHRUF : 56)
 
Demikian Wallahu A’lam.
 
24 Agustus 2012

ANTARA AHLI FIQIH & AHLI HADIS

oleh alifbraja
Di dalam bukunya yang berjudul “As-Sunnah An-Nabawiyah, Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits” ini, Muhammad Al Ghazali membongkar keganjilan banyak riwayat yang terlanjur dianggap sebagai hadits shahih oleh sebagian muslimin, dikarenakan sanad-nya dianggap kuat. Ia lantas membandingkan isi (matan) hadits-hadits itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dan ternyata banyak “hadits-hadits” yang umumnya hadits ahad itu isinya amat bertentangan dengan Al-Qur’an. Beliau termasuk salah satu ulama yang fokus untuk mengkaji kritik matan hadis.

Muhammad Al Ghazali banyak mengritik sebagian orang yang hanya mengkaji hadis, menemukan beberapa hadis mengambil pemahaman yang masih prematur kemudian membuat kesimpulan hukum yang banyak bertentangan para Imam Mujtahid, bertentanga dengan hadis-hadis yang lain yang lebih kuat dan juga bertentangan dengan Al Qur’an. Beliau juga menganjurkan perlunya kerjasama antara Ahli hadis dan Ahli Fiqih dalam menyelesaikan problem dakwah Ummat, sehingga Islam tidak menjadi bahan ejekan dan penisbatan keterbelakangan.

Artinya ketika memahami suatu hadis supaya pemahamannya itu bisa dipertanggungjawabkan diperlukan penguasaan kelengkapan pengetahuan terhadap hadis-hadis secara komprehensif dan juga terhadap al Qur’an yang sempurna dan mampu beristinbat dengan benar dengan melibatkan pemahaman Akal yang harus dikedepankan.

 
Inilah buku yang telah mengguncang banyak negara Timur Tengah selama beberapa tahun. Isinya memancing kontroversi sengit karena dianggap sangat ‘provokatif’ oleh sebagian kalangan muslimin, terutama yang mengaku sebagai pengikut Salafiyah (Salafi). Apalagi sang penulis, yaitu ulama dan cendekiawan Muslim besar asal Mesir, Syaikh Muhammad al-Ghazali (1917-1996), adalah pengajar di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi.
 
Maka, ia dengan lantang bersuara agar umat Islam mencampakkan riwayat-riwayat yang sudah terlanjur dianggap sebagai hadits. Sebab, katanya, tak mungkin Nabi saw. mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an. 
 
Selain dikenal sebagai ulama modernis yang berpengaruh besar pada gerakan kebangkitan Islam di Mesir, Muhammad al-Ghazali juga seorang penulis yang sangat produktif. Tak kurang dari 94 judul buku yang telah ia tulis selama hidupnya. Belum lagi ribuan artikel dan ceramahnya yang tersebar di banyak media massa.*
 
Karya-karya beliau banyak mendapat tanggapan dari berbagai pihak di nataranya :
 
Komentar Terhadap Tulisan-Tulisan Muhammad Al-Ghazali
Senin, 21 Agustus 2006 11:37:28 WIB

 

 

 

KOMENTAR TERHADAP TULISAN-TULISAN MUHAMMAD AL-GHAZALI

 

 

 

 

 

Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
 
 
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata dalam kitab beliau ” Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa” dalam muqadimahnya, mengomentari tulisan-tulisan Muhammad Al-Ghazali, sebagai berikut.
 
Dalam sebuah buku berjudul Zhulamun Minal Gharbi karya Muhammad Al-Ghazali hlm. 200 disebutkan.
 
“Pada sebuah konperensi di Universitas Princeton, Amerika Serikat, salah seorang pembicaranya ditanya oleh perserta, yang kebanyakan adalah para orientalis dan para pemerhati masalah-masalah Islam.
 
Dengan ajaran apa kaum muslim bisa maju ke pentas dunia ? Apakah dengan ajaran Islam yang dipahami golongan Sunni, atau yang dipahami golongan Syi’ah Imamiah atau Syi’ah Zaidiyah, padahal di antara mereka sendiri terjadi perselisihan?
 
Terkadang ada segolongan yang menyelesaikan suatu masalah dengan pemikiran yang modern, tetapi yang lain tetap dengan pemikiran yang kuno dan jumud
 
Ringkasnya : Para da’i membiarkan objek dakwahnya dalam kebingungan karena mereka sendiri mengalami kebingungan”.
 
Jawaban
Saya katakan disini : Tulisan-tulisan Muhammad Ghazali yang akhir-akhir ini banyak tersebar di sana-sini, seperti bukunya yang berjudul As-Sunnah An-Nabawiyah baina Ahlil Hadits, di mana dia sendiri termasuk kategori da’i-da’i semacam itu, yaitu para da’i yang kebingungan.
 
Sebelumnya kami telah membaca buku ini dan memberi komentar terhadap beberapa Hadits yang terdapat di dalamnya, serta koreksi-koreksi dalam beberapa masalah fiqh.
 
Sebagian dari tulisan yang ada dalam buku itu penuh dengan hal-hal yang menunjukkan kebingungannya, penyimpangannya dari Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alahi wa sallam dan menjadikan akalnya sebagai hakim dalam mengesahkan atau mendha’ifkan hadits. Ia tidak mau berpegang pada dasar-dasar ilmu Hadits atau para ahli atau mereka yang tahu seluk beluk Hadits. Bahkan hal yang sangat aneh dilakukannya ialah men-shahihkan hadits yang jelas-jelas dha’if.
 
Tentang buku Fiqhus Sirah
 
Akan tetapi, tidak aneh karena kita melihat dia men-dha’if-kan hadits-hadits yang jelas disepakati shahihnya oleh Bukhari dan Muslim sebagaimana dapat Anda baca hal ini dalam komentar saya pada dua muqadimah bukunya berjudul Fiqhus Sirah yang telah saya beri takhrijnya terhadap hadits-hadist yang termuat di dalamnya pada cetakan ke-4. Hal itu saya lakukan atas permintaan dia sendiri melalui salah seorang teman saya dari kalangan Al-Azhar. Oleh karena itu, segera saya berikan takhrij buku tersebut, dengan perkiraan bahwa hal itu menunjukkan adanya perhatian dia secara sungguh-sungguh terhadap hadits-hadits Nabi dan sirah Nabi Shallallaahu ‘alahi wa sallam serta ingin memeliharanya dari pemalsuan yang datang dari luar. Sekalipun ia menyatakan pujian terhadap komentar dan catatan saya serta dengan terus terang menyatakan gembiranya dalam komentarnya di bawah judul Haula Ahaadiits Hadzal Kitab, namun dia sendiri berbicara tentang metode yang digunakannya dalam menerima hadits-hadits dho’if dan menolak hadits-hadits shahih semata-mata ditinjau dari segi matannya.

 

Dengan cara semacam ini dia ingin memberikan kesan kepada para pembaca bahwa metode penelitian dan koreksi yang ditentukan oleh ilmu hadits bagi dia sama sekali tidak ada artinya, selama hal itu bertentangan dengan kritik yang logis, padahal metode kritik yang logis berbeda antara seseorang dan yang lainnya. Dengan metode semacam ini agama menjadi permainan nafsu, tanpa memiliki kaidah dan prinsip-prinsip baku, dan hanya tergantung pada selera perorangan. 

 

 

 

Hal ini jelas bertentangan dengan metode yang diikuti oleh para ulama kaum muslim bahwa sanad hadits merupakan bagian dari agama.

 

 

 

Seandainya hadits itu boleh tanpa sanad, tentu orang akan berbicara sesuka hatinya dan inilah yang dilakukan oleh Ghazali dalam sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam kitab Sirahnya. Kitabnya memuat sebagian besar hadits mursal dan mu’dlal.

 

 
Hadits dho’if dikatakan shahih seperti yang terlihat dalam takhrij saya terhadap bukunya. Sekalipun demikian ternyata dia tetap keras kepala dengan memberikan pernyataan-pernyataan di bawah judul di atas:
 
“Saya telah melakukan ijtihad agar dapat menempuh cara yang benar dan merujuk pada sumber-sumber yang dipercaya, dan saya kira saya telah sampai dengan baik pada tingkatan ini. Saya telah mengumpulkan riwayat-riwayat yang dapat menenangkan hati seorang alim yang berpandangan luas”.
 
Begitulah dia berujar.
 
Seandainya dia ditanya, apakah kaidah yang Anda pergunakan dalam ijtihad Anda itu, apakah kaidah itu berupa prinsip-prinsip ilmu hadits yang merupakan satu-satunya jalan untuk mengetahui mana riwayat yang shahih dan mana yang dha’if dari Sirah Nabi (?), jawabnya tentu ia akan mengatakan berdasarkan pemikiran pribadi.
 
Itu adalah salah satu dari bentuk kebobrokannya.
 
Sebagai buktinya, dia berani men-shahih-kan hadits yang tidak shahih sanadnya dan dia berani melemahkan hadits walaupun sanadnya shahih menurut Bukhari dan Muslim, seperti yang pernah saya kemukakan pada muqaddimah kitabnya Fiqhus Sirah di atas dan yang telah dicetak pada terbitan keempat seperti tersebut di atas.
 
Namun sungguh disayangkan pada terbitan-terbitan berikutnya, seperti terbitan Darul Qalam, Damaskus, dan lain-lain, muqaddimah itu telah dibuangnya (!).
 
Hal semacam ini membuat sebagian orang menduga bahwa tujuan penghapusannya pada buku terbitan-terbitan baru tersebut hanyalah mengejar lakunya buku di kalangan pembaca yang telah mampu menghargai kesungguhan para pengabdi sunnah Nabi Shallallaahu ‘alahi wa sallam dan berusaha dengan keras untuk memilah mana hadits dho’if dan mana hadits shahih menurut kaidah-kaidah ilmiah, bukan selera pribadi dan dorongan nafsu yang bermacam-macam, seperti dilakukan Ghazali dalam bukunya.
 
Tentang buku As-Sunnah Nabawiyah Baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits
 
Begitu juga yang ia lakukan dalam bukunya yang terakhir berjudul As-Sunnah Nabawiyah Baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits. Di situ nampak jelas bahwa Ghazali menempuh metode Mu’tazilah.
 
Jadi, bagi Ghazali jerih payah ahli hadits yang telah berlangsung puluhan tahun dalam memilah hadits shahih dari yang dha’if tidak ada artinya. Begitu pula segala jerih payah para imam ahli fiqih yang telah meletakkan kaidah-kaidah ushul dan membuat kaidah-kaidah furu’, tidak ada gunanya, sebab Ghazali bisa mengambil mana seenaknya dan meninggalkan mana saja seenaknya, tanpa terikat oleh satu kaidah pun.
 
Banyak ahli ilmu telah melakukan sanggahan terhadap hal ini. Mereka telah menjelaskan secara rinci tentang kebingungan dan penyelewengan Ghazali.
 
Tulisan yang terbaik dalam hal ini ialah yang ditulis oleh Dr.Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali yang dimuat dalam majalah Al-Mujahid Afghaniyah no.9-11 dan tulisan Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad ‘Ali Syaikh dengan judul Al-Mi’yaru li ‘ilmil Ghazali (Bobroknya ilmu Ghazali)
 
 
[Disalin dari catatan kaki kitab Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, edisi Indonesia Sifat Sholat Nabi Shallallaahu ‘alahi wa sallam, oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.75-77, Penerjemah Muhammad Thalib, Penerbit Media Hidayah, Jogjakarta Desember 2000]
24 Agustus 2012

Manazilus-Sa’irin, Karya Tasawuf yang Bercorak Sastra

oleh alifbraja

Al-Harawi menawarkan begitu banyak manzilah atau terminal spiritual yang harus didaki oleh para pejalan rohani.

Tasawuf dan sastra mempunyai hubungan yang sangat mesra karena kedekatan antara pengalaman sufistik dengan pengalaman estetis seorang seniman. Ilmu tasawuf juga menjelaskan perihal wilayah esoteris manusia dengan Sang Pencipta. Di sisi lain, ketika seorang sufi ‘mabuk’ dalam luapan spiritual, maka sastralah yang menjadi medium bagi para sufi untuk mengutarakan isi hatinya dan pemikiran-pemikiran tasawufnya.

Puisi sebagai salah satu genre sastra menjadi perangkat yang paling laris digunakan oleh sufi untuk menumpahkan segenap gelegak jiwanya, pengalaman spiritualnya, dan konsep tasawufnya. Mulai dari Rabi’ah al-Adawiyah, Dzun-Nun al-Mishri, Sumnun bin Hasan Basri, Abu Yazid al-Bustami, Saqiq al-Balkhi, Sari as-Saqati, Junaid al-Baghdadi, Abu Bakar asy-Syibli, Abul Hasan an-Nuri, Mansur al-Hallaj, Niffari, Abul Qasim as-Sayyani, Ahmad al-Ghazali, dan lain-lain.

Prof Abdul Hadi WM malah mencatat bahwa pada abad ke-10, Ja’far al-Khuldi (wafat 939 M) menghimpun syair-syair sufi Arab sejak abad ke-8 hingga abad ke-10 M. Di dalam antologinya, beliau berjaya menghimpun ribuan puisi karya 130 penyair sufi. Sayang sekali naskah asli buku Ja’far al-Khuldi itu sudah hilang dan belum lagi dijumpai hingga kini. Hanya sebagian kecil puisi-puisi tersebut dapat dijumpai dalam naskah buku penulis sufi yang lain.

Banyaknya bilangan penyair sufi yang sajak-sajaknya dihimpun oleh Ja’far al-Khuldi menunjukkan bahwa perkembangan kesusastraan sufi sangat marak sejak abad ke-8 hingga pada abad-abad selanjutnya.

Kesusastraan sufi Arab juga mencapai puncak perkembangannya dengan munculnya penulis-penulis prolifik dan pemikir tasawuf terkemuka, seperti Ibnu Arabi, Sustari, Sadruddin al-Qunyawi, Ibnu Atha’ilah as-Sakandari, Ibnul Farid, Ibnu Tufail, Qusyairi, Imam al-Ghazali, Najamuddin Dayah, dan lain-lain. Pada masa itu, tasawuf juga berkembang dengan suburnya di sebagian besar negeri Islam.

Dan, kesusastraan sufi bertambah subur perkembangannya dengan munculnya penulis-penulis sufi Parsi terkemuka, seperti Sana’i, Abu Sa’id al-Khayr, Baba Kuhi, Baba Tahir, Fariduddin ‘Attar, Ruzbihan Baqli, Jalaluddin Rumi, Nizami al-Ganjawi, Fakhrudin ‘Iraqi, Nasir Khusraw, Sa’di, Suhrawardi, Mahmud ash-Shabistari, Maghribi, Jami, Karim al-Jili, dan salah satu tokoh dalam deretan ini adalah Syekh Abu Isma’il Abdullah al-Ansari al-Harawi (wafat 481 H/1088 M), yang tak lain adalah penulis kitab Manazilus-Sa’irin, sebuah karya tasawuf yang bercorak sastra. Lebih tepatnya, bagaimana penulis menggunakan puisi sebagai medium untuk mengeksplorasi konsepnya.

Di berbagai pesantren tradisional kita juga dikaji karya tasawuf yang bergaya seperti ini, yaitu kitab Kifayatul-Atqiya wa Minhajul-Ashfia, sebuah karya komentar (syarah) terhadap kitab berwarna puitis: Hidayatul-Adzkiya ila Thariqil-Auliya karya Syekh Zainuddin bin Ali al-Ma’bari al-Malibari. Selain itu, tentu saja kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari, yang disajikan dengan ujaran-ujaran pendek dan menyentuh setiap penikmatnya, yang lebih dekat pada gaya prosa.

Kegemaran dan minat al-Harawi yang besar terhadap sastra ini sebetulnya bukan hanya melalui karya Manazilus-Sa’irin, melainkan juga dalam karyanya yang lain, yaitu Munajat (Doa). Sementara, melalui kitab Manazilus-Sa’irin (Maqam para Penempuh Jalan Ruhani) ini, al-Harawi menawarkan begitu banyak manzilah atau terminal spiritual yang harus didaki oleh para pejalan ruhani. Manzilah-manzilah itu dibagi dalam 10 bagian dan dari setiap bagian itu juga dibagi dalam 10 tema sehingga genaplah menjadi 100 manzilah.

Dengan demikian, hal ini merupakan satu kemajuan dari apa yang sudah dirumuskan oleh pendahulunya, Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi (wafat 378 H/988 M), yang disebut oleh Dr Abdul Halim Mahmud sebagai seorang sejarawan sufi terbesar dalam sejarah klasik dan modern, ath-Thusi dengan al-Luma’-nya hanya menyebut tujuh maqam atau manzilah. Atau bahkan dengan tokoh belakangan al-Qusyairi (wafat 465 H/1073 M) sekalipun yang hanya menampilkan 49 maqam.

Hal lain yang menjadi daya tarik kitab Manazilus-Sa’irin adalah maqam-maqam yang diperkenalkannya. Penulis merujuk sepenuhnya kepada Alquran, baik dalam tataran konsep maupun term atau istilah yang digunakan. Sehingga, dalam kitab ini bermunculanlah manzilah-manzilah, seperti i’tisham, firar, isyfaq, ikhbat, tabattul, dan seterusnya. Maqam-maqam tersebut belum pernah dimunculkan, setidaknya oleh kedua tokoh tadi, namun istilah-istilah ini jelas-jelas ada di dalam Alquran sekalipun dalam bentuk derivasinya. Dan inilah yang coba diangkat (disistematis-Red) oleh al-Harawi dalam khazanah tasawuf.

Manzilah i’tisham (berpegang teguh), misalnya, merujuk pada ayat “wa’tashimu bi hablillahi jami’a wa la tafarraqu.” (Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali [agama] Allah dan janganlah kamu bercerai-berai). (Ali ‘Imran [3]: 103).

Manzilah firar (lari) mengacu pada ayat “fafirru ilallahi inni lakum minhu nadzirun mubin.” (Maka segeralah lari atau kembali kepada [menaati] Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu). (Adz-Dzariyat [51]: 50).

Demikian pula dengan maqam ikhbat (ketundukan hati), yang melandaskannya pada serangkaian ayat-ayat di dalam Alquran, baik dalam bentuk kata akhbatu, tukhbitu, atau mukhbitin. Di dalam surah al-Hajj ayat 34, misalnya, Allah berfirman, “wa basysyiril mukhbitin.” (Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh [kepada Allah]).

Yang tidak kalah menariknya juga adalah penggunaan angka “tiga”. Bukan hanya dalam pembagian peringkat yang digulirkan oleh al-Harawi dari setiap persinggahan yang didaki oleh para pejalan Ilahi itu, setiap manzilah tersebut selalu dibaginya dalam tiga peringkat (kecuali pada maqam shahwu (kesadaran), tapi juga dalam banyak hal. Maka, kata-kata seperti tsalatsu darajat (tiga peringkat), tsalatsatu asy-ya’ (tiga faktor), rutabun tsalatsun (peringkat yang tiga) selalu berkelabatan dalam lembar demi lembar buku ini.

Di samping memiliki cita rasa yang indah, karya yang dituangkan dalam bentuk puisi juga biasanya sedikit kata, namun sarat makna. Hal ini meniscayakan adanya kerumitan pula dalam memahaminya karena satu kata atau bait dari sang penggubah menelorkan banyak makna pada diri pembaca. Maka, di sinilah jasa besar yang sudah disumbangkan oleh para pembuat syarah (karya komentar atau penjelas).

Sebagaimana dalam tradisi penulisan kitab berbahasa Arab yang kerap kali diiringi oleh sejumlah syarah, demikian pula dengan kitab Manazilus-Sa’irin ini. Maka, ‘Afifuddin Sulaiman bin Ali at-Tilmitsani menulis kitab berjudul Manazilus-Sa’irin ilal-Haqqil-Mubin dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah merangkai kitab Madarijus-Salikin baina Manazili “Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in”.

Melalui karya terakhir inilah agaknya publik di Indonesia bisa menikmati butir-butir pemikiran tasawuf dari seorang Syekh al-Harawi. Dan dari karya syarah ini juga tersimbul keberkahan ilmunya karena dari naskah yang semula hanya berkisar 100-an halaman, bisa menginspirasi Ibnu Qayyim al-Jauziyyah hingga membuahkan karya sebanyak tiga jilid buku besar dengan total halaman 1.500-an lebih. ed: heri ruslan.

Syekh al-Harawi
Mengubah Kesan Mazhab Hambali

Tokoh sufi yang lahir pada 396 H dan wafat pada 481 H/1088 M di Herat ini mempunyai nama lengkap Abu Isma’il Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Ja’far bin Manshur bin Matta al-Anshari al-Harawi. Adalah tokoh Khurasan, keturunan sahabat Nabi SAW, yaitu Abu Ayyub al-Anshari ra. Ia juga seorang pemuka dalam ilmu hadis, tafsir, bahasa, dan tasawuf dari kalangan mazhab Hambali yang penuh semangat.

Kalau ada pandangan bahwa sikap keras, kaku, dan ketat dalam mazhab Hambali tidak bisa berdampingan dengan emosi sufistik, maka melalui sosok Syekh al-Harawi terburailah keyakinan tersebut. Barangkali, inilah sebabnya mengapa Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah sangat bersemangat dalam membuat syarah kitab Manazilus-Sa’irin hingga menghabiskan begitu banyak halaman.

Manazilus-Sa’irin ini hanyalah satu saja dari sekian banyak karya yang sudah ditelorkan oleh tokoh yang penjelasannya mengenai hakikat diakui paling lurus dan dapat diterima oleh masyarakat awam maupun para spesialis.

Karya lain yang juga bernilai sastra tinggi adalah Munajat (Doa), yang ditulis dalam prosa berirama bahasa Persia, yang diselang-seling dengan beberapa sajak yang dipergunakannya untuk mencurahkan cintanya, dambanya, dan nasihatnya. Karya yang bahkan dihargai oleh kaum Hindu di India ini menjadi literatur doa andalan di dunia berbahasa Persia.

Bahkan, Seyyed Hussein Nasr, guru besar Studi Islam di Universitas Georgetown, memberi kesaksian bahwa ia masih ingat betul perihal pembacaan beberapa doa ini di radio Teheran pada pagi hari selama bulan Ramadhan.

Kitab Ilalul-Maqamat adalah buku lain dari Syekh al-Harawi yang melukiskan tentang karakteristik kondisi spiritual, ditujukan untuk para murid dan guru tasawuf. Di samping menulis teori-teori tasawuf yang banyak jumlahnya, menerjemahkan karya Abdurrahman as-Sulami, kitab Tabaqatush Shufiyyah, dari bahasa Arab ke Persia, yang dipergunakan di daerahnya.

Syekh al-Harawi juga mewariskan karya berharga lainnya untuk kita, seperti al-Faruq fi Shifaatillahi Subhanahu wa Ta’ala, Dzammul-Kalam wa Ahluhu, Kasyful-Asrar wa ‘Uddatul-Abrar (bahasa Persia), atau Sad Maydan, sebuah karya dalam bahasa Persia yang berisi tafsir dari ayat “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran [3]: 31).

24 Agustus 2012

DZIKIR SETELAH SHOLAT MENURUT IMAM SYAFI’I RAHIMAHULLAH

oleh alifbraja

 

Bismillah,
Dalam masalah ini, pada kebiasaannya yang dilakukan di Malaysia dan Indonesia adalah para jamaah berzikir setelah solat fardhu secara bersama-sama dengan dikeraskan suara. Mari kita lihat apakah pandangan Imam Asy-Syafi’i dalam maslah ini:

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

واختيار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر

“Imam dan makmum boleh memilih sama ada ingin berzikir kepada Allah (atau tidak) selepas solat. Dan mereka hendaklah memperlahankan zikir kecuali dia merupakan seorang imam. Imam wajib mengajari makmum berzikir, maka hendaklah dia kuatkan zikirnya sehingga dia melihat bahawa telah dipelajari darinya (zikir-zikir tersebut). Kemudian hendaklah dia perlahankan semula. (Al-Umm, Kitab As-Solah, dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, 1/150)

 
وأحسبه إنما جهر قليلا ليتعلم الناس منه ذلك لان عامة الروايات التى كتبناها مع هذا وغيرها ليس يذكر فيها بعد التسليم تهليل ولا تكبير وقد يذكر أنه ذكر بعد الصلاة بما وصفت ويذكر انصرافه بلا ذكر وذكرت أم سلمة مكثه ولم يذكر جهرا وأحسبه لم يكث إلا ليذكر ذكرا غير جهر
“Aku berpendapat baginda (Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam) menguatkan suara ketika berzikir hanya untuk seketika sahaja. Tujuannya agar para sahabat dapat mempelajari zikir itu daripadanya. Ini kerana, kebanyakan riwayat yang telah kami tulis sama ada bersama kitab ini (Al-Umm) atau selainnya langsung tidak menyebut adanya bacaan tahlil atau takbir selepas baginda memberi salam. Kadang-kadang riwayat yang datang menyebut baginda berzikir selepas solat seperti apa yang aku nyatakan (secara kuat) dan kadangkala baginda beredar (meninggalkan saf) tanpa berzikir. Menurut apa yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, baginda tidak berzikir secara kuat selepas solat. Oleh itu, aku berpendapat bahawa baginda tidak akan duduk sama sekali kecuali berzikir tanpa dikuatkan suara.” (Al-Umm, dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, 1/150-151)
 
Pendapat Imam Asy-Syafi’i di atas ini sememangnya selaras dengan sunnah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam yang mana setelah solat baginda berzikir secara bersendirian tanpa dikeraskan suara. Terkadang baginda juga pernah tidak berzikir setelah solat. Ini sebagaimana diriwayatkan Jabir bin Yazid ibnu Aswad berkata:
 
عَنْ أَبِيهِ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ إِذَا انْصَرَفَ انْحَرَف
 
“Daripada ayahnya bahawa dia pernah solat bersama Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wasallam dalam solat subuh. Setelah selesai solatnya, maka baginda segera meninggalkan tempat solatnya”. (Hadis riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i, disahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih wa Dha’if Sunan Abu Daud, no: 614 dan dalam Sahih wa Dha’if Sunan An-Nasa’i, no: 1334)
 
Namun yang lebih utama adalah berzikir terlebih dahulu sebelum meninggalkan tempat solat kerana Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam sering melakukannya sebagaimana terdapat banyak riwayat tentang bacaan zikir yang diajarkan oleh Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam setelah solat.
 
Adapun berdoa setelah solat fardhu secara berjamaah telah diterangkan oleh Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah bahawa ianya tidak ada asal usulnya, sebagaimana katanya:
 
قد ذكرنا استحباب الذكر والدعاء للامام والمأموم والمنفرد وهو مستحب عقب كل الصلوات بلا خلاف وأماما اعتاده الناس أو كثير منهم من تخصيص دعاء الامام بصلاتي الصبح والعصر فلا أصل له
“Kami telah menyebutkan tentang kesunnatan berzikir sesudah solat bagi Imam bagi makmum, dan bagi yang bersolat secara bersendirian adalah dikehendaki berbuat yang demikian (secara bersendirian) pada setiap solat lima waktu tanpa khilaf. Dan adapun adat yang diadakan manusia atau kebanyakan dari mereka, iaitu imam menentukan doa buat solat subuh dan asar, maka ianya tidak ada asal usulnya”. (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, dalam Al-Maktabah Asy-Syamilah, 3/488)
 
KESIMPULAN
Daripada keterangan-keterangan di atas dapatlah kita membuat kesimpulan bahawa kebanyakan mereka yang mengaku mengikut mazhab Syafi’i sebenarnya mereka masih jauh dari apa yang dipegang sendiri oleh Imam Syafi’i. Kalaulah kita benar-benar merupakan pengikut mazhab Syafi’i yang tulen pasti kita mengikuti pegangan beliau sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Akan tetapi sebenarnya ramai dari mereka yang tidak tahu kenyataan ini, bahkan mereka dengan melulu menuduh orang yang mengajak kepada pendapat Imam Syafi’i di atas adalah sebagai wahabi dan sebagainya. Semoga Allah membuka pintu hati mereka untuk melihat cahaya kebenaran.
Wallahu a’lam.
24 Agustus 2012

Siapa yang dinamakan Ulama?

oleh alifbraja

 

Siapa yang dinamakan Ulama
Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” (Kitabul ‘Ilmi hal. 147)

Ibnu Juraij rahimahullah (wafat 150 H) menukilkan (pendapat) dari ‘Atha (wafat 114 H), beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)

Badruddin Al-Kinani rahimahullah (wafat 861 H) mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 31)

Abdus Salam bin Barjas rahimahullah (wafat 1425 H) mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai orang alim jumlahnya sangat sedikit sekali dan tidak berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat orang alim mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang- orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini.


Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dengan ini, maka cukup (terlalu banyak orang alim). Akan tetapi penggambaran seperti inilah yang banyak menancap di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu banyak orang tertipu dengan kefasihan seseorang dan tertipu dengan kepandaian berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Orang alim hakiki adalah yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan juga orang-orang yang menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” (Wujubul Irtibath bi ‘Ulama, hal. 8)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakan dengan kebanyakan orang yang mengaku berilmu atau yang diakui sebagai ulama bahkan waliyullah. Dia berfirman:

“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” [QS.Fathir: 28]

 

 

[Disalin dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 12/1425 H/2005, judul asli Ciri-Ciri Ulama, karya Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi].